Quick Guide
Hide Quick Guide
Bandingkan Versi Sebelumnya
Buka PDF
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, perlu dilakukan penggantian terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
|||
b.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43A ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||
5.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
|||
6.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
|
|||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
|
|||
2.
|
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
|
|||
3.
|
Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
|
|||
4.
|
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
|
|||
5.
|
Undang-Undang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
|
|||
6.
|
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Meterai, Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan Undang-Undang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
|
|||
7.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||
8.
|
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
|
|||
9.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
|
|||
10.
|
Pemeriksa Bukti Permulaan adalah pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang untuk melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
11.
|
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
|||
12.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||
13.
|
Informasi adalah keterangan yang disampaikan secara lisan atau tertulis, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan.
|
|||
14.
|
Data adalah kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku, atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan.
|
|||
15.
|
Data Elektronik adalah data berbentuk elektronik yang tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode Akses, simbol, atau perforasi.
|
|||
16.
|
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh orang atau institusi karena hak dan/atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan kepada pejabat yang berwenang, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, mengenai dugaan telah atau sedang atau akan terjadinya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
|
|||
17.
|
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, untuk menindak menurut hukum orang pribadi atau badan yang diduga telah melakukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
|
|||
18.
|
Peristiwa Pidana adalah peristiwa yang mengandung Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
|
|||
19.
|
Bahan Bukti adalah buku, catatan, dokumen, keterangan, informasi, data, dan/atau benda lainnya, yang dapat digunakan untuk menemukan Bukti Permulaan.
|
|||
20.
|
Unit Pelaksana Penegakan Hukum adalah unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang mempunyai wewenang melaksanakan tugas dan fungsi penegakan hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
21.
|
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||
22.
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah surat perintah untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
|
|||
23.
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan adalah perubahan atas Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang telah diterbitkan.
|
|||
24.
|
Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak termasuk media penyimpan data dan akses data yang dikelola secara elektronik dan benda lain yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan Bahan Bukti.
|
|||
25.
|
Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah dokumentasi yang dibuat oleh Pemeriksa Bukti Permulaan mengenai prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditempuh, Bahan Bukti yang dikumpulkan, analisis Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
26.
|
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah laporan yang disusun oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang mengungkapkan tentang pelaksanaan, simpulan, dan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
27.
|
Laporan Kejadian adalah laporan tertulis tentang adanya Peristiwa Pidana yang terdapat Bukti Permulaan sebagai dasar dilakukan Penyidikan.
|
|||
28.
|
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri.
|
|||
29.
|
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah informasi yang memuat hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan yang disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
30.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
KEWENANGAN, DASAR, LINGKUP, JENIS, DAN JANGKA WAKTU PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN Pasal 2 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap orang pribadi atau badan yang diduga melakukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang menerima Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(3)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum Penyidikan.
|
|||
(4)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti Penyidikan dalam hal Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan pengembangan dan analisis melalui:
|
|||
|
a.
|
kegiatan intelijen; atau
|
||
|
b.
|
kegiatan lain.
|
||
(2)
|
Pengembangan dan analisis melalui kegiatan intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak, dengan hasil laporan berupa lembar informasi intelijen perpajakan.
|
|||
(3)
|
Pengembangan dan analisis melalui kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan pengawasan, Pemeriksaan, pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau pengembangan Penyidikan, dengan hasil berupa Laporan yang memuat usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(4)
|
Laporan hasil pengembangan dan analisis melalui kegiatan intelijen berupa lembar informasi intelijen perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Laporan yang memuat usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan penelaahan.
|
|||
(5)
|
Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk menentukan:
|
|||
|
a.
|
dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, dalam hal terdapat dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
||
|
b.
|
tidak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal tidak terdapat dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
|
||
|
c.
|
dilakukan Penyidikan tanpa Pemeriksaan Bukti Permulaan, dalam hal Tindak Pidana di Bidang Perpajakan diketahui seketika.
