Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 115 TAHUN 2024


    TENTANG

    PENAGIHAN UTANG KEPABEANAN DAN CUKAI
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa ketentuan mengenai penagihan utang dalam rangka kegiatan kepabeanan dan cukai telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.04/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai;
    b.
    bahwa untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan meningkatkan kemanfaatan terhadap pelaksanaan tindakan penagihan utang kepabeanan dan cukai melalui penyesuaian proses bisnis pada setiap tahapan penagihan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu diganti;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penagihan Utang Kepabeanan dan Cukai;
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
    3.
    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
    4.
    Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 368) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
    5.
    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 225, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6994);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang Dikecualikan dari Penjualan secara Lelang dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4050);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 249, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4051);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4886);
    10.
    Peraturan Presiden Nomor 140 Tahun 2024 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 250);
    11.
    Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 354);
    12.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENAGIHAN UTANG KEPABEANAN DAN CUKAI.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    1.
    Pungutan Negara adalah pungutan negara dalam rangka impor, pungutan negara dalam rangka ekspor, pungutan negara di bidang cukai, dan/atau pungutan negara lainnya yang terkait dengan kegiatan dalam rangka impor, ekspor, dan/atau di bidang cukai yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
    2.
    Bea Masuk adalah Pungutan Negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
    3.
    Bea Keluar adalah Pungutan Negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan terhadap barang ekspor.
    4.
    Cukai adalah Pungutan Negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
    5.
    Utang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Utang adalah pajak berupa Bea Masuk, Bea Keluar, dan/atau tagihan Cukai yang masih harus dibayar termasuk Bea Masuk antidumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, Bea Masuk pembalasan, sanksi administrasi berupa denda, biaya pengganti penyediaan pita Cukai, dan/atau bunga yang berasal dari dokumen dasar penagihan.
    6.
    Penagihan Utang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Penagihan adalah serangkaian tindakan pejabat dan/atau jurusita agar penanggung Utang melunasi Utang dan biaya penagihan.
    7.
    Biaya Penagihan adalah biaya pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan.
    8.
    Pihak Yang Terutang adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercantum dalam dokumen dasar Penagihan yang menyebabkan timbulnya Utang.
    9.
    Penanggung Utang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Penanggung Utang adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Utang, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Pihak Yang Terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    10.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
    11.
    Pemegang Saham Mayoritas adalah pemegang saham yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh persen) dari keseluruhan saham perusahaan.
    12.
    Pemegang Saham Pengendali adalah pemegang saham yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan.
    13.
    Jurusita Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Jurusita adalah pelaksana tindakan Penagihan yang meliputi Penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
    14.
    Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah Khusus di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
    15.
    Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.
    16.
    Dokumen Penagihan adalah surat teguran, surat perintah Penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, surat perintah penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan.
    17.
    Surat Tagihan di Bidang Cukai yang selanjutnya disingkat STCK-1 adalah surat berupa ketetapan yang digunakan untuk melakukan tagihan Utang Cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan Cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
    18.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan Pihak Yang Terutang untuk melunasi Pungutan Negara yang tercantum dalam dokumen dasar Penagihan yang tidak dibayar pada waktunya.
    19.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang dan Biaya Penagihan.
    20.
    Jatuh Tempo Pembayaran adalah batas waktu harus dilunasinya Utang oleh Pihak Yang Terutang tanpa dikenakan bunga.
    21.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan yang dilaksanakan oleh Jurusita kepada Penanggung Utang sebelum tanggal Jatuh Tempo Pembayaran, sebelum penerbitan Surat Teguran, atau sebelum penerbitan Surat Paksa terhadap seluruh Utang.
    22.
    Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
    23.
    Rekening Keuangan adalah rekening yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan yang meliputi rekening bagi bank, rekening efek dan subrekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
    24.
    Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Utang yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
    25.
    Penyitaan adalah tindakan Jurusita untuk menguasai barang Penanggung Utang, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang menurut peraturan perundang-undangan.
    26.
    Objek Sita adalah barang Penanggung Utang yang dapat dijadikan jaminan Utang.
    27.
    Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan Objek Sita.
    28.
    Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Utang tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    29.
    Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Utang tertentu dengan menempatkannya di tempat tertentu.
    30.
    Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
    31.
    Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
    32.
    Hari adalah hari kalender.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PEJABAT, JURUSITA, DAN PENANGGUNG UTANG
     
    Bagian Kesatu
    Pejabat
     

    Pasal 2

    (1)
    Menteri berwenang menunjuk pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
    (2)
    Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan Penagihan terhadap Utang yang berasal dari dokumen dasar Penagihan yang tidak dilunasi sampai dengan tanggal Jatuh Tempo Pembayaran.
    (3)
    Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai;
     
    b.
    Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai; dan
     
    c.
    Kepala Kantor Wilayah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    Terhadap pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b berwenang untuk:
    a.
    mengangkat dan memberhentikan Jurusita; dan
    b.
    menerbitkan:
     
    1.
    Surat Teguran;
     
    2.
    surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
     
    3.
    Surat Paksa;
     
    4.
    surat perintah melaksanakan Penyitaan;
     
    5.
    surat permintaan Pemblokiran;
     
    6.
    surat permintaan pencabutan Pemblokiran;
     
    7.
    surat pencabutan sita;
     
    8.
    surat penentuan harga limit;
     
    9.
    pengumuman lelang;
     
    10.
    pembatalan lelang;
     
    11.
    surat perintah Penyanderaan; dan
     
    12.
    surat lain yang diperlukan untuk Penagihan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    Terhadap pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c berwenang untuk:
    a.
    mengangkat dan memberhentikan Jurusita; dan
    b.
    melakukan pendampingan, asistensi, monitoring, dan evaluasi.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Jurusita
     

    Pasal 5

    Pengangkatan dan pemberhentian Jurusita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 huruf a harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai syarat-syarat, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian Jurusita.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Jurusita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bertugas:
     
    a.
    melaksanakan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
     
    b.
    memberitahukan Surat Paksa;
     
    c.
    melaksanakan Penyitaan atas Barang Penanggung Utang berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan; dan
     
    d.
    melaksanakan Penyanderaan berdasarkan surat perintah Penyanderaan.
    (2)
    Jurusita menjalankan tugas di wilayah kerja pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang mengangkatnya.
    (3)
    Dalam melaksanakan Penyitaan, Jurusita berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan Objek Sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di tempat tinggal Penanggung Utang, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan Objek Sita.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Penanggung Utang
     

    Pasal 7

    Penagihan dilakukan terhadap:
    a.
    Penanggung Utang atas Pihak Yang Terutang orang pribadi; atau
    b.
    Penanggung Utang atas Pihak Yang Terutang Badan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Penagihan terhadap Penanggung Utang atas Pihak Yang Terutang orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan terhadap:
    a.
    orang pribadi bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang dan Biaya Penagihan;
    b.
    istri atau suami dari Pihak Yang Terutang orang pribadi sebagaimana dimaksud pada huruf a, dalam hal tidak ada perjanjian pisah harta yang dibuktikan dengan akta notaris;
    c.
    seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan dari Pihak Yang Terutang yang telah meninggal dunia dan harta warisan belum terbagi yang bertanggung jawab atas Utang dan Biaya Penagihan sebesar:
     
    1.
    jumlah harta warisan yang belum terbagi, dalam hal Utang dan Biaya Penagihan sama atau lebih besar daripada harta warisan yang belum terbagi; atau
     
    2.
    seluruh Utang dan Biaya Penagihan, dalam hal Utang dan Biaya Penagihan lebih kecil daripada harta warisan yang belum terbagi;
    d.
    para ahli waris dari Pihak Yang Terutang yang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi yang bertanggung jawab atas Utang dan Biaya Penagihan sebesar:
     
    1.
    porsi harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, dalam hal Utang dan Biaya Penagihan sama atau lebih besar daripada harta warisan yang telah dibagi; atau
     
    2.
    seluruh Utang dan Biaya Penagihan, dalam hal Utang dan Biaya Penagihan lebih kecil daripada harta warisan yang telah terbagi;
    e.
    wali bagi anak yang belum dewasa yang bertanggung jawab atas Utang dan Biaya Penagihan sebesar:
     
    1.
    jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya, dalam hal Utang dan Biaya Penagihan sama atau lebih besar daripada jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; atau
     
    2.
    seluruh Utang dan Biaya Penagihan, dalam hal:
     
     
    a)
    Utang dan Biaya Penagihan lebih kecil daripada jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; atau
     
     
    b)
    pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; dan/atau
    f.
    pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan yang bertanggung jawab atas Utang dan Biaya Penagihan sebesar:
     
    1.
    jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya, dalam hal Utang dan Biaya Penagihan sama atau lebih besar daripada jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau
     
    2.
    seluruh Utang dan Biaya Penagihan, dalam hal:
     
     
    a)
    Utang dan Biaya Penagihan lebih kecil daripada jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau
     
     
    b)
    pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta orang yang berada dalam pengampuannya.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Penagihan terhadap Penanggung Utang atas Pihak Yang Terutang Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan terhadap:
     
    a.
    Pihak Yang Terutang Badan bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang dan Biaya Penagihan; dan
     
    b.
    pengurus dari Pihak Yang Terutang Badan yang bertanggung jawab atas Utang dan Biaya Penagihan.
    (2)
    Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
     
    a.
    direksi, pengurus koperasi, pimpinan Badan, ketua yayasan, kepala perwakilan untuk bentuk usaha tetap, kepala cabang untuk bentuk usaha tetap, penanggung jawab atau sekutu komplementer/sekutu aktif yang bertanggung jawab atau mewakili Badan, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng atas seluruh Utang dan Biaya Penagihan untuk persekutuan komanditer;
     
    b.
    dewan komisaris atau pengawas untuk perseroan terbatas, yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng atas seluruh Utang dan Biaya Penagihan;
     
    c.
    pemegang saham, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
     
    1.
    untuk perseroan terbatas terbuka, meliputi:
     
