Quick Guide
Hide Quick Guide
Bandingkan Versi Sebelumnya
Buka PDF
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 92 TAHUN 2023
TENTANG
MEKANISME PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PAJAK DITANGGUNG PEMERINTAH
MEKANISME PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PAJAK DITANGGUNG PEMERINTAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||
a. | bahwa untuk memberikan stimulus perekonomian, pemerintah mengalokasikan belanja subsidi dalam rangka pemberian insentif fiskal pajak ditanggung pemerintah sebagai salah satu kebijakan fiskal; | |||||
b. | bahwa agar pajak ditanggung pemerintah dapat ditatausahakan dan dikelola secara lebih tertib dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta berdasarkan kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.05/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah; | |||||
c. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah; | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; | |||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); | |||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); | |||||
4.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98); | |||||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954); | |||||
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan |
||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG MEKANISME PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PAJAK DITANGGUNG PEMERINTAH. | ||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1 |
||||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: | ||||||
1.
|
Pajak Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut Pajak DTP adalah pajak terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara. | |||||
2.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. | |||||
3.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. | |||||
4.
|
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. | |||||
5.
|
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian/lembaga. | |||||
6.
|
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian/lembaga. | |||||
7.
|
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. | |||||
8.
|
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian/lembaga yang bersangkutan. | |||||
9.
|
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. | |||||
10.
|
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. | |||||
11.
|
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. | |||||
12.
|
Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri. | |||||
13.
|
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh. | |||||
14.
|
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN. | |||||
15.
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN. | |||||
16.
|
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan PA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. | |||||
17.
|
Belanja Subsidi Bagian Anggaran 999.07 yang selanjutnya disebut Belanja Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan/atau jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. | |||||
18.
|
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan. | |||||
19.
|
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. | |||||
20.
|
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. | |||||
21.
|
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. | |||||
22.
|
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. | |||||
23.
|
Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, dan pembiayaan, serta sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode. | |||||
24.
|
Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintah dalam 1 (satu) periode pelaporan. | |||||
25.
|
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran, yang selanjutnya disingkat UAKPA, adalah unit akuntansi instansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat satuan kerja. | |||||
26.
|
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang di proses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama. | |||||
27.
|
Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat LK adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa LRA, laporan arus kas, LO, laporan perubahan saldo anggaran lebih, laporan perubahan ekuitas, neraca, dan catatan atas laporan keuangan. | |||||
28.
|
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah pernyataan yang diterbitkan/dibuat oleh KPA BUN yang memuat jaminan atau pernyataan bahwa seluruh pengeluaran telah dihitung dengan benar. | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||||
Pajak DTP yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi: | ||||||
a.
|
Belanja Subsidi Pajak DTP, berupa: | |||||
1. | Belanja Subsidi PPh DTP; | |||||
2. | Belanja Subsidi PPN DTP; dan | |||||
3. | Belanja Subsidi PPnBM DTP. | |||||
b.
|
Pendapatan Pajak DTP, berupa: | |||||
1. | pendapatan PPh DTP; | |||||
2. | pendapatan PPN DTP; dan | |||||
3. | pendapatan PPnBM DTP. | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal Pajak DTP ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN. | |||||
(2)
|
Berdasarkan pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan objek pajak tertentu yang mendapatkan insentif fiskal Pajak DTP. | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||
(1)
|
Direktur yang menangani urusan potensi, kepatuhan, dan penerimaan pada Direktorat Jenderal Pajak ditetapkan sebagai KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP. | |||||
(2) | Dalam hal pejabat definitif yang ditunjuk sebagai KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan, Direktur yang menangani urusan kepatuhan internal dan transformasi sumber daya aparatur ditetapkan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP. | |||||
(3) | Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1): | |||||
|
a.
|
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; dan/atau | ||||
|
b.
