Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||||||
|
|
|
|
|
||||
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement);
|
|||||||
b.
|
bahwa mengingat ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum sepenuhnya sesuai dengan standar minimum dalam Rencana Aksi Nomor 14 Proyek OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) serta untuk menyempurnakan ketentuan dimaksud agar lebih efektif dan memberikan kepastian hukum terutama terkait penentuan harga transfer, prosedur, jangka waktu, dan tindak lanjut permohonan pelaksanaan kesepakatan harga transfer, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement);
|
|||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement);
|
|||||||
|
|
|||||||
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||||||
4.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
|
|||||||
|
|
|||||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT).
|
||||||||
|
||||||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disingkat P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
|
|||||||
2.
|
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut Mitra P3B adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam P3B.
|
|||||||
3.
|
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.
|
|||||||
4.
|
Pejabat Berwenang (Competent Authority) terkait pelaksanaan MAP yang selanjutnya disebut Pejabat Berwenang adalah pejabat di Indonesia atau pejabat di Mitra P3B yang berwenang untuk melaksanakan MAP sebagaimana diatur dalam P3B.
|
|||||||
5.
|
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara:
|
|||||||
|
a.
|
Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak pemerintah Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak,
|
||||||
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.
|
|||||||
6.
|
Harga Transfer adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
|
|||||||
7.
|
Naskah APA adalah dokumen yang berisi kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri mengenai kriteria-kriteria dalam penentuan Harga Transfer dan penentuan Harga Transfer di muka sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha selama Periode APA serta Roll-back.
|
|||||||
8.
|
Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh Pejabat Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan Pejabat Berwenang dari pemerintah Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
|
|||||||
9.
|
APA Unilateral adalah APA antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri.
|
|||||||
10.
|
APA Bilateral adalah APA antara Pejabat Berwenang Indonesia dan Pejabat Berwenang Mitra P3B yang dilaksanakan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam negeri.
|
|||||||
11.
|
Periode APA adalah tahun pajak yang dicakup di dalam APA sesuai permohonan Wajib Pajak dalam negeri atau sesuai Persetujuan Bersama paling lama 5 (lima) tahun pajak setelah tahun pajak diajukannya permohonan APA.
|
|||||||
12.
|
Roll-back adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam APA untuk tahun-tahun pajak sebelum Periode APA.
|
|||||||
13.
|
Pihak Afiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan istimewa satu sama lain.
|
|||||||
14.
|
Transaksi Afiliasi adalah transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan Pihak Afiliasi.
|
|||||||
15.
|
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa adalah transaksi yang meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Transaksi Afiliasi; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
transaksi yang dilakukan antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi.
|
||||||
16.
|
Transaksi Independen adalah transaksi yang dilakukan antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dan tidak dipengaruhi hubungan istimewa.
|
|||||||
17.
|
Penentuan Harga Transfer atau Transfer Pricing yang selanjutnya disebut Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam Transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
|
|||||||
18.
|
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang Tidak Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa (arm's length principle/ALP) yang selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan sebagaimana Transaksi Independen.
|
|||||||
19.
|
Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak sebagai dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Penentuan Harga Transfer yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 2 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
inisiatif Wajib Pajak, berupa permohonan APA Unilateral atau APA Bilateral; atau
|
||||||
|
b.
|
pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan APA Bilateral yang diajukan wajib pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B.
|
||||||
(2)
|
APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode APA dan Roll-back dalam hal Wajib Pajak meminta Roll-back dalam Permohonan APA.
|
|||||||
(3)
|
Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa Transaksi Afiliasi antara Wajib Pajak dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya dan/atau dengan Wajib Pajak luar negeri.
|
|||||||
(4)
|
Roll-back sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:
|
|||||||
|
a.
|
fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang telah disepakati dalam APA;
|
||||||
|
b.
|
belum daluwarsa penetapan;
|
||||||
|
c.
|
belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan Badan; dan
|
||||||
|
d.
|
tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan.
|
||||||
(5)
|
APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa kesepakatan:
|
|||||||
|
a.
|
kriteria-kriteria dalam Penentuan Harga Transfer; dan
|
||||||
|
b.
|
Penentuan Harga Transfer dimuka,
|
||||||
|
untuk Periode APA dan Roll-back dalam hal Wajib Pajak meminta Roll-back dalam Permohonan APA.
|
|||||||
(6)
|
Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a paling sedikit memuat:
|
|||||||
|
a.
|
identitas Pihak Afiliasi yang dicakup dalam APA;
|
||||||
|
b.
|
Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam APA;
|
||||||
|
c.
|
metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan;
|
||||||
|
d.
|
cara penerapan metode Penentuan Harga Transfer yang disepakati; dan
|
||||||
|
e.
|
asumsi kritis (critical assumptions) yang mempengaruhi Penentuan Harga Transfer.
|
||||||
(7)
|
Asumsi kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf e paling sedikit memuat:
|
|||||||
|
a.
|
ketentuan kontraktual tertulis dan tidak tertulis terkait Transaksi Afiliasi;
|
||||||
|
b.
|
fungsi yang dilakukan masing-masing pihak yang bertransaksi, aktiva yang digunakan dan risiko yang diasumsikan terjadi dan ditanggung oleh para pihak tersebut;
|
||||||
|
c.
