Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||
Menimbang |
|||||||||
a.
|
bahwa untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi nasional, perlu memberikan insentif fiskal berupa pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;
|
||||||||
b.
|
bahwa pemberian insentif fiskal untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.05/2005 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor Tidak Dipungut atas Impor Barang dalam rangka Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contracts) Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi;
|
||||||||
c.
|
bahwa untuk lebih mendukung dan meningkatkan pelayanan, meningkatkan tertib administrasi, menjamin kepastian hukum dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;
|
||||||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Pasal 26E Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dan Pasal 25 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
|
||||||||
|
|
||||||||
Mengingat |
|||||||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
||||||||
2.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6066);
|
||||||||
3.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 304, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6172);
|
||||||||
|
|
||||||||
MEMUTUSKAN:
|
|||||||||
Menetapkan |
|||||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN TIDAK DIPUNGUT PAJAK DALAM RANGKA IMPOR ATAS IMPOR BARANG UNTUK KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI.
|
|||||||||
|
|||||||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
|||||||||
1.
|
Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
||||||||
2.
|
Kontrak Bagi Hasil adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.
|
||||||||
3.
|
Kontrak Bagi Hasil Gross Split adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.
|
||||||||
4.
|
Operasi Perminyakan adalah kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi, pengangkutan sampai dengan titik penyerahan, penutupan dan peninggalan sumur (plug and abandonment), serta pemulihan bekas penambangan (site restoration) minyak dan gas bumi, termasuk kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi.
|
||||||||
5.
|
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
|
||||||||
6.
|
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan, untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
|
||||||||
7.
|
Produksi Komersial adalah saat dimulainya penjualan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi sampai dengan berakhirnya Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
|
||||||||
8.
|
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
|
||||||||
9.
|
Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan badan pelaksana yang melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi.
|
||||||||
10.
|
Penyedia Barang (Vendor) adalah perusahaan yang ditunjuk oleh Kontraktor sebagai penyedia barang impor berdasarkan kontrak untuk melakukan pengadaan barang impor.
|
||||||||
11.
|
Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sistem integrasi seluruh layanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada semua pengguna jasa yang bersifat publik dan berbasis web.
|
||||||||
12.
|
Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disebut Sistem INSW adalah Sistem Elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
|
||||||||
13.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
||||||||
14.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
||||||||
15.
|
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Utama adalah instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.
|
||||||||
16.
|
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
|
||||||||
|
|
||||||||
BAB II
PEMBEBASAN BEA MASUK DAN TIDAK DIPUNGUT PAJAK DALAM RANGKA IMPOR
Bagian Kesatu
Pemberian Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor
Pasal 2 |
|||||||||
(1)
|
Atas impor barang untuk keperluan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dalam rangka Operasi Perminyakan berdasarkan:
|
||||||||
a. | Kontrak Kerja Sama berupa Kontrak Bagi Hasil yang ditandatangani sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktornya telah memilih untuk melakukan penyesuaian kontrak secara keseluruhan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; | ||||||||
b. | Kontrak Kerja Sama berupa Kontrak Bagi Hasil yang ditandatangani setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktornya telah memilih untuk melakukan penyesuaian kontrak secara keseluruhan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; | ||||||||
c. | Kontrak Kerja Sama berupa Kontrak Bagi Hasil yang ditandatangani setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan kontraknya telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; | ||||||||
d. | Kontrak Kerja Sama berupa Kontrak Bagi Hasil yang ditandatangani setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; | ||||||||
e. | Kontrak Kerja Sama berupa Kontrak Bagi Hasil Gross Split sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split; dan | ||||||||
f. | Kontrak Kerja Sama yang tidak dilakukan penyesuaian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split, | ||||||||
dapat diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor. | |||||||||
(2)
|
Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dalam rangka Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
||||||||
a. | tahap Eksplorasi; dan | ||||||||
b. | tahap Eksploitasi, termasuk kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. | ||||||||
(3)
|
Kegiatan pengangkutan pada tahap Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan pembangunan sarana pengangkutan minyak dan gas bumi dari sumur sampai dengan titik serah.
