Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2024
TENTANG
PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa dalam ketentuan Pasal 66D ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Pasal 10 ayat (13) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024, dan Pasal 64 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah, telah diatur bahwa ketentuan mengenai dana bagi hasil cukai hasil tembakau, sanksi atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau, dan penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan;
|
|||||||
b.
|
bahwa untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas penggunaan, pemantauan, dan evaluasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai penggunaan, pemantauan, dan evaluasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dalam Peraturan Menteri Keuangan;
|
|||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau;
|
|||||||
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6896);
|
|||||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6883);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
|||||||
7.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
|||||||
2.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
3.
|
Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
|
|||||||
4.
|
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
|
|||||||
5.
|
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke Daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
|
|||||||
6.
|
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah DBH pajak yang berasal dari penerimaan cukai hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri.
|
|||||||
7.
|
Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat RKP DBH CHT adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH CHT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan diselaraskan dengan program kerja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berjalan.
|
|||||||
8.
|
Sisa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut Sisa DBH CHT adalah selisih lebih antara DBH CHT yang telah disalurkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan realisasi penggunaan DBH CHT yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama 1 (satu) periode tahun anggaran dan/atau beberapa tahun anggaran.
|
|||||||
9.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2 |
||||||||
(1)
|
DBH CHT digunakan untuk mendanai program:
|
|||||||
|
a.
|
peningkatan kualitas bahan baku;
|
||||||
|
b.
|
pembinaan industri;
|
||||||
|
c.
|
pembinaan lingkungan sosial;
|
||||||
|
d.
|
sosialisasi ketentuan di bidang cukai;
|
||||||
|
e.
|
pemberantasan barang kena cukai ilegal; dan/atau
|
||||||
|
f.
|
kegiatan lainnya.
|
||||||
(2)
|
Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
Penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||
a.
|
program peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat;
|
|||||||
b.
|
program pembinaan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b untuk mendukung:
|
|||||||
|
1.
|
bidang kesejahteraan masyarakat; dan
|
||||||
|
2.
|
bidang penegakan hukum;
|
||||||
|
c.
|
program pembinaan lingkungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c untuk mendukung:
|
||||||
|
|
1.
|
bidang kesejahteraan masyarakat; dan
|
|||||
|
|
2.
|
bidang kesehatan; dan
|
|||||
|
d.
|
program sosialisasi ketentuan di bidang cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d dan pemberantasan barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e untuk mendukung bidang penegakan hukum.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka penggunaan DBH CHT, Kepala Daerah menunjuk koordinator untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kegiatan DBH CHT di wilayahnya masing-masing, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyusunan rencana pelaksanaan penggunaan DBH CHT;
|
||||||
|
b.
|
pelaksanaan penggunaan DBH CHT;
|
||||||
|
c.
|
penyusunan dan penyampaian laporan penggunaan DBH CHT; dan
|
||||||
|
d.
|
monitoring dan evaluasi penggunaan DBH CHT.
|
||||||
(2)
|
Koordinator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi perangkat Daerah yang memiliki fungsi koordinasi.
|
|||||||
(3)
|
Gubernur melakukan harmonisasi atas penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) wilayah provinsi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Program dan Kegiatan yang Didanai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Paragraf 1
Bidang Kesejahteraan Masyarakat
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Program peningkatan kualitas bahan baku untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi kegiatan:
|
|||||||
|
a.
|
pelatihan peningkatan kualitas bahan baku;
|
||||||
|
b.
|
penanganan panen dan pasca panen;
|
||||||
|
c.
|
penerapan inovasi teknis; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
dukungan sarana dan prasarana usaha pertanian dalam rangka mendukung peningkatan kualitas bahan baku.
|
||||||
(2)
|
Program pembinaan industri untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 1 meliputi kegiatan:
|
|||||||
|
a.
|
registrasi mesin pelinting sigaret;
|
||||||
|
b.
|
pendataan industri hasil tembakau;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan/pemeliharaan fasilitas pengujian bahan baku tembakau dan produk hasil tembakau bagi industri kecil dan industri menengah;
|
||||||
|
d.
|
fasilitasi pengujian tar dan nikotin bagi industri kecil dan industri menengah;
|
||||||
|
e.
|
pembinaan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pada usaha industri hasil tembakau kecil dan industri hasil tembakau menengah;
|
||||||
|
f.