     
     
    a)
    Pemegang Saham Mayoritas dan/atau Pemegang Saham Pengendali yang atas sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di bursa efek;
     
     
     
    b)
    pemegang saham lainnya selain pemegang saham sebagaimana dimaksud pada huruf a) yang atas sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di bursa efek; dan/atau
     
     
     
    c)
    Pemegang Saham Mayoritas tidak langsung dan/atau Pemegang Saham Pengendali tidak langsung; atau
     
     
    2.
    untuk perseroan terbatas tertutup, meliputi:
     
     
     
    a)
    seluruh pemegang saham dari perseroan terbatas; dan/atau
     
     
     
    b)
    Pemegang Saham Mayoritas tidak langsung dan/atau Pemegang Saham Pengendali tidak langsung,
     
     
    bertanggung jawab atas Utang dan Biaya Penagihan secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham terhadap Utang Pihak Yang Terutang Badan; dan/atau
     
    d.
    wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban kepabeanan dan Cukai dan/atau orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng atas seluruh Utang dan Biaya Penagihan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    DOKUMEN DASAR PENAGIHAN
     
    Bagian Kesatu
    Dokumen Dasar Penagihan
     

    Pasal 10

    (1)
    Dokumen dasar Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), terdiri atas:
     
    a.
    surat penetapan, meliputi:
     
     
    1.
    Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP);
     
     
    2.
    Surat Penetapan Pabean (SPP);
     
     
    3.
    Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA);
     
     
    4.
    Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP);
     
     
    5.
    Surat Penetapan Perhitungan Bea Keluar (SPPBK);
     
     
    6.
    Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK); dan
     
     
    7.
    surat penetapan lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan Cukai;
     
    b.
    surat tagihan, meliputi:
     
     
    1.
    STCK-1;
     
     
    2.
    Surat Pemberitahuan dan Penagihan Biaya Pengganti (SPPBP-1); dan
     
     
    3.
    surat tagihan lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan Cukai;
     
    c.
    Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan; dan/atau
     
    d.
    putusan badan peradilan pajak.
    (2)
    STCK-1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu penundaan atau pembayaran berkala yang tidak dilunasi;
     
    b.
    untuk kekurangan Cukai dan pelanggaran yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda yang ditemukan oleh pejabat pada Kantor Pelayanan, dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah ditemukannya kekurangan Cukai dan pelanggaran yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda; dan/atau
     
    c.
    untuk kekurangan Cukai dan pelanggaran yang dikenai sanksi administrasi berupa denda yang ditemukan oleh selain pejabat pada Kantor Pelayanan yang menerbitkan STCK-1, dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya bukti temuan oleh Kepala Kantor Pelayanan.
    (3)
    Kekurangan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c ditemukan karena:
     
    a.
    kesalahan hitung dalam dokumen pemberitahuan atau pemesanan pita Cukai;
     
    b.
    hasil pencacahan;
     
    c.
    kenaikan golongan pengusaha pabrik;
     
    d.
    penggolongan harga jual eceran per batang atau gram; dan/atau
     
    e.
    kesalahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan Cukai.
    (4)
    STCK-1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Jatuh Tempo Pembayaran
     

    Pasal 11

    (1)
    Jatuh Tempo Pembayaran surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a yakni 60 (enam puluh) Hari sejak tanggal surat penetapan.
    (2)
    Jatuh Tempo Pembayaran surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yakni 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan.
    (3)
    Jatuh Tempo Pembayaran Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c yakni 60 (enam puluh) Hari sejak tanggal keputusan.
    (4)
    Jatuh Tempo Pembayaran putusan badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d yakni 30 (tiga puluh) Hari sejak salinan putusan badan peradilan pajak diterima oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
    (5)
    Tanggal diterima surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan:
     
    a.
    tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, surat elektronik, atau media antar lainnya; atau
     
    b.
    tanggal diterima oleh Pihak Yang Terutang, dalam hal tagihan Cukai dikirim secara langsung.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    Jatuh Tempo Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditunda, dalam hal Pihak Yang Terutang mengajukan:
    a.
    keberatan; atau
    b.
    banding,
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keberatan atau banding di bidang kepabeanan dan Cukai.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    SURAT TEGURAN
     

    Pasal 13

    (1)
    Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didahului dengan penerbitan Surat Teguran oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b.
    (2)
    Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah 7 (tujuh) Hari sejak saat tanggal Jatuh Tempo Pembayaran, dalam hal Penanggung Utang tidak melunasi Utang.
    (3)
    Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap Pihak Yang Terutang yang telah mendapat persetujuan untuk menunda atau mengangsur pembayaran Utang.
    (4)
    Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS
     

    Pasal 14

    (1)
    Jurusita melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebelum tanggal Jatuh Tempo Pembayaran, sebelum penerbitan Surat Teguran, atau sebelum penerbitan Surat Paksa berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
    (2)
    Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, dalam hal diperoleh informasi:
     
    a.
    Penanggung Utang akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya atau berniat untuk itu;
     
    b.
    Pihak Yang Terutang memindahtangankan Barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
     
    c.
    terdapat tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
     
    d.
    Badan akan dibubarkan oleh negara;
     
    e.
    terjadi Penyitaan atas Barang milik Pihak Yang Terutang oleh pihak ketiga; atau
     
    f.
    terdapat tanda kepailitan.
    (3)
    Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    SURAT PAKSA
     
    Bagian Kesatu
    Penerbitan dan Pemberitahuan Surat Paksa
     

    Pasal 15

    (1)
    Surat Paksa diterbitkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, dalam hal:
     
    a.
    Utang tidak dilunasi oleh Pihak Yang Terutang setelah 21 (dua puluh satu) Hari terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
     
    b.
    terhadap Pihak Yang Terutang telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
     
    c.
    Pihak Yang Terutang tidak memenuhi ketentuan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan penundaan atau pengangsuran Utang.
    (2)
    Surat Paksa yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c didasarkan pada sisa pokok Utang ditambah bunga.
    (3)
    Dalam hal terdapat Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan penundaan atau pengangsuran Utang, Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b:
     
    a.
    tidak diterbitkan; atau
     
    b.
    dibatalkan apabila telah diterbitkan.
    (4)
    Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Jurusita memberitahukan Surat Paksa dengan pernyataan dan menyerahkan salinan Surat Paksa.
    (2)
    Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita dan dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa.
    (3)
    Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh Jurusita dan Penanggung Utang atau pihak lain yang menerima salinan Surat Paksa.
    (4)
    Berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    Surat Paksa atas Pihak Yang Terutang orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita kepada:
    a.
    Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; atau
    b.
    orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di tempat usaha Penanggung Utang, dalam hal Penanggung Utang yang bersangkutan tidak dapat dijumpai.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    Surat Paksa atas Pihak Yang Terutang Badan diberitahukan oleh Jurusita kepada:
    a.
    pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); atau
    b.
    pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha Badan yang bersangkutan, dalam hal pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dapat dijumpai.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Dalam hal Pihak Yang Terutang dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas, atau Balai Harta Peninggalan.
    (2)
    Dalam hal Pihak Yang Terutang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
    (3)
    Dalam hal Pihak Yang Terutang tidak ditemukan dan Pihak Yang Terutang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban kepabeanan dan Cukai, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam berita acara bahwa pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 menolak untuk menerima Surat Paksa dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
    (2)
    Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 tidak dapat diberitahukan, Surat Paksa disampaikan melalui pemerintah daerah setempat.
    (3)
    Dalam hal Pihak Yang Terutang tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain.
    (4)
    Pengumuman Surat Paksa melalui media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Permintaan Bantuan Pemberitahuan Surat Paksa
     

    Pasal 21

    (1)
    Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa harus dilakukan di luar wilayah kerja pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, pejabat dimaksud meminta bantuan untuk memberitahukan Surat Paksa dengan menerbitkan surat permohonan bantuan pemberitahuan Surat Paksa kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemberitahuan Surat Paksa.
    (2)
    Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita untuk memberitahukan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di provinsi tempat kedudukan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai tersebut.
    (3)
    Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita untuk memberitahukan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota atau kabupaten tempat kedudukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai tersebut.
    (4)
    Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menyampaikan informasi mengenai pemberitahuan Surat Paksa yang telah dilakukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemberitahuan Surat Paksa.
    (5)
    Surat permintaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b yang diminta untuk memberikan bantuan dan atasan pejabat yang meminta bantuan.
    (6)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b yang diminta untuk memberikan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membantu dan memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakannya kepada pejabat yang meminta bantuan dengan dilampiri berita acara pemberitahuan Surat Paksa.
    (7)
    Surat permohonan bantuan pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    Penyampaian permintaan bantuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilengkapi dengan data pendukung untuk mempermudah proses Penagihan, meliputi:
    a.
    dokumen dasar Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1);
    b.
    data alamat kantor atau alamat tempat tinggal Pihak Yang Terutang; dan
    c.
    informasi terkait lainnya jika ada.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PENYITAAN
     