|
||||||||
(4)
|
Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk:
|
||||||||
a. | bea masuk anti dumping; | ||||||||
b. | bea masuk imbalan; | ||||||||
c. | bea masuk tindakan pengamanan; dan/atau | ||||||||
d. | bea masuk pembalasan. | ||||||||
(5)
|
Pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
||||||||
a. | Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan/atau | ||||||||
b. | Pajak Penghasilan Pasal 22. | ||||||||
(6)
|
Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor pada tahap Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||
a. | untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d, pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor diberikan berdasarkan pertimbangan keekonomian proyek dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral; | ||||||||
b. | untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor diberikan sampai dengan saat dimulainya produksi komersial; dan | ||||||||
c. | untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor diberikan sesuai dengan kontrak sampai dengan berakhirnya masa kontrak dimaksud. | ||||||||
(7)
|
Pertimbangan keekonomian proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a hanya diberikan kepada Kontraktor yang tidak dapat mencapai Internal Rate of Return (IRR) berdasarkan hasil penghitungan keekonomian dalam suatu periode Kontrak Bagi Hasil dan memiliki Wilayah Kerja sebagai berikut:
|
||||||||
a. | berlokasi di laut dalam; | ||||||||
b. | memiliki potensi hidrokarbon yang berada pada kedalaman reservoir yang berkarakteristik High Pressure/High Temperature/High Impurities; | ||||||||
c. | berada di suatu wilayah yang keberadaan infrastruktur penunjang minyak dan gas buminya masih terbatas; | ||||||||
d. | merupakan pengembangan lapangan secondary dan lapangan tertiary; dan/atau | ||||||||
e. | merupakan pengembangan lapangan unconventional. | ||||||||
(8)
|
Dalam hal terdapat pengembangan lapangan baru dalam satu Wilayah Kerja, pertimbangan keekonomian proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a telah memperhitungkan Internal Rate of Return (IRR) secara keseluruhan dalam satu Wilayah Kerja.
|
||||||||
(9)
|
Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada Kontraktor berupa badan usaha atau bentuk usaha tetap yang mengikat Kontrak Kerja Sama dengan:
|
||||||||
a. | satuan kerja yang bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; atau | ||||||||
b. | perusahaan milik negara yang bergerak di bidang energi minyak dan gas bumi. | ||||||||
(10)
|
Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||
a. | barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; | ||||||||
b. | barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau | ||||||||
c. | barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri. | ||||||||
(11)
|
Pelaksanaan impor barang yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh:
|
||||||||
a. | Kontraktor; atau | ||||||||
b. | Penyedia Barang (Vendor). | ||||||||
|
|
||||||||
Bagian Kedua
Tata Cara Pengajuan Permohonan untuk Mendapatkan Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor
Pasal 3 |
|||||||||
(1)
|
Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Kontraktor mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja.
|
||||||||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui Sistem INSW.
|
||||||||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan:
|
||||||||
a. | Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); | ||||||||
b. | Kontrak Kerja Sama atau Kontrak Bagi Hasil beserta perubahannya; dan | ||||||||
c. | Rencana Impor Barang (RIB). | ||||||||
(4)
|
Dalam hal permohonan melalui Sistem INSW belum dapat dilaksanakan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan melampirkan:
|
||||||||
a. | dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b; | ||||||||
b. | contoh atau spesimen tanda tangan pimpinan/manajer atau para pejabat perusahaan yang diberikan wewenang untuk menandatangani Rencana Impor Barang (RIB); dan | ||||||||
c. | asli Rencana Impor Barang (RIB) yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk. | ||||||||
(5)
|
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, serta ayat (4) huruf b, dapat dalam bentuk softcopy berupa hasil pindaian dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik.
|
||||||||
(6)
|
Rencana Impor Barang (RIB) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan ayat (4) huruf c, merupakan dokumen yang telah disetujui oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10).
|
||||||||
(7)
|
Pada tahap Eksploitasi, selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), permohonan untuk mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga harus disertai:
|
||||||||
a. | surat rekomendasi mengenai pertimbangan keekonomian proyek dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi, untuk Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d; atau | ||||||||
b. | surat keterangan yang menyatakan bahwa tahap Eksploitasi belum sampai pada saat dimulainya produksi komersial dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi, untuk Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e. | ||||||||
(8)
|
Surat rekomendasi mengenai pertimbangan keekonomian proyek sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf a, paling sedikit memuat informasi mengenai:
|
||||||||
a. | pencapaian Internal Rate of Return (IRR) atas penghitungan keekonomian dalam suatu periode Kontrak Bagi Hasil; dan | ||||||||
b. | Wilayah Kerja, | ||||||||
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7). | |||||||||
(9)
|
Dalam hal Sistem INSW sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, pengajuan permohonan dilakukan secara manual dan lampiran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan dalam bentuk hardcopy dokumen.
