Quick Guide
Hide Quick Guide
Bandingkan Versi Sebelumnya
Buka PDF
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 164 TAHUN 2023
TENTANG
TATA CARA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DAN KEWAJIBAN PELAPORAN USAHA UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||
a.
|
bahwa untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, serta kemudahan bagi wajib pajak atau pengusaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu diatur tata cara pelaksanaan pengenaan pajak penghasilan yang jelas dan memudahkan bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu serta penyesuaian terhadap ketentuan mengenai batas waktu kewajiban pelaporan usaha bagi pengusaha yang memiliki jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi batasan pengusaha kecil pajak pertambahan nilai untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dan masa pajak untuk mulai melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah;
|
||||
b.
|
bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu belum menampung kebutuhan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu dilakukan penggantian;
|
||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 57 ayat (5), Pasal 62 ayat (4), dan Pasal 63 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
|
||||
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6836);
|
||||
6.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
||||
7.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 146) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1521);
|
||||
8.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
|
||||
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan |
|||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DAN KEWAJIBAN PELAPORAN USAHA UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
|
||||
2.
|
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
|
||||
3.
|
Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
|
||||
4.
|
Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak badan.
|
||||
5.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
6.
|
Wajib Pajak Berstatus Pusat adalah Wajib Pajak yang dalam administrasi perpajakan memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
|
||||
7.
|
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
|
||||
8.
|
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
|
||||
9.
|
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
|
||||
10.
|
Surat Keterangan adalah surat yang menerangkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
|
||||
11.
|
Jangka Waktu Tertentu adalah jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
|
||||
12.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
|
||||
13.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
14.
|
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
|
||||
15.
|
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
||||
16.
|
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
|
||||
17.
|
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
|
||||
18.
|
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
19.
|
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
|
||||
20.
|
Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada kepala kantor wilayah.
|
||||
21.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
|||||
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
|
|||||
a.
|
objek dan subjek pajak;
|
||||
b.
|
tata cara pemberitahuan Wajib Pajak yang memilih dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan;
|
||||
c.
|
tata cara penghitungan Pajak Penghasilan;
|
||||
d.
|
tata cara penyetoran, pemotongan atau pemungutan, dan pelaporan;
|
||||
e.
|
tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan Surat Keterangan;
|
||||
f.
|
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25; dan
|
||||
g.
|
kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB II
OBJEK DAN SUBJEK PAJAK
Pasal 3 |
|||||
(1)
|
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam Jangka Waktu Tertentu.
|
||||
(2)
|
Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
||||
(3)
|
Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
|
|||
|
b.
|
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
|
|||
|
c.
|
penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
|
|||
|
d.
|
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
|
|||
(4)
|
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
|
||||
|
a.
|
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris;
|
|||
|
b.
|
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
|
|||
|
c.
|
olahragawan;
|
|||
|
d.
|
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
|
|||
|
e.
|
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
|
|||
|
f.
|
agen iklan;
|
|||
|
g.
|
pengawas atau pengelola proyek;
|
|||
|
h.
|
perantara;
|
|||
|
i.
|
petugas penjaja barang dagangan;
|
|||
|
j.
|
agen asuransi; dan
|
|||
|
k.
|
distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak orang pribadi; dan
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas termasuk perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang, atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama,
|
|||
|
yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dengan peredaran bruto atas penghasilan dimaksud tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
|
||||
(2)
|
Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan;
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus yang menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4);
|
|||
|
c.
|
Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
|
|||
|
|
1.
|
Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
|
||
|
|
2.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; atau
|
||
|
|
3.
|
Pasal 75 dan Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus beserta perubahan atau penggantinya; dan
|
||
|
d.
|
Wajib Pajak bentuk usaha tetap.
|
|||
|
|
|
|
|
|
BAB III
TATA CARA PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK YANG MEMILIH DIKENAI PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN KETENTUAN UMUM PAJAK PENGHASILAN
Pasal 5 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Berstatus Pusat terdaftar.
|
||||
(2)
|
Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
|
||||
|
a.
|
secara langsung;
|
|||
|
b.
|
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
|
|||
|
c.
|
secara elektronik.
|
|||
(3)
|
Tata cara penyampaian pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
|
||||
(4)
|
Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada akhir Tahun Pajak.
|
||||
(5)
|
Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya.
|
||||
(6)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar dapat dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak terdaftar dengan cara menyampaikan pemberitahuan pada saat mendaftarkan diri.
|
||||
(7)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk Tahun Pajak berikutnya.
|
||||
(8)
|
Pemberitahuan Wajib Pajak yang memilih dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN
Pasal 6 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final yaitu jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) setiap bulan.
|
||||
(2)
|
Peredaran bruto untuk:
|
||||
|
a.