|
pembentukan, pengelolaan, dan pengembangan kawasan industri hasil tembakau/sentra industri hasil tembakau dalam rangka aglomerasi pabrik hasil tembakau; dan/atau
|
||||||
|
g.
|
penyediaan/pemeliharaan infrastruktur konektivitas yang mendukung industri hasil tembakau.
|
||||||
(3)
|
Program pembinaan lingkungan sosial untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c angka 1 meliputi kegiatan:
|
|||||||
|
a.
|
pemberian bantuan; dan
|
||||||
|
b.
|
peningkatan keterampilan kerja.
|
||||||
(4)
|
Program pembinaan lingkungan sosial untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada:
|
|||||||
|
a.
|
buruh tani tembakau;
|
||||||
|
b.
|
buruh pabrik rokok termasuk yang terkena pemutusan hubungan kerja; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
anggota masyarakat lainnya termasuk petani cengkeh dan buruh tani cengkeh.
|
||||||
(5)
|
Kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bantuan langsung tunai;
|
||||||
|
b.
|
bantuan pembayaran iuran jaminan perlindungan produksi tembakau bagi petani tembakau; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
pembayaran iuran jaminan perlindungan sosial ketenagakerjaan.
|
||||||
(6)
|
Kegiatan peningkatan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelatihan keterampilan kerja;
|
||||||
|
b.
|
bantuan modal usaha berupa barang;
|
||||||
|
c.
|
bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana produksi kepada petani tembakau dalam rangka diversifikasi tanaman; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana pertanian kepada anggota masyarakat lainnya termasuk petani cengkeh dan buruh tani cengkeh.
|
||||||
(7)
|
Program peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), program pembinaan lingkungan sosial untuk bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana produksi kepada petani tembakau dalam rangka diversifikasi tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c, dan program pembinaan lingkungan sosial untuk bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana pertanian kepada anggota masyarakat lainnya termasuk petani cengkeh dan buruh tani cengkeh sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dan dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
|
|||||||
(8)
|
Program pembinaan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian dan dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
|
|||||||
(9)
|
Pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah minimal dengan mempertimbangkan:
|
|||||||
|
a.
|
kriteria penerima bantuan;
|
||||||
|
b.
|
besaran bantuan; dan
|
||||||
|
c.
|
jangka waktu pemberian bantuan.
|
||||||
(10)
|
Pelaksanaan kegiatan peningkatan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a ditetapkan oleh Pemerintah Daerah minimal dengan mempertimbangkan:
|
|||||||
|
a.
|
kriteria peserta pelatihan; dan
|
||||||
|
b.
|
jenis pelatihan.
|
||||||
(11)
|
Pelaksanaan kegiatan peningkatan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, minimal dengan mempertimbangkan:
|
|||||||
|
a.
|
kriteria penerima bantuan; dan
|
||||||
|
b.
|
jenis bantuan.
|
||||||
(12)
|
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan Daerah dan/atau ketentuan dari kementerian/lembaga terkait dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah serta mempertimbangkan asas keadilan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Bidang Penegakan Hukum
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Program pembinaan industri untuk mendukung bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2 meliputi kegiatan pengawasan kepemilikan mesin pelinting sigaret.
|
|||||||
(2)
|
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Program sosialisasi ketentuan di bidang cukai untuk mendukung bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi kegiatan penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai kepada masyarakat dan/atau pemangku kepentingan.
|
|||||||
(2)
|
Penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan forum tatap muka dan/atau reklame/iklan pada media komunikasi sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
media cetak seperti koran, majalah, brosur, poster, stiker, baliho, dan spanduk;
|
||||||
|
b.
|
media elektronik seperti radio, televisi, dan videotron; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
media dalam jaringan seperti laman dan media sosial.
|
||||||
(3)
|
Penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus jelas, mudah dibaca, dan dominan.
|
|||||||
(4)
|
Anggaran program sosialisasi ketentuan di bidang cukai untuk mendukung bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 40% (empat puluh persen) dari anggaran DBH CHT bidang penegakan hukum yang dianggarkan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Program pemberantasan barang kena cukai ilegal untuk mendukung bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi kegiatan:
|
|||||||
|
a.
|
pengumpulan informasi peredaran barang kena cukai ilegal meliputi hasil tembakau yang:
|
||||||
|
|
1.
|
dilekati pita cukai palsu;
|
|||||
|
|
2.
