Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan atau penyempurnaan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||
|
|
|||
Menimbang |
||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
|
||||
|
|
|||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||
3.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6514);
|
|||
4.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
|||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
|
|||
|
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENJAMINAN PEMERINTAH UNTUK PELAKU USAHA KORPORASI MELALUI BADAN USAHA PENJAMINAN YANG DITUNJUK DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROGRAM PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Penjaminan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Penjaminan Program PEN adalah penjaminan yang diberikan dalam rangka melaksanakan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.
|
|||
2.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
3.
|
Penjaminan Pemerintah adalah penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama Pemerintah oleh Menteri melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Program PEN.
|
|||
4.
|
Pinjaman adalah setiap pembiayaan baik secara konvensional maupun syariah dari kreditur atau pemberi fasilitas pembiayaan syariah berupa sejumlah uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu yang menimbulkan kewajiban finansial berdasarkan perjanjian pinjaman atau perjanjian pembiayaan.
|
|||
5.
|
Pelaku Usaha Korporasi selanjutnya disebut Pelaku Usaha adalah pelaku usaha di sektor riil dan sektor keuangan yang kekayaan bersihnya di atas Rp10 miliar dan omzet tahunannya di atas Rp50 miliar yang kegiatan usahanya terdampak oleh pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
|
|||
6.
|
Penjamin adalah Pemerintah dalam hal ini Menteri yang dilaksanakan melalui penugasan kepada badan usaha penjaminan.
|
|||
7.
|
Penerima Jaminan adalah bank yang memberikan fasilitas Pinjaman.
|
|||
8.
|
Terjamin adalah Pelaku Usaha penerima Penjaminan Pemerintah.
|
|||
9.
|
Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
10.
|
Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
|
|||
11.
|
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
|
|||
12.
|
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) yang selanjutnya disingkat PT PII adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk pendirian perusahaan perseroan (persero) di bidang penjaminan infrastruktur.
|
|||
13.
|
Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin dari Terjamin dalam rangka kegiatan penjaminan.
|
|||
14.
|
Imbal Jasa Penjaminan Loss Limit yang selanjutnya disingkat IJP Loss Limit atau premi Loss Limit adalah sejumlah uang yang diterima badan usaha yang menjalankan penugasan dukungan loss limit dalam rangka kegiatan Penjaminan Pemerintah.
|
|||
15.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
|
|||
16.
|
Regres adalah hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban Terjamin tersebut.
|
|||
17.
|
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|||
BAB II
TUJUAN, PRINSIP, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2 |
||||
Penjaminan Program PEN bertujuan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para Pelaku Usaha dalam menjalankan usahanya.
|
||||
|
||||
Pasal 3 |
||||
Penjaminan Program PEN diberikan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
|
||||
a.
|
kemampuan keuangan negara;
|
|||
b.
|
dukungan kepada Pelaku Usaha;
|
|||
c.
|
penerapan kaidah-kaidah kebijakan yang penuh kehati-hatian, serta tata kelola yang baik, transparan;
|
|||
d.
|
tidak menimbulkan moral hazard; dan
|
|||
e.
|
pembagian biaya dan risiko antar pemangku kepentingan sesuai tugas dan kewenangan masing-masing.
|
|||
|
|
|||
Pasal 4 |
||||
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
|
||||
a.
|
penjaminan Pemerintah atas Pinjaman modal kerja; dan
|
|||
b.
|
dukungan pemerintah dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah.
|
|||
|
|
|||
BAB III
PELAKSANAAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Kebijakan Pelaksanaan Penjaminan
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Kebijakan Penjaminan Pemerintah berpedoman pada hasil rumusan dan ketetapan kebijakan dan strategi pelaksanaan Program PEN oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional dalam rangka mendukung kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
|
|||
(2)
|
Dalam perumusan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat mengusulkan masukan mengenai:
|
|||
|
a.
|
sektor-sektor yang diprioritaskan untuk diberikan Pinjaman modal kerja;
|
||
|
b.
|
pagu total penyaluran Pinjaman modal kerja yang akan mendapat Penjaminan Pemerintah;
|
||
|
c.
|
pagu tertinggi anggaran pelaksanaan Penjaminan Pemerintah;
|
||
|
d.
|
plafon Pinjaman setiap Pelaku Usaha yang mendapat Penjaminan Pemerintah; dan/atau
|
||
|
e.
|
porsi Pinjaman modal kerja yang dijamin.
|
||
(3)
|
Dalam mengusulkan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terkait dengan data perbankan, Menteri melakukan koordinasi dengan OJK.