|
||
(6)
|
Dalam pelaksanaan penelaahan terhadap Laporan hasil pengembangan dan analisis melalui kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan pengayaan data intelijen perpajakan.
|
|||
(7)
|
Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan atas masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak baik yang belum maupun telah diterbitkan surat ketetapan pajak.
|
|||
(2)
|
Dalam hal telah diterbitkan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan atas data yang memuat dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan selain yang termuat dalam surat ketetapan pajak.
|
|||
(3)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila belum melampaui daluwarsa penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan secara:
|
|||
|
a.
|
terbuka; atau
|
||
|
b.
|
tertutup.
|
||
(2)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap dugaan Peristiwa Pidana yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(3)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(4)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan tidak dengan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan pertimbangan risiko perolehan Bahan Bukti dan/atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara dan selanjutnya dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh Pemeriksa Bukti Permulaan.
|
|||
(3)
|
Apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan belum dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(4)
|
Perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
|
|||
(5)
|
Surat pemberitahuan atas perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka.
|
|||
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan:
|
|||
|
a.
|
daluwarsa penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
|
||
|
b.
|
perkembangan penyelesaian Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan/atau
|
||
|
c.
|
jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
||
|
|
|
|
|
BAB III
KETENTUAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN Pasal 7 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan dengan memenuhi:
|
|||
|
a.
|
kualifikasi Pemeriksa Bukti Permulaan;
|
||
|
b.
|
ketentuan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
|
||
|
c.
|
ketentuan pelaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
||
(2)
|
Kualifikasi Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kualifikasi bagi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
|
||
|
b.
|
mendapat pelatihan teknis yang cukup sebagai Pemeriksa Bukti Permulaan.
|
||
(3)
|
Ketentuan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
melakukan persiapan yang baik;
|
||
|
b.
|
mempertimbangkan daluwarsa penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
||
|
c.
|
melakukan kegiatan Pemeriksaan Bukti Permulaan di kantor Direktorat Jenderal Pajak dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Bukti Permulaan;
|
||
|
d.
|
melakukan kegiatan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan;
|
||
|
e.
|
mendokumentasikan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan;
|
||
|
f.
|
membuat simpulan Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan pada Bahan Bukti yang sah; dan
|
||
|
g.
|
dilakukan pengawasan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
||
(4)
|
Ketentuan pelaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
|
||
|
b.
|
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan mengungkapkan tentang pelaksanaan, simpulan, dan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
||
|
|
|
|
|
BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK DALAM PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN Pasal 8 |
||||
(1)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan, surat pemberitahuan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan, surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan, pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
|
||
|
b.
|
memperlihatkan kartu tanda pengenal Pemeriksa Bukti Permulaan, jika diminta oleh orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
|
||
|
c.
|
memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan, jika diminta oleh orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
|
||
|
d.
|
mengembalikan Bahan Bukti yang telah diperoleh melalui peminjaman ketika Pemeriksaan Bukti Permulaan telah selesai dilaksanakan;
|
||
|
e.
|
merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
|
||
|
f.
|
mengamankan Bahan Bukti yang ditemukan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
||
(2)
|
Kewajiban Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dikecualikan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup.
|
|||
(3)
|
Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
|
|||
|
a.
|
meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
|
||
|
b.
|
mengakses dan/atau mengunduh data, informasi, dan bukti yang dikelola secara elektronik;
|
||
|
c.
|
memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan tertentu, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
|
||
|
d.
|
melakukan Penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
|
||
|
e.
|
meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
|
||
|
f.
|
meminta keterangan kepada pihak yang berkaitan, dan dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan; dan
|
||
|
g.
|
melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
||
(5)
|
Kewajiban orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan:
|
|||
|
a.
|
memberikan kesempatan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk memasuki dan/atau memeriksa tempat atau ruangan tertentu, barang bergerak, dan/atau barang tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti;
|
||
|
b.