|
tidak dilekati pita cukai;
|
|||||
|
|
3.
|
dilekati pita cukai yang bukan haknya atau salah personalisasi;
|
|||||
|
|
4.
|
dilekati pita cukai yang salah peruntukan; dan /atau
|
|||||
|
|
5.
|
dilekati pita cukai bekas,
|
|||||
|
|
di peredaran atau tempat penjualan eceran;
|
||||||
|
b.
|
operasi bersama pemberantasan barang kena cukai ilegal dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan sarana pendukung kegiatan pemberantasan barang kena cukai ilegal;
|
||||||
|
d.
|
peningkatan kapasitas pelaksana kegiatan pemberantasan barang kena cukai ilegal; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
penyimpanan sementara barang hasil operasi bersama pemberantasan barang kena cukai ilegal.
|
||||||
(2)
|
Kegiatan pengumpulan informasi peredaran barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
perjalanan dinas di wilayah Pemerintah Daerah;
|
||||||
|
b.
|
sewa kendaraan per kegiatan; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
pembelian sampel rokok ilegal.
|
||||||
(3)
|
Kegiatan operasi bersama pemberantasan barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pembentukan tim satuan tugas;
|
||||||
|
b.
|
honororarium berdasarkan pelaksanaan kegiatan;
|
||||||
|
c.
|
perjalanan dinas di wilayah Pemerintah Daerah; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
sewa kendaraan untuk operasi dan pengangkutan hasil operasi per kegiatan.
|
||||||
(4)
|
Kepala Daerah menyampaikan informasi peredaran barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui sistem aplikasi terintegrasi.
|
|||||||
(5)
|
Kegiatan operasi bersama pemberantasan barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pendanaannya diutamakan untuk mendukung operasional kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan instansi terkait yang mendukung tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||||||
(6)
|
Kegiatan penyediaan sarana pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai daftar sarana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
(7)
|
Penyimpanan sementara barang hasil operasi bersama pemberantasan barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membahas dan menyepakati kegiatan di bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8.
|
|||||||
(2)
|
Dalam membahas dan menyepakati kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berpedoman pada petunjuk teknis kegiatan penegakan hukum dalam rangka penggunaan DBH CHT.
|
|||||||
(3)
|
Hasil pembahasan dan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam notula yang ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah Daerah dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||||||
(4)
|
Notula sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
(5)
|
Petunjuk teknis kegiatan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Bidang Kesehatan
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Program pembinaan lingkungan sosial untuk mendukung bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c angka 2 meliputi kegiatan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan baik kegiatan promotif/preventif, maupun kuratif/rehabilitatif dengan prioritas mendukung upaya:
|
||||||
|
|
1.
|
penurunan angka prevalensi merokok meliputi:
|
|||||
|
|
|
a)
|
kampanye, sosialisasi, dan edukasi bahaya merokok;
|
||||
|
|
|
b)
|
penerapan kawasan tanpa rokok;
|
||||
|
|
|
c)
|
upaya berhenti merokok;
|
||||
|
|
|
d)
|
survei konsumsi produk tembakau; dan/atau
|
||||
|
|
|
e)
|
pengendalian iklan, promosi dan sponsor produk tembakau dan rokok elektronik.
|
||||
|
|
2.
|
percepatan penurunan angka prevalensi stunting;
|
|||||
|
|
3.
|
peningkatan vaksinasi dan imunisasi;
|
|||||
|
|
4.
|
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak di bawah 5 (lima) tahun;
|
|||||
|
|
5.
|
penanggulangan dan penanganan penyakit paru, saluran pernapasan, dan kanker akibat merokok; dan/atau
|
|||||
|
|
6.
|
pencegahan dan penanggulangan infeksi dan resistensi antimikroba;
|
|||||
|
b.
|
penyediaan/peningkatan sarana/prasarana fasilitas kesehatan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan/peningkatan sarana/prasarana fasilitas sanitasi, pengelolaan limbah, dan air bersih pada fasilitas kesehatan;
|
||||||
|
d.
|
pembayaran iuran jaminan kesehatan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah termasuk pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja;
|
||||||
|
e.
|
pelatihan tenaga kesehatan dan/atau tenaga administratif pada fasilitas kesehatan; dan/atau
|
||||||
|
f.
|
pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran kader.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan/peningkatan sarana/prasarana fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pengadaan;
|
||||||
|
b.
|
pembangunan baru;
|
||||||
|
c.
