Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 10/PMK.03/2013

     
    TENTANG
     
    TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
     

    Menimbang

    a.
    bahwa ketentuan mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
    b.
    bahwa dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada huruf a;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
     
     

    Mengingat

    1.
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
    2.
    Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG.
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
    2.
    Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    3.
    SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.
    4.
    SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
    5.
    Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    6.
    Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
    7.
    Wajib Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disingkat WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
    8.
    Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disingkat P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
    9.
    Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor, yang selanjutnya disingkat SPKPBM adalah formulir penagihan untuk menagih bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan pajak dalam rangka impor yang tidak atau kurang dibayar oleh importir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, yang diterbitkan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penagihan piutang bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan pajak dalam rangka impor.
    10.
    Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, yang selanjutnya disingkat SPTNP adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
    11.
    Surat Penetapan Pabean, yang selanjutnya disingkat SPP adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
    12.
    Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, yang selanjutnya disingkat SPKTNP adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai
     
     
    BAB II
    RUANG LINGKUP
     

    Pasal 2

    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal:
    a.
    terdapat pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
    b.
    terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;
    c.
    terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak; atau
    d.
    terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka impor.
       

    Pasal 3

    (1)
    Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat berupa:
     
    a.
    pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang;
     
    b.
    pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan;
     
    c.
    pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar; atau
     
    d.
    pembayaran pajak oleh Wajib Pajak terkait dengan permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP yang tidak disetujui.
    (2)
    Kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat berupa:
     
    a.
    pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B;
     
    b.
    pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak;
     
    c.
    pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
     
    d.
    pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
    (3)
    Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dapat berupa:
     
    a.
    pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
     
    b.
    pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau
     
    c.
    pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.
    (4)
    Kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah impor yang telah dibayar dan tercantum dalam:
     
    a.
    SPTNP atau SPKTNP;
     
    b.
    SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan;
     
    c.
    SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan putusan banding;
     
    d.
    SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali;
     
    e.
    SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding;
     
    f.
    SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan kembali; atau
     
    g.
    dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang,
     
    yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak.
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Dalam hal terjadi pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a atau huruf d, pembayaran tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan.
    (2)
    Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi.
    (3)
    Ketentuan untuk mengajukan permohonan untuk memperoleh pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
     

    Pasal 5

    (1)
    Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c dan pajak yang dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang dipotong atau dipungut tersebut.
    (2)
    Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan mengajukan permohonan.
    (3)
    Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi terhadap Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan mengajukan permohonan.
    (4)
    Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi terhadap Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pajak yang dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan mengajukan permohonan.
    (5)
    Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c dilakukan terhadap WPLN, pemotongan atau pemungutan tersebut hanya dapat diminta kembali oleh WPLN yang menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dengan mengajukan permohonan.
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5), dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan, dalam hal:
     
    a.
    pihak yang dipotong atau dipungut merupakan orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
     
    b.
    pihak yang dipotong atau dipungut merupakan WPLN yang tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
    (2)
    Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha, permohonan diajukan langsung oleh pihak yang dipotong atau dipungut.
     
     
    BAB III
    PERMOHONAN
     

    Pasal 7

    (1)
    Permohonan untuk memperoleh pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan atas suatu bukti pembayaran, bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak.
    (2)
    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (3)
    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
    (4)
    Dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, permohonan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau ke Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan berdomisili dalam hal orang pribadi atau badan tersebut tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
    (2)
    Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), permohonan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut terdaftar.
    (3)
    Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), permohonan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pihak yang dipungut terdaftar.
    (4)
    Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), permohonan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pihak yang dipungut terdaftar.
    (5)
    Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan dikukuhkan.
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus dilampiri dengan dokumen berupa:
     
    a.
    Untuk pembayaran yang terkait dengan Pasal 2 huruf a:
     
     
    1)
    asli bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak;
     
     
    2)
    perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
     
     
    3)
    alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
     
    b.
    Untuk pembayaran yang terkait dengan Pasal 2 huruf d:
     
     
    1)
    fotokopi bukti pembayaran pajak berupa surat setoran pabean cukai dan pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan surat setoran pabean cukai dan pajak;
     
     
    2)
    fotokopi keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali yang terkait dengan SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, SPP, atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang;
     