|
menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
|
|||
|
b.
|
menentukan Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
|
|||
|
merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
|
||||
(3)
|
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, atas bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan.
|
||||
(4)
|
Bagian peredaran bruto yang tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak untuk seluruh tempat kegiatan usaha.
|
||||
(5)
|
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-istri yang:
|
||||
|
a.
|
menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
|
|||
|
b.
|
istrinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
|
|||
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, bagian peredaran bruto atas penghasilan dari usaha yang tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diberlakukan untuk masing-masing suami dan istri.
|
||||
(6)
|
Pajak Penghasilan yang bersifat final terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikalikan dengan:
|
||||
|
a.
|
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memperhitungkan bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; atau
|
|||
|
b.
|
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b.
|
|||
(7)
|
Penghitungan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan sesuai dengan contoh penghitungan yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB V
TATA CARA PENYETORAN, PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN, DAN PELAPORAN
Pasal 7 |
|||||
(1)
|
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6) dilunasi dengan cara:
|
||||
|
a.
|
disetor sendiri oleh Wajib Pajak; atau
|
|||
|
b.
|
dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan, apabila Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan.
|
|||
(2)
|
Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan setiap bulan untuk masing-masing tempat kegiatan usaha paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
(3)
|
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang wajib melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
(4)
|
Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila pada suatu bulan tidak terdapat kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disebabkan karena:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak tidak memiliki penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak hanya melakukan transaksi yang dilakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; atau
|
|||
|
c.
|
peredaran bruto atas penghasilan dari usaha secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama Tahun Pajak yang bersangkutan belum melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
|
|||
(5)
|
Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tanggal validasi nomor transaksi penerimaan negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||||
(1)
|
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dalam kedudukan sebagai pembeli atau pengguna jasa melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 0,5% (nol koma lima persen) terhadap Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
dilakukan untuk setiap transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan;
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak bersangkutan harus menyerahkan salinan Surat Keterangan dimaksud kepada Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan; dan
|
|||
|
c.
|
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan menerbitkan bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan menyerahkan bukti pemotongan atau pemungutan tersebut kepada Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut.
|
|||
(2)
|
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b tidak melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atas transaksi:
|
||||
|
a.
|
impor;
|
|||
|
b.
|
pembelian barang; atau
|
|||
|
c.
|
penjualan barang atau penyerahan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto atas penghasilan dari usaha tidak melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
|
|||
(3)
|
Penerapan ketentuan tidak dilakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas transaksi impor dan pembelian barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, dilakukan Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan dalam hal Wajib Pajak menyerahkan salinan Surat Keterangan.
|
||||
(4)
|
Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus menyampaikan surat pernyataan sebagai pengganti Surat Keterangan kepada Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa peredaran bruto atas penghasilan dari usaha Wajib Pajak pada saat dilakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan tidak melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
||||
(5)
|
Atas transaksi pembelian barang dan penjualan barang atau penyerahan jasa yang dikecualikan dari pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan tetap menerbitkan bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan dengan nilai Pajak Penghasilan nihil.
|
||||
(6)
|
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b menyetorkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
(7)
|
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi atas pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan terdaftar paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang telah menyampaikan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pada kenyataannya memiliki peredaran bruto atas penghasilan dari usaha melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak, Wajib Pajak yang bersangkutan wajib menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan yang bersifat final yang seharusnya dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan bulan dilakukannya transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa dengan Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan.
|
||||
(9)
|
Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib menyampaikan laporan mengenai peredaran bruto atas penghasilan dari usaha dan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
|
||||
(2)
|
Dalam hal berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kelebihan Pajak Penghasilan yang terjadi karena Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a memperhitungkan bagian peredaran bruto atas penghasilan dari usaha tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
(3)
|
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang tidak menyampaikan laporan mengenai peredaran bruto atas penghasilan dari usaha dan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
(4)
|
Laporan mengenai peredaran bruto atas penghasilan dari usaha dan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VI
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN DAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN
Pasal 10 |
|||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan:
|
||||
|
a.
|
Surat Keterangan; dan
|
|||
|
b.
|
surat pembatalan atau pencabutan atas Surat Keterangan yang telah diterbitkan.
|
|||
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Berstatus Pusat terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak Berstatus Pusat mengajukan permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) secara tertulis kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Berstatus Pusat terdaftar.
|
||||
(2)
|
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
|
||||
|
a.
|
secara langsung;
|
|||
|
b.
|
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
|
|||
|
c.
|
secara elektronik.
|
|||
(3)
|
Tata cara pengajuan permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
|
||||
(4)
|
Wajib Pajak dapat diberikan Surat Keterangan sepanjang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
|
|||
|
b.