|
penambahan ruangan;
|
||||||
|
d.
|
rehabilitasi bangunan;
|
||||||
|
e.
|
pemeliharaan bangunan/peralatan;
|
||||||
|
f.
|
kalibrasi/sertifikasi/akreditasi; dan/atau
|
||||||
|
g.
|
pembelian suku cadang.
|
||||||
(3)
|
Penyediaan/peningkatan sarana/prasarana fasilitas sanitasi, pengelolaan limbah, dan air bersih pada fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pengadaan;
|
||||||
|
b.
|
pembangunan baru;
|
||||||
|
c.
|
rehabilitasi;
|
||||||
|
d.
|
pemeliharaan; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
pembelian suku cadang.
|
||||||
(4)
|
Pengadaan dalam rangka penyediaan/peningkatan sarana/prasarana fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
obat-obatan, bahan habis pakai, bahan kimia atau reagen;
|
||||||
|
b.
|
alat kesehatan;
|
||||||
|
c.
|
sarana transportasi rujukan berupa ambulans; dan/atau peralatan; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
sarana operasional yang dapat dipindahkan untuk pelayanan kesehatan baik yang promotif, preventif, maupun kuratif/rehabilitatif.
|
||||||
(5)
|
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan/atau kementerian/lembaga terkait dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Proporsi Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dianggarkan berdasarkan pagu alokasi DBH CHT pada tahun anggaran berjalan ditambah Sisa DBH CHT dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
sebesar 50% (lima puluh persen) untuk bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b angka 1, dan huruf c angka 1;
|
||||||
|
b.
|
sebesar 10% (sepuluh persen) untuk bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2, dan huruf d; dan
|
||||||
|
c.
|
sebesar 40% (empat puluh persen) untuk bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c angka 2.
|
||||||
(2)
|
Penganggaran DBH CHT sebesar 50% (lima puluh persen) untuk bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
20% (dua puluh persen) untuk:
|
||||||
|
|
1.
|
program peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
|
|||||
|
|
2.
|
program pembinaan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); dan/atau
|
|||||
|
|
3.
|
program pembinaan lingkungan sosial untuk kegiatan peningkatan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b; dan
|
|||||
|
b.
|
30% (tiga puluh persen) untuk program pembinaan lingkungan sosial pada kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a.
|
||||||
(3)
|
Persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibulatkan ke satuan persentase terdekat dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
dalam hal angka yang terletak di belakang koma lebih kecil dari 0,5 (nol koma lima), angka tersebut dibulatkan ke bawah; dan
|
||||||
|
b.
|
dalam hal angka yang terletak di belakang koma lebih besar atau sama dengan 0,5 (nol koma lima), angka tersebut dibulatkan ke atas menjadi 1 satuan.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan di bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk:
|
|||||||
|
a.
|
bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
|
||||||
(5)
|
Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan di bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk:
|
|||||||
|
a.
|
bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
|
||||||
|
b.
|
bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
kegiatan pendukung pengelolaan DBH CHT.
|
||||||
(6)
|
Kegiatan pendukung pengelolaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
koordinasi dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi DBH CHT;
|
||||||
|
b.
|
verifikasi dan validasi data; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
pemberian honorarium yang melekat pada kegiatan.
|
||||||
(7)
|
Kegiatan pendukung pengelolaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak termasuk belanja modal.
|
|||||||
(8)
|
Kegiatan pendukung pengelolaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling tinggi 3% (tiga persen) dari total alokasi DBH CHT dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) untuk provinsi dan Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) untuk kabupaten/kota.
|
|||||||
(9)
|
Kegiatan pendukung pengelolaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan Daerah dan/atau ketentuan dari kementerian/lembaga terkait dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah serta mempertimbangkan asas keadilan.
|
|||||||
(10)
|
Dalam hal provinsi/kabupaten/kota menerima alokasi DBH CHT kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), penggunaan DBH CHT sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan proporsi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Kepala Daerah menyusun konsep RKP DBH CHT berdasarkan rincian alokasi DBH CHT provinsi/kabupaten/kota.
|
|||||||
(2)
|
Konsep RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
|
|||||||
|
a.
|
pagu alokasi DBH CHT;
|
||||||
|
b.
|
Sisa DBH CHT;
|
||||||
|
c.
|
rincian kegiatan;
|
||||||
|
d.
|
target keluaran kegiatan; dan
|
||||||
|
e.