|
memberikan kesempatan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk mengakses dan/atau mengunduh Data Elektronik;
|
||
|
c.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan Bahan Bukti kepada Pemeriksa Bukti Permulaan;
|
||
|
d.
|
memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis kepada Pemeriksa Bukti Permulaan; dan
|
||
|
e.
|
memberikan bantuan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan guna kelancaran Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
||
(6)
|
Kewajiban orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup.
|
|||
(7)
|
Hak orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan:
|
|||
|
a.
|
meminta Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan, surat pemberitahuan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan, surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan, pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan;
|
||
|
b.
|
melihat kartu tanda pengenal Pemeriksa Bukti Permulaan;
|
||
|
c.
|
melihat Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan; dan
|
||
|
d.
|
menerima kembali Bahan Bukti yang telah dipinjam ketika Pemeriksaan Bukti Permulaan selesai dilaksanakan.
|
||
(8)
|
Hak orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup.
|
|||
(9)
|
Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN Pasal 9 |
||||
(1)
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menjadi dasar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan.
|
|||
(2)
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan perubahan dengan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan dalam hal terdapat:
|
|||
|
a.
|
perubahan Unit Pelaksana Penegakan Hukum;
|
||
|
b.
|
perubahan Pemeriksa Bukti Permulaan; dan/atau
|
||
|
c.
|
kesalahan administrasi.
|
||
(3)
|
Perubahan Unit Pelaksana Penegakan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pertimbangan efektivitas, efisiensi, atau perubahan struktur organisasi.
|
|||
(4)
|
Perubahan Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pertimbangan efektivitas, efisiensi, atau perubahan struktur organisasi.
|
|||
(5)
|
Dasar pertimbangan perubahan Unit Pelaksana Penegakan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan perubahan Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kesalahan penulisan identitas orang pribadi atau badan dan/atau elemen data lain dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang perubahannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(7)
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A dan Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Untuk membantu tugas Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk pihak lain yang terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
pegawai Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
|
||
|
b.
|
tenaga ahli dari luar Direktorat Jenderal Pajak, yang memiliki keahlian dan/atau kompetensi tertentu.
|
||
(2)
|
Penunjukan pihak lain untuk membantu tugas Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat tugas dari Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERBUKA DAN TERTUTUP Pasal 11 |
||||
(1)
|
Surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) untuk Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka yang dilakukan terhadap orang pribadi disampaikan secara langsung kepada orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau keluarga yang telah dewasa.
|
|||
(2)
|
Surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) untuk Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka yang dilakukan terhadap badan disampaikan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan secara langsung kepada wakil atau pegawai dari badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat disampaikan secara langsung kepada orang pribadi atau badan, penyampaian dapat dilakukan:
|
|||
|
a.
|
melalui pos, jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat;
|
||
|
b.
|
melalui faksimile; atau
|
||
|
c.
|
secara elektronik.
|
||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
Ketentuan mengenai penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 11 ayat (3) berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyampaian surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan surat pemberitahuan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
Surat pemberitahuan:
|
||||
a.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (2);
|
|||
b.
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4); dan
|
|||
c.
|
perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5),
|
|||
dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C, Lampiran huruf D, dan Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat langsung melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan menggunakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a menolak untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(3) |
Dalam hal orang pribadi atau badan menolak untuk menandatangani berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara penolakan penandatanganan.
|
|||
(4)
|
Berdasarkan berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berita acara penolakan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa Bukti Permulaan mengusulkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dilakukan Penyidikan terhadap orang pribadi atau badan tersebut, dalam hal ditemukan Bukti Permulaan atas dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Untuk memperoleh Bahan Bukti dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan:
|
|||
|
a.
|
Pemeriksa Bukti Permulaan; atau
|
||
|
b.
|
Pemeriksa Bukti Permulaan bersama-sama dengan pihak lain yang diberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
|
||
|
dapat memasuki dan/atau memeriksa tempat atau ruangan tertentu, barang bergerak, dan/atau barang tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Bahan Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditemukan, Pemeriksa Bukti Permulaan segera meminjam Bahan Bukti dan membuat tanda terima serta memeriksa Bahan Bukti tersebut.