|
||||||||
(10)
|
Dalam hal proses impor akan dilakukan oleh Penyedia Barang (Vendor), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan nama Penyedia Barang (Vendor) yang akan melakukan impor dan melampirkan bukti kontrak pengadaan barang antara Kontraktor dengan Penyedia Barang (Vendor).
|
||||||||
(11)
|
Dalam hal dokumen lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4) atau ayat (7) telah tersedia dalam Sistem INSW atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kontraktor tidak perlu menyampaikan kembali dokumen lampiran tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja.
|
||||||||
(12)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||||
|
|
||||||||
Pasal 4 |
|||||||||
(1)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) jam kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan sesuai.
|
||||||||
(2)
|
Dalam hal terdapat ketidaksesuaian dokumen atau data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (4), Pasal 3 ayat (7), dan/atau Pasal 3 ayat (9), Kepala Bidang pada Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan atas nama Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja menerbitkan Surat Pengembalian Dokumen dengan menyebutkan alasan pengembalian.
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
|
||||||||
(4)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja atas nama Menteri menerbitkan Surat Pemberitahuan Penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
|
||||||||
(5)
|
Dalam hal tempat pemasukan barang impor keperluan Kontraktor terdiri atas lebih dari 1 (satu) tempat pemasukan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menyampaikan salinan Keputusan Menteri Keuangan dimaksud kepada:
|
||||||||
a. | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama; dan | ||||||||
b. | Kepala Kantor Pabean, | ||||||||
tempat pemasukan. | |||||||||
(6)
|
Dalam hal Sistem INSW atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan sesuai.
|
||||||||
(7)
|
Surat Pengembalian Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Surat Pemberitahuan Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf B, Lampiran huruf C, dan Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||||
|
|
||||||||
Bagian Ketiga
Jangka Waktu
Pasal 5 |
|||||||||
(1)
|
Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) berlaku untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkan.
|
||||||||
(2)
|
Dalam hal masa berlaku Kontrak Kerja Sama berupa Kontrak Bagi Hasil kurang dari 12 (dua belas) bulan, Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) berlaku sampai dengan akhir masa kontrak.
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal keekonomian proyek sudah mencapai tingkat pengembalian investasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (8), Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) berlaku sampai dengan tanggal rekomendasi pencabutan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor tahap Eksploitasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi.
|
||||||||
(4)
|
Dalam hal saat dimulainya produksi komersial Kontrak Bagi Hasil Gross Split kurang dari 12 (dua belas) bulan, Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) berlaku sampai dengan ditetapkannya saat mulai produksi komersial.
|
||||||||
|
|
||||||||
BAB III
PEMASUKAN BARANG IMPOR
Pasal 6 |
|||||||||
(1)
|
Pemasukan barang impor untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan melalui:
|
||||||||
a. | kawasan pabean di pelabuhan pemasukan yang telah ditunjuk; | ||||||||
b. | Pusat Logistik Berikat, Kawasan Berikat, atau Gudang Berikat; atau | ||||||||
c. | kawasan lain yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(2)
|
Tata laksana pemasukan dan pengeluaran barang impor melalui Pusat Logistik Berikat, Kawasan Berikat, atau Gudang Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kawasan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pusat Logistik Berikat, Kawasan Berikat, dan Gudang Berikat, serta kawasan lain yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
||||||||
Pasal 7 |
|||||||||
(1)
|
Kontraktor atau Penyedia Barang (Vendor) harus mencantumkan kode fasilitas pertambangan pada saat mengajukan pemberitahuan pabean impor atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
|
||||||||
(2)
|
Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diberikan dalam hal uraian dan satuan barang serta Kantor Pabean yang membawahi pelabuhan pemasukan pada pemberitahuan pabean impor sesuai dengan uraian dan satuan barang serta Kantor Pabean yang membawahi pelabuhan pemasukan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
|
||||||||
(3)
|
Terhadap impor barang yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan pemotongan kuota secara elektronik.
|
||||||||
(4)
|
Pemotongan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan proses atau kegiatan mengurangkan jumlah atas jenis barang impor yang telah diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dengan realisasi impornya di Kantor Pabean tempat pemasukan barang.
|
||||||||
(5)
|
Dalam hal pemotongan kuota tidak dapat dilakukan secara elektronik, pejabat bea dan cukai melakukan penelitian dan pemotongan kuota secara manual.