    Bagian Kesatu
    Penyitaan terhadap Objek Sita
     

    Pasal 23

    (1)
    Apabila setelah lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan dan Utang tidak dilunasi oleh Penanggung Utang, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan.
    (2)
    Surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
     
    a.
    nama Pihak Yang Terutang atau nama Pihak Yang Terutang dan Penanggung Utang;
     
    b.
    nomor dan tanggal penerbitan Surat Paksa;
     
    c.
    tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
     
    d.
    nama Jurusita; dan
     
    e.
    perintah untuk melaksanakan Penyitaan.
    (3)
    Jurusita melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (4)
    Dalam hal Objek Sita berada di luar wilayah kerja pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, pejabat dimaksud meminta bantuan dengan surat permohonan bantuan pelaksanaan Penyitaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b yang wilayah kerjanya meliputi tempat Objek Sita berada untuk menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan.
    (5)
    Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus membantu dan memberitahukan pelaksanaan surat perintah melaksanakan Penyitaan kepada pejabat yang meminta bantuan segera setelah Penyitaan dilaksanakan dengan mengirimkan berita acara pelaksanaan sita.
    (6)
    Penyampaian permohonan bantuan pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilengkapi dengan data pendukung yang dibutuhkan untuk memudahkan dalam proses Penyitaan, meliputi:
     
    a.
    data Objek Sita; dan
     
    b.
    informasi terkait lainnya jika ada.
    (7)
    Dalam hal pelaksanaan Penyitaan dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita untuk melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita yang berada di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di provinsi tempat kedudukan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai tersebut.
    (8)
    Dalam hal pelaksanaan Penyitaan dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita untuk melaksanakan Penyitaan di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota atau kabupaten tempat kedudukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai tersebut.
    (9)
    Pejabat yang memerintahkan Jurusita untuk melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) harus memberitahukan pelaksanaan Penyitaan yang telah dilakukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b yang wilayah kerjanya meliputi tempat Objek Sita berada.
    (10)
    Surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (11)
    Surat permohonan bantuan pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (12)
    Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Objek Sita, meliputi:
     
    a.
    Barang milik Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; dan
     
    b.
    Barang milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan dari Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam huruf a, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta,
     
    yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan Utang tertentu.
    (2)
    Pemisahan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pemisahan harta yang tercantum dalam perjanjian perkawinan yang dibuktikan dengan akta notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Objek Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan Penyitaan, meliputi:
     
    a.
    Barang bergerak; dan
     
    b.
    Barang tidak bergerak.
    (4)
    Barang bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, dapat berupa:
     
    a.
    uang tunai, termasuk mata uang asing dan uang elektronik atau uang dalam bentuk lainnya;
     
    b.
    logam mulia, perhiasan emas, permata, dan sejenisnya;
     
    c.
    harta kekayaan Penanggung Utang yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan;
     
    d.
    harta kekayaan Penanggung Utang yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya, yang memiliki nilai tunai;
     
    e.
    surat berharga, meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di pasar modal;
     
    f.
    surat berharga, meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di pasar modal;
     
    g.
    piutang;
     
    h.
    penyertaan modal pada perusahaan lain;
     
    i.
    kendaraan bermotor;
     
    j.
    pesawat terbang; dan
     
    k.
    kapal dengan berat kotor kurang dari 20 (dua puluh) meter kubik.
    (5)
    Barang tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dapat berupa:
     
    a.
    tanah dan/atau bangunan; dan
     
    b.
    kapal dengan berat kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pelaksanaan Penyitaan
     

    Pasal 25

    (1)
    Dalam melaksanakan Penyitaan, Jurusita harus:
     
    a.
    memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita;
     
    b.
    memperlihatkan surat perintah melaksanakan Penyitaan;
     
    c.
    memberitahukan tentang maksud dan tujuan Penyitaan; dan
     
    d.
    membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan Penyitaan.
    (2)
    Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Utang, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita, dan dapat dipercaya.
    (3)
    Dalam hal Penanggung Utang menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jurusita:
     
    a.
    mencantumkan alasan penolakan tersebut dalam berita acara pelaksanaan sita; dan
     
    b.
    menandatangani berita acara pelaksanaan sita tersebut bersama saksi.
    (4)
    Dalam hal pelaksanaan Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Utang atau Penanggung Utang tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita dan saksi, dengan syarat salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari pemerintah daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa.
    (5)
    Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
    (6)
    Salinan berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada Penanggung Utang dan dapat ditempelkan pada Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita, di tempat Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat umum.
    (7)
    Dalam hal Penyitaan dilaksanakan terhadap Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang terdaftar, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b membuat surat pemberitahuan Penyitaan dan permohonan pencatatan atas sita.
    (8)
    Surat pemberitahuan Penyitaan dan permohonan pencatatan atas sita Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disertai dengan salinan berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada instansi tempat kepemilikan Barang dimaksud terdaftar, termasuk kepada:
     
    a.
    Kepolisian Republik Indonesia, untuk Barang bergerak yang kepemilikannya terdaftar;
     
    b.
    Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar;
     
    c.
    Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, untuk kapal; atau
     
    d.
    Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, untuk pesawat terbang.
    (9)
    Dalam hal Penyitaan dilaksanakan terhadap Barang tidak bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar, salinan berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan juga kepada pemerintah daerah dan Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan menurut cara yang lazim di tempat itu.
    (10)
    Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b akan melaksanakan Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Utang yang telah disita sebagai barang bukti dalam kasus pidana, pejabat dimaksud membuat dan menyampaikan surat pemberitahuan Barang milik Penanggung Utang yang telah disita sebagai barang bukti dalam kasus pidana kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Republik Indonesia.
    (11)
    Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan, setelah pembuktian selesai dan diputuskan bahwa barang bukti dikembalikan kepada Penanggung Utang.
    (12)
    Surat pemberitahuan Penyitaan dan permohonan pencatatan atas sita Barang bergerak yang terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (13)
    Surat pemberitahuan Penyitaan dan permohonan pencatatan atas sita Barang tidak bergerak yang terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (14)
    Surat pemberitahuan Barang milik Penanggung Utang yang telah disita sebagai barang bukti dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita.
    (2)
    Penempelan segel sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat, dan bentuk Barang sitaan.
    (3)
    Segel sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
     
    a.
    kata "DISITA";
     
    b.
    nomor dan tanggal berita acara pelaksanaan sita; dan
     
    c.
    larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, dan merusak Barang yang disita.
    (4)
    Segel sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan, dalam hal:
    a.
    nilai Barang sitaan yang tidak cukup untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan; atau
    b.
    hasil lelang, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang tidak cukup untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak.
    (2)
    Urutan Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita dengan memperhatikan jumlah Utang dan Biaya Penagihan serta kemudahan penjualan atau pencairannya.
    (3)
    Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai Barang sitaan diperkirakan cukup untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan.
    (4)
    Dalam memperkirakan nilai Barang yang disita, Jurusita dapat meminta bantuan penilaian kepada pejabat penilai.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Barang sitaan dititipkan kepada Penanggung Utang, kecuali menurut Jurusita, Barang sitaan perlu disimpan di kantor pejabat atau di tempat lain.
    (2)
    Dasar pertimbangan Jurusita untuk menentukan tempat penitipan atau penyimpanan Barang sitaan, berupa:
     
    a.
    risiko kehilangan, kecurian, atau kerusakan; dan
     
    b.
    jenis, sifat, ukuran, atau jumlah Barang sitaan.
    (3)
    Tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    Lembaga Jasa Keuangan;
     
    b.
    kantor pegadaian;
     
    c.
    kantor pos;
     
    d.
    kantor aparat pemerintah daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita, dalam hal Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Utang;
     
    e.
    Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara; dan
     
    f.
    tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Penanggung Utang yang Tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan Sektor Perbankan, Lembaga Jasa Keuangan Sektor Perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
     

    Pasal 30

    (1)
    Jurusita melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Utang yang tersimpan dan/atau dikelola pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf c dan huruf d, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu.
    (2)
    Untuk melaksanakan Pemblokiran, pejabat menyampaikan permintaan Pemblokiran kepada:
     
    a.
    kantor pusat atau divisi pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya yang bertanggung jawab melakukan Pemblokiran dan/atau pemberian informasi; atau
     
    b.
    unit vertikal Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya yang mengelola Rekening Keuangan Penanggung Utang yang bersangkutan, bagi Penanggung Utang yang telah diketahui nomor Rekening Keuangannya.
    (3)
    Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam surat permintaan Pemblokiran harta kekayaan Penanggung Utang dan bukan Penanggung Utang yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dilampiri dengan:
     
    a.
    salinan Surat Paksa dan/atau daftar Surat Paksa; dan
     
    b.
    salinan surat perintah melaksanakan Penyitaan.
    (2)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b melakukan permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar jumlah Utang termasuk bunga dan Biaya Penagihan.
    (3)
    Perhitungan bunga dalam Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bunga maksimal yang tercantum dalam Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
    (4)
    Dalam hal terdapat perbedaan mengenai identitas Penanggung Utang yang terdapat pada data Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi identitas yang digunakan berdasarkan dokumen:
     
    a.
    Kartu Tanda Penduduk;
     
    b.
    akta pendirian berikut perubahannya atau dokumen lain yang dipersamakan;
     
    c.
    Nomor Pokok Wajib Pajak; dan/atau
     
    d.
    paspor atau dokumen yang menunjukkan identitas diri untuk warga negara asing.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dilakukan secara tertulis.
    (2)
    Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekaligus dengan permintaan pemberitahuan secara tertulis atas:
     
    a.
    seluruh nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang; dan
     
    b.
    saldo harta kekayaan Penanggung Utang.
    (3)
    Permintaan pemberitahuan nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam surat permintaan pemberitahuan nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang pada Lembaga Jasa Keuangan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Terhadap permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya wajib melakukan Pemblokiran terhadap Penanggung Utang yang identitasnya tercantum dalam permintaan Pemblokiran sebesar jumlah Utang dan Biaya Penagihan.
    (2)
    Terhadap permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2), Lembaga Jasa Keuangan:
     
    a.
    memberitahukan seluruh nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang; dan
     
    b.
    memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Utang yang terdapat pada seluruh nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang.
    (3)
    Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara seketika setelah permintaan Pemblokiran diterima.
    (4)
    Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya wajib memberitahukan seluruh nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2).
    (5)
    Terhadap pemberitahuan seluruh nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b memberikan bukti penerimaan.
    (6)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat mengajukan kembali permintaan pemberitahuan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang setelah diterima pemberitahuan dari Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal diketahui saldo harta kekayaan Penanggung Utang kurang dari jumlah Utang dan Biaya Penagihan.
    (7)
    Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya wajib memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Utang paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
    (8)
    Pemberitahuan seluruh nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7) dituangkan dalam surat penyampaian informasi nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Terhadap pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya membuat berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan.
    (2)
    Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
     