|
|||
(3)
|
Dalam hal belum diperoleh Bahan Bukti pada saat pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminjam Bahan Bukti dengan surat peminjaman.
|
|||
(4)
|
Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus menyerahkan Bahan Bukti yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pemeriksa Bukti Permulaan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pengiriman surat peminjaman.
|
|||
(5)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan harus membuat tanda terima atas setiap Bahan Bukti yang diperoleh sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
|||
(6)
|
Dalam hal orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak memenuhi permintaan Bahan Bukti dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan telah ditemukannya Bukti Permulaan atas dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dilakukan Penyidikan terhadap orang pribadi atau badan tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Untuk memperoleh atau mengamankan Bahan Bukti, dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan:
|
|||
|
a.
|
Pemeriksa Bukti Permulaan; atau
|
||
|
b.
|
Pemeriksa Bukti Permulaan bersama-sama dengan pihak lain yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
|
||
|
dapat melakukan kegiatan penanganan Data Elektronik, unduhan Data Elektronik, dan/atau bukti elektronik.
|
|||
(2)
|
Kegiatan penanganan Data Elektronik, unduhan Data Elektronik, dan/atau bukti elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kelancaran layanan publik dan integritas atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Untuk memperoleh atau mengamankan Bahan Bukti dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan Penyegelan.
|
|||
(2)
|
Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Pemeriksa Bukti Permulaan tidak diberi atau tidak mempunyai kesempatan untuk memasuki dan/atau memeriksa tempat atau ruangan tertentu, barang bergerak, dan/atau barang tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti;
|
||
|
b.
|
orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak meminjamkan Bahan Bukti yang diminta oleh Pemeriksa Bukti Permulaan; atau
|
||
|
c.
|
terdapat keadaan selain keadaan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, sehingga Pemeriksa Bukti Permulaan memerlukan upaya Penyegelan.
|
||
(3)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi selain anggota Pemeriksa Bukti Permulaan.
|
|||
(4)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah pelaksanaan Penyegelan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menolak menandatangani berita acara Penyegelan, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara Penyegelan.
|
|||
(6)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat membuka segel dalam hal:
|
|||
|
a.
|
orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan telah memberi kesempatan untuk memasuki dan/atau memeriksa tempat atau ruangan tertentu, barang bergerak, dan/atau barang tidak bergerak yang disegel;
|
||
|
b.
|
orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan bersedia meminjamkan dan/atau memberikan akses untuk memperoleh Bahan Bukti yang diminta oleh Pemeriksa Bukti Permulaan;
|
||
|
c.
|
berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Bukti Permulaan, Penyegelan tidak diperlukan lagi; dan/atau
|
||
|
d.
|
terdapat permintaan pembukaan segel dari penyidik yang sedang melakukan Penyidikan.
|
||
(7)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan membuka segel sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi selain anggota Pemeriksa Bukti Permulaan dan membuat berita acara pembukaan segel.
|
|||
(8)
|
Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menolak menandatangani berita acara pembukaan segel, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara pembukaan segel.
|
|||
(9)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta bantuan pengamanan atau meminta sebagai saksi kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau instansi atau unsur pemerintah daerah setempat dalam rangka Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau pembukaan segel sebagaimana dimaksud pada ayat (7) .
|
|||
(10)
|
Dalam hal tanda segel yang digunakan untuk melakukan Penyegelan rusak atau hilang, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara mengenai kerusakan atau kehilangan tersebut dan melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sehubungan dengan tindak pidana terkait Penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Untuk memperoleh dan memperkuat Bahan Bukti dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan dan/atau bukti kepada:
|
|||
|
a.
|
pihak lain yang mempunyai hubungan dengan orang pribadi atau badan, termasuk namun tidak terbatas pada pegawai, pelanggan, atau pemasok; dan/atau
|
||
|
b.