|
|||
|
|
|||
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dalam rangka melaksanakan Penjaminan Pemerintah, Menteri menugaskan LPEI untuk memberikan Penjaminan Pemerintah.
|
|||
(2)
|
Dalam pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menugaskan LPEI untuk melakukan penjaminan bersama dengan PT PII.
|
|||
(3)
|
Penjaminan dimaksud bersama dengan pada ayat (2), PT PII sebagaimana dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
kriteria Pelaku Usaha tidak dapat dijamin LPEI secara sendiri; dan/atau
|
||
|
b.
|
kapasitas penjaminan LPEI mendekati batas maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Pemberian Penjaminan Pemerintah
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), diberikan terhadap kewajiban finansial atas Pinjaman modal kerja yang diterima oleh Pelaku Usaha.
|
|||
(2)
|
Kewajiban finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi tunggakan pokok pinjaman dan/atau bunga/imbalan sehubungan dengan Pinjaman modal kerja sebagaimana disepakati dalam perjanjian Pinjaman.
|
|||
(3)
|
Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan untuk Pinjaman modal kerja baru atau tambahan Pinjaman modal kerja dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional.
|
|||
(4)
|
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pelaku usaha yang melakukan kegiatan menghasilkan devisa, menghemat devisa dalam negeri, meningkatkan kapasitas produksi nasional dan/atau memiliki karyawan minimal 300 (tiga ratus) orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Penjamin dan Penerima Jaminan.
|
|||
(6)
|
Tata cara pemberian Penjaminan Pemerintah kepada Pelaku Usaha dengan kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|||
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Penerima Jaminan merupakan perbankan dengan kriteria:
|
|||
|
a.
|
bank umum; dan
|
||
|
b.
|
bank kategori sehat dengan peringkat komposit 1 atau peringkat komposit 2 berdasarkan penilaian tingkat kesehatan bank oleh OJK.
|
||
(2)
|
Besaran plafon Pinjaman untuk Penerima Jaminan ditetapkan sesuai dengan nilai penjaminan yang dapat diberikan oleh LPEI yang akan dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Penjamin dengan Penerima Jaminan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Tata cara mengenai permohonan penjaminan sampai dengan evaluasi penjaminan dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku di LPEI.
|
|||
(2)
|
Tata cara mengenai klaim penjaminan sampai dengan penyelesaian atas klaim penjaminan dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara LPEI dengan Penerima Jaminan.
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Imbal Jasa Penjaminan Pemerintah
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), LPEI berhak mendapatkan IJP.
|
|||
(2)
|
IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibayarkan oleh Pemerintah melalui Menteri dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk Pelaku Usaha dengan plafon pinjaman antara Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah), IJP yang dibayarkan sebesar 100% (seratus persen);
|
||
|
b.
|
untuk Pelaku Usaha dengan plafon pinjaman antara Rp50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) sampai dengan Rp300.000.000.000,- (tiga ratus miliar rupiah), IJP yang dibayarkan sebesar 100% (seratus persen); atau
|
||
|
c.
|
untuk Pelaku Usaha dengan plafon pinjaman antara Rp300.000.000.000,- (tiga ratus miliar rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah), IJP yang dibayarkan sebesar 50% (lima puluh persen) dan 50% (lima puluh persen) sisanya dibayarkan oleh Pelaku Usaha.
|
||
(3)
|
IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung dengan formula, yaitu besaran IJP = tarif IJP x plafon Pinjaman.
|
|||
(4)
|
Tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan untuk pertama kali oleh Menteri melalui surat.
|
|||
(5)
|
Besaran tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dilakukan evaluasi dan penyesuaian oleh Menteri setiap 3 (tiga) bulan.
|
|||
(6)
|
Penyesuaian tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ditetapkan melalui surat Menteri.
|
|||
(7)
|
Tarif IJP dan penyesuaian besaran tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), ditetapkan dengan memperhatikan:
|
|||
|
a.
|
keputusan mengenai kebijakan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
|
||
|
b.
|
laporan keuangan LPEI;
|
||
|
c.
|
kemampuan Pemerintah melalui Menteri dalam menyediakan alokasi belanja pembayaran IJP; dan/atau
|
||
|
d.
|
data dan informasi pendukung lainnya, antara lain proyeksi non performing loan (NPL), besaran porsi penjaminan, batasan loss limit, dan jangka waktu Pinjaman.
|
||
(8)
|
Dalam menetapkan besaran tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Menteri dapat meminta masukan dari pihak yang kompeten dan independen, serta pihak yang terkait lainnya.
|
|||
(9)
|
IJP yang dibayarkan oleh Pemerintah melalui Menteri sebagaimana dlimaksud pada ayat (2), merupakan belanja subsidi atas pelaksanaan program PEN.