|
||||||||
|
|
||||||||
Pasal 8 |
|||||||||
(1)
|
Dalam hal terdapat:
|
||||||||
a. | perbedaan uraian dan satuan barang antara yang diimpor dengan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); | ||||||||
b. | perbedaan Kantor Pabean yang membawahi pelabuhan pemasukan antara pemberitahuan pabean impor dengan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); dan/atau | ||||||||
c. | selisih lebih antara jumlah keseluruhan barang yang diimpor dengan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), | ||||||||
atas perbedaan uraian dan satuan barang, perbedaan Kantor Pabean yang membawahi pelabuhan pemasukan, serta selisih lebih tersebut tidak berlaku pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). | |||||||||
(2)
|
Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor yang telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku dalam hal barang tersebut tidak diperuntukkan dalam rangka Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
|
||||||||
|
|
||||||||
Pasal 9 |
|||||||||
Terhadap barang impor yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), berlaku ketentuan larangan dan pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai larangan dan pembatasan.
|
|||||||||
|
|||||||||
BAB IV
PENGELOLAAN ATAS BARANG IMPOR KEGIATAN HULU MIGAS
Pasal 10 |
|||||||||
(1)
|
Terhadap barang impor yang dibeli oleh Kontraktor dengan mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang menjadi milik/kekayaan negara setelah diselesaikan kewajiban kepabeanannya, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||
a. | dalam hal masih digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, pengawasan dan pembinaannya dilakukan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi dan dikelola oleh satuan kerja yang bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; atau | ||||||||
b. | dalam hal sudah tidak digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau masa berlaku Kontrak Kerja Sama sudah berakhir, pengawasan dan pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan. | ||||||||
(2)
|
Pengawasan dan pembinaan terhadap barang impor yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan status barang sewa yang telah diselesaikan kewajiban kepabeanannya, dilakukan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi dan dikelola oleh satuan kerja yang bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
|
||||||||
|
|
||||||||
Pasal 11 |
|||||||||
(1)
|
Terhadap barang impor yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dapat diekspor kembali, dilakukan pindah tangan kepada Kontraktor lainnya, atau pindah lokasi antar Wilayah Kerja, setelah mendapatkan persetujuan dari satuan kerja yang bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
|
||||||||
(2)
|
Persetujuan untuk diekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
|
||||||||
a. | Kepala Kantor Pabean pemuatan; dan | ||||||||
b. | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja. | ||||||||
(3)
|
Kepala Kantor Pabean pemuatan melakukan penelitian terhadap dokumen ekspor sesuai dengan persetujuan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melakukan pemeriksaan fisik barang.
|
||||||||
(4)
|
Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang ekspor.
|
||||||||
(5)
|
Dalam hal barang impor yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipindahtangankan kepada Kontraktor lainnya, persetujuan pindah tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
|
||||||||
a. | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja; dan | ||||||||
b. | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar. | ||||||||
|
|
||||||||
Pasal 12 |
|||||||||
Dalam hal pindah tangan kepada Kontraktor lainnya atau pindah lokasi antar Wilayah Kerja sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (1) telah selesai dilaksanakan, Kontraktor asal barang harus menyampaikan pemberitahuan kepada:
|
|||||||||
a. | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja Kontraktor asal barang; dan | ||||||||
b. | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja Kontraktor tujuan barang. | ||||||||
|
|||||||||
BAB V
TATA CARA PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN MENGENAI PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK DAN TIDAK DIPUNGUT PAJAK DALAM RANGKA IMPOR
Pasal 13 |
|||||||||
(1)
|
Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dapat dilakukan perubahan sebelum realisasi impor.
|
||||||||
(2)
|
Realisasi impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni pada saat barang impor diajukan pemberitahuan pabean impor dan mendapatkan nomor pendaftaran.
|
||||||||
(3)
|
Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan sepanjang mengenai:
|
||||||||
a. | perubahan Kantor Pabean yang membawahi pelabuhan tempat pemasukan barang impor; | ||||||||
b. | perubahan jumlah dan/atau jenis barang; dan/atau | ||||||||
c. | perubahan yang dikarenakan kekhilafan yang nyata dan bersifat manusiawi, berupa: | ||||||||
1. | kesalahan hitung; dan/atau | ||||||||
2. | kesalahan penulisan data. | ||||||||
(4)
|
Untuk dapat melakukan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Kontraktor mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
|
||||||||
(5)
|
Permohonan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik melalui Sistem INSW.