|
pihak ketiga sehubungan dengan keahlian dan/atau kompetensinya, termasuk namun tidak terbatas pada penyedia jasa keuangan, akuntan publik, notaris, dan konsultan.
|
||
(2)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan surat panggilan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal perlu dan mendesak, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara langsung dan segera disampaikan surat panggilan.
|
|||
(4)
|
Permintaan keterangan dan/atau bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis atau secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(5)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meminta keterangan dan/atau bukti di kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat lain dengan alasan yang patut dan wajar.
|
|||
(6)
|
Dalam hal Pemeriksa Bukti Permulaan meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak lain dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak lain dan/atau pihak ketiga wajib memberikan keterangan dan/atau bukti yang diminta oleh Pemeriksa Bukti Permulaan.
|
|||
(7)
|
Terhadap pihak lain dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan dan/atau bukti atau memberikan keterangan dan/atau bukti namun tidak benar, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(8)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara tertutup, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan dan/atau bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerahasiaan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(9)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara permintaan keterangan dan/atau bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8).
|
|||
(10)
|
Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) dilakukan dengan menyampaikan surat panggilan untuk memberikan keterangan dan/atau bukti.
|
|||
(11)
|
Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka berdasarkan Bahan Bukti yang diperoleh.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sebelum jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan berakhir.
|
|||
(3)
|
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan setelah dilakukan klarifikasi mengenai potensi kerugian pada pendapatan negara kepada Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Klarifikasi mengenai potensi kerugian pada pendapatan negara kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan penyampaian surat panggilan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sebelum jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan berakhir.
|
|||
(5)
|
Dalam hal diberikan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sebelum jangka waktu perpanjangan Pemeriksaan Bukti Permulaan berakhir.
|
|||
(6)
|
Dalam hal diberikan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebelum terpenuhinya jangka waktu penyampaian Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(7)
|
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G dan Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
|
|||
|
a.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
|
||
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
|
||
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|||
(2)
|
Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c atau huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) kecuali huruf c dan huruf d, Pasal 39 ayat (3), Pasal 39A, dan Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
|
|||
(3)
|
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
|
||
|
b.
|
Surat Pemberitahuan Masa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
|
||
|
c.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
|
||
(4)
|
Wajib Pajak yang melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
|
|||
|
a.
|
menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya secara tertulis dan menandatanganinya serta tidak dapat dikuasakan; dan
|
||
|
b.
|
melampirkan:
|
||
|
|
1.
|
penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang;
|
|
|
|
2.
|
Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang; dan
|
|
|
|
3.
|
Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
|
(5)
|
Pembayaran jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 2 dan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 3 merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
|
|||
(6)
|
Pengungkapan mengenai ketidakbenaran perbuatan yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(7)
|
Dalam hal penyampaian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan, pengungkapan ketidakbenaran perbuatan disampaikan secara langsung kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat objek pajak diadministrasikan, serta ditembuskan kepada kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum.
|
|||
(8)
|
Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya apabila jumlah pembayaran pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sama dengan atau lebih besar dari jumlah pajak yang terutang menurut hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(9)
|
Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diberitahukan kepada Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Pada saat dilakukan Pemeriksaan ditemukan adanya dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Pemeriksaan ditangguhkan dan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan jika:
|
|||
|
a.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena:
|
||
|
|
1.
|
tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
|
|
|
2.
|
peristiwa bukan merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
|
|
|
|
3.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia;
|
|
|
b.
|
Penyidikan dihentikan:
|
||
|
|
1.
|
karena tidak terdapat cukup bukti;
|
|
|
|
2.
|
karena peristiwa bukan merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
|
|
|
|
3.
|
demi hukum karena terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya (nebis in idem) atau tersangka meninggal dunia;
|
|
|
|
atau
|
||
|
c.
|
terdapat putusan pengadilan atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
||
(3)
|
Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan jika:
|
|||
|
a.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut telah sesuai dengan keadaan sebenarnya;
|
||
|
b.
|
Penyidikan dihentikan karena:
|
||
|
|
1.