|
|||
|
|
|||
BAB IV
PEMBERIAN DUKUNGAN PENJAMINAN
Pasal 11 |
||||
Dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah oleh LPEI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pemerintah melalui Menteri dapat memberikan dukungan berupa:
|
||||
a.
|
loss limit;
|
|||
b.
|
PMN; dan
|
|||
c.
|
pembayaran IJP loss limit.
|
|||
|
|
|||
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Dukungan berupa loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, ditujukan untuk membatasi risiko LPEI dalam melaksanakan penugasan Penjaminan Pemerintah pada kondisi tertentu yang diatur dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah melalui Menteri dan LPEI.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka pemberian dukungan loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menugaskan PT PII.
|
|||
(3)
|
PT PII sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memiliki tugas, termasuk tapi tidak terbatas pada:
|
|||
|
a.
|
melaksanakan kegiatan operasional program loss limit dan backstop loss limit;
|
||
|
b.
|
melakukan pemantauan intensif atas proses pemulihan hak tagih piutang penjaminan yang dilakukan oleh perbankan; dan
|
||
|
c.
|
melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.
|
||
(4)
|
Kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, termasuk tapi tidak terbatas pada:
|
|||
|
a.
|
monitoring threshold loss ratio; dan
|
||
|
b.
|
monitoring threshold backstop loss ratio.
|
||
|
|
|
||
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah, LPEI sebagai penjamin dan PT PII sebagai pelaksana dukungan loss limit dapat menerima penyertaan modal negara untuk meningkatkan kapasitas korporasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penyertaan modal negara kepada LPEI dan PT PII sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian dari dana penugasan khusus untuk melaksanakan Penjaminan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|||
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Dalam melaksanakan penugasan untuk memberikan dukungan loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), PT PII dapat mengenakan IJP loss limit kepada LPEI.
|
|||
(2)
|
IJP loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibayarkan oleh Pemerintah melalui Menteri.
|
|||
(3)
|
IJP loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan formula, yaitu besaran IJP loss limit = tarif IJP loss limit x plafon Pinjaman.
|
|||
(4)
|
Besaran tarif IJP loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan untuk pertama kali oleh Menteri melalui surat.
|
|||
(5)
|
Terhadap besaran tarif IJP loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dilakukan evaluasi dan penyesuaian oleh Menteri setiap 3 (tiga) bulan.
|
|||
(6)
|
Penyesuaian besaran tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ditetapkan melalui surat Menteri.
|
|||
(7)
|
Besaran tarif IJP loss limit dan penyesuaian besaran tarif IJP loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), ditetapkan dengan memperhatikan:
|
|||
|
a.
|
keputusan mengenai kebijakan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
|
||
|
b.
|
laporan keuangan PT PII;
|
||
|
c.
|
kemampuan Pemerintah melalui Menteri dalam menyediakan alokasi belanja pembayaran IJP loss limit; dan/atau
|
||
|
d.
|
data dan informasi pendukung lainnya, antara lain proyeksi non performing loan (NPL), besaran porsi penjaminan, batasan loss limit, jangka waktu Pinjaman, biaya overhead dan marin.
|
||
(8)
|
IJP loss limit yang dibayarkan oleh Pemerintah melalui Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan belanja subsidi atas pelaksanaan program PEN.
|
|||
|
|
|||
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan penugasan untuk memberikan dukungan loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Pemerintah melalui Menteri dapat memberikan dukungan backstop loss limit kepada PT PII.
|
|||
(2)
|
Dukungan backstop loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan oleh Pemerintah melalui Menteri untuk mengantisipasi risiko kelebihan klaim atas dukungan loss limit yang ditanggung oleh PT PII.
|
|||
(3)
|
Dalam hal terjadi risiko kelebihan klaim atas dukungan loss limit PT PII sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dalam hal ini Menteri menanggung kelebihan porsi atas klaim dukungan loss limit.
|
|||
(4)
|
Kelebihan porsi atas klaim dukungan loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibayarkan terlebih dahulu oleh PT PII.
|
|||
(5)
|
PT PII mendapat penggantian kelebihan porsi atas klaim dukungan loss limit yang dibayar oleh PT PII sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
|||
(6)
|
Penggantian atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5), meliputi:
|
|||
|
a.
|
jumlah kelebihan porsi atas klaim dukungan loss limit; dan
|
||
|
b.
|
biaya yang ditimbulkan dari pelaksanaan pembayaran kelebihan porsi atas klaim dukungan loss limit.
|
||
|
|
|
||
Pasal 16 |
||||
Pelaksanaan dukungan loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan dukungan berupa backstop loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja sama antara Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan PT PII.