     
    3)
    perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
     
     
    4)
    alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (2)
    Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
     
    a.
    asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
     
    b.
    perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
     
    c.
    alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (3)
    Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
     
    a.
    asli bukti pemungutan pajak atau faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak;
     
    b.
    perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
     
    c.
    alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (4)
    Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
     
    a.
    asli bukti pemungutan pajak atau faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak;
     
    b.
    perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
     
    c.
    alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (5)
    Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
     
    a.
    asli bukti pemotongan/pemungutan pajak atau faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak;
     
    b.
    perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
     
    c.
    surat permohonan dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan;
     
    d.
    surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan; dan
     
    e.
    alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (6)
    Dalam hal pemotong atau pemungut tidak dapat ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), permohonan dilakukan langsung oleh pihak yang dipotong atau dipungut harus dilampiri dengan dokumen berupa:
     
    a.
    asli bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak;
     
    b.
    perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
     
    c.
    alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Penyampaian permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dilakukan:
     
    a.
    secara langsung dengan bukti penerimaan surat;
     
    b.
    melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
     
    c.
    melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
    (2)
    Bukti penerimaan surat atau bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti penerimaan surat permohonan.
     
     
    BAB IV
    PROSES PENYELESAIAN PERMOHONAN
     

    Pasal 11

    (1)
    Direktur Jenderal Pajak melakukan Verifikasi terhadap permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
    (2)
    Dalam hal untuk melakukan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan tambahan dokumen pendukung lainnya yang terkait dengan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen tersebut kepada Wajib Pajak atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
    (3)
    Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
     
    a.
    pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke kas negara; dan
     
    b.
    pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dikreditkan dalam SPT.
    (4)
    Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pembayaran pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
     
    a.
    pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke kas negara;
     
    b.
    dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a terkait dengan PPh Pasal 22 impor, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
     
    c.
    dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a terkait dengan PPN impor, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan; dan
     
    d.
    dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a terkait dengan PPnBM impor, pajak tersebut tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan.
    (5)
    Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
     
    a.
    pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
     
    b.
    dalam hal pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a terkait dengan pemotongan atau pemungutan yang bersifat tidak final, Pajak Penghasilan tersebut tidak dikreditkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut;
     
    c.
    pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan oleh pemotong atau pemungut dalam SPT Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut; dan
     
    d.
    pajak yang dipotong atau dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.
    (6)
    Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
     
    a.
    pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
     
    b.
    pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
     
    c.
    pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN Wajib Pajak pemungut; dan
     
    d.
    pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.
    (7)
    Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
     
    a.
    pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
     
    b.
    pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dibiayakan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipungut atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
     
    c.
    pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN Wajib Pajak pemungut; dan
     
    d.
    pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.
    (8)
    Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap WPLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan:
     
    a.
    pajak yang seharusnya tidak terutang yang telah dibayar atau disetor ke kas negara; dan
     
    b.
    pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan dalam SPT Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut.
    (9)
    Dalam hal berdasarkan laporan hasil Verifikasi terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
    (10)
    Dalam hal berdasarkan laporan hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan secara tertulis kepada pemohon.
     
     

    Pasal 12

    Dalam hal permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan dengan mengisi kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
    a.
    untuk badan, pada 2 (dua) digit pertama dicantumkan angka 01 (nol satu);
    b.
    untuk orang pribadi, pada 2 (dua) digit pertama dicantumkan angka 04 (nol empat);
    c.
    pada 7 (tujuh) digit berikutnya dicantumkan angka 0 (nol);
    d.
    pada 3 (tiga) digit berikutnya dicantumkan angka kode Kantor Pelayanan Pajak tempat permohonan diajukan; dan
    e.
    pada 3 (tiga) digit terakhir dicantumkan angka 0 (nol).
     
     

    Pasal 13

    Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     

    Pasal 14

    Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2013.
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
     
    Ditetapkan di Jakarta
    Pada tanggal 2 Januari 2013
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    AGUS D.W. MARTOWARDOJO
     
    Diundangkan di Jakarta
    Pada tanggal 2 Januari 2013
    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    AMIR SYAMSUDIN
     
    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 20132 NOMOR 13

    Peraturan Menteri Keuangan 10/PMK.03/2013 - Perpajakan DDTC