|
telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
|
|||
|
c.
|
memenuhi kriteria Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
|
|||
(5)
|
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dikecualikan untuk:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak yang baru terdaftar; atau
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir.
|
|||
(6)
|
Surat permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||||
(1)
|
Dalam hal permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara otomatis segera setelah diterbitkan bukti penerimaan elektronik atau bukti penerimaan surat.
|
||||
(2)
|
Dalam hal permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menindaklanjuti permohonan Wajib Pajak dan memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa:
|
||||
|
a.
|
permohonan Wajib Pajak tidak dapat ditindaklanjuti dan mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak secara langsung dalam hal permohonan disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a;
|
|||
|
b.
|
permohonan Wajib Pajak tidak dapat ditindaklanjuti dan mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak dalam hal permohonan disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak; atau
|
|||
|
c.
|
permohonan Wajib Pajak tidak dapat ditindaklanjuti disertai informasi mengenai alasan permohonan tidak dapat ditindaklanjuti dalam hal permohonan disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c.
|
|||
(3)
|
Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kembali.
|
||||
(4)
|
Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||||
Surat Keterangan berlaku sejak tanggal diterbitkan sampai dengan berakhirnya Jangka Waktu Tertentu, kecuali:
|
|||||
a.
|
Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan; atau
|
||||
b.
|
Wajib Pajak sudah tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||||
(1)
|
Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan surat pembatalan atau pencabutan atas Surat Keterangan yang telah diterbitkan.
|
||||
(2)
|
Pembatalan atas Surat Keterangan yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat data yang menunjukkan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan untuk dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pada saat penerbitan Surat Keterangan.
|
||||
(3)
|
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
peredaran bruto dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah);
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak telah memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan;
|
|||
|
c.
|
Wajib Pajak badan berbentuk selain perseroan terbatas, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, persekutuan komanditer, firma, dan koperasi;
|
|||
|
d.
|
Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c; atau
|
|||
|
e.
|
Wajib Pajak merupakan bentuk usaha tetap.
|
|||
(4)
|
Pencabutan atas Surat Keterangan yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal di kemudian hari diketahui bahwa berdasarkan hasil penelitian atas:
|
||||
|
a.
|
laporan hasil pemeriksaan, surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pembetulan, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali;
|
|||
|
b.
|
Surat Pemberitahuan beserta pembetulannya;
|
|||
|
c.
|
surat pemberitahuan memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan; atau
|
|||
|
d.
|
keputusan mengenai pemberian fasilitas Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c,
|
|||
|
Wajib Pajak yang semula memenuhi kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) menjadi tidak lagi memenuhi kriteria dimaksud.
|
||||
(5)
|
Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat pembatalan atau surat pencabutan atas Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan terhitung sejak saat tidak terpenuhinya kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
|
||||
(6)
|
Surat pembatalan dan surat pencabutan atas Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||||
Dokumen berupa:
|
|||||
a.
|
Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a; dan
|
||||
b.
|
surat pembatalan atau surat pencabutan atas Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b,
|
||||
disampaikan kepada Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB VII
ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
Pasal 16 |
|||||
(1)
|
Bagi Wajib Pajak yang:
|
||||
|
a.
|
memilih dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a;
|
|||
|
b.
|
peredaran bruto atas penghasilan dari usahanya telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak; atau
|
|||
|
c.
|
telah melewati Jangka Waktu Tertentu,
|
|||
wajib membayar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 mulai Tahun Pajak pertama Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan.
|
|||||
(2)
|
Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk setiap Masa Pajak pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak tersebut; dan
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 diberlakukan seperti Wajib Pajak baru,
|
|||
|
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KEWAJIBAN PELAPORAN USAHA UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 17 |
|||||
(1)
|
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku mempunyai jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi batasan Pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai batasan Pengusaha kecil pajak pertambahan nilai.
|
||||
(2)
|
Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai batasan Pengusaha kecil pajak pertambahan nilai.
|
||||
(3)
|
Kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat akhir tahun buku saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(4)
|
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(5)
|
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala Kantor Pelayanan Pajak atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan mengukuhkan Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(6)
|
Permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan nomor pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(7)
|
Dalam hal Pengusaha tidak melaksanakan kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala Kantor Pelayanan Pajak atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan dapat mengukuhkan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
|||||
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang mulai Masa Pajak pertama tahun buku berikutnya.
|
||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Masa Pajak dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(3)
|
Pelaksanaan hak Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) dimulai pada Masa Pajak pertama tahun buku berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(4)
|
Penentuan saat dimulainya kewajiban Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang dilakukan sesuai dengan contoh yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||||
(1)
|
Dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Pengusaha melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3); atau
|
|||
|
b.