|
Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
|
|
|
|
2.
|
Wajib Pajak atau tersangka melakukan pelunasan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
|
|
|
c.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan dihentikan karena telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
|
||
|
d.
|
terdapat putusan pengadilan atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap selain Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
||
(4)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil Penyidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Dalam hal Pemeriksa Bukti Permulaan menemukan:
|
|||
|
a.
|
potensi pajak yang bukan merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti potensi pajak tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
||
|
b.
|
dugaan Peristiwa Pidana yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan lain atau keterlibatan orang pribadi atau badan lain, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap orang pribadi atau badan tersebut;
|
||
|
c.
|
tindak pidana selain Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan tindak pidana tersebut kepada pihak yang berwenang; dan/atau
|
||
|
d.
|
Bukti Permulaan yang cukup mengenai keterlibatan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak melaporkan keterlibatan pegawai tersebut kepada Menteri.
|
||
(2)
|
Kewajiban melaporkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak menunda proses Pemeriksaan Bukti Permulaan, termasuk terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat.
|
|||
(3)
|
Tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tidak menunggu Pemeriksaan Bukti Permulaan selesai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
PELAPORAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN DAN TINDAK LANJUT PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN Pasal 23 |
||||
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan mencantumkan:
|
|||
|
a.
|
pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
|
||
|
b.
|
simpulan mengenai ada atau tidaknya Bukti Permulaan; dan
|
||
|
c.
|
tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
||
(2)
|
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan dan disampaikan kepada kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum.
|
|||
(3)
|
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat paling lama pada saat berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), atau ayat (4).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c kepada orang pribadi atau badan pada saat Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dibuat.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Pemeriksaan untuk dilakukan:
|
|||
|
a.
|
Penyidikan dalam hal ditemukan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan Wajib Pajak:
|
||
|
|
1.
|
tidak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1); atau
|
|
|
|
2.
|
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya namun tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (8);
|
|
|
b.
|
penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal:
|
||
|
|
1.
|
Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (8);
|
|
|
|
2.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia;
|
|
|
|
3.
|
peristiwa bukan merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
|
|
|
4.
|
tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
|
|
|
|
5.
|
daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
|
(3)
|
Dalam hal ditemukan:
|
|||
|
a.
|
potensi pajak yang bukan merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
||
|
b.
|
dugaan Peristiwa Pidana selain yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan;
|
||
|
c.
|
tindak pidana selain Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; dan/atau
|
||
|
d.
|
Bukti Permulaan yang cukup mengenai keterlibatan pegawai Direktorat Jenderal Pajak,
|
||
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pemeriksa Bukti Permulaan harus mengungkapkan tindak lanjut yang telah dilakukan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(4)
|
Apabila Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Surat Pemberitahuan dimaksud dianggap tidak disampaikan.
|
|||
(5)
|
Apabila Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan sejak Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh Pemeriksa Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mempertimbangkannya dalam Laporan Pemeriksaaan Bukti Permulaan.
|
|||
(6)
|
Dalam hal diperoleh atau ditemukan Bahan Bukti setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan yang dapat menyebabkan simpulan yang berbeda dengan simpulan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Direktur Jenderal Pajak dapat kembali melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(7)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara tertutup, tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c meliputi tindak lanjut untuk dilakukan:
|
|||
|
a.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau Penyidikan berdasarkan hasil penelaahan apabila ditemukan dugaan atau Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
|
||
|
b.
|
penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan apabila:
|
||
|
|
1.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia;
|
|
|
|
2.
|
peristiwa bukan merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
|
|
|
3.
|
tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
|
|
|
|
4.
|
daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
|
(8)
|
Pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Terhadap Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a atau Pasal 24 ayat (7) huruf a Pemeriksa Bukti Permulaan mengungkapkan informasi harta kekayaan orang pribadi atau badan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
|||
(2)
|
Berdasarkan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat yang berwenang menyusun Laporan Kejadian.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a angka 2, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara pada saat dilakukan Penyidikan.