|
||||
|
||||
BAB V
PENGELOLAAN ANGGARAN DALAM RANGKA PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Penganggaran IJP
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Belanja subsidi IJP atas pelaksanaan program PEN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan belanja subsidi IJP loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dialokasikan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka pengalokasian belanja subsidi IJP dan belanja subsidi IJP loss limit atas pelaksanaan program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri selaku Pengguna Anggaran menetapkan Direktur Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko sebagai KPA.
|
|||
|
|
|||
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Dalam menghitung rencana kebutuhan alokasi belanja subsidi IJP dan belanja subsidi IJP loss limit atas pelaksanaan program PEN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), KPA dapat meminta masukan kepada Badan Kebijakan Fiskal.
|
|||
(2)
|
Rencana kebutuhan alokasi belanja subsidi IJP dan belanja subsidi IJP loss limit atas pelaksanaan program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh KPA kepada pembantu pengguna anggaran bagian anggaran bendahara umum negara.
|
|||
(3)
|
Pengalokasian anggaran belanja subsidi IJP dan belanja subsidi IJP loss limit atas pelaksanaan program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bagian anggaran bendahara umum negara, dan pengesahan daftar isian pelaksanaan anggaran bendahara umum negara.
|
|||
|
|
|||
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Pagu pembayaran belanja subsidi IJP dan belanja subsidi IJP loss limit atas pelaksanaan program PEN merupakan batas tertinggi dalam pelaksanaan pembayaran IJP.
|
|||
(2)
|
Dalam hal terdapat tagihan pembayaran IJP atas penerbitan sertifikat penjaminan yang melampaui pagu belanja subsidi IJP dan belanja subsidi IJP loss limit atas pelaksanaan program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka tagihan IJP tersebut tidak dibayarkan oleh KPA.
|
|||
|
|
|||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Berdasarkan perhitungan besaran IJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan besaran IJP loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), Pemerintah melalui Menteri membayarkan IJP kepada LPEI dan IJP loss limit kepada PT PII sampai dengan selesainya jangka waktu Penjaminan Pemerintah.
|
|||
(2)
|
Dalam hal terjadi kelebihan/kekurangan bayar IJP dan IJP loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang timbul akibat dari timbulnya diskrepansi data, maka kelebihan/kekurangan tersebut dikembalikan kepada negara atau diperhitungkan dalam pembayaran IJP berikutnya.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Pengelolaan Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Pemerintah melalui Menteri mengalokasikan anggaran kewajiban Penjaminan Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bagian anggaran bendahara umum negara, dan pengesahan daftar isian pelaksanaan anggaran bendahara umum negara.
|
|||
(2)
|
Pengelolaan dana cadangan penjaminan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan untuk pelaksanaan kewajiban penjaminan pemerintah sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Menteri ini.
|
|||
(3)
|
Dalam hal terjadi pembayaran klaim dukungan backstop loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pemerintah melalui Menteri dapat menggunakan dana yang bersumber dari pengelolaan dana cadangan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Penggantian pembayaran klaim dukungan backstop loss limit kepada PT PII berupa biaya yang ditimbulkan dari pembayaran kelebihan porsi atas klaim dukungan loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) huruf b, merupakan pengeluaran belanja transaksi khusus yang belum dialokasikan dan/atau melebihi alokasi yang telah ditetapkan dalam APBN dan/atau APBN Perubahan pada tahun anggaran berjalan.
|
|||
(5)
|
Menteri selaku Pengguna Anggaran menunjuk Direktur Pengelolaan Risiko Jenderal Pengelolaan Keuangan Negara, Direktorat Pembiayaan dan Risiko sebagai KPA belanja transaksi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
|||
(6)
|
Terhadap realisasi penggunaan dana cadangan penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang berasal selain dari anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah dalam rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dapat diganti melalui mekanisme APBN dan/atau APBN-Perubahan.
|
|||
(7)
|
Dalam hal pengelolaan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi untuk penggantian pembayaran kepada PT PII sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5), Menteri mengalokasikan dana cadangan atas klaim dukungan backstop loss limit pada APBN maupun APBN-Perubahan.
|
|||
(8)
|
Pencatatan realisasi pengeluaran atas klaim dukungan backstop loss limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaporkan dalam APBN-Perubahan dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
|
|||
|
|
|||
BAB VI
PENYELESAIAN PIUTANG PEMERINTAH (REGRES) ATAS PEMBAYARAN KLAIM PENJAMINAN PEMERINTAH
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Dalam hal terjadi gagal bayar dari Terjamin, pembayaran klaim atas pelaksanaan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) menimbulkan piutang dan/atau Regres dari LPEI kepada Terjamin.