|
karakteristik transaksi dan karakteristik para pihak yang melakukan Transaksi Afiliasi; dan
|
||||||
|
d.
|
kondisi ekonomi yang mempengaruhi Penentuan Harga Transfer.
|
||||||
(8)
|
Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai kondisi yang telah terjadi dan yang diperkirakan akan terjadi selama Periode APA.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat kesepakatan dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan Pejabat Berwenang Mitra P3B untuk menentukan harga transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk mengawasi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
|
|||||||
(3)
|
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan dan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
|
|||||||
|
a.
|
kepemilikan atau penyertaan modal;
|
||||||
|
b.
|
penguasaan; atau
|
||||||
|
c.
|
hubungan keluarga sedarah atau semenda.
|
||||||
(2)
|
Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan satu atau lebih pihak:
|
|||||||
|
a.
|
mengendalikan pihak yang lain; atau
|
||||||
|
b.
|
tidak berdiri bebas,
|
||||||
|
dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
|
|||||||
(3)
|
Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dianggap ada apabila:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; atau
|
||||||
|
b.
|
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
|
||||||
(4)
|
Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dianggap ada apabila:
|
|||||||
|
a.
|
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
|
||||||
|
b.
|
dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
|
||||||
|
c.
|
terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
|
||||||
|
d.
|
para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau
|
||||||
|
e.
|
satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
|
||||||
(5)
|
Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dianggap ada apabila terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
|
|||||||
|
|
|
||||||
BAB II
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN APA Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat mengajukan permohonan APA sepanjang:
|
|||||||
|
a.
|
telah memenuhi kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan untuk 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak diajukannya permohonan APA;
|
||||||
|
b.
|
telah diwajibkan dan telah memenuhi kewajiban untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa dokumen induk dan dokumen lokal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan untuk 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak diajukannya permohonan APA;
|
||||||
|
c.
|
tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana atau tidak sedang menjalani pidana di bidang perpajakan;
|
||||||
|
d.
|
Transaksi Afiliasi dan Pihak Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam permohonan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) merupakan Transaksi Afiliasi dengan Pihak Afiliasi yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
|
||||||
|
e.
|
usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan APA dibuat berdasarkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil daripada laba operasi yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
|
||||||
(2)
|
Wajib Pajak dalam negeri yang mengajukan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
|
|||||||
(3)
|
Pengajuan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengisi secara benar, lengkap, dan jelas formulir permohonan APA sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
|
||||||
|
b.
|
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam:
|
||||||
|
|
1.
|
akta pendirian; atau
|
|||||
|
|
2.
|
akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus;
|
|||||
|
c.
|
diajukan dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebelum dimulainya Periode APA; dan
|
||||||
|
d.
|
dilampiri dengan:
|
||||||
|
|
1.
|
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses APA; dan
|
|||||
|
|
2.
|
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melaksanakan kesepakatan APA.
|
|||||
(4)
|
Penyampaian permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan:
|
|||||||
|
a.
|
secara langsung; atau
|
||||||
|
b.
|
melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
||||||
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
|||||||
(6)
|
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tanggal penerimaan permohonan APA.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Atas permohonan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:
|
|||||||
|
a.
|
kelengkapan pemenuhan persyaratan pengajuan permohonan APA berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan
|
||||||
|
b.
|
pemenuhan ketentuan Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
|
||||||
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis dapat atau tidak dapat ditindaklanjutinya permohonan APA kepada:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat Berwenang Mitra P3B, dalam hal permohonan APA Bilateral,
|
||||||
|
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6).
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dapat ditindaklanjuti.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal pemberitahuan permohonan APA Bilateral kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B tidak mendapatkan jawaban tertulis dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan sejak tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses APA kepada:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan APA; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat Berwenang Mitra P3B.
|
||||||
(5)
|
Atas permohonan APA yang dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan permohonan APA secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan salinan digital (softcopy) paling lama 2 (dua) bulan setelah:
|
|||||||
|
a.
|
tanggal pemberitahuan bahwa permohonan APA dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
|
||||||
|
b.
|
berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||||
(6)
|
Kelengkapan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit berupa:
|
|||||||
|
a.
|
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan APA;
|
||||||
|
b.
|
Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan APA; dan
|
||||||
|
c.
|
dokumen yang berisi penjelasan rinci atas penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk setiap Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam APA dalam bahasa Indonesia.
|
||||||
(7)
|
Penjelasan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
(8)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian kelengkapan permohonan APA secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||||||
(9)
|
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan kelengkapan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan tanggal penerimaan kelengkapan permohonan APA.
|
|||||||
(10)
|
Dalam hal kelengkapan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses APA kepada:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat Berwenang Mitra P3B, dalam hal Permohonan APA Bilateral.
|
||||||
(11)
|
Dalam hal permohonan APA tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan APA dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (10), Wajib Pajak dapat mengajukan kembali permohonan APA sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3).
|
|||||||
|
|
|||||||
BAB III
TATA CARA PENYELESAIAN PERMOHONAN APA Bagian Kesatu Pengujian Material Penyelesaian Permohonan APA
|
||||||||
(1)
|
Atas permohonan APA yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan pengujian material.
|
|||||||
(2)
|
Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
|
|||||||
|
a.
|
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan permohonan APA Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi;
|
||||||
|
c.
|
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak;
|
||||||
|
d.
|
meminta tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Wajib Pajak; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
meminta data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal diperlukan untuk pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan pemeriksaan untuk tujuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||||
(4)
|
Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
|
|||||||
|
a.
|
belum pernah dilakukan pemeriksaan terkait Penentuan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak diajukannya permohonan APA; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
mengajukan permintaan Roll-back dalam Permohonan APA.
|
||||||
(5)
|
Pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
|
|||||||
|
|
|||||||
Bagian Kedua
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) diterapkan untuk menentukan Harga Transfer wajar.
|
|||||||
(2)
|
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan dengan membandingkan kondisi dan indikator harga Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dengan kondisi dan indikator harga Transaksi Independen yang sebanding.
|
|||||||
(3)
|
Indikator harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa harga transaksi, laba kotor (gross profit), atau laba operasi bersih (net operating profit) berdasarkan nilai absolut atau nilai rasio tertentu.
|
|||||||
(4)
|
Harga Transfer disebut memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal nilai indikator Harga Transfer sama dengan nilai indikator harga Transaksi Independen yang sebanding.
|
|||||||
(5)
|
Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
titik kewajaran (arm's length point); atau
|
||||||
|
b.
|
titik di dalam rentang kewajaran (arm's length range).
|
||||||
(6)
|
Titik kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a merupakan titik indikator harga yang terbentuk dari satu atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang sama.
|
|||||||
(7)
|
Rentang kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b merupakan rentang indikator harga yang terbentuk dari dua atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang berbeda, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
nilai minimum sampai dengan nilai maksimum (full range), dalam hal terbentuk dari dua pembanding; atau
|
||||||
|
b.
|
nilai kuartil satu sampai dengan nilai kuartil tiga (interquartile range), dalam hal terbentuk dari tiga atau lebih pembanding.
|
||||||
(8)
|
Dalam hal Harga Transfer tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan Harga Transfer dilakukan sebagaimana penentuan harga dalam Transaksi Independen dengan menggunakan:
|
|||||||
|
a.
|
titik kewajaran;
|
||||||
|
b.
|
titik yang paling tepat di dalam rentang kewajaran sesuai kesebandingannya; atau
|
||||||
|
c.
|
titik tengah (median) di dalam rentang kewajaran, dalam hal tidak dapat ditentukan titik paling tepat sebagaimana dimaksud pada huruf b.
|
||||||
|
|
|
||||||
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) wajib dilakukan:
|
|||||||
|
a.
|
berdasarkan keadaan yang sebenarnya;
|
||||||
|
b.
|
pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau saat terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa; dan
|
||||||
|
c.
|
sesuai dengan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
|
||||||
(2)
|
Tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
mengidentifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi;
|
||||||
|
b.
|
melakukan analisis industri yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut;
|
||||||
|
c.
|
mengidentifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan para Pihak Afiliasi dengan melakukan analisis atas kondisi transaksi;
|
||||||
|
d.
|
melakukan analisis kesebandingan;
|
||||||
|
e.
|
menentukan metode Penentuan Harga Transfer; dan
|
||||||
|
f.
|
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dan menentukan harga wajar atas Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
|
||||||
|
|
|
||||||
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Kondisi transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) merupakan karakteristik ekonomi yang relevan untuk menentukan Harga Transfer wajar, seperti:
|
|||||||
|
a.
|
ketentuan kontraktual, baik tertulis atau tidak tertulis;
|
||||||
|
b.
|
fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung oleh masing-masing pihak yang bertransaksi;
|
||||||
|
c.
|
karakteristik produk (barang atau jasa) yang ditransaksikan;
|
||||||
|
d.
|
keadaan ekonomi; dan
|
||||||
|
e.
|
strategi bisnis yang dijalankan para pihak yang bertransaksi.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan ketentuan yang dilaksanakan dan/atau berlaku bagi para pihak yang bertransaksi sesuai keadaan yang sebenarnya, baik secara tertulis atau tidak tertulis.
|
|||||||
(3)
|
Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aktivitas dan/atau tanggung jawab pihak-pihak yang bertransaksi dalam menjalankan kegiatan usaha.
|
|||||||
(4)
|
Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aset berwujud, aset tidak berwujud, aset keuangan, dan/atau aset non-keuangan yang berpengaruh dalam pembentukan nilai (value creation), termasuk akses dan tingkat penguasaan pasar di Indonesia.
|
|||||||
(5)
|
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dampak dari ketidakpastian dalam mencapai tujuan usaha yang ditanggung pihak-pihak yang bertransaksi.
|
|||||||
(6)
|
Karakteristik produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan karakteristik spesifik dari barang atau jasa yang secara signifikan mempengaruhi penetapan harga dalam pasar terbuka.
|
|||||||
(7)
|
Keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan karakteristik ekonomi dari tempat usaha dan pasar dari para pihak yang bertransaksi.
|
|||||||
(8)
|
Strategi bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan strategi yang dijalankan perusahaan dalam menjalankan usaha di pasar terbuka.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal terdapat dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain dalam penentuan Harga Transfer sehingga penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha secara terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan secara andal dan akurat, penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dapat dilakukan dengan menggabungkan dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Transaksi Independen sebanding dengan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) sepanjang:
|
|||||||
|
a.
|
kondisi Transaksi Independen sama atau serupa dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji;
|
||||||
|
b.
|
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji, tetapi perbedaan kondisi tersebut tidak mempengaruhi penentuan harga; atau
|
||||||
|
c.
|
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan perbedaan kondisi tersebut mempengaruhi penentuan harga, tetapi penyesuaian yang akurat dapat dilakukan secara memadai terhadap Transaksi Independen untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi tersebut terhadap penentuan harga.
|
||||||
(2)
|
Untuk menentukan kesebandingan Transaksi Independen dan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan analisis kesebandingan atas kondisi transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
|
|||||||
(3)
|
Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
memahami karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sedang diuji berdasarkan hasil identifikasi hubungan komersial dari/atau keuangan antara Wajib Pajak dengan Pihak Afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c dan menentukan karakteristik usaha masing-masing pihak yang bertransaksi;
|
||||||
|
b.
|
mengidentifikasi keberadaan Transaksi Independen yang menjadi calon pembanding yang andal;
|
||||||
|
c.
|
menentukan pihak yang diuji indikator harga transfernya dalam hal metode yang digunakan adalah metode yang berbasis laba sesuai penggunaan Metode Penentuan Harga Transfer;
|
||||||
|
d.
|
mengidentifikasi perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan calon pembanding;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penyesuaian yang akurat secara layak atas calon pembanding untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi sebagaimana dimaksud pada huruf d terhadap indikator harga transaksi; dan
|
||||||
|
f.
|
menentukan Transaksi Independen yang menjadi pembanding terpilih.
|
||||||
(4)
|
Pihak yang diuji sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pihak dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang memiliki fungsi, aset, dan risiko yang lebih sederhana.
|
|||||||
(5)
|
Pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa pembanding internal atau pembanding eksternal.
|
|||||||
(6)
|
Pembanding internal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antara pihak yang independen dengan Wajib Pajak atau dengan Pihak Aflliasi yang merupakan lawan transaksi.
|
|||||||
(7)
|
Pembanding eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antar pihak yang independen selain pembanding internal.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal tersedia pembanding internal dan pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding internal yang dipilih dan digunakan sebagai pembanding.
|
|||||||
(9)
|
Dalam hal tersedia lebih dari satu pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding eksternal yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak yang diuji sesuai dengan Metode Penentuan Harga Transfer yang dipilih dan digunakan sebagai pembanding.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e yang digunakan dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method);
|
||||||
|
b.
|
metode harga penjualan kembali (resale price method);
|
||||||
|
c.
|
metode biaya-plus (cost plus method); dan/atau
|
||||||
|
d.
|
metode lainnya, seperti:
|
||||||
|
|
1.
|
metode pembagian laba (profit split method);
|
|||||
|
|
2.
|
metode laba bersih transaksional (transactional net margin method);
|
|||||
|
|
3.
|
metode perbandingan transaksi independen (comparable uncontrolled transaction method);
|
|||||
|
|
4.
|
metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation); atau
|
|||||
|
|
5.
|
metode dalam penilaian bisnis (business valuation).
|
|||||
(2)
|
Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih berdasarkan ketepatan dan keandalan metode, yang dinilai dari:
|
|||||||
|
a.
|
kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi;
|
||||||
|
b.
|
kelebihan dan kekurangan setiap metode yang dapat diterapkan;
|
||||||
|
c.
|
ketersediaan Transaksi Independen yang menjadi pembanding yang andal;
|
||||||
|
d.
|
tingkat kesebandingan antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding; dan
|
||||||
|
e.
|
keakuratan penyesuaian yang dibuat dalam hal terdapat perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding.
|
||||||
(3)
|
Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan membandingkan harga antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan Transaksi Independen, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
transaksi produk komoditas; dan
|
||||||
|
b.
|
transaksi barang atau jasa dengan karakteristik barang atau jasa yang sama atau serupa dengan karakteristik barang atau jasa pada Transaksi Independen dalam kondisi yang sebanding.
|
||||||
(4)
|
Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengurangkan laba kotor wajar distributor atau reseller terhadap harga jual kembali, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan distributor atau reseller yang melakukan penjualan kembali barang atau jasa kepada pihak yang independen atau kepada Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha; dan
|
||||||
|
b.
|
distributor atau reseller sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan, tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, atau tidak memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap barang atau jasa yang ditransaksikan.
|
||||||
(5)
|
Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan menambahkan laba kotor wajar pabrikan atau penyedia jasa terhadap harga pokok penjualan barang atau jasa, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan pabrikan atau penyedia jasa yang membeli bahan baku atau faktor produksi lainnya dari pihak yang independen atau dari Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha; dan
|
||||||
|
b.
|
pabrikan atau penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan dan tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
|
||||||
(6)
|
Metode pembagian laba (Profit split method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 dilakukan dengan membagi laba gabungan transaksi yang relevan berdasarkan fungsi, aset, risiko, dan/atau kontribusi para pihak di dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
para pihak yang bertransaksi memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
|
||||||
|
b.
|
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang sangat terintegrasi (highly integrated) sehingga kontribusi masing-masing pihak yang bertransaksi tidak dapat dilakukan analisis secara terpisah; atau
|
||||||
|
c.
|
para pihak yang bertransaksi saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi (share the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately assume closely related risks).
|
||||||
(7)
|
Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 2 dilakukan dengan membandingkan tingkat laba bersih operasi pihak yang diuji dengan tingkat laba bersih operasi pembanding, yang dapat dipilih sepanjang tidak tersedia pembanding di tingkat harga dan laba kotor yang andal dan sebanding dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
salah satu pihak atau para pihak yang melakukan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
|
||||||
|
b.
|
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang tidak terintegrasi (non-highly integrated); dan
|
||||||
|
c.
|
para pihak yang bertransaksi tidak saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi (not sharing of the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah tidak menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately not assuming closely related risks).
|
||||||
(8)
|
Metode perbandingan transaksi independen (comparable uncontrolled transaction) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 3 dilakukan dengan membandingkan harga/Iaba transaksi terhadap basis tertentu antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang secara komersial dinilai berdasarkan basis tertentu, antara lain tingkat suku bunga, diskonto, provisi, komisi, dan persentase royalti terhadap penjualan atau laba operasi.
|
|||||||
(9)
|
Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 4 dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang mengatur mengenai standar penilaian yang berlaku, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa antara lain sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
transaksi pengalihan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud;
|
||||||
|
b.
|
transaksi persewaan harta berwujud;
|
||||||
|
c.
|
transaksi sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
|
||||||
|
d.
|
transaksi pengalihan aset keuangan;
|
||||||
|
e.
|
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan wilayah pertambangan dan/atau hak sejenis lainnya; dan
|
||||||
|
f.
|
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan perkebunan, kehutanan, dan/atau hak sejenis lainnya.
|
||||||
(10)
|
Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang mengatur mengenai standar penilaian yang berlaku, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa antara lain sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
transaksi sehubungan dengan restrukturisasi usaha, termasuk pengalihan fungsi, aset, dan/atau risiko antar Pihak Afiliasi;
|
||||||
|
b.
|
transaksi pengalihan harta selain kas kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal (inbreng); dan
|
||||||
|
c.
|
transaksi pengalihan harta selain kas kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dari perseroan, persekutuan, atau badan lainnya.
|
||||||
(11)
|
Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan metode yang lain dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a lebih diutamakan dari pada metode yang lain.
|
|||||||
(12)
|
Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d angka 1, dan huruf d angka 2 dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau huruf c lebih diutamakan dari pada metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1, dan huruf d angka 2.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu harus dilakukan dengan tahapan pendahuluan dan tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
transaksi jasa;
|
||||||
|
b.
|
transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
|
||||||
|
c.
|
transaksi terkait biaya pinjaman;
|
||||||
|
d.
|
transaksi pengalihan harta;
|
||||||
|
e.
|
restrukturisasi usaha; dan
|
||||||
|
f.
|
kesepakatan kontribusi biaya.
|
||||||
(3)
|
Tahapan pendahuluan untuk transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi pembuktian bahwa jasa tersebut:
|
|||||||
|
a.
|
secara nyata telah diberikan oleh pemberi jasa dan diperoleh penerima jasa;
|
||||||
|
b.
|
dibutuhkan oleh penerima jasa;
|
||||||
|
c.
|
memberikan manfaat ekonomis kepada penerima jasa;
|
||||||
|
d.
|
bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham (shareholder activity);
|
||||||
|
e.
|
bukan merupakan aktivitas yang memberikan manfaat kepada suatu pihak semata-mata karena pihak tersebut menjadi bagian dari grup usaha (passive association);
|
||||||
|
f.
|
bukan merupakan duplikasi atas kegiatan yang telah dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;
|
||||||
|
g.
|
bukan merupakan jasa yang memberi manfaat insidental; dan
|
||||||
|
h.
|
dalam hal jasa siaga (on call services), bukan merupakan jasa yang dapat diperoleh segera dari pihak yang independen tanpa adanya perjanjian siaga (on call contract) terlebih dahulu.
|
||||||
(4)
|
Tahapan pendahuluan untuk transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi pembuktian atas:
|
|||||||
|
a.
|
keberadaan (eksistensi) harta tidak berwujud secara ekonomis dan secara legal;
|
||||||
|
b.
|
jenis harta tidak berwujud;
|
||||||
|
c.
|
nilai harta tidak berwujud;
|
||||||
|
d.
|
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara legal;
|
||||||
|
e.
|
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara ekonomis;
|
||||||
|
f.
|
penggunaan atau hak untuk menggunakan harta tidak berwujud;
|
||||||
|
g.
|
pihak-pihak yang berkontribusi dan melakukan aktivitas pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, proteksi, dan eksploitasi (Development, Enhancement, Maintenance, Protection, and Exploitation) atas harta tidak berwujud; dan
|
||||||
|
h.
|
manfaat ekonomis yang diperoleh pihak yang menggunakan harta tidak berwujud.
|
||||||
(5)
|
Tahapan pendahuluan untuk transaksi terkait biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi pembuktian bahwa pinjaman tersebut:
|
|||||||
|
a.
|
sesuai dengan substansi dan keadaan sebenarnya;
|
||||||
|
b.
|
dibutuhkan oleh peminjam;
|
||||||
|
c.
|
digunakan untuk mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan;
|
||||||
|
d.
|
memenuhi karakteristik pinjaman, antara lain:
|
||||||
|
|
1.
|
kreditur mengakui pinjaman secara ekonomis dan secara legal;
|
|||||
|
|
2.
|
adanya tanggal jatuh tempo pinjaman;
|
|||||
|
|
3.
|
adanya kewajiban untuk membayar kembali pokok pinjaman;
|
|||||
|
|
4.
|
adanya pembayaran pembayaran yang telah sesuai jadwal ditetapkan baik untuk pokok pinjaman dan imbal hasilnya;
|
|||||
|
|
5.
|
pada saat pinjaman diperoleh, peminjam memiliki kemampuan untuk:
|
|||||
|
|
|
a)
|
mendapatkan pinjaman dari kreditur independen; dan
|
||||
|
|
|
b)
|
membayar kembali pokok pinjaman dan imbal hasil pinjaman sebagaimana debitur independen;
|
||||
|
|
6.
|
didasarkan pada perjanjian pinjaman yang dibuat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
|||||
|
|
7.
|
adanya konsekuensi hukum apabila peminjam gagal dalam mengembalikan pokok pinjaman dan/atau imbal hasilnya; dan
|
|||||
|
|
8.
|
adanya hak tagih bagi pemberi pinjaman sebagaimana kreditur independen; dan
|
|||||
|
e.
|
memberikan manfaat ekonomis kepada penerima pinjaman.
|
||||||
(6)
|
Tahapan pendahuluan untuk transaksi pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi pembuktian atas:
|
|||||||
|
a.
|
motif, tujuan, dan alasan ekonomis (economic rationale) transaksi pengalihan harta;
|
||||||
|
b.
|
pengalihan harta sesuai dengan substansi dan keadaan yang sebenarnya;
|
||||||
|
c.
|
manfaat yang diharapkan (expected benefit) dari pengalihan harta; dan
|
||||||
|
d.
|
pengalihan harta tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia.
|
||||||
(7)
|
Tahapan pendahuluan untuk restrukturisasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e meliputi pembuktian atas:
|
|||||||
|
a.
|
motif, tujuan, dan alasan ekonomis (economic rationale) dari restrukturisasi usaha;
|
||||||
|
b.
|
restrukturisasi usaha sesuai dengan substansi dan keadaan yang sebenarnya;
|
||||||
|
c.
|
manfaat yang diharapkan (expected benefit) dari restrukturisasi usaha; dan
|
||||||
|
d.
|
restrukturisasi usaha tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia.
|
||||||
(8)
|
Tahapan pendahuluan untuk kesepakatan kontribusi biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f meliputi pembuktian bahwa kesepakatan kontribusi biaya tersebut:
|
|||||||
|
a.
|
dibuat sebagaimana kesepakatan antara pihak-pihak independen;
|
||||||
|
b.
|
dibutuhkan oleh pihak yang melakukan kesepakatan; dan
|
||||||
|
c.
|
memberikan manfaat ekonomis kepada pihak yang melakukan kesepakatan.
|
||||||
(9)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
|||||||
|
|
|||||||
Bagian Ketiga
Perundingan APA Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan APA dengan:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak, dalam hal APA Unilateral; atau
|
||||||
|
b.
|
Pejabat Berwenang Mitra P3B melalui MAP, dalam hal APA Bilateral.
|
||||||
(2)
|
Perundingan APA Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
|
|||||||
|
a.
|
dimulai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Wajib Pajak menyampaikan kelengkapan permohonan APA dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5); dan
|
||||||
|
b.
|
diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak dimulainya perundingan APA sebagaimana dimaksud pada huruf a.
|
||||||
(3)
|
Perundingan APA Bilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai MAP.
|
|||||||
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak membentuk delegasi perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(5)
|
Hasil perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan atas kriteria-kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Transfer di muka sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (5).
|
|||||||
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat tidak menyepakati APA antara lain dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Transaksi Afiliasi tidak didasari oleh motif ekonomi;
|
||||||
|
b.
|
substansi ekonomi Transaksi Afiliasi berbeda dengan bentuk formalnya;
|
||||||
|
c.
|
Transaksi Afiliasi dilakukan dengan salah satu tujuan untuk meminimisasi beban pajak;
|
||||||
|
d.
|
informasi dan/atau bukti atau keterangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya;
|
||||||
|
e.
|
informasi dan/atau bukti atau keterangan terkait dengan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d tidak dapat diperoleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 14 hari kerja sejak tanggal permintaan tertulis; dan/atau
|
||||||
|
f.
|
tahun pajak dalam Periode APA atau Harga dalam Roll-back telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan Badan.
|
||||||
(7)
|
Hasil perundingan APA dianggap berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
perundingan APA tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3); atau
|
||||||
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak menerima pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra P3B bahwa perundingan APA tidak dapat dilakukan.
|
||||||
(8)
|
Dalam hal perundingan APA menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses APA dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
(9)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perundingan APA Unilateral kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
perundingan APA Bilateral menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5); atau
|
||||||
|
b.
|
proses APA Bilateral dihentikan karena Pejabat Berwenang Mitra P3B tidak menyampaikan jawaban tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4),
|
||||||
|
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) atau dalam Pasal 6 ayat (4).
|
|||||||
(10)
|
Atas permohonan perundingan APA Unilateral yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama:
|
|||||||
|
a.
|
6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena APA Bilateral menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a; atau
|
||||||
|
b.
|
12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan disampaikan karena proses APA Bilateral dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b.
|
||||||
(11)
|
Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (10) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan APA Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
|||||||
(12)
|
Hasil perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam:
|
|||||||
|
a.
|
Naskah APA, dalam hal perundingan APA Unilateral menghasilkan kesepakatan; atau
|
||||||
|
b.
|
Persetujuan Bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur mengenai prosedur persetujuan bersama, dalam hal APA Bilateral.
|
||||||
(13)
|
Naskah APA sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
(14)
|
Atas hasil perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (12), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti:
|
|||||||
|
a.
|
Naskah APA dengan menerbitkan keputusan pemberlakuan APA dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Naskah APA ditandatangani; atau
|
||||||
|
b.
|
Persetujuan Bersama dengan menerbitkan surat keputusan pemberlakuan APA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur mengenai prosedur persetujuan bersama.
|
||||||
(15)
|
Keputusan pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (14) disampaikan kepada:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan APA; dan
|
||||||
|
b.
|
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti.
|
||||||
|
|
|
||||||
BAB IV
TATA CARA PENCABUTAN PERMOHONAN APA
|
||||||||
(1)
|
Permohonan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat diajukan pencabutan permohonan APA oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan alasan pencabutan;
|
||||||
|
b.
|
diajukan sebelum diperoleh kesepakatan;
|
||||||
|
c.
|
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam akta pendirian atau akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus; dan
|
||||||
|
d.
|
pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||
(3)
|
Pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Wajib Pajak secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional.
|
|||||||
(4)
|
Atas pencabutan permohonan APA yang diajukan, Direktur Jenderal Pajak meneliti pemenuhan persyaratan pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses APA kepada:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat Berwenang Mitra P3B, dalam hal APA Bilateral,
|
||||||
|
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak pencabutan permohonan APA diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah perundingan APA dimulai, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan APA untuk tahun pajak yang dicakup dalam permohonan APA yang dicabut.
|
|||||||
|
||||||||
BAB V
TATA CARA PELAKSANAAN APA
|
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak harus melaksanakan kesepakatan dalam APA yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (14) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||||
(2)
|
Kesepakatan dalam APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tercermin dalam kebijakan Penentuan Harga Transfer Wajib Pajak dan pelaksanaannya harus dituangkan dalam Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk Periode APA.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal atas Periode APA dan/atau Roll-back:
|
|||||||
|
a.
|
telah disampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan;
|
||||||
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan; dan
|
||||||
|
c.
|
terdapat kekurangan pembayaran pajak penghasilan yang terutang dihitung berdasarkan kesepakatan dalam APA,
|
||||||
|
Wajib Pajak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan sesuai dengan kesepakatan dalam APA paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterbitkannya keputusan pemberlakuan APA.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal atas Periode APA dan/atau Roll-back sedang dilakukan tindakan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan Badan dengan memperhitungkan kesepakatan dalam APA.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal atas tahun pajak dalam Periode APA telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas Surat Ketetapan Pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan memperhitungkan kesepakatan dalam APA.
|
|||||||
|
|
|||||||
BAB VI
TATA CARA EVALUASI APA Bagian Kesatu
Kewenangan Direktur Jenderal Pajak Melakukan Evaluasi APA Pasal 18 |
||||||||
(1)
|
Dalam pengawasan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas kesepakatan dalam APA yang dimuat dalam keputusan pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (14).
|
|||||||
(2)
|
Dalam evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
|
|||||||
|
a.
|
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan pelaksanaan kesepakatan dalam APA;
|
||||||
|
b.
|
meminta Wajib Pajak untuk memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang diperlukan;
|
||||||
|
c.
|
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi Wajib Pajak;
|
||||||
|
d.
|
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait.
|
||||||
(3)
|
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan:
|
|||||||
|
a.
|
peninjauan kembali APA, sepanjang terdapat perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam APA dengan asumsi kritis yang disepakati dalam APA; atau
|
||||||
|
b.
|
pembatalan kesepakatan dalam APA,
|
||||||
|
sebelum periode APA berakhir.
|
|||||||
|
|
|
||||||
Bagian Kedua
Peninjauan Kembali APA Pasal 19 |
||||||||
(1)
|
Peninjauan kembali APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a juga dapat dilakukan berdasarkan permohonan peninjauan kembali APA yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Permohonan peninjauan kembali APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dengan mengisi secara benar, lengkap, dan jelas formulir permohonan peninjauan kembali APA sebagaimana dimaksud pada Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan peninjauan kembali APA secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggal penerimaan permohonan peninjauan kembali APA.
|
|||||||
(5)
|
Dalam peninjauan kembali APA, Direktur Jenderal Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15.
|
|||||||
(6)
|
Hasil perundingan peninjauan kembali APA dituangkan dalam perubahan Naskah APA atau Persetujuan Bersama.
|
|||||||
(7)
|
Atas perubahan Naskah APA atau perubahan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai perubahan APA dengan mencantumkan tahun pajak dalam Periode APA yang ditinjau kembali.
|
|||||||
|
|
|||||||
Bagian Ketiga
Pembatalan APA
|
||||||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan kesepakatan dalam APA yang dimuat dalam keputusan pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (14), dalam hal berdasarkan hasil evaluasi diketahui bahwa: | |||||||
|
a.
|
Wajib Pajak menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
Wajib Pajak tidak menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang:
|
||||||
|
|
1.
|
diketahui atau patut diketahui oleh Wajib Pajak; dan
|
|||||
|
|
2.
|
dapat mempengaruhi hasil kesepakatan dalam APA,
|
|||||
|
|
kepada Direktur Jenderal Pajak tanpa harus menunggu permintaan dari Direktur Jenderal Pajak.
|
||||||
(2)
|
Atas kesepakatan dalam APA yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
|
|||||||
|
a.
|
keputusan pembatalan kesepakatan dalam APA kepada Wajib Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
pemberitahuan pembatalan APA kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B, dalam hal APA Bilateral.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak membatalkan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan APA untuk Periode APA dan/atau Roll-back yang dicakup dalam APA yang dibatalkan; dan
|
||||||
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||||
|
|
|
||||||
BAB VII
TATA CARA PEMBARUAN APA
|
||||||||
(1)
|
Dalam renegosiasi kesepakatan setelah periode tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembaruan APA kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi formulir permohonan pembaruan APA sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini dengan benar, lengkap, dan jelas.
|
|||||||
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(3)
|
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggal penerimaan permohonan pembaruan APA.
|
|||||||
(4)
|
Berdasarkan permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menyepakati 1 (satu) kali pembaruan APA untuk 1 (satu) Periode APA sejak berakhirnya Periode APA yang telah disepakati pada APA sebelumnya.
|
|||||||
(5)
|
Permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara langsung dan diajukan dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebelum tahun pajak terakhir dalam Periode APA sebelumnya.
|
|||||||
(6)
|
Pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak melaksanakan seluruh kesepakatan dalam APA sebelumnya;
|
||||||
|
b.
|
tidak terdapat perubahan material atas fakta dan/atau kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam APA sebelumnya dengan asumsi kritis yang telah disepakati dalam APA sebelumnya; dan
|
||||||
|
c.
|
entitas dan Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam pembaruan APA sama dengan APA sebelumnya.
|
||||||
(7)
|
Permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipersamakan dengan permohonan APA yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
|
|||||||
(8)
|
Atas permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak melakukan proses pengujian material sampai dengan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 15.
|
|||||||
|
|
|||||||
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
|
||||||||
(1)
|
Kesepakatan APA tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan tindakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas Penentuan Harga Transfer transaksi yang dicakup dalam kesepakatan APA, sepanjang Wajib Pajak melaksanakan kesepakatan dalam APA.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak:
|
|||||||
|
a.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan yang Penentuan Harga Transfernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam APA;
|
||||||
|
b.
|
tidak menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
|
||||||
|
c.
|
menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan yang Penentuan Harga Transfernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam APA; atau
|
||||||
|
d.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan untuk tahun pajak dalam Periode APA.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal proses APA tidak menghasilkan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra P3B, dokumen Wajib Pajak yang dipergunakan selama proses APA harus dikembalikan sepenuhnya kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal Pejabat Berwenang Mitra P3B memerlukan informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Wajib Pajak dalam perundingan APA, pelaksanaan permintaan informasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai MAP.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal pada saat perundingan diketahui bahwa Wajib Pajak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses APA dan menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses APA kepada:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat Berwenang Mitra P3B, dalam hal Permohonan APA Bilateral.
|
||||||
(8)
|
Selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dengan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dianggap sebagai dividen yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7, dan Pasal 15 sampai dengan Pasal 21;
|
||||||
|
b.
|
tata cara penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 dan pada ayat (8); dan
|
||||||
|
c.
|
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
|
||||||
|
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 juga wajib dilakukan oleh Wajib Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2);
|
||||||
|
b.
|
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang dilakukan Wajib Pajak tidak sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 14; atau
|
||||||
|
c.
|
Harga Transfer yang ditentukan Wajib Pajak tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4),
|
||||||
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
|
|||||||
|
|
|||||||
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Penentuan harga wajar atas Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 huruf b yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dilaksanakan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan Transaksi yang dipengaruhi Hubungan Istimewa pada ayat (1) memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan bentuk usaha tetap, Wajib Pajak dalam negeri tersebut juga ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap.
|
|||||||
(3)
|
Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri yang terkait dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||||
(4)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan dalam menentukan nilai transaksi bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal bentuk usaha tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), nilai transaksi ditentukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
|
|||||||
(6)
|
Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||||
(7)
|
Pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang sebelumnya telah dilaksanakan Wajib Pajak dalam negeri diperhitungkan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
|
|
|||||||
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
|
||||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||||||
1.
|
terhadap permohonan pembicaraan awal yang telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak untuk menyampaikan permohonan APA sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri ini;
|
|||||||
2.
|
terhadap permohonan APA yang telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan Naskah APA atau Persetujuan Bersama, dilakukan pemrosesan lebih lanjut sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri ini;
|
|||||||
3.
|
terhadap APA yang telah diterbitkan surat keputusan pemberlakuan APA sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini:
|
|||||||
|
a.
|
dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan Menteri ini; dan
|
||||||
|
b.
|
dilakukan proses evaluasi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Menteri ini;
|
||||||
4.
|
terhadap permohonan pembaruan APA yang telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dilakukan proses berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
|
|
|||||||
BAB X
KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 |
||||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 39) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
||||||||
Pasal 27 |
||||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
||||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||||||
|
||||||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2020 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 262
|