|
|||
(4)
|
Penghitungan pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara dalam Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan pembayaran dimaksud merupakan bagian pembayaran atas pelunasan pajak yang kurang dibayar dan ditambahkan sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
|
|||
(5)
|
Pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak dapat dipindahbukukan atau dimintakan pengembalian kelebihan pajak oleh Wajib Pajak.
|
|||
(6)
|
Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu sebesar 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah pembayaran dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya.
|
|||
(7)
|
Cara menghitung jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan contoh penghitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) setelah tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), dengan syarat mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|||
(2)
|
Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pajak dengan melakukan penelitian untuk memastikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan sebenarnya.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4).
|
|||
(4)
|
Ketentuan mengenai contoh format pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
TINDAK PIDANA YANG DIKETAHUI SEKETIKA Pasal 27 |
||||
(1)
|
Tindak pidana yang diketahui seketika merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang diketahui sedang berlangsung atau baru saja terjadi, yang memerlukan penanganan secara segera terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dan pengamanan Bahan Bukti yang ada pada pelaku tersebut.
|
|||
(2)
|
Dalam menangani pelaku tindak pidana dan mengamankan Bahan Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dapat secara langsung meminta keterangan kepada pihak yang terkait dugaan tindak pidana serta meminta dan/atau memeriksa Bahan Bukti.
|
|||
(3)
|
Dalam hal diperoleh Bukti Permulaan dari penanganan tindak pidana yang diketahui seketika sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Laporan Kejadian dapat dibuat tanpa dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) huruf c.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
PELIMPAHAN KEWENANGAN Pasal 28 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak mendelegasikan kewenangannya kepada kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum untuk:
|
|||
|
a.
|
menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat {2);
|
||
|
b.
|
menerbitkan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), surat pemberitahuan Surat Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), dan surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5);
|
||
|
c.
|
menerbitkan Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1);
|
||
|
d.
|
menerbitkan pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3);
|
||
|
e.
|
menunjuk pihak lain yang memiliki keahlian dan/atau kompetensi tertentu untuk membantu dalam pelaksanaan tugas Pemeriksa Bukti Permulaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1O; dan
|
||
|
f.
|
menghentikan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dengan pertimbangan risiko perolehan Bahan Bukti dan/atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara dan selanjutnya dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).
|
||
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak mendelegasikan kewenangannya kepada Pejabat Administrator yang menangani fungsi Pemeriksaan Bukti Permulaan di lingkungan Unit Pelaksana Penegakan Hukum untuk:
|
|||
|
a.
|
menerbitkan surat panggilan kepada orang pribadi atau badan, pihak lain, dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
|
||
|
b.
|
menerbitkan surat peminjaman berkas atau dokumen orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3); dan
|
||
|
c.
|
menerbitkan surat permintaan keterangan dan/atau bukti kepada orang pribadi atau badan, pihak lain yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak dan pihak ketiga sehubungan dengan keahlian dan/atau kompetensinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4).
|
||
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||
1.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, Wajib Pajak tetap dapat melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2);
|
|||
2.
|
pembayaran dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak tetapi belum sesuai dengan keadaan sebenarnya, yang dilakukan sebelum mulai berlakunya Peraturan Menteri ini diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara pada tahap Penyidikan sebesar 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah pembayaran dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya;
|
|||
3.
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sebelum tanggal 17 Februari 2021 harus diselesaikan Pemeriksaan Bukti Permulaannya paling lambat tanggal 31 Desember 2022;
|
|||
4.
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sejak tanggal 17 Februari 2021 harus diselesaikan Pemeriksaan Bukti Permulaannya dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini; dan
|
|||
5.
|
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atas Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atas Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut dapat disampaikan sebelum jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan berakhir.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dokumen dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan yang telah diterbitkan dinyatakan tetap sah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||
1.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1951); dan
|
|||
2.
|
Pasal 107 dan Pasal 114 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153),
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2022 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember 2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 1212 |