|
|||
(2)
|
Regres sebagaimana dimaksud ayat (1), diserahkan oleh LPEI kepada Pemerintah.
|
|||
(3)
|
Pelaksanaan tagihan Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui Penerima Jaminan atau pihak pengelola Regres yang ditunjuk Pemerintah dalam hal ini Menteri.
|
|||
(4)
|
Penerima Jaminan wajib memenuhi Regres sebagaimana dimaksud ayat (1).
|
|||
(5)
|
Pemantauan atas Regres Pemerintah dilakukan oleh PT PII sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b.
|
|||
|
|
|||
BAB VII
PEMBUKUAN DAN PELAPORAN PELAKSANAAN PENUGASAN
Pasal 23 |
||||
Dalam melaksanakan penugasan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan penugasan dukungan loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), LPEI dan PT PII menyelenggarakan pembukuan berdasarkan ketentuan tentang standar akuntansi yang berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 24 |
||||
(1)
|
LPEI dan PT PII menyampaikan laporan triwulanan dan tahunan atas pelaksanaan penugasan penjaminan dan penugasan dukungan loss limit kepada Menteri ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Direktur Jenderal Kekayaan Negara, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
|
|||
(2)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
|||
|
a.
|
informasi umum:
|
||
|
|
1.
|
perkembangan kegiatan penjaminan;
|
|
|
|
2.
|
strategi pelaksanaan penjaminan; dan
|
|
|
|
3.
|
kebijakan terkait penugasan penjaminan;
|
|
|
b.
|
capaian target;
|
||
|
c.
|
informasi keuangan;
|
||
|
d.
|
profil risiko dan mitigasi risiko; dan
|
||
|
e.
|
informasi lain yang dianggap penting.
|
||
(3)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat:
|
|||
|
a.
|
30 (tiga puluh) hari kalender setelah periode pelaporan dimaksud berakhir, untuk laporan triwulanan; dan
|
||
|
b.
|
pada akhir triwulan pertama setelah periode pelaporan dimaksud berakhir, untuk laporan tahunan.
|
||
(4)
|
Dalam hal diperlukan, Menteri sewaktu-waktu dapat meminta laporan pelaksanaan penugasan.
|
|||
|
|
|||
BAB VIII
PENGAWASAN, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah dan dukungan loss limit, Penjaminan Pemerintah Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan melakukan pengawasan terhadap LPEI dan PT PII.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah dan dukungan loss limit, Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap LPEI dan PT PII.
|
|||
(3)
|
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan paling sedikit satu kali setiap 3 (tiga) bulan.
|
|||
(4)
|
Pemantauan dan evaluasi dilakukan paling sedikit terhadap aspek sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
kesesuaian tarif IJP penjaminan dan tarif IJP Loss Limit;
|
||
|
b.
|
perkembangan jumlah Pinjaman yang dijamin;
|
||
|
c.
|
realisasi pembayaran klaim; dan
|
||
|
d.
|
proyeksi pembayaran klaim sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan.
|
||
(5)
|
Pelaksanaan pemantauan dimaksud pada ayat dan evaluasi sebagaimana (2), dilakukan oleh tim pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program pemulihan ekonomi nasional yang dibentuk oleh Menteri.
|
|||
(6)
|
Tim pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat meminta masukan dari pihak independen.
|
|||
(7)
|
Dalam rangka pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat meminta informasi dan/atau data serta laporan terkait pelaksanaan Penjaminan Pemerintah, dukungan loss limit, dan dukungan backstop loss limit kepada LPEI, PT PII, dan/atau Penerima Jaminan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Dalam melaksanakan penugasan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), LPEI harus melakukan upaya terbaik dalam rangka pengelolaan risiko.
|
|||
(2)
|
Dalam melaksanakan penugasan dukungan loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), PT PII harus melakukan upaya terbaik dalam rangka pengelolaan risiko.
|
|||
(3)
|
Menteri melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko memberikan masukan atas kegiatan pengelolaan risiko yang dilakukan LPEI dan PT PII sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
|
|||
|
|
|||
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27 |
||||
Dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah tahun 2020, sumber dana belanja subsidi IJP atas pelaksanaan program PEN untuk Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), belanja subsidi IJP loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), anggaran kewajiban penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), dan belanja transaksi khusus untuk dukungan backstop loss limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4), dapat berasal dari APBN sesuai dengan Peraturan Presiden mengenai postur dan rincian APBN maupun peraturan pelaksanaannya.
|
||||
|
||||
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juli 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juli 2020
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 842
|