|
Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7),
|
|||
|
Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang mulai Masa Pajak dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(2)
|
Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang seharusnya dipungut pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah mulai Masa Pajak pertama tahun buku berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sampai dengan sebelum Pengusaha dimaksud dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa pajak pertambahan nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
(3)
|
Surat Pemberitahuan Masa pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan dalam hal terdapat pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang seharusnya dipungut.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Pengusaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||||
(5)
|
Penentuan saat dimulainya kewajiban Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang dilakukan sesuai dengan contoh yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) menghendaki untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang sebelum Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pengusaha dapat:
|
||||
|
a.
|
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan menyampaikan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
|
|||
|
b.
|
menyampaikan pemberitahuan mengenai Masa Pajak untuk mulai memungut, menyetor, dan melaporkan pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang dalam permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dimaksud,
|
|||
|
sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3).
|
||||
(2)
|
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, kepala Kantor Pelayanan Pajak atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan mengukuhkan Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(3)
|
Permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan nomor pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(4)
|
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang mulai Masa Pajak yang dikehendaki untuk mulai memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah, yang tercantum dalam pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||||
(5)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Masa Pajak dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(6)
|
Pelaksanaan hak Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimulai pada Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
||||
(7)
|
Penentuan saat dimulainya kewajiban Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang dilakukan sesuai dengan contoh yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
|||||
(1)
|
Pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai batasan Pengusaha kecil pajak pertambahan nilai selain yang diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dapat memilih untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, Pengusaha kecil harus:
|
||||
|
a.
|
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan menyampaikan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
|
|||
|
b.
|
menyampaikan pemberitahuan mengenai Masa Pajak untuk mulai memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang dalam permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dimaksud.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kepala Kantor Pelayanan Pajak atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan mengukuhkan Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(4)
|
Permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan nomor pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(5)
|
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang mulai Masa Pajak yang dikehendaki untuk mulai memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah, yang tercantum dalam pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
|
||||
(6)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan Masa Pajak dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
||||
(7)
|
Pelaksanaan hak Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai pada Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
||||
(8)
|
Penentuan saat dimulainya kewajiban Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang dilakukan sesuai dengan contoh yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22 |
|||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
terhadap Wajib Pajak badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama yang terdaftar sebelum Tahun Pajak 2023 berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
1.
|
Wajib Pajak dapat:
|
|||
|
|
a)
|
menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) mulai Tahun Pajak 2022;
|
||
|
|
b)
|
memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak 2022; atau
|
||
|
|
c)
|
menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pada Tahun Pajak 2022 dan memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak 2023;
|
||
|
2.
|
dalam hal Wajib Pajak telah menghitung dan melaporkan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2022 menggunakan mekanisme Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 dan akan menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a) dan huruf c), Wajib Pajak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
|
|||
|
3.
|
Wajib Pajak yang memilih dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b) dan huruf c) wajib menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Peraturan Menteri ini mulai berlaku;
|
|||
b.
|
Wajib Pajak badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama yang terdaftar sejak awal Tahun Pajak 2023 sampai dengan tanggal Peraturan Menteri ini diundangkan dapat memilih dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak 2023 dan Tahun Pajak berikutnya dengan cara menyampaikan pemberitahuan paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Peraturan Menteri ini mulai berlaku;
|
||||
c.
|
kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama untuk Masa Pajak pertama Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sampai dengan Masa Pajak mulai berlakunya Peraturan Menteri ini, dilakukan paling lambat bersamaan dengan batas waktu penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) untuk Masa Pajak setelah Masa Pajak Peraturan Menteri ini mulai berlaku; dan
|
||||
d.
|
bagi Pengusaha yang:
|
||||
|
1.
|
mempunyai jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi batasan Pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai batasan Pengusaha kecil pajak pertambahan nilai pada bulan terakhir sebelum bulan mulai berlakunya Peraturan Menteri ini; dan
|
|||
|
2.
|
belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sampai dengan sebelum mulai berlakunya Peraturan Menteri ini,
|
|||
|
kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak serta pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban mulai memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
Surat Keterangan yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan masih berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Jangka Waktu Tertentu dalam Surat Keterangan dimaksud; dan
|
||||
b.
|
bagi Wajib Pajak perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang yang memiliki Surat Keterangan yang masih berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, dapat mengajukan permohonan kembali Surat Keterangan untuk menyesuaikan Jangka Waktu Tertentu dalam Surat Keterangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24 |
|||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 146) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1521); dan
|
||||
b.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1146),
|
||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2023
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2023
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ASEP N. MULYANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 1109
|