|
masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 45 (empat puluh lima) hari. | ||||
(4)
|
Penetapan pelaksana tugas KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dalam hal KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1): | |||||
|
a. | telah terisi kembali oleh pejabat definitif; dan/atau | ||||
|
b. | pejabat definitif kembali dapat melaksanakan tugas. | ||||
(5) | Pelaksana tugas KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |||||
(6)
|
KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk menetapkan pejabat perbendaharaan lainnya meliputi PPK dan PPSPM. | |||||
(7)
|
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak ditetapkan sebagai KPA Pendapatan Pajak DTP. | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||
(1)
|
Anggaran Belanja Subsidi Pajak DTP dialokasikan dalam APBN. | |||||
(2) | Pengalokasian anggaran dan perubahan anggaran Belanja Subsidi Pajak DTP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||
(1)
|
KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 menatausahakan data dan informasi realisasi Pajak DTP sehubungan dengan insentif Pajak DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. | |||||
(2) | Berdasarkan data dan informasi realisasi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP menyusun berita acara. | |||||
(3) | Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data dari direktorat terkait pada Direktorat Jenderal Pajak serta instansi terkait lainnya. | |||||
(4) | Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP memproses pengesahan pendapatan Pajak DTP dan Belanja Subsidi Pajak DTP. | |||||
Pasal 7 |
||||||
(1)
|
Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), PPK Belanja Subsidi Pajak DTP melakukan pengujian secara formal dan material terhadap kelengkapan dan kebenaran administrasi tagihan Belanja Subsidi Pajak DTP dalam DIPA BUN. | |||||
(2)
|
Dalam hal tagihan sudah dinyatakan lengkap dan benar, PPK Belanja Subsidi Pajak DTP: | |||||
a. | menerbitkan SSP DTP atau dokumen yang dipersamakan berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); | |||||
b. | menyusun SPTJM untuk ditandatangani oleh KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP, sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; | |||||
c. | menerbitkan SPP Belanja Subsidi Pajak DTP yang bersifat permintaan pengesahan pendapatan Pajak DTP dan Belanja Subsidi Pajak DTP, yang disusun dengan mencatat: | |||||
1) | pendapatan Pajak DTP sesuai dengan jenis Pajak DTP dengan nilai masing-masing sebesar nilai yang tercantum dalam SSP DTP sebagaimana dimaksud dalam huruf a; | |||||
2) | Belanja Subsidi Pajak DTP sesuai dengan jenis Belanja Subsidi Pajak DTP dengan nilai yang sama dengan nilai SSP DTP sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan | |||||
3) | jumlah total nilai pengesahan pendapatan Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan jumlah total nilai pengesahan Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada angka 2) yang bernilai sama besar. | |||||
(3)
|
PPK Belanja Subsidi Pajak DTP menyampaikan SPP Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dengan melampirkan SSP DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan SPTJM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b kepada PPSPM. | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||
(1)
|
Berdasarkan SPP Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), PPSPM Belanja Subsidi Pajak DTP melakukan pengujian secara formal terhadap kelengkapan dan kebenaran administrasi tagihan dan ketersediaan alokasi anggaran Belanja Subsidi Pajak DTP dalam DIPA BUN. | |||||
(2)
|
Dalam hal SPP Belanja Subsidi Pajak DTP dinyatakan lengkap dan benar, PPSPM Belanja Subsidi Pajak DTP menerbitkan dan menyampaikan SPM Belanja Subsidi Pajak DTP kepada KPPN dengan melampirkan SPTJM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b. | |||||
(3)
|
Dalam hal SPP Belanja Subsidi Pajak DTP dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak benar, PPSPM mengembalikan SPP Belanja Subsidi Pajak DTP secara tertulis disertai alasan penolakan atau pengembalian SPP Belanja Subsidi Pajak DTP tersebut paling lama 1 (satu) hari kerja setelah SPP dimaksud diterima. | |||||
(4)
|
SPM Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat perintah pengesahan pendapatan Pajak DTP dan Belanja Subsidi Pajak DTP. | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||
(1)
|
KPPN menerima dan melakukan penelitian dan pengujian atas SPM Belanja Subsidi Pajak DTP yang disampaikan oleh PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). | |||||
(2) | Penelitian dan pengujian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada KPPN. | |||||
(3) | Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPPN menerbitkan SP2D Belanja Subsidi Pajak DTP. | |||||
(4) | SP2D Belanja Subsidi Pajak DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat pengesahan terhadap pendapatan Pajak DTP dan Belanja Subsidi Pajak DTP. | |||||
(5) | Batas waktu penyampaian SPM Belanja Subsidi Pajak DTP kepada KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai pedoman pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara pada akhir tahun anggaran. | |||||
Pasal 10 |
||||||
SPM Belanja Subsidi Pajak DTP yang telah diterbitkan SP2D menjadi dasar bagi: | ||||||
a. | KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP untuk mengakui dan mencatat realisasi Belanja Subsidi Pajak DTP pada LK BUN pengelolaan Belanja Subsidi (BA BUN 999.07) sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan belanja subsidi; dan | |||||
b. | KPA pendapatan Pajak DTP untuk mengakui dan mencatat realisasi pendapatan Pajak DTP pada LK kementerian/lembaga (BA 015) sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi. | |||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||||
Kebijakan akuntansi dan pelaporan keuangan Belanja Subsidi Pajak DTP dan pendapatan Pajak DTP dilaksanakan sesuai dengan kebijakan akuntansi atas transaksi belanja subsidi dan pendapatan pajak ditanggung pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 632) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.05/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 898), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. | ||||||
Pasal 13 |
||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. | ||||||
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. | ||||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 September 2023 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 September 2023 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ASEP N. MULYANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 737 |