|
rincian pendanaan kegiatan.
|
||||||
(3)
|
Konsep RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Gubernur mengoordinasikan pembahasan bersama bupati/wali kota berdasarkan konsep RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(5)
|
Konsep RKP DBH CHT yang telah dibahas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi bahan pembahasan yang dikoordinasikan oleh gubernur bersama bupati/wali kota dan kementerian/lembaga terkait paling lambat bulan November pada tahun sebelum pelaksanaan kegiatan.
|
|||||||
(6)
|
Hasil pembahasan konsep RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam berita acara hasil pembahasan yang ditandatangani oleh perwakilan dari:
|
|||||||
|
a.
|
Pemerintah dan provinsi untuk RKP DBH CHT provinsi; atau
|
||||||
|
b.
|
Pemerintah, kabupaten/kota, dan provinsi untuk RKP DBH CHT kabupaten/kota.
|
||||||
(7)
|
Gubernur mengoordinasikan penyusunan dan penandatanganan berita acara hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diperlukan penyesuaian konsep RKP DBH CHT, Kepala Daerah melakukan penyesuaian konsep RKP DBH CHT sebelum menetapkan RKP DBH CHT.
|
|||||||
(9)
|
Dalam hal berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diperlukan penyesuaian konsep RKP DBH CHT, Kepala Daerah menetapkan RKP DBH CHT.
|
|||||||
(10) | RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (8) atau ayat (9) menjadi dasar penganggaran DBH CHT dalam dokumen penganggaran Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan. | |||||||
(11)
|
Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan materiel atas kegiatan DBH CHT yang tercantum dalam RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (10).
|
|||||||
(12)
|
RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dan berita acara hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
(13)
|
Dalam hal daerah menerima alokasi DBH CHT kurang dari Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10), Kepala Daerah tidak diwajibkan menyusun konsep RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menetapkan RKP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Kepala Daerah menyusun laporan realisasi penggunaan DBH CHT sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
(2)
|
Bupati/wali kota menyampaikan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada gubernur dan Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
laporan tahun anggaran sebelumnya diterima paling lambat pada minggu ketiga bulan Januari tahun anggaran berikutnya; dan
|
||||||
|
b.
|
laporan semester pertama tahun anggaran berjalan diterima paling lambat pada minggu ketiga bulan Juli.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal kabupaten/kota menerima alokasi DBH CHT kurang dari Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10), bupati/walikota menyampaikan laporan realisasi penggunaan DBH CHT tahun anggaran sebelumnya paling lambat pada hari kerja terakhir bulan Januari tahun anggaran berikutnya kepada gubernur dan Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Gubernur menyusun laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT setiap semester berdasarkan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
(2)
|
Gubernur menyampaikan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan:
|
|||||||
|
a.
|
Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
|
||||||
|
b.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian melalui Direktur Jenderal Perkebunan;
|
||||||
|
c.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian melalui Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional dan Direktur Jenderal Industri Agro;
|
||||||
|
d.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan melalui Sekretaris Jenderal; dan
|
||||||
|
e.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri melalui Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah.
|
||||||
(3)
|
Penyampaian laporan realisasi penggunaan DBH CHT dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
laporan tahun anggaran sebelumnya diterima paling lambat pada minggu pertama bulan Februari tahun anggaran berikutnya; dan
|
||||||
|
b.
|
laporan semester pertama tahun anggaran berjalan diterima paling lambat pada minggu pertama bulan Agustus.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal provinsi menerima alokasi DBH CHT kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10), gubernur menyampaikan:
|
|||||||
|
a.
|
laporan realisasi penggunaan DBH CHT tahun anggaran sebelumnya; dan
|
||||||
|
b.
|
laporan konsolidasi penggunaan DBH CHT tahun anggaran sebelumnya.
|
||||||
(5)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan paling lambat minggu pertama bulan Februari tahun anggaran berikutnya, kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan:
|
|||||||
|
a.
|
Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
|
||||||
|
b.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian melalui Direktur Jenderal Perkebunan;
|
||||||
|
c.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian melalui Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional dan Direktur Jenderal Industri Agro;
|
||||||
|
d.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan melalui Sekretaris Jenderal; dan
|
||||||
|
e.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri melalui Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Gubernur melakukan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH CHT berdasarkan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pertanian, kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perindustrian, kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang kesehatan, dan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang dalam negeri sesuai dengan kewenangannya masing-masing melakukan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH CHT berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
laporan realisasi penggunaan DBH CHT untuk provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
|
||||||
|
b.
