Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan dan kondisi terakhir tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
|
|||
|
|
||
Menimbang |
|||
a.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
|
||
b.
|
bahwa berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain telah diatur mengenai ruang lingkup dan pihak yang berhak memperoleh manfaat perjanjian;
|
||
c.
|
bahwa diperlukan adanya pedoman untuk memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
|
||
|
|
|
|
Mengingat |
|||
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
|||
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
|
|||
|
|
|
|
Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
|
|||
(1)
|
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
|
||
(2)
|
Subjek Pajak dalam negeri selanjutnya disebut SPDN adalah subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
|
||
(3)
|
Wajib Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang pribadi maupun badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
|
||
(4)
|
Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, SPDN, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
(5)
|
Agen (agent) adalah orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
|
||
(6)
|
Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dan/atau subjek pajak dalam negeri dari negara mitra P3B.
|
||
(2)
|
P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, meskipun penerima penghasilan telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
|
|
|
|
Pasal 3 |
|||
Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal:
|
|||
a.
|
transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
|
||
b.
|
transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
|
||
c.
|
penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
|
||
|
|
|
|
Pasal 4 |
|||
(1)
|
Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang:
|
||
|
a.
|
bertindak tidak sebagai Agen;
|
|
|
b.
|
bertindak tidak sebagai Nominee; dan
|
|
|
c.
|
bukan Perusahaan Conduit.
|
|
(2)
|
Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang tidak dianggap melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
|
||
|
a.
|
Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
|
|
|
b.
|
lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara mitra P3B;
|
|
|
c.
|
WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
|
|
|
d.
|
perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
|
|
|
e.
|
bank; atau
|
|
|
f.
|
perusahaan yang memenuhi persyaratan:
|
|
|
|
1)
|
pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
|
|
|
2)
|
kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
|
|
|
3)
|
perusahaan mempunyai pegawai; dan
|
|
|
4)
|
mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
|
|
|
5)
|
penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
|
|
|
6)
|
tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
|
(3)
|
Perusahaan conduit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung.
|
||
(4)
|
Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
|
||
(5)
|
Pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat pasar modal berada.
|
||
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||
(1)
|
Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
|
||
|
a.
|
Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; dan
|
|
|
b.
|
WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang.
|
|
(2)
|
Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form).
|
||
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||
Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka:
|
|||
a.
|
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Antara Indonesia Dengan Belanda;
|
||
b.
|
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.03/2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner Sebagaimana Dimaksud Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia Dengan Negara Mitra;
|
||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. | |||
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
|
|||
|
|||
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 November 2009 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO |