Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai penggunaan, pemantauan, dan evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.07/2016 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau;
|
||||||
b.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (7) huruf a dan ayat (17) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018, penerimaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, baik bagian daerah provinsi maupun bagian daerah kabupaten/kota dialokasikan untuk mendanai program sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai cukai, dengan prioritas pada bidang kesehatan untuk mendukung program Jaminan kesehatan nasional, dan ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;
|
||||||
c.
|
bahwa untuk mengatur lebih lanjut penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan untuk meningkatkan efektivitas pemantauan serta evaluasi penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai penggunaan, pemantauan, dan evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau;
|
||||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau;
|
||||||
|
|
||||||
Mengingat |
|||||||
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
|||||||
|
|||||||
MEMUTUSKAN:
|
|||||||
Menetapkan |
|||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGGUNAAN, PEMANTAUAN DAN EVALUASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU.
|
|||||||
|
|||||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
|||||||
1.
|
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
|
||||||
2.
|
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah bagian dari Transfer ke Daerah yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau.
|
||||||
3.
|
Jaminan Kesehatan adalah Jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
|
||||||
4.
|
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
||||||
5.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
|
||||||
6.
|
Kepala Daerah adalah gubernur bagi provinsi atau bupati bagi kabupaten atau wali kota bagi kota.
|
||||||
7.
|
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
|
||||||
8.
|
Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.
|
||||||
9.
|
Sisa DBH CHT adalah selisih lebih antara DBH CHT yang telah disalurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan realisasi penggunaan DBH CHT akibat tidak terserap dan/atau penggunaan DBH CHT yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
|
|||||||
BAB II
PENGGUNAAN DBH CHT
Bagian Kesatu
Prinsip Penggunaan
Pasal 2 |
|||||||
(1)
|
DBH CHT digunakan program/kegiatan:
|
||||||
|
a.
|
peningkatan kualitas bahan baku;
|
|||||
|
b.
|
pembinaan industri;
|
|||||
|
c.
|
pembinaan lingkungan sosial;
|
|||||
|
d.
|
sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/atau
|
|||||
|
e.
|
pemberantasan barang kena cukai ilegal.
|
|||||
(2)
|
Program/kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk mendukung program Jaminan Kesehatan nasional paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi DBH CHT yang diterima setiap Daerah.
|
||||||
(3)
|
Program/kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinkronisasikan dengan program/kegiatan yang didanai dari APBD.
|
||||||
|
|
||||||
Pasal 3 |
|||||||
(1)
|
Kepala Daerah bertanggung jawab atas penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan memperhatikan karakteristik Daerah penerima DBH CHT.
|
||||||
(2)
|
Karakteristik Daerah penerima DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
||||||
|
a.
|
daerah provinsi penghasil cukai dan penghasil tembakau;
|
|||||
|
b.
|
daerah provinsi penghasil cukai;
|
|||||
|
c.
|
daerah provinsi penghasil tembakau;
|
|||||
|
d.
|
daerah kabupaten/kota penghasil cukai dan penghasil tembakau;
|
|||||
|
e.
|
daerah kabupaten/kota penghasil cukai;
|
|||||
|
f.
|
daerah kabupaten/kota penghasil tembakau; dan/atau
|
|||||
|
g.
|
daerah kabupaten/kota nonpenghasil.
|
|||||
(3)
|
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat yang berisi daftar Daerah berdasarkan karakteristik Daerah penerima DBH CHT kepada gubernur paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah Peraturan Presiden mengenai Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diundangkan.
|
||||||
|
|
||||||
Pasal 4 |
|||||||
Dalam pelaksanaan penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Kepala Daerah dapat membentuk sekretariat atau menunjuk koordinator pengelola penggunaan DBH CHT dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kegiatan DBH CHT di wilayahnya.
|
|||||||
|
|||||||
Bagian Kedua
Rancangan Program/Kegiatan dan Penganggaran Penggunaan DBH CHT
Pasal 5 |
|||||||
(1)
|
Kepala Daerah menyusun rancangan program/kegiatan dan penganggaran penggunaan DBH CHT untuk program/kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
|
||||||
(2)
|
Bupati/wali kota menyampaikan rancangan program/kegiatan dan penganggaran penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada gubernur sebelum tahun anggaran dimulai.
|
||||||
(3)
|
Gubernur dapat memfasilitasi penyusunan rancangan program/kegiatan dan penganggaran DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh bupati/wali kota, dan melakukan koordinasi dengan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
|
||||||
(4)
|
Rancangan program/kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam RPJMD
|
||||||
(5)
|
Besaran penganggaran penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam APBD.
|
||||||
|
|
||||||
Bagian Ketiga
Peningkatan Kualitas Bahan Baku
Pasal 6 |
|||||||
(1)
|
Program peningkatan kualitas bahan baku meliputi kegiatan:
|
||||||
|
a.
|
penerapan pembudidayaan sesuai dengan Good Agricultural Practices tembakau;
|
|||||
|
b.
|
penanganan panen dan pasca panen;
|
|||||
|
c.
|
dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau;
|
|||||
|
d.
|
penumbuhan dan penguatan kelembagaan;
|
|||||
|
e.
|
penerapan inovasi teknis; dan/atau
|
|||||
|
f.
|
pengembangan bahan baku tembakau untuk substitusi impor dan promosi ekspor.
|
|||||
(2)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Daerah penerima DBH CHT yang memiliki karakteristik:
|
||||||
|
a.
|
daerah provinsi penghasil cukai dan penghasil tembakau;
|
|||||
|
b.
|
daerah provinsi penghasil tembakau;
|
|||||
|
c.
|
daerah kabupaten/kota penghasil cukai dan penghasil tembakau; dan
|
|||||
|
d.
|
daerah kabupaten/kota penghasil tembakau.
|
|||||
(3)
|
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada rincian kegiatan yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi urusan pertanian, perkebunan, dan peternakan setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
|
||||||
|
|
||||||
Bagian Keempat
Pembinaan Industri
Pasal 7 |
|||||||
(1)
|
Program pembinaan industri meliputi kegiatan:
|
||||||
|
a.
|
pendataan dan pengawasan kepemilikan atau penggunaan mesin pelinting rokok dan pemberian sertifikat/kode registrasi mesin pelinting rokok;
|
|||||
|
b.
|
fasilitasi kepemilikan hak atas kekayaan intelektual bagi industri kecil dan menengah;
|
|||||
|
c.
|
pembentukan kawasan industri hasil tembakau;
|
|||||
|
d.
|
pemetaan industri hasil tembakau;
|
|||||
|
e.
|
fasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha kecil menengah dan usaha besar dalam pengadaan bahan baku dan produksi industri hasil tembakau;
|
|||||
|
f.
|
pembinaan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pada usaha industri hasil tembakau skala kecil;
|
|||||
|
g.
|
pengembangan industri hasil tembakau dengan kadar tar dan nikotin rendah melalui fasilitasi pengujian tar dan nikotin bagi industri kecil dan menengah, serta pelatihan dan penerapan Good Manufacturing Practices bagi industri hasil tembakau;
|
|||||
|
h.
|
pengembangan dan fasilitasi untuk pabrik yang berorientasi ekspor; dan/atau
|
|||||
|
i.
|
penyediaan tempat uji kompetensi bagi industri hasil tembakau kecil.
|
|||||
(2)
|
Pendataan dan pengawasan kepemilikan atau penggunaan mesin pelinting rokok dan pemberian sertifikat/kode registrasi mesin pelinting rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit mencakup data sebagai berikut:
|
||||||
|
a.
|
jumlah mesin pelinting rokok di setiap pabrik atau tempat lainnya;
|
|||||
|
b.
|
identitas mesin pelinting rokok meliputi merek, tipe, kapasitas, asal negara pembuat;
|
|||||
|
c.
|
identitas kepemilikan mesin pelinting rokok meliputi lokasi keberadaan dan asal mesin; dan
|
|||||
|
d.
|
perpindahan kepemilikan mesin pelinting rokok.
|
|||||
(3)
|
Pemetaan industri hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan industri hasil tembakau di suatu Daerah.
|
||||||
(4)
|
Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling sedikit meliputi:
|
||||||
|
a.
|
nama perusahaan;
|
|||||
|
b.
|
lokasi/alamat kantor dan pabrik (nomor telepon, jalan/desa, daerah kabupaten/kota, dan provinsi);
|
|||||
|
c.
|
nomor izin usaha industri atau tanda daftar industri;
|
|||||
|
d.
|
kapasitas terpasang (sigaret kretek mesin, sigaret kretek tangan, sigaret putih mesin dan lain-lain);
|
|||||
|
e.
|
realisasi produksi selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
|||||
|
f.
|
jumlah tenaga kerja linting/giling, tenaga kerja pengemasan, dan tenaga kerja lainnya;
|
|||||
|
g.
|
nomor pokok pengusaha barang kena cukai;
|
|||||
|
h.
|
realisasi pembelian pita cukai;
|
|||||
|
i.
|
wilayah pemasaran (dalam negeri dan/atau luar negeri);
|
|||||
|
j.
|
jumlah, merek, tipe, kapasitas mesin pelinting rokok, dan sertifikat registrasi mesin pelinting rokok;
|
|||||
|
k.
|
jumlah alat linting;
|
|||||
|
l.
|
asal daerah bahan baku dan bahan baku penolong (dalam negeri/luar negeri) dan jumlah yang dibutuhkan; dan
|
|||||
|
m.
|
hasil pengujian tar dan nikotin dari laboratorium penguji yang terakreditasi.
|
|||||
(5)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Daerah penerima DBH CHT yang memiliki karakteristik:
|
||||||
|
a.
|
daerah provinsi penghasil cukai dan penghasil tembakau;
|
|||||
|
b.
|
daerah provinsi penghasil cukai;
|
|||||
|
c.
|
daerah kabupaten/kota penghasil cukai dan penghasil tembakau; dan
|
|||||
|
d.
|
daerah kabupaten/kota penghasil cukai.
|
|||||
|
|
|
|||||
Bagian Kelima
Pembinaan Lingkungan Sosial
Pasal 8 |
|||||||
(1)
|
Program pembinaan lingkungan sosial meliputi kegiatan di bidang:
|
||||||
|
a.
|
kesehatan;
|
|||||
|
b.
|
ketenagakerjaan;
|
|||||
|
c.
|
infrastruktur;
|
|||||
|
d.
|
pemberdayaan ekonomi masyarakat; dan
|
|||||
|
e.
|
lingkungan hidup.
|
|||||
(2)
|
Kegiatan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk mendukung program Jaminan Kesehatan nasional yang meliputi:
|
||||||
|
a.
|
kegiatan pelayanan kesehatan baik kegiatan pro motif/preventif maupun kuratif/rehabilitatif;
|
|||||
|
b.
|
penyediaan/peningkatan/pemeliharaan sarana/prasarana Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan;
|
|||||
|
c.
|
pelatihan tenaga kesehatan dan/atau tenaga administratif pada Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan; dan
|
|||||
|
d.
|
pembayaran iuran Jaminan penduduk yang didaftarkan Kesehatan bagi oleh Pemerintah Daerah dan/atau pembayaran iuran Jaminan Kesehatan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
|
|||||
(3)
|
Penyediaan/peningkatan/pemeliharaan sarana/prasarana Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:
|
||||||
|
a.
|
pengadaan;
|
|||||
|
b.
|
pembangunan baru;
|
|||||
|
c.
|
penambahan ruangan;
|
|||||
|
d.
|
rehabilitasi bangunan;
|
|||||
|
e.
|
pemeliharaan bangunan/peralatan;
|
|||||
|
f.
|
kalibrasi/sertifikasi; dan/atau
|
|||||
|
g.
|
pembelian suku cadang.
|
|||||
(4)
|
Sarana/prasarana Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa alat dan/atau tempat yang digunakan untuk mendukung upaya pelayanan kesehatan, meliputi:
|
||||||
|
a,
|
bangunan/gedung/ruang;
|
|||||
|
b.
|
alat kesehatan;
|
|||||
|
c.
|
obat-obatan, bahan habis pakai, bahan kimia atau reagen;
|
|||||
|
d.
|
sarana transportasi rujukan; dan/atau
|
|||||
|
e.
|
peralatan operasional yang dapat dipindahkan untuk pelayanan kesehatan baik yang promotif, preventif, maupun kuratif/rehabilitatif.
|
|||||
(5)
|
Penyediaan/peningkatan/pemeliharaan sarana/prasarana Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||
|
a.
|
diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang membidangi urusan kesehatan, yang mengatur mengenai penyelenggaraan pusat kesehatan masyarakat;
|
|||||
|
b.
|
dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud huruf a telah terpenuhi, dapat digunakan untuk fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjutan; dan
|
|||||
|
c.
|
dalam hal provinsi tidak memiliki fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjutan.
|
|||||
(6)
|
Pelatihan tenaga kesehatan dan/atau tenaga administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa keikutsertaan tenaga kesehatan dan/atau tenaga administratif dalam pelatihan teknis yang diselenggarakan oleh instansi/lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah.
|
||||||
(7)
|
Kegiatan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||
|
a.
|
pembinaan dan pelatihan keterampilan kerja bagi tenaga kerja dan masyarakat;
|
|||||
|
b.
|
penyediaan/peningkatan/pemeliharaan sarana/prasarana kelembagaan pelatihan;
|
|||||
|
c.
|
pelatihan dan/atau fasilitasi sertifikasi bagi tenaga instruktur pada balai latihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi/lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah; dan/atau
|
|||||
|
d.
|
pelayanan penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja bagi pencari kerja.
|
|||||
(8)
|
Sarana/prasarana kelembagaan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b berupa alat dan/atau tempat yang digunakan untuk mendukung upaya pelatihan keterampilan, meliputi:
|
||||||
|
a.
|
bangunan/gedung/ruang;
|
|||||
|
b.
|
peralatan/mesin untuk pelatihan keterampilan; dan/atau
|
|||||
|
c.
|
bahan habis pakai.
|
|||||
(9)
|
Kegiatan di bidang infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
||||||
|
a.
|
pembangunan/rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan/atau jembatan, pasar, dan sarana/prasarana pendukung pariwisata;
|
|||||
|
b.
|
penyediaan/pemeliharaan saluran air limbah, sanitasi, dan air bersih;
|
|||||
|
c.
|
penyediaan/pemeliharaan saluran irigasi; dan/atau
|
|||||
|
d.
|
pembangunan embung dan sarana sumber daya air.
|
|||||
(10)
|
Kegiatan di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
|
||||||
|
a.
|
penguatan ekonomi masyarakat melalui kegiatan padat karya yang dapat mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah;
|
|||||
|
b.
|
bantuan sarana produksi, bibit/benih perkebunan, dan ternak bagi masyarakat/kelompok masyarakat;
|
|||||
|
c.
|
fasilitasi promosi bagi usaha mandiri masyarakat; dan/atau
|
|||||
|
d.
|
bantuan modal usaha bagi usaha mikro, kecil, dan menengah.
|
|||||
(11)
|
Kegiatan di bidang lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
|
||||||
|
a.
|
penyediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri;
|
|||||
|
b.
|
penerapan sistem manajemen lingkungan bagi masyarakat di lingkungan industri;
|
|||||
|
c.
|
pelatihan dan/atau sertifikasi bagi tenaga teknis di bidang lingkungan yang diselenggarakan oleh instansi/lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah; dan/atau
|
|||||
|
d.
|
bantuan peralatan pengolahan limbah kepada masyarakat.
|
|||||
(12)
|
Penyediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri sebagaimana dimaksud pada ayat (11) huruf a berupa alat dan/atau tempat yang digunakan untuk mengolah limbah industri, meliputi:
|
||||||
|
a.
|
bangunan/gedung/ruang;
|
|||||
|
b.
|
peralatan/mesin; dan/atau
|
|||||
|
c.
|
bahan habis pakai.
|
|||||
(13)
|
Kegiatan pada program pembinaan lingkungan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh seluruh karakteristik Daerah penerima DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
||||||
|
|
||||||
|
Bagian Keenam
Sosialisasi Ketentuan di Bidang Cukai
Pasal 9 |
||||||
(1)
|
Program sosialisasi ketentuan di bidang cukai meliputi kegiatan:
|
||||||
|
a.
|
penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai kepada masyarakat dan/atau pemangku kepentingan; dan
|
|||||
|
b.
|
pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||
(2)
|
Penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan menggunakan media komunikasi sebagai berikut:
|
||||||
|
a.
|
forum tatap muka;
|
|||||
|
b.
|
media elektronik seperti radio dan televisi;
|
|||||
|
c.
|
media cetak seperti koran, majalah, brosur, poster dan stiker;
|
|||||
|
d.
|
media dalam jaringan; dan
|
|||||
|
e.
|
reklame seperti baliho, spanduk, dan videotron.
|
|||||
(3)
|
Penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas, mudah dibaca, dan dominan.
|
||||||
(4)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh seluruh karakteristik Daerah penerima DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
||||||
(5)
|
Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah berkoordinasi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat atau Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat.
|
||||||
|
|
||||||
Bagian Ketujuh
Pemberantasan Barang Kena Cukai Ilegal
Pasal 10 |
|||||||
(1)
|
Program pemberantasan barang kena cukai ilegal meliputi kegiatan pengumpulan informasi hasil tembakau:
|
||||||
|
a.
|
dilekati pita cukai palsu;
|
|||||
|
b.
|
tidak dilekati pita cukai;
|
|||||
|
c.
|
dilekati pita cukai yang bukan haknya atau salah personalisasi;
|
|||||
|
d.
|
dilekati pita cukai yang salah peruntukan; dan
|
|||||
|
e.
|
dilekati pita cukai bekas,
|
|||||
|
di peredaran atau tempat penjualan eceran.
|
||||||
(2)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh seluruh karakteristik Daerah penerima DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran.
|
||||||
(3)
|
Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Daerah berkoordinasi dan bekerjasama dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat
|
||||||
|
|
||||||
BAB III
PEMANTAUAN DAN EVALUASI PENGGUNAAN DBH CHT
Bagian Kesatu
Pemantauan
Pasal 11 |
|||||||
(1)
|
Kepala Daerah menyusun laporan realisasi penggunaan DBH CHT untuk program/kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
|
||||||
(2)
|
Bupati/wali kota menyampaikan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada gubernur dengan ketentuan:
|
||||||
|
a.
|
laporan semester pertama paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan; dan
|
|||||
|
b.
|
laporan semester kedua paling lambat minggu kedua bulan Januari tahun anggaran berikutnya.
|
|||||
|
|
|
|||||
Pasal 12 |
|||||||
(1)
|
Berdasarkan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang disusun oleh gubernur dan laporan realisasi penggunaan DBH CHT yang disampaikan oleh bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), gubernur menyusun laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT setiap semester.
|
||||||
(2)
|
Gubernur menyampaikan laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan ketentuan:
|
||||||
|
a.
|
laporan semester pertama paling lambat minggu keempat bulan Juli tahun anggaran berjalan; dan
|
|||||
|
b.
|
laporan semester kedua paling lambat minggu keempat bulan Januari tahun anggaran berikutnya.
|
|||||
|
|
|
|||||
Pasal 13 |
|||||||
(1)
|
Gubernur melakukan pemantauan realisasi penggunaan DBH CHT berdasarkan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
|
||||||
(2)
|
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan realisasi penggunaan DBH CHT berdasarkan laporan konsolidasi realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
|
||||||
(3)
|
Pemantauan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertujuan untuk:
|
||||||
|
a.
|
memastikan kepatuhan penyampaian laporan;
|
|||||
|
b.
|
memastikan kesesuaian penganggaran dengan pagu alokasi;
|
|||||
|
c.
|
mengukur penyerapan; dan
|
|||||
|
d.
|
mengukur pencapaian output.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal berdasarkan pemantauan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat tujuan yang tidak tercapai, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan pemantauan realisasi penggunaan DBH CHT secara langsung ke Daerah penerima DBH CHT.
|
||||||
(5)
|
Dalam melaksanakan pemantauan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat berkoordinasi dengan pemerintah provinsi, dan/atau instansi/unit terkait.
|
||||||
|
|
||||||
Pasal 14 |
|||||||
Pemantauan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan dalam rangka penyaluran DBH CHT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengelolaan transfer ke daerah dan dana desa.
|
|||||||
|
|||||||
Bagian Kedua
Evaluasi
Pasal 15 |
|||||||
(1)
|
Gubernur melakukan evaluasi penggunaan DBH CHT berdasarkan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
|
||||||
(2)
|
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan evaluasi penggunaan DBH CHT berdasarkan laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
|
||||||
(3)
|
Evaluasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk memastikan:
|
||||||
|
a.
|
kesesuaian penggunaan DBH CHT dengan program/kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 10;
|
|||||
|
b.
|
terpenuhinya persentase penggunaan DBH CHT pada program pembinaan lingkungan sosial di bidang kesehatan untuk mendukung Jaminan Kesehatan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan
|
|||||
|
c.
|
teralokasikan seluruh Sisa DBH CHT setiap Daerah.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal tidak terpenuhinya sebagian atau seluruh ketentuan pada ayat (3):
|
||||||
|
a.
|
gubernur dapat meminta penjelasan kepada bupati/wali kota; dan
|
|||||
|
b.
|
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat meminta penjelasan kepada Kepala Daerah.
|
|||||
(5)
|
Untuk memastikan keakuratan perhitungan besaran Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c:
|
||||||
|
a.
|
gubernur dapat melakukan rekonsiliasi data dengan bupati/wali kota; dan
|
|||||
|
b.
|
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan rekonsiliasi data dengan Kepala Daerah,
|
|||||
|
yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi.
|
||||||
(6)
|
Dalam hal Kepala Daerah belum menyetujui besaran Sisa DBH CHT dalam berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat mengajukan penyesuaian dengan menunjukkan bukti realisasi penggunaan DBH CHT.
|
||||||
(7)
|
Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dianggarkan kembali seluruhnya dalam APBD Perubahan tahun anggaran berjalan dan/atau APBD tahun anggaran berikutnya untuk mendanai program/kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
|
||||||
(8)
|
Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang digunakan untuk mendukung program Jaminan Kesehatan nasional, dianggarkan kembali seluruhnya dalam APBD perubahan tahun anggaran berjalan dan/atau APBD tahun anggaran berikutnya untuk mendukung program Jaminan Kesehatan nasional.
|
||||||
(9)
|
Kepala Daerah menyampaikan surat pernyataan penganggaran kembali besaran Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
|
||||||
|
|
||||||
Bagian Ketiga
Penundaan dan/atau Penghentian Penyaluran DBH CHT
Paragraf 1
Penundaan Penyaluran DBH CHT
Pasal 16 |
|||||||
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penundaan penyaluran DBH CHT dalam hal:
|
|||||||
a.
|
bupati/wali kota tidak menyampaikan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2);
|
||||||
b.
|
Gubernur tidak menyampaikan laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan/atau
|
||||||
c.
|
Kepala Daerah tidak menyampaikan surat pernyataan telah menganggarkan kembali sisa lebih penggunaan anggaran DBH CHT tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (9).
|
||||||
|
|
||||||
Pasal 17 |
|||||||
(1)
|
Penyaluran kembali atas penundaan penyaluran DBH CHT dapat dilakukan dalam hal Kepala Daerah dan/atau gubernur telah menyampaikan laporan dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
|
||||||
(2)
|
Mekanisme penyaluran kembali DBH CHT yang di tunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengelolaan transfer ke daerah dan dana desa.
|
||||||
|
|
||||||
Paragraf 2
Penghentian Penyaluran DBH CHT
Pasal 18 |
|||||||
(1)
|
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH CHT dalam hal Daerah telah 2 (dua) kali berturut-turut dilakukan penundaan penyaluran DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
|
||||||
(2)
|
DBH CHT yang dihentikan penyalurannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Sisa Anggaran Lebih pada Rekening Kas Umum Negara.
|
||||||
|
|
||||||
Paragraf 3
Pemotongan Penyaluran DBH CHT
Pasal 19 |
|||||||
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemotongan penyaluran DBH CHT dalam hal:
|
|||||||
a.
|
penggunaan DBH CHT tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2; dan/atau
|
||||||
b.
|
Sisa DBH CHT tidak dianggarkan kembali pada APBD Perubahan tahun anggaran berjalan dan/atau APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (7) dan ayat (8).
|
||||||
|
|
||||||
Pasal 20 |
|||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penundaan, penghentian dan/atau pemotongan penyaluran DBH CHT diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
|
|||||||
|
|||||||
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 21 |
|||||||
Ketentuan mengenai:
|
|||||||
a.
|
rincian kegiatan bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7), bidang infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (9), bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (10), bidang lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (11);
|
||||||
b.
|
format laporan pengumpulan informasi peredaran barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
|
||||||
c.
|
format laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2);
|
||||||
d.
|
format laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan
|
||||||
e.
|
format surat pernyataan penganggaran kembali Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (9),
|
||||||
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||||
|
|||||||
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22 |
|||||||
Pada saat peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
|||||||
a.
|
Daerah yang telah menetapkan program/kegiatan penggunaan DBH CHT sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, melakukan penyesuaian program/kegiatan penggunaan DBH CHT berdasarkan Peraturan Menteri ini melalui peraturan Kepala Daerah mengenai penjabaran APBD dan/atau dalam APBD Perubahan Tahun Anggaran 2018;
|
||||||
b.
|
Daerah yang belum mencantumkan program/kegiatan penggunaan DBH CHT dalam RPJMD, menyesuaikan program/kegiatan penggunaan DBH CHT berdasarkan Peraturan Menteri ini paling lambat pada saat penyusunan RPJMD periode berikutnya;
|
||||||
c.
|
Daerah yang masih memiliki Sisa DBH CHT sampai dengan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, wajib menganggarkan seluruh Sisa DBH CHT dalam APED tahun anggaran berikutnya berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
|
||||||
d.
|
pemantauan dan evaluasi penggunaan DBH CHT Tahun Anggaran 2017 dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.07/2016 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
|
||||||
|
|
||||||
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23 |
|||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.07/2016 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 277), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||||
|
|||||||
Pasal 24 |
|||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||||||
|
|||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
|||||||
|
|||||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2017
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2017
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
|