|
||||||||
(6)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilampiri dengan:
|
||||||||
a. | salinan dokumen dan data pendukung yang mendasari tentang perubahan Kantor Pabean yang membawahi pelabuhan tempat pemasukan barang impor, antara lain Bill Of Lading (B/L), Airway Bill (AWB), atau dokumen lain yang dapat membuktikan tentang perubahan Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; | ||||||||
b. | revisi Rencana Impor Barang (RIB) yang telah disetujui oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi dalam hal permohonan perubahan jumlah dan/atau jenis barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b; atau | ||||||||
c. | dokumen pendukung sebagai bukti adanya kesalahan, dalam hal permohonan perubahan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dilakukan karena adanya kekhilafan yang nyata dan bersifat manusiawi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. | ||||||||
(7)
|
Dalam hal permohonan melalui Sistem INSW belum dapat dilaksanakan, permohonan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||||||||
(8)
|
Dalam hal Sistem INSW sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, permohonan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara manual dan lampiran dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) disampaikan dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) atau salinan digital (softcopy) melalui surat elektronik.
|
||||||||
|
|
||||||||
Pasal 14 |
|||||||||
(1)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Jam kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan sesuai.
|
||||||||
(2)
|
Dalam hal terdapat ketidaksesuaian dokumen atau data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), Kepala Bidang pada Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan atas nama Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja menerbitkan Surat Pengembalian Dokumen dengan menyebutkan alasan pengembalian.
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
|
||||||||
(4)
|
Dalam hal permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menerbitkan Surat Pemberitahuan Penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
|
||||||||
(5)
|
Dalam hal tempat pemasukan barang impor keperluan Kontraktor terdiri atas lebih dari 1 (satu) tempat pemasukan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri yang menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menyampaikan salinan Keputusan Menteri Keuangan dimaksud kepada:
|
||||||||
a. | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama; dan | ||||||||
b. | Kepala Kantor Pabean, | ||||||||
tempat pemasukan. | |||||||||
(6)
|
Dalam hal Sistem INSW atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan sesuai.
|
||||||||
(7)
|
Surat Pengembalian Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan Surat Pemberitahuan Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf E, Lampiran huruf F, dan Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||||
|
|
||||||||
BAB VI
KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Penyampaian Laporan Realisasi Impor
Pasal 15 |
|||||||||
(1)
|
Kontraktor wajib menyampaikan Laporan Realisasi Impor atas barang yang diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
|
||||||||
(2)
|
Laporan Realisasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas barang yang sudah maupun belum sampai di Wilayah Kerja, disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal Kontraktor tidak menyampaikan Laporan Realisasi Impor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kontraktor dikenakan sanksi berupa penundaan pelayanan pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sampai dengan diserahkannya Laporan Realisasi Impor tersebut.
|
||||||||
(4)
|
Laporan Realisasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||||
|
|
||||||||
Bagian Kedua
Kewajiban Penyampaian Laporan Realisasi Ekspor atas Barang Sewa
Pasal 16 |
|||||||||
(1)
|
Kontraktor wajib menyampaikan Laporan Realisasi Ekspor atas barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor yang disewa oleh Kontraktor dan telah mendapatkan persetujuan dari satuan kerja yang bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
|
||||||||
(2)
|
Laporan Realisasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pelaksanaan ekspor.
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal Kontraktor tidak menyampaikan Laporan Realisasi Ekspor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kontraktor dikenakan sanksi berupa penundaan pelayanan pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sampai dengan diserahkannya Laporan Realisasi Ekspor tersebut.
|
||||||||
(4)
|
Laporan Realisasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||||||
|
|
||||||||
Bagian Ketiga
Kewajiban Pembukuan
Pasal 17 |
|||||||||
Kontraktor dan Penyedia Barang (Vendor) wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
|
|||||||||
|
|||||||||
Bagian Keempat
Penyampaian Surat, Keputusan, Laporan Realisasi Impor dan Laporan Realisasi Ekspor
Pasal 18 |
|||||||||
(1)
|
Penyampaian:
|
||||||||
a. | Surat Pengembalian Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2); | ||||||||
b. | Salinan atas Keputusan Menteri Keuangan dan Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 4 ayat (5), dan Pasal 14 ayat (3) serta ayat (5); | ||||||||
c. | Surat Pemberitahuan Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (4); | ||||||||
d. | Laporan Realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1); dan | ||||||||
e. | Laporan Realisasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), | ||||||||
dilakukan secara elektronik melalui Sistem INSW atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | |||||||||
(2)
|
Dalam hal Sistem INSW atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, penyampaian surat, salinan keputusan, atau laporan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat disampaikan secara manual dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) atau salinan digital (softcopy) atau melalui surat elektronik.