    a.
    nomor dan tanggal permintaan Pemblokiran;
     
    b.
    Hari, tanggal, dan waktu diterima permintaan Pemblokiran oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya;
     
    c.
    Hari, tanggal, dan waktu dilaksanakan Pemblokiran oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya;
     
    d.
    nama, nomor identitas, dan alamat Penanggung Utang; dan
     
    e.
    nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang yang telah dilakukan Pemblokiran oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
    (3)
    Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dan Penanggung Utang segera setelah dilaksanakan Pemblokiran.
    (4)
    Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Sejak diterimanya permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya tidak diizinkan melakukan pemindahbukuan dan/atau penarikan atas saldo dalam Rekening Keuangan Penanggung Utang yang telah diblokir, kecuali terdapat permintaan dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b.
    (2)
    Dalam hal terdapat informasi dan/atau data yang menunjukkan:
     
    a.
    ketidaksesuaian Hari, tanggal, dan waktu diterimanya permintaan Pemblokiran sebagaimana tertera pada tanda terima permintaan Pemblokiran dengan berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan;
     
    b.
    adanya jeda waktu yang signifikan antara waktu diterimanya permintaan Pemblokiran dan pelaksanaan Pemblokiran; dan/atau
     
    c.
    jumlah saldo harta kekayaan pada Rekening Keuangan Penanggung Utang yang diragukan kebenarannya,
     
    pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b mengajukan permintaan pemberitahuan rincian transaksi atas Rekening Keuangan Penanggung Utang kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
    (3)
    Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya memberikan jawaban paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan rincian transaksi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Pencabutan blokir sebelum dilaksanakan Penyitaan, dilakukan, dalam hal:
     
    a.
    Penanggung Utang membayar Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Utang yang telah diblokir sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    b.
    Penanggung Utang melunasi Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    c.
    Penanggung Utang dapat meyakinkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang dan Biaya Penagihan;
     
    d.
    Penanggung Utang dapat meyakinkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dengan membuktikan bahwa harta kekayaan yang diblokir tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan;
     
    e.
    terdapat putusan badan peradilan pajak;
     
    f.
    hak untuk melakukan Penagihan atas Utang yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran telah kedaluwarsa; dan/atau
     
    g.
    telah dilakukan Pemblokiran yang melebihi jumlah Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9.
    (2)
    Terhadap Pemblokiran yang dilakukan melebihi jumlah Utang dan Biaya Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, pencabutan blokir dilakukan terhadap nilai yang melebihi jumlah Utang dan Biaya Penagihan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Pembayaran Utang dan Biaya Penagihan dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Utang yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pejabat.
    (2)
    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:
     
    a.
    cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan;
     
    b.
    cetakan kode billing untuk pembayaran Utang; dan
     
    c.
    surat permintaan pemindahbukuan kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagai pelunasan Utang dan Biaya Penagihan dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir.
    (3)
    Permohonan penggunaan harta kekayaan Penanggung Utang yang telah diblokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang dan Biaya Penagihan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (4)
    Permintaan pemindahbukuan sebagai pelunasan Utang dan Biaya Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dituangkan dalam surat permintaan pemindahbukuan dari pihak pemilik harta kekayaan yang diblokir kepada pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagai pelunasan Utang dan Biaya Penagihan dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang dan Biaya Penagihan, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan tembusan kepada Penanggung Utang, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
    (2)
    Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya melakukan:
     
    a.
    pencabutan blokir; dan
     
    b.
    pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh pejabat.
    (3)
    Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g dilakukan sesuai permintaan pencabutan blokir yang diajukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan tembusan kepada Penanggung Utang.
    (2)
    Permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permintaan pencabutan blokir harta kekayaan yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Dalam hal setelah saldo harta kekayaan Penanggung Utang yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya diketahui dan Penanggung Utang tidak melunasi Utang dan Biaya Penagihan, Jurusita melaksanakan Penyitaan.
    (2)
    Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9.
    (3)
    Terhadap Penyitaan atas saldo harta kekayaan Penanggung Utang, Jurusita:
     
    a.
    membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh:
     
     
    1.
    Jurusita;
     
     
    2.
    Penanggung Utang;
     
     
    3.
    saksi-saksi; dan/atau
     
     
    4.
    pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya; dan
     
    b.
    menyampaikan salinan berita acara pelaksanaan sita kepada:
     
     
    1.
    Penanggung Utang; dan/atau
     
     
    2.
    pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Pembayaran Utang dan Biaya Penagihan dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Utang yang telah disita sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b.
    (2)
    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:
     
    a.
    cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan; dan
     
    b.
    cetakan kode billing untuk pembayaran Utang.
    (3)
    Permohonan pembayaran Utang dan Biaya Penagihan dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Utang yang telah disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permohonan penggunaan harta kekayaan yang disita untuk membayar Utang dan Biaya Penagihan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang disita untuk membayar Utang dan Biaya Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan tembusan kepada Penanggung Utang, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
    (2)
    Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya melakukan:
     
    a.
    pencabutan blokir; dan
     
    b.
    melakukan pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh pejabat.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menyampaikan surat pencabutan sita kepada Penanggung Utang dengan tembusan kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya setelah pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).
    (2)
    Surat pencabutan sita atas harta kekayaan yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penyitaan Surat Berharga yang Diperdagangkan di Pasar Modal
     

    Pasal 44

    (1)
    Jurusita melaksanakan Penyitaan terhadap surat berharga milik Penanggung Utang yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf e, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu.
    (2)
    Pelaksanaan Pemblokiran surat berharga milik Penanggung Utang, didahului dengan penyampaian permintaan:
     
    a.
    pemberitahuan nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang; dan
     
    b.
    pemberitahuan atas saldo harta kekayaan Penanggung Utang,
     
    oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b yang ditujukan kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal.
    (3)
    Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal wajib memberitahukan nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Setelah mengetahui nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menyampaikan permintaan pemberitahuan Pemblokiran Rekening Keuangan yang terdapat pada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal yang ditujukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menyebutkan:
     
    a.
    nama pemegang Rekening Keuangan;
     
    b.
    nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang; dan
     
    c.
    alasan perlunya dilakukan Pemblokiran.
    (5)
    Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri dengan:
     
    a.
    salinan Surat Paksa dan/atau daftar Surat Paksa; dan
     
    b.
    salinan surat perintah melaksanakan Penyitaan.
    (6)
    Ketentuan mengenai pelaksanaan Pemblokiran dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
    (7)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat mengajukan kembali permintaan pemberitahuan nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang setelah diterima pemberitahuan dari Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal diketahui saldo harta kekayaan Penanggung Utang kurang dari Utang dan Biaya Penagihan.
    (8)
    Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal wajib memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Utang paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
    (9)
    Terhadap pemberitahuan seluruh nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (8), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b memberikan bukti penerimaan.
    (10)
    Permintaan pemblokiran harta kekayaan Penanggung Utang dan bukan Penanggung Utang yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permintaan Pemblokiran harta kekayaan Penanggung Utang dan bukan Penanggung Utang yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf Y yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (11)
    Pemberitahuan nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam surat penyampaian informasi nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang pada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf Z yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Terhadap pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (6), pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal membuat berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan.
    (2)
    Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
     
    a.
    nomor dan tanggal permintaan Pemblokiran;
     
    b.
    hari, tanggal, dan waktu diterima permintaan Pemblokiran oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal;
     
    c.
    hari, tanggal, dan waktu dilaksanakan Pemblokiran oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal;
     
    d.
    nama, nomor identitas, dan alamat Penanggung Utang; dan
     
    e.
    nomor Rekening Keuangan Penanggung Utang yang telah dilakukan Pemblokiran oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal.
    (3)
    Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, Otoritas Jasa Keuangan, dan Penanggung Utang segera setelah dilaksanakan Pemblokiran.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Pencabutan blokir sebelum dilaksanakan Penyitaan terhadap surat berharga milik Penanggung Utang yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dilakukan dalam hal:
     
    a.
    Penanggung Utang melunasi Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    b.
    Penanggung Utang menyerahkan Barang lain yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    c.
    Penanggung Utang dapat meyakinkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang dan Biaya Penagihan;
     
    d.
    Penanggung Utang dapat meyakinkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dengan membuktikan bahwa harta kekayaan yang diblokir tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan;
     
    e.
    terdapat putusan badan peradilan pajak;
     
    f.
    hak untuk melakukan Penagihan atas Utang yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran telah kedaluwarsa; dan/atau
     
    g.
    telah dilakukan Pemblokiran yang melebihi jumlah Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9.
    (2)
    Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
     
    a.
    milik Penanggung Utang, termasuk milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan Penanggung Utang, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);
     
    b.
    tidak sedang dijaminkan atas pelunasan Utang tertentu; dan
     
    c.
    Barang yang mudah dijual atau dicairkan.
    (3)
    Terhadap pelaksanaan pencabutan blokir atas Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang lain yang diserahkan.
    (4)
    Terhadap Pemblokiran yang dilakukan melebihi jumlah Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, pencabutan blokir dilakukan terhadap nilai yang melebihi jumlah Utang dan Biaya Penagihan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dilakukan berdasarkan permintaan pencabutan blokir yang diajukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Penanggung Utang.
    (2)
    Permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permintaan pencabutan blokir atas Rekening Keuangan yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf AA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Dalam hal berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) telah diterima dan Penanggung Utang tetap tidak melunasi Utang dan Biaya Penagihan, Jurusita melaksanakan Penyitaan.
    (2)
    Penyitaan terhadap surat berharga milik Penanggung Utang yang diperdagangkan di pasar modal dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9.
    (3)
    Terhadap Penyitaan atas surat berharga milik Penanggung Utang yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jurusita:
     
    a.
    membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh:
     
     
    1.
    Jurusita;
     
     
    2.
    Penanggung Utang;
     
     
    3.
    saksi-saksi; dan/atau
     
     
    4.
    pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal; dan
     
    b.
    menyampaikan salinan berita acara pelaksanaan sita kepada:
     
     
    1.
    Penanggung Utang; dan/atau
     
     
    2.
    pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Penyitaan Surat Berharga yang Tidak Diperdagangkan di Pasar Modal, Piutang, dan Penyertaan Modal
     

    Pasal 49

    (1)
    Jurusita melaksanakan Penyitaan terhadap:
     
    a.
    surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf f;
     
    b.
    piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf g; dan
     
    c.
    penyertaan modal pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf h,
     
    dengan melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan/atau nilai nominal atau nilai perkiraan Barang sitaan dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf a.
    (2)
    Jurusita membuat:
     
    a.
    berita acara pengalihan hak surat berharga atas nama dari Penanggung Utang kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, dalam hal Barang sitaan merupakan surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
     
    b.
    berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang dari Penanggung Utang kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, dalam hal Barang sitaan merupakan piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; atau
     
    c.
    akta persetujuan pengalihan hak penyertaan modal pada perusahaan lain dari Penanggung Utang kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, dalam hal Barang sitaan merupakan penyertaan modal pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
    (3)
    Lampiran berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf BB yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (4)
    Berita acara pengalihan hak surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf CC yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (5)
    Berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf DD yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (6)
    Akta persetujuan pengalihan hak penyertaan modal pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf EE yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Berita acara pengalihan hak surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a dan berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b minimal memuat:
     
    a.
    Hari dan tanggal berita acara;
     
    b.
    nomor dan tanggal surat perintah melaksanakan Penyitaan;
     
    c.
    nomor dan tanggal berita acara pelaksanaan sita;
     
    d.
    nama dan nomor identitas Penanggung Utang; dan
     
    e.
    jenis dan nilai Barang sitaan.
    (2)
    Akta persetujuan pengalihan hak penyertaan modal pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf c minimal memuat:
     
    a.
    Hari dan tanggal akta;
     
    b.
    nama dan nomor identitas Penanggung Utang;
     
    c.
    nomor akta pendirian perusahaan tempat penyertaan modal berikut perubahannya; dan
     
    d.
    nilai dan nama perusahaan tempat penyertaan modal.
    (3)
    Berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Utang, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita, dan dapat dipercaya.
    (4)
    Dalam hal Penanggung Utang menolak untuk menandatangani berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penanggung Utang tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, atau Penanggung Utang patut diduga melakukan tindak pidana, Penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan Jurusita membuat berita acara pelaksanaan sita.
    (5)
    Dalam hal Penanggung Utang menolak untuk menandatangani berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Jurusita:
     
    a.
    mencantumkan alasan penolakan; dan
     
    b.
    menandatangani berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak tersebut bersama saksi.
    (6)
    Berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    (7)
    Salinan berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak disampaikan kepada Penanggung Utang dan pihak yang berkewajiban membayar Utang atau perusahaan tempat penyertaan modal.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Penjualan Barang Sitaan
     

    Pasal 51

    (1)
    Dalam hal Penanggung Utang tidak melunasi Utang dan Biaya Penagihan setelah dilakukan Penyitaan, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b berwenang:
     
    a.
    melakukan pengumuman dan penjualan secara lelang atas Barang sitaan dengan ketentuan:
     
     
    1.
    pengumuman lelang dilakukan setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan; dan
     
     
    2.
    penjualan secara lelang atas Barang sitaan melalui kantor lelang negara dilakukan setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal pengumuman lelang; atau
     
    b.
    menggunakan, menjual, dan/atau memindahbukukan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang segera setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3),
     
    untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan.
    (2)
    Dalam menentukan harga limit untuk penjualan Barang sitaan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dan menentukan harga jual untuk Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat meminta bantuan penilaian kepada pejabat penilai.
    (3)
    Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf FF yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 2 dilakukan oleh pejabat lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang berwenang melaksanakan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai petunjuk pelaksanaan lelang.
    (2)
    Dalam hal penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena Barang sitaan dibebani hak tanggungan atau jaminan fidusia, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat:
     
    a.
    melaksanakan penjualan secara lelang; atau
     
    b.
    membuat pernyataan bersedia mengangkat Penyitaan agar penjualan dapat dilaksanakan oleh pihak yang memiliki hak tanggungan atau jaminan fidusia,
     
    setelah membuat kesepakatan dengan pihak yang memiliki hak tanggungan atau jaminan fidusia.
    (3)
    Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat dengan memperhatikan pembayaran Utang dan Biaya Penagihan secara optimal.
    (4)
    Dalam hal Barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilakukan penjualan secara lelang, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b mencabut sita.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b dapat berupa:
     
    a.
    uang tunai, termasuk mata uang asing dan uang elektronik atau uang dalam bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    surat berharga, yang dapat berupa:
     
     
    1.
    harta kekayaan Penanggung Utang yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan;
     
     
    2.
    harta kekayaan Penanggung Utang yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya, yang memiliki nilai tunai;
     
     
    3.
    obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di pasar modal;
     
     
    4.
    obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di pasar modal;
     
     
    5.
    piutang;
     
     
    6.
    penyertaan modal pada perusahaan lain; atau
     
     
    7.
    surat berharga lainnya; dan
     
    c.
    Barang yang mudah rusak atau cepat busuk.
    (2)
    Terhadap harta kekayaan Penanggung Utang yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 2, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b meminta kepada pihak Lembaga Jasa Keuangan untuk melakukan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang.
    (3)
    Terhadap surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menyampaikan permintaan pencabutan blokir kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal.
    (4)
    Setelah menyampaikan permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b melakukan penjualan surat berharga milik Penanggung Utang di bursa efek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
    (5)
    Terhadap piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat:
     
    a.
    menjual piutang; atau
     
    b.
    meminta pihak yang berkewajiban membayar Utang menyetor pembayaran langsung ke kas negara,
     
    untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan.
    (6)
    Terhadap Barang yang mudah rusak atau cepat busuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat menjual Barang dimaksud untuk pelunasan Utang dan Biaya Penagihan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b.
    (7)
    Penjualan atas Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang selain pemindahbukuan harta kekayaan yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) dituangkan dalam berita acara pelaksanaan penjualan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang selain pemindahbukuan harta kekayaan yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan.
    (8)
    Berita acara pelaksanaan penjualan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang selain pemindahbukuan harta kekayaan yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf GG yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dilakukan dengan menyampaikan:
     
    a.
    permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang kepada pihak Lembaga Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Penanggung Utang; dan
     
    b.
    surat pencabutan sita kepada Penanggung Utang dengan tembusan kepada pihak Lembaga Jasa Keuangan.
    (2)
    Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak sebesar jumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita.
    (3)
    Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilampiri dengan:
     
    a.
    cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan; dan
     
    b.
    cetakan kode billing untuk pembayaran Utang.
    (4)
    Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pihak Lembaga Jasa Keuangan secara seketika melakukan:
     
    a.
    pencabutan blokir; dan
     
    b.
    pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b.
    (5)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat melakukan permintaan Pemblokiran kembali terhadap harta kekayaan Penanggung Utang yang telah dilakukan pencabutan blokir dengan menyampaikan kembali permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b atau Jurusita yang menerima hasil penjualan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), harus menyetorkan ke kas negara untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan.
    (2)
    Sisa Barang sitaan beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b kepada Penanggung Utang segera setelah lelang dilakukan dan dituangkan dalam berita acara pengembalian Barang sitaan dan kelebihan uang hasil lelang.
    (3)
    Berita acara pengembalian Barang sitaan dan kelebihan uang hasil lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf HH yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pencabutan Sita
     

    Pasal 56

    (1)
    Pencabutan sita dilaksanakan, dalam hal:
     
    a.
    Penanggung Utang telah melunasi Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    b.
    adanya putusan pengadilan atau berdasarkan putusan badan peradilan pajak; atau
     
    c.
    terdapat kondisi tertentu.
    (2)
    Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
     
    a.
    Barang sitaan musnah karena terbakar, gagal teknologi, bencana sosial, dan/atau bencana alam;
     
    b.
    Penanggung Utang menyerahkan Barang lain kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, dalam hal Barang sitaan berupa Barang bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf i, huruf j, dan huruf k, serta Barang tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5);
     
    c.
    Penanggung Utang dapat meyakinkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang dan Biaya Penagihan;
     
    d.
    Penanggung Utang dapat meyakinkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dengan membuktikan bahwa Barang sitaan tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang dan Biaya Penagihan;
     
    e.
    Barang sitaan digunakan untuk kepentingan umum;
     
    f.
    hak untuk melakukan Penagihan atas Utang yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan telah kedaluwarsa;
     
    g.
    Barang sitaan telah dilakukan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 2 atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b; dan/atau
     
    h.
    Barang sitaan telah dilakukan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 2 atau penjualan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b tetapi tidak terjual dan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b mendapatkan Barang lain.
    (3)
    Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf h merupakan:
     
    a.
    milik Penanggung Utang, termasuk milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan Penanggung Utang kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);
     
    b.
    nilainya paling sedikit sama dengan Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    c.
    Barang yang setara atau lebih mudah dijual atau dicairkan dari Barang yang telah disita; dan
     
    d.
    tidak sedang dijaminkan atas pelunasan Utang tertentu.
    (4)
    Terhadap pelaksanaan pencabutan sita atas Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf h, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan atau didapatkan.
    (5)
    Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dan disampaikan oleh Jurusita kepada Penanggung Utang dan instansi yang terkait.
    (6)
    Surat pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PENCEGAHAN
     
    Bagian Kesatu
    Permintaan Pencegahan
     

    Pasal 57

    (1)
    Dalam hal telah dilakukan upaya:
     
    a.
    penjualan Barang sitaan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 2; atau
     
    b.
    penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b,
     
    pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat mengusulkan Pencegahan.
    (2)
    Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Utang yang:
     
    a.
    mempunyai Utang paling sedikit Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
     
    b.
    diragukan iktikad baiknya dalam melunasi Utang.
    (3)
    Penanggung Utang diragukan iktikad baiknya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dalam hal:
     
    a.
    tidak melunasi Utang baik sekaligus maupun angsuran, walaupun telah diberitahukan Surat Paksa; dan/atau
     
    b.
    menyembunyikan atau memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai, termasuk akan membubarkan Badan, setelah timbulnya Utang.
    (4)
    Untuk kepentingan Pencegahan, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dapat melakukan bedah kasus bersama dengan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c untuk mendalami iktikad baik Penanggung Utang yang diragukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
    (5)
    Hasil pelaksanaan bedah kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam berita acara bedah kasus Pencegahan.
    (6)
    Pengusulan Pencegahan dapat dilakukan setelah tanggal Surat Paksa diberitahukan tanpa didahului penerbitan surat perintah melaksanakan Penyitaan, pelaksanaan Penyitaan, atau penjualan Barang sitaan, dalam hal:
     
    a.
    Objek Sita tidak dapat ditemukan;
     
    b.
    hak untuk melakukan Penagihan akan kedaluwarsa dalam jangka waktu kurang dari 2 (dua) tahun;
     
    c.
    berdasarkan data dan informasi terdapat indikasi Penanggung Utang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
     
    d.
    terdapat tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya; atau
     
    e.
    terdapat tanda kepailitan dan/atau dalam keadaan pailit.
    (7)
    Berita acara bedah kasus Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf JJ yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b mengajukan permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
    (2)
    Terhadap permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Keputusan Menteri mengenai Pencegahan.
    (3)
    Keputusan Menteri mengenai Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
     
    a.
    identitas Penanggung Utang yang dikenakan Pencegahan;
     
    b.
    alasan untuk melakukan Pencegahan; dan
     
    c.
    jangka waktu Pencegahan.
    (4)
    Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Utang atas Pihak Yang Terutang Badan atau ahli waris.
    (5)
    Pencegahan terhadap Penanggung Utang tidak mengakibatkan hapusnya Utang dan terhentinya pelaksanaan Penagihan.
    (6)
    Jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan paling lama 6 (enam) bulan.
    (7)
    Permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permintaan Pencegahan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf KK yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan Keputusan Menteri mengenai Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan pemasyarakatan paling lambat 3 (tiga) Hari sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan.
    (2)
    Penyampaian Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan surat permintaan Pencegahan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Dalam hal terdapat keadaan yang mendesak, Direktur Jenderal dapat meminta secara langsung disertai surat permintaan Pencegahan kepada pejabat imigrasi pada tempat pemeriksaan imigrasi atau unit pelaksana teknis yang membawahi tempat pemeriksaan imigrasi untuk melakukan Pencegahan.
    (2)
    Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tanda Penanggung Utang akan meninggalkan Indonesia atau melarikan diri ke luar negeri.
    (3)
    Direktur Jenderal atas nama Menteri harus menyampaikan Keputusan Menteri mengenai Pencegahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan pemasyarakatan paling lama 20 (dua puluh) Hari terhitung sejak tanggal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Direktur Jenderal menyampaikan Keputusan Menteri mengenai Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) dan Pasal 60 ke alamat domisili Penanggung Utang, keluarga Penanggung Utang, atau perwakilan negara Penanggung Utang di Indonesia paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Permintaan Perpanjangan Jangka Waktu Pencegahan
     

    Pasal 62

    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat mengajukan permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan ketentuan:
     
    a.
    jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (6) akan berakhir;
     
    b.
    Penanggung Utang belum melunasi Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pencegahan; dan
     
    c.
    diragukan iktikad baiknya dalam melunasi Utang.
    (2)
    Berdasarkan permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Keputusan Menteri mengenai perpanjangan jangka waktu Pencegahan.
    (3)
    Keputusan Menteri mengenai perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
     
    a.
    identitas Penanggung Utang yang dikenakan perpanjangan jangka waktu Pencegahan;
     
    b.
    alasan untuk melakukan perpanjangan jangka waktu Pencegahan; dan
     
    c.
    jangka waktu perpanjangan Pencegahan.
    (4)
    Jangka waktu perpanjangan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 6 (enam) bulan.
    (5)
    Permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf KK yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan Keputusan Menteri mengenai perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) kepada:
     
    a.
    menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan pemasyarakatan paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (6) berakhir; dan
     
    b.
    Penanggung Utang, keluarga Penanggung Utang, atau perwakilan negara Penanggung Utang di Indonesia paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak tanggal Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) ditetapkan.
    (2)
    Penyampaian Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan surat permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Permintaan Pencabutan Pencegahan
     

    Pasal 64

    (1)
    Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 berakhir karena:
     
    a.
    jangka waktu yang ditetapkan telah habis; atau
     
    b.
    Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) dan Pasal 62 ayat (2) dicabut.
    (2)
    Pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
     
    a.
    Penanggung Utang membayar lunas seluruh Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pencegahan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    b.
    Penanggung Utang menyerahkan Barang yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Pencegahan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    c.
    terdapat putusan badan peradilan pajak;
     
    d.
    Penanggung Utang dapat meyakinkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang dan Biaya Penagihan;
     
    e.
    untuk kepentingan umum atau pertimbangan kemanusiaan; dan/atau
     
    f.
    hak untuk melakukan Penagihan atas Utang yang menjadi dasar dilakukan Pencegahan telah kedaluwarsa.
    (3)
    Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan:
     
    a.
    milik Penanggung Utang, termasuk milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan Penanggung Utang, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
     
    b.
    tidak sedang dijaminkan atas pelunasan Utang tertentu.
    (4)
    Terhadap pelaksanaan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Dalam hal terpenuhinya salah satu pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b mengajukan permintaan pencabutan Pencegahan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
    (2)
    Terhadap permintaan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Keputusan Menteri mengenai pencabutan Keputusan Menteri mengenai Pencegahan.
    (3)
    Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
     
    a.
    Keputusan Menteri mengenai Pencegahan atau Keputusan Menteri mengenai perpanjangan jangka waktu Pencegahan yang menjadi dasar dilakukan Pencegahan;
     
    b.
    identitas Penanggung Utang yang dikenakan pencabutan Pencegahan; dan
     
    c.
    alasan untuk melakukan pencabutan Pencegahan.
    (4)
    Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada:
     
    a.
    menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan pemasyarakatan, paling lambat 3 (tiga) Hari sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan; dan
     
    b.
    Penanggung Utang yang dikenai Pencegahan, paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan.
    (5)
    Penyampaian Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dengan surat permintaan pencabutan Pencegahan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PENYANDERAAN
     
    Bagian Kesatu
    Tata Cara Penyanderaan
     

    Pasal 66

    (1)
    Dalam hal terhadap Penanggung Utang telah dilakukan Pencegahan, Penyanderaan dapat dilakukan terhadap Penanggung Utang dalam jangka waktu paling cepat 30 (tiga puluh) Hari sebelum berakhirnya jangka waktu Pencegahan atau berakhirnya jangka waktu perpanjangan Pencegahan.
    (2)
    Penyanderaan dapat dilakukan setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, dalam hal:
     
    a.
    hak untuk melakukan Penagihan akan kedaluwarsa dalam jangka waktu kurang dari 2 (dua) tahun;
     
    b.
    terdapat tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan; atau
     
    c.
    terdapat tanda kepailitan dan/atau dalam keadaan pailit.
    (3)
    Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Utang yang:
     
    a.
    mempunyai Utang paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
     
    b.
    diragukan iktikad baiknya dalam melunasi Utang.
    (4)
    Penanggung Utang diragukan iktikad baiknya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dalam hal:
     
    a.
    tidak melunasi Utang baik sekaligus maupun angsuran, walaupun telah diberitahukan Surat Paksa; dan/atau
     
    b.
    menyembunyikan atau memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai, termasuk akan membubarkan Badan, setelah timbulnya Utang.
    (5)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dapat melaksanakan bedah kasus bersama pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c untuk mendalami iktikad baik Penanggung Utang yang diragukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b serta alasan lainnya.
    (6)
    Hasil pelaksanaan bedah kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam berita acara bedah kasus Penyanderaan.
    (7)
    Berita acara bedah kasus Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf JJ yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b mengajukan permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
    (2)
    Permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
     
    a.
    identitas Penanggung Utang yang akan disandera;
     
    b.
    jumlah Utang;
     
    c.
    tindakan Penagihan yang telah dilaksanakan;
     
    d.
    uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Utang diragukan iktikad baiknya dalam pelunasan Utang; dan
     
    e.
    lamanya Penyanderaan.
    (3)
    Berdasarkan permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menerbitkan izin Penyanderaan.
    (4)
    Izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) minimal memuat:
     
    a.
    identitas Penanggung Utang;
     
    b.
    alasan Penyanderaan; dan
     
    c.
    lamanya Penyanderaan.
    (5)
    Permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permohonan izin Penyanderaan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf LL yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menerbitkan surat perintah Penyanderaan seketika setelah menerima izin Penyanderaan dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
    (2)
    Surat perintah Penyanderaan minimal memuat:
     
    a.
    identitas Penanggung Utang yang akan disandera;
     
    b.
    alasan Penyanderaan;
     
    c.
    izin Penyanderaan;
     
    d.
    lamanya Penyanderaan; dan
     
    e.
    tempat Penyanderaan.
    (3)
    Jangka waktu Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Utang ditempatkan atau dititipkan dalam tempat Penyanderaan.
    (4)
    Tempat Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tempat pengekangan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tempat dan tata cara Penyanderaan.
    (5)
    Surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf MM yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Jurusita menyampaikan surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) secara langsung kepada Penanggung Utang yang akan disandera dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan.
    (2)
    Penyampaian surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita, dan dapat dipercaya.
    (3)
    Dalam hal Penanggung Utang yang akan disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat ditemukan, Jurusita melalui pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat menyampaikan surat permintaan bantuan kepada Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan Republik Indonesia untuk menghadirkan Penanggung Utang yang tidak dapat ditemukan.
    (4)
    Jurusita membuat berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Utang yang disandera, dan saksi-saksi pada saat surat perintah Penyanderaan disampaikan kepada Penanggung Utang yang disandera.
    (5)
    Dalam hal Penanggung Utang yang disandera menolak penyampaian surat perintah Penyanderaan, Jurusita:
     
    a.
    meninggalkan surat perintah Penyanderaan di tempat kedudukan Penanggung Utang yang disandera; dan
     
    b.
    mencatat dalam berita acara yang menyatakan penolakan penyampaian surat perintah Penyanderaan.
    (6)
    Surat perintah Penyanderaan yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan telah disampaikan.
    (7)
    Jurusita membuat:
     
    a.
    berita acara pelaksanaan Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Utang yang disandera, kepala tempat Penyanderaan, dan saksi-saksi; dan
     
    b.
    berita acara penempatan atau penitipan sandera yang ditandatangani oleh Jurusita, kepala tempat Penyanderaan, dan saksi-saksi,
     
    pada saat Penanggung Utang yang disandera ditempatkan.
    (8)
    Dalam hal Penanggung Utang yang disandera menolak menandatangani berita acara pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Jurusita mencatat dalam berita acara yang menyatakan penolakan penandatangan berita acara pelaksanaan Penyanderaan.
    (9)
    Berita acara pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan berita acara penempatan atau penitipan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b minimal memuat:
     
    a.
    nomor dan tanggal surat perintah Penyanderaan;
     
    b.
    izin tertulis Menteri;
     
    c.
    identitas Jurusita;
     
    d.
    identitas Penanggung Utang yang disandera;
     
    e.
    tempat Penyanderaan;
     
    f.
    lamanya Penyanderaan; dan
     
    g.
    identitas saksi pelaksanaan Penyanderaan.
    (10)
    Surat permintaan bantuan untuk menghadirkan Penanggung Utang yang tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf NN yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (11)
    Berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf OO yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (12)
    Berita acara pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf PP yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (13)
    Berita acara penempatan atau penitipan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf QQ yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Hak dan Kewajiban Penanggung Utang yang Disandera
     

    Pasal 70

    (1)
    Selama dalam Penyanderaan, Penanggung Utang yang disandera berhak:
     
    a.
    melakukan ibadah di tempat Penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
     
    b.
    memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
     
    d.
    menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas;
     
    e.
    memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya sendiri; dan/atau
     
    f.
    menerima kunjungan dari:
     
     
    1.
    keluarga, pengacara, dan sahabat paling banyak 3 (tiga) kali dalam seminggu selama 30 (tiga puluh) menit untuk setiap kali kunjungan, setelah mendapat izin dari pejabat; dan/atau
     
     
    2.
    dokter pribadi dan/atau rohaniwan atas biaya sendiri, setelah mendapat izin dari kepala tempat Penyanderaan.
    (2)
    Penanggung Utang yang disandera dalam tempat Penyanderaan wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di tempat Penyanderaan.
    (3)
    Dalam hal Penanggung Utang yang disandera melakukan pelanggaran tata tertib dan disiplin, kepala tempat Penyanderaan memberitahukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b.
    (4)
    Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan suatu tindak pidana, kepala tempat Penyanderaan melaporkan kepada Kepolisian Republik Indonesia.
    (5)
    Izin kunjungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dituangkan dalam surat izin kunjungan Penanggung Utang yang Disandera dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum tercantum dalam Lampiran huruf RR yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Dalam hal Penanggung Utang yang disandera melarikan diri dalam masa:
     
    a.
    Penyanderaan; atau
     
    b.
    izin keluar sementara,
     
    pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b melakukan Penyanderaan kembali berdasarkan surat perintah Penyanderaan yang telah diterbitkan terhadapnya.
    (2)
    Biaya dalam rangka penangkapan yang timbul karena Penanggung Utang yang disandera melarikan diri merupakan Biaya Penagihan yang dibebankan kepada Penanggung Utang yang disandera.
    (3)
    Masa pelarian Penanggung Utang yang disandera tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Selain memperoleh hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), Penanggung Utang yang disandera berhak mendapatkan izin keluar sementara dari tempat Penyanderaan.
    (2)
    Izin keluar sementara dari tempat Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, dalam hal Penanggung Utang yang disandera:
     
    a.
    menderita sakit berat yang memerlukan perawatan rumah sakit di luar tempat Penyanderaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang ditunjuk oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b;
     
    b.
    memenuhi panggilan dari aparat penegak hukum dan/atau sidang di pengadilan;
     
    c.
    mengikuti pemilihan umum di tempat pemilihan umum, dalam hal tempat pemilihan umum tidak tersedia di tempat Penyanderaan;
     
    d.
    menghadiri pemakaman orang tua, suami atau istri, atau anak; atau
     
    e.
    menjadi wali nikah atau menghadiri pernikahan anak.
    (3)
    Pemberian surat izin keluar sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan kepala tempat Penyanderaan.
    (4)
    Jangka waktu yang tercantum dalam surat izin keluar sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan.
    (5)
    Permohonan izin keluar sementara dari tempat Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permohonan izin keluar sementara dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf SS merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Perpanjangan Jangka Waktu Penyanderaan
     

    Pasal 73

    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat mengajukan permohonan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan ketentuan:
     
    a.
    jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) akan berakhir; dan
     
    b.
    Penanggung Utang belum melunasi Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Penyanderaan.
    (2)
    Berdasarkan permohonan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menerbitkan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan.
    (3)
    Izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
     
    a.
    identitas Penanggung Utang yang disandera;
     
    b.
    alasan perpanjangan jangka waktu Penyanderaan; dan
     
    c.
    lamanya perpanjangan jangka waktu Penyanderaan.
    (4)
    Jangka waktu perpanjangan Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penyanderaan sebelumnya berakhir.
    (5)
    Berdasarkan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menerbitkan kembali surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1).
    (6)
    Mekanisme pengajuan permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Penyanderaan.
    (7)
    Permohonan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat permohonan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf LL yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pelepasan Penanggung Utang yang Dilakukan Penyanderaan
     

    Pasal 74

    (1)
    Penanggung Utang yang dilakukan Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dilepas dengan persyaratan sebagai berikut:
     
    a.
    Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Penyanderaan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 telah dibayar lunas;
     
    b.
    lamanya Penyanderaan yang ditetapkan dalam surat perintah Penyanderaan telah berakhir;
     
    c.
    berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
     
    d.
    berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri.
    (2)
    Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
     
    a.
    Penanggung Utang menyerahkan Barang yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukan Penyanderaan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9;
     
    b.
    Penanggung Utang yang disandera telah berumur 80 (delapan puluh) tahun atau lebih;
     
    c.
    Penanggung Utang yang disandera menderita sakit berat sehingga memerlukan perawatan dalam jangka waktu yang lama di luar tempat Penyanderaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang ditunjuk oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b;
     
    d.
    Penanggung Utang yang disandera dapat meyakinkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang dan Biaya Penagihan;
     
    e.
    untuk kepentingan umum atau pertimbangan kemanusiaan; dan/atau
     
    f.
    hak untuk melakukan Penagihan atas Utang yang menjadi dasar dilakukan Penyanderaan telah kedaluwarsa.
    (3)
    Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan:
     
    a.
    milik Penanggung Utang, termasuk milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan Penanggung Utang, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
     
    b.
    tidak sedang dijaminkan atas pelunasan Utang tertentu.
    (4)
    Terhadap pelaksanaan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Dalam hal Penanggung Utang memenuhi salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menerbitkan surat pemberitahuan pelepasan sandera.
    (2)
    Jurusita menyampaikan surat pemberitahuan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kepala tempat Penyanderaan.
    (3)
    Dalam hal Penanggung Utang memenuhi salah satu pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menyampaikan usulan pelepasan sandera kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
    (4)
    Mekanisme permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme penyampaian usulan pelepasan sandera.
    (5)
    Berdasarkan usulan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menerbitkan surat rekomendasi pelepasan sandera.
    (6)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menerbitkan surat pemberitahuan pelepasan sandera setelah menerima surat rekomendasi pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dari Menteri.
    (7)
    Jurusita menyampaikan surat pemberitahuan pelepasan sandera kepada kepala tempat Penyanderaan paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diterimanya surat rekomendasi pelepasan sandera dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
    (8)
    Surat pemberitahuan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf TT yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Selain persyaratan pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), Penanggung Utang yang disandera dilepaskan, dalam hal Penanggung Utang yang disandera meninggal dunia di tempat Penyanderaan.
    (2)
    Kepala tempat Penyanderaan segera memberitahukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dan keluarga dari Penanggung Utang yang disandera disertai berita acara kematian.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    DUKUNGAN PELAKSANAAN TINDAKAN PENAGIHAN
     

    Pasal 77

    (1)
    Dalam mendukung pelaksanaan tindakan Penagihan, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat:
     
    a.
    mengajukan permohonan pembatasan atau Pemblokiran layanan publik tertentu terhadap Penanggung Utang yang tidak melunasi Utang;
     
    b.
    meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, kementerian yang membidangi hukum, kementerian yang membidangi imigrasi dan pemasyarakatan, pemerintah daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, bank, atau pihak lain; dan/atau
     
    c.
    menerbitkan surat keterangan Penanggung Utang yang memuat nama yang berkedudukan sebagai Penanggung Utang pada Surat Paksa, bagi pihak ketiga yang memerlukan.
    (2)
    Permohonan pembatasan atau Pemblokiran layanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    layanan publik tertentu diselenggarakan oleh instansi pemerintah; dan
     
    b.
    Surat Paksa telah diberitahukan kepada Penanggung Utang.
    (3)
    Terhadap pembatasan atau Pemblokiran layanan publik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b dapat mengajukan permohonan pembukaan blokir, dalam hal:
     
    a.
    Penanggung Utang telah melunasi seluruh Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi dasar dilakukannya pembatasan atau Pemblokiran layanan publik tertentu;
     
    b.
    terdapat putusan badan peradilan pajak;
     
    c.
    Penanggung Utang telah dilakukan Penyitaan yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang dan Biaya Penagihan yang menjadi tanggung jawabnya; atau
     
    d.
    hak untuk melakukan Penagihan atas Utang yang menjadi dasar dilakukan pembatasan atau Pemblokiran layanan publik tertentu telah kedaluwarsa.
    (4)
    Surat keterangan Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf UU yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    PEMBETULAN, PEMBATALAN, DAN PENGGANTIAN
     
    Bagian Kesatu
    Pembetulan, Pembatalan, dan Penggantian Dokumen Penagihan
     

    Pasal 78

    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf huruf b dapat melakukan pembetulan, pembatalan, atau penggantian Dokumen Penagihan.
    (2)
    Pembetulan, pembatalan, atau penggantian Dokumen Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
     
    a.
    berdasarkan permohonan Penanggung Utang; atau
     
    b.
    secara jabatan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b.
    (3)
    Pembetulan Dokumen Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, jumlah Utang, atau keterangan lain yang dituangkan dalam keputusan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b mengenai pembetulan Dokumen Penagihan.
    (4)
    Terhadap keputusan pejabat mengenai pembetulan Dokumen Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b menerbitkan Dokumen Penagihan yang dibetulkan.
    (5)
    Pembatalan Dokumen Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal seharusnya tidak diterbitkan termasuk pembatalan akibat adanya Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan penundaan atau pengangsuran Utang.
    (6)
    Pembatalan Dokumen Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam keputusan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b mengenai pembatalan Dokumen Penagihan.
    (7)
    Dokumen Penagihan yang hilang, rusak, atau tidak dapat ditemukan lagi, dapat diterbitkan Dokumen Penagihan pengganti.
    (8)
    Dokumen Penagihan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) digunakan untuk pelaksanaan Penagihan dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Dokumen Penagihan asli.
    (9)
    Permohonan pembetulan, pembatalan, atau penggantian Dokumen Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dituangkan dalam surat permohonan pembetulan, pembatalan, atau penggantian surat dan/atau pengumuman dalam rangka Penagihan dengan Surat Paksa oleh Pihak Yang Terutang dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf VV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (10)
    Keputusan pembetulan Dokumen Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf WW yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (11)
    Dokumen Penagihan yang dilakukan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (12)
    Keputusan pembatalan Dokumen Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf YY yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (13)
    Dokumen Penagihan yang dilakukan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf ZZ yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penggantian Dokumen Dasar Penagihan
     

    Pasal 79

    (1)
    Dalam hal dokumen dasar Penagihan berupa surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan/atau surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b hilang, rusak, dan/atau tidak dapat ditemukan lagi, dapat diterbitkan surat penetapan pengganti.
    (2)
    Surat penetapan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki Jatuh Tempo Pembayaran yang sama dengan surat penetapan atau surat tagihan asli.
    (3)
    Surat penetapan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pelaksanaan Penagihan dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat penetapan atau surat tagihan asli.
    (4)
    Surat penetapan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf AAA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    MONITORING DAN EVALUASI PENAGIHAN
     

    Pasal 80

    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) melakukan monitoring dan evaluasi atas:
    a.
    penerbitan Dokumen Penagihan dan dokumen terkait lainnya; dan
    b.
    pelaksanaan Penagihan,
    secara berjenjang paling sedikit sekali dalam 6 (enam) bulan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    PENGELOLAAN PROSES PENAGIHAN SECARA ELEKTRONIK
     

    Pasal 81

    (1)
    Pelaksanaan:
     
    a.
    penerbitan Surat Teguran;
     
    b.
    penerbitan surat perintah Penagihan Seketika Sekaligus dan dokumen terkait lainnya;
     
    c.
    penerbitan Surat Paksa dan dokumen terkait lainnya;
     
    d.
    penerbitan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak dalam rangka Impor;
     
    e.
    penerbitan surat perintah melaksanakan Penyitaan dan dokumen terkait lainnya;
     
    f.
    penerbitan surat terkait lelang dan penjualan yang dikecualikan secara lelang;
     
    g.
    penerbitan surat terkait Pencegahan;
     
    h.
    penerbitan surat terkait Penyanderaan;
     
    i.
    penerbitan surat terkait dukungan pelaksanaan tindakan Penagihan;
     
    j.
    pembetulan, pembatalan, dan penggantian Dokumen Penagihan;
     
    k.
    penerbitan dokumen dasar Penagihan pengganti;
     
    l.
    monitoring dan evaluasi Penagihan; dan
     
    m.
    penerbitan surat terkait lainnya yang diperlukan dalam tindakan Penagihan,
     
    dilakukan secara elektronik.
    (2)
    Dalam hal sistem elektronik belum tersedia atau mengalami gangguan operasional, pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN LAIN-LAIN
     

    Pasal 82

    (1)
    Terhadap tagihan Pajak Pertambahan Nilai impor, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor pada Hari yang sama dengan penerbitan Surat Paksa atau setelah hari ke-28 (dua puluh delapan) sejak Jatuh Tempo Pembayaran, diterbitkan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak dalam rangka Impor.
    (2)
    Surat Pemberitahuan Piutang Pajak dalam rangka Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan, dalam hal Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan penundaan Utang kepabeanan atau Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan pengangsuran Utang telah diterbitkan dan jaminan telah diserahkan.
    (3)
    Surat Pemberitahuan Piutang Pajak dalam rangka Impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pihak Yang Terutang terdaftar, dengan tembusan:
     
    a.
    direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang Penagihan pajak;
     
    b.
    direktur yang menangani data dan informasi perpajakan;
     
    c.
    Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; dan
     
    d.
    Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
    (4)
    Dalam hal telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak dalam rangka Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak melakukan Penagihan lagi atas tagihan Pajak Pertambahan Nilai impor, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor.
    (5)
    Proses Penagihan atas tagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
    (6)
    Surat Piutang Pajak dalam rangka Impor, disampaikan kepada yang berhak paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah diterbitkan dengan cara:
     
    a.
    disampaikan secara langsung;
     
    b.
    dikirimkan melalui pos;
     
    c.
    dikirimkan melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir;
     
    d.
    disampaikan melalui data elektronik; atau
     
    e.
    dikirimkan melalui media lainnya.
    (7)
    Penyampaian Surat Piutang Pajak dalam rangka Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilampiri dengan dokumen dasar Penagihan.
    (8)
    Surat Pemberitahuan Piutang Pajak dalam rangka Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf BBB yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    (1)
    Utang kepada negara yang tidak dibayar atau kurang dibayar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak tanggal Jatuh Tempo Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai Hari pembayarannya dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan.
    (2)
    Perhitungan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ilustrasi cara penghitungan bunga berdasarkan pokok Utang yang belum dibayar sampai dengan tanggal Jatuh Tempo Pembayaran.
    (3)
    Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung 1 (satu) bulan penuh jika telah lewat tanggal Jatuh Tempo Pembayaran sampai dengan 30 (tiga puluh) Hari.
    (4)
    Dalam rangka Penagihan, harus memperhitungkan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Ilustrasi cara penghitungan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan dalam Lampiran huruf CCC yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Proses Penagihan atas Utang ditatausahakan oleh:
    a.
    pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b;
    b.
    pejabat yang melaksanakan pengelolaan Penagihan; dan/atau
    c.
    Jurusita.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Hak Penagihan atas Utang yang tercantum pada dokumen dasar Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak timbulnya kewajiban membayar.
    (2)
    Masa kedaluwarsa atas Utang di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan, dalam hal:
     
    a.
    Pihak Yang Terutang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
     
    b.
    Pihak Yang Terutang memperoleh penundaan atas kekurangan pembayaran Utang paling lama 12 (dua belas) bulan; atau
     
    c.
    Pihak Yang Terutang melakukan pelanggaran di bidang kepabeanan.
    (3)
    Masa kedaluwarsa atas Utang di bidang Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan, dalam hal terdapat pengakuan Utang Cukai.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XV
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 86

    Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
    a.
    Dokumen Penagihan, daftar, formulir, dan laporan yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.04/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan Utang dibayar lunas atau dihapustagihkan; dan
    b.
    Terhadap dokumen dasar Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 5 dan angka 6 serta huruf b angka 2 yang telah diterbitkan dengan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, proses penyelesaian Penagihan dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2020 tentang Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga, Bendahara Umum Negara dan Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2020 tentang Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga, Bendahara Umum Negara dan Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XVI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 87

    Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
    a.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1003) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.04/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1656); dan
    b.
    ketentuan Pasal 21 huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.04/2022 tentang Pemungutan Bea Keluar (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 620),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 23 Desember 2024
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    ttd.
    SRI MULYANI INDRAWATI

    Diundangkan di Jakarta
    Pada tanggal 31 Desember 2024
    DIREKTUR JENDERAL
    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
    KEMENTERIAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    DHAHANA PUTRA

    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 1089

    Peraturan Menteri Keuangan 115 TAHUN 2024 - Perpajakan DDTC