|
laporan realisasi penggunaan DBH CHT untuk kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2); dan
|
||||||
|
c.
|
laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
|
||||||
(3)
|
Pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk mengetahui:
|
|||||||
|
a.
|
kepatuhan dalam penyampaian laporan realisasi penggunaan DBH CHT;
|
||||||
|
b.
|
kesesuaian proporsi alokasi penggunaan untuk tiap-tiap bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
|
||||||
|
c.
|
kesesuaian penggunaan untuk kegiatan pada tiap-tiap bidang;
|
||||||
|
d.
|
kesesuaian capaian keluaran antara RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (10) dengan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); dan/atau
|
||||||
|
e.
|
besaran Sisa DBH CHT yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah.
|
||||||
(4)
|
Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat berkoordinasi dengan provinsi dan/atau instansi/unit terkait.
|
|||||||
(5)
|
Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk bahan perumusan kebijakan dan pembinaan kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Pemantauan dan evaluasi untuk mengetahui besaran Sisa DBH CHT yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf e dilakukan melalui rekonsiliasi antara Pemerintah Daerah dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
|
|||||||
(2)
|
Hasil rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang ditandatangani oleh perwakilan dari Pemerintah Daerah dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
|
|||||||
(3)
|
Gubernur mengoordinasikan pelaksanaan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penandatanganan berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung Sisa DBH CHT berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
|
|||||||
(5)
|
Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan Sisa DBH CHT berdasarkan berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada gubernur paling lambat pada hari kerja terakhir bulan Mei tahun anggaran berjalan.
|
|||||||
(6)
|
Pemerintah Daerah menganggarkan kembali Sisa DBH CHT pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya berdasarkan berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau surat pemberitahuan Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah menganggarkan kembali sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan/atau penambahan kegiatan baru dalam perubahan RKP DBH CHT.
|
|||||||
(2)
|
Perubahan RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 1 (satu) kali dalam tahun anggaran berjalan paling cepat bulan Juni dan paling lambat bulan September tahun anggaran berjalan.
|
|||||||
(3)
|
Kepala Daerah menyusun konsep perubahan RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Gubernur mengoordinasikan pembahasan bersama bupati/wali kota berdasarkan konsep perubahan RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||||
(5)
|
Konsep perubahan RKP DBH CHT yang telah dibahas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi bahan pembahasan yang dikoordinasikan oleh gubernur bersama bupati/wali kota dan kementerian/lembaga terkait.
|
|||||||
(6)
|
Hasil pembahasan konsep perubahan RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam berita acara hasil pembahasan yang ditandatangani oleh perwakilan dari:
|
|||||||
|
a.
|
Pemerintah dan provinsi untuk perubahan RKP DBH CHT provinsi; atau
|
||||||
|
b.
|
Pemerintah, kabupaten/kota, dan provinsi untuk perubahan RKP DBH CHT kabupaten/kota.
|
||||||
(7)
|
Gubernur mengoordinasikan penyusunan dan penandatanganan berita acara hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diperlukan penyesuaian konsep perubahan RKP DBH CHT, Kepala Daerah melakukan penyesuaian konsep perubahan RKP DBH CHT sebelum menetapkan RKP perubahan.
|
|||||||
(9)
|
Dalam hal berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diperlukan penyesuaian konsep perubahan RKP DBH CHT, Kepala Daerah menetapkan RKP perubahan DBH CHT.
|
|||||||
(10)
|
RKP perubahan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (8) atau ayat (9) menjadi dasar perubahan penganggaran DBH CHT dalam dokumen penganggaran daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(11)
|
Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan materiel atas kegiatan DBH CHT yang tercantum dalam RKP Perubahan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (10).
|
|||||||
(12)
|
Dalam hal dilakukan perubahan RKP DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH CHT pada kesesuaian capaian keluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d menggunakan RKP perubahan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (10).
|
|||||||
(13)
|
Berita acara hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan RKP perubahan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (10) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18 |
||||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penggunaan, pemantauan, dan evaluasi DBH CHT tahun anggaran 2024 dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1513).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19 |
||||||||
Peraturan Menteri ini tetap berlaku, sepanjang penggunaan DBH CHT diatur dalam Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1513), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Oktober 2024 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2024 PLT. DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ASEP N. MULYANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 762 |