|
||||||||
|
|
||||||||
BAB VII
PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Penelitian Terhadap Laporan Realisasi Impor, Laporan Realisasi Ekspor atas Barang Sewa, dan Hasil Pemotongan Kuota
Pasal 19 |
|||||||||
(1)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), melakukan penelitian terhadap:
|
||||||||
a. | Laporan Realisasi Impor serta hasil pemotongan kuota; dan | ||||||||
b. | Laporan Realisasi Ekspor atas barang sewa. | ||||||||
(2)
|
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik.
|
||||||||
(3)
|
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya indikasi pelanggaran atau penyalahgunaan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor yang telah diberikan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat merekomendasikan untuk dilakukan audit atau penelitian lebih lanjut oleh unit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan.
|
||||||||
|
|
||||||||
Bagian Kedua
Audit
Pasal 20 |
|||||||||
(1)
|
Terhadap Kontraktor yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Penyedia Barang (Vendor) yang melakukan kegiatan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (11) huruf b, dapat dilakukan audit.
|
||||||||
(2)
|
Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak.
|
||||||||
(3)
|
Dalam pelaksanaan kegiatan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontraktor dan/atau Penyedia Barang (Vendor) wajib memberikan keterangan dan dokumen yang diperlukan.
|
||||||||
(4)
|
Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai audit.
|
||||||||
|
|
||||||||
Bagian Ketiga
Monitoring dan Evaluasi
Pasal 21 |
|||||||||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak impor lebih tepat sasaran, serta penyempurnaan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, dan harmonisasi kebijakan di bidang fasilitas pertambangan, direktur pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
|
||||||||
(2)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
|
||||||||
a. | Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja; | ||||||||
b. | Kontraktor; dan/atau | ||||||||
c. | Penyedia Barang (Vendor). | ||||||||
(3)
|
Untuk keperluan evaluasi dalam pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja melakukan monitoring dan evaluasi.
|
||||||||
(4)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap:
|
||||||||
a. | Kontraktor; dan/atau | ||||||||
b. | Penyedia Barang (Vendor). | ||||||||
(5)
|
Dalam hal berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditemukan adanya indikasi pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor yang telah diberikan, direktur pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan dan/atau Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi Wilayah Kerja dapat merekomendasikan untuk dilakukan audit atau penelitian lebih lanjut oleh unit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan.
|
||||||||
(6)
|
Dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Kontraktor dan/atau Penyedia Barang (Vendor) wajib memberikan keterangan dan dokumen yang diperlukan.
|
||||||||
|
|
||||||||
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 22 |
|||||||||
(1)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 4 ayat (4), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4):
|
||||||||
a. | wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan; | ||||||||
b. | bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan | ||||||||
c. | tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pihak lain. | ||||||||
(2)
|
Dalam hal Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk.
|
||||||||
(3)
|
Pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.
|
||||||||
|
|
||||||||
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23 |
|||||||||
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:
|
|||||||||
1.
|
Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor tidak dipungut atas impor barang dalam rangka Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contracts) minyak dan gas bumi yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.05/2005 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor Tidak Dipungut atas Impor Barang dalam rangka Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contracts) Minyak dan Gas Bumi, dinyatakan masih berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku Keputusan Menteri Keuangan dimaksud.
|
||||||||
2.
|
Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pembebasan bea masuk atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi, dinyatakan masih berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku Keputusan Menteri Keuangan dimaksud.
|
||||||||
3.
|
Dalam hal pemotongan kuota impor belum dapat dilakukan secara elektronik, pemotongan kuota impor dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata laksana pemotongan kuota barang impor yang mendapatkan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor.
|
||||||||
4.
|
Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, Laporan Realisasi Impor dan hasil pemotongan kuota dari Kantor Pabean harus disampaikan kepada direktur pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan.
|
||||||||
|
|
||||||||
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24 |
|||||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
|||||||||
a.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.010/2005 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor Tidak Dipungut atas Impor Barang dalam rangka Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contracts) Minyak dan Gas Bumi; dan
|
||||||||
b.
|
ketentuan mengenai pembebasan bea masuk atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi,
|
||||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||||||
|
|||||||||
Pasal 25 |
|||||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
|||||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
|||||||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2019
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 1717
|