Quick Guide
Hide Quick Guide
Bandingkan Versi Sebelumnya
Buka PDF
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-25/PJ/2018
TENTANG
TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
|
|
|||||||||
Menimbang |
||||||||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017;
|
|||||||||
b.
|
bahwa dalam rangka penyederhanaan dan kemudahan administrasi, memberikan kepastian hukum, dan untuk mencegah penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
|
|||||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
|
|||||||||
|
|
|||||||||
Mengingat |
||||||||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
|||||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
|||||||||
3.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
|
|||||||||
4.
|
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 248);
|
|||||||||
|
||||||||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||||||
Menetapkan |
||||||||||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
|
||||||||||
|
||||||||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
1.
|
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
|
|||||||||
2.
|
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
|
|||||||||
3.
|
Manfaat P3B adalah fasilitas dalam P3B yang dapat berupa tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh atau pengecualian dari pengenaan pajak di negara sumber.
|
|||||||||
4.
|
Wajib Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disingkat WPLN adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap atau tanpa melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
|
|||||||||
5.
|
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN.
|
|||||||||
6.
|
Surat Keterangan Domisili WPLN yang selanjutnya disingkat SKD WPLN adalah surat keterangan berupa formulir yang diisi oleh WPLN dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
|
|||||||||
7.
|
Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
|
|||||||||
8.
|
Pejabat yang Berwenang Mengesahkan SKD WPLN atau Competent Authority yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
|
|||||||||
9.
|
Agen adalah orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
|
|||||||||
10.
|
Nominee adalah orang pribadi atau badan yang secara hukum memiliki suatu harta dan/atau penghasilan (legal owner) untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
|
|||||||||
11.
|
Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh Manfaat P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di Indonesia, sementara manfaat ekonomi dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang pribadi atau badan di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh Manfaat P3B jika penghasilan tersebut diterima langsung.
|
|||||||||
|
|
|||||||||
BAB II
MANFAAT P3B DAN KEWAJIBAN PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK Pasal 2 |
||||||||||
WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh Manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan ketentuan:
|
||||||||||
a.
|
penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
|
|||||||||
b.
|
penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
|
|||||||||
c.
|
tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
|
|||||||||
d.
|
penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
|
|||||||||
|
|
|||||||||
Pasal 3 |
||||||||||
(1)
|
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal terdapat pengaturan khusus dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN yang berisi informasi mengenai telah terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak diketahui bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak terpenuhi, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
|
|||||||||
|
|
|||||||||
BAB III
SKD WPLN Pasal 4 |
||||||||||
(1)
|
SKD WPLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||||||||
|
a.
|
menggunakan Form DGT;
|
||||||||
|
b.
|
diisi dengan benar, lengkap dan jelas;
|
||||||||
|
c.
|
ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
|
||||||||
|
d.
|
disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
|
||||||||
|
e.
|
terdapat pernyataan WPLN bahwa tidak terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c;
|
||||||||
|
f.
|
terdapat pernyataan bahwa WPLN merupakan beneficial owner dalam hal dipersyaratkan dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d; dan
|
||||||||
|
g.
|
digunakan untuk periode yang tercantum pada SKD WPLN.
|
||||||||
(2)
|
Penandasahan oleh Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dituangkan dalam Part II Form DGT.
|
|||||||||
(3)
|
Penandasahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digantikan dengan Certificate of Residence yang harus memenuhi ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
menggunakan bahasa Inggris;
|
||||||||
|
b.
|
paling sedikit mencantumkan informasi mengenai:
|
||||||||
|
|
1)
|
nama WPLN;
|
|||||||
|
|
2)
|
tanggal penerbitan;
|
|||||||
|
|
3)
|
tahun pajak berlakunya Certificate of Residence; dan
|
|||||||
|
|
4)
|
nama dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal WPLN menggunakan Certificate of Residence sebagaimana dimaksud pada ayat (3), WPLN tetap wajib mengisi Form DGT selain Part II.
|
|||||||||
(5)
|
Certificate of Residence yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan satu kesatuan dengan SKD WPLN.
|
|||||||||
(6)
|
Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dilakukan dengan cara mengisi SKD WPLN dengan menyatakan bahwa:
|
|||||||||
|
a.
|
tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
|
||||||||
|
b.
|
WPLN merupakan beneficial owner dalam hal dipersyaratkan dalam P3B,
|
||||||||
|
sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||||||||
(7)
|
Periode yang tercantum pada SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g yaitu paling lama 12 (dua belas) bulan.
|
|||||||||
(8)
|
Form DGT menggunakan formulir dengan format sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||||||||
|
|
|||||||||
BAB IV
PENYALAHGUNAAN P3B Pasal 5 |
||||||||||
(1)
|
Tidak terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dalam hal:
|
|||||||||
|
a.
|
WPLN memiliki:
|
||||||||
|
|
1)
|
substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
|
|||||||
|
|
2)
|
bentuk hukum (legal form) yang sama dengan substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
|
|||||||
|
|
3)
|
kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi;
|
|||||||
|
|
4)
|
aset tetap dan aset tidak tetap, yang cukup dan memadai untuk melaksanakan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
|
|||||||
|
|
5)
|
pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan; dan
|
|||||||
|
|
6)
|
kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia; serta
|
|||||||
|
b.
|
tidak terdapat pengaturan transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat dari penerapan P3B antara lain:
|
||||||||
|
|
1)
|
pengurangan beban pajak; dan/atau
|
|||||||
|
|
2)
|
tidak dikenakannya pajak di negara atau yurisdiksi manapun (double non taxation),
|
|||||||
|
|
yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B.
|
||||||||
(2)
|
Kegiatan atau usaha aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 6 adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN sesuai keadaan yang sebenarnya yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk kegiatan signifikan yang dilakukan WPLN untuk mempertahankan kelangsungan entitas.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal terdapat perbedaan antara bentuk hukum (legal form) suatu struktur/skema transaksi dengan substansi ekonominya (economic substance), perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonominya (substance over form) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1.
|
|||||||||
|
|
|||||||||
BAB V
BENEFICIAL OWNER Pasal 6 |
||||||||||
(1)
|
WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dalam hal:
|
|||||||||
|
a.
|
bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
|
||||||||
|
b.
|
bagi WPLN badan, harus memenuhi ketentuan:
|
||||||||
|
|
1)
|
tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit;
|
|||||||
|
|
2)
|
mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
|
|||||||
|
|
3)
|
tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
|
|||||||
|
|
4)
|
menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki; dan
|
|||||||
|
|
5)
|
tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
|
|||||||
(2)
|
Yang dimaksud dengan penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 yaitu seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan nonkonsolidasi WPLN.
|
|||||||||
(3)
|
Tidak termasuk kewajiban kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 meliputi pemberian imbalan kepada:
|
|||||||||
|
a.
|
karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan; dan
|
||||||||
|
b.
|
pihak lain atas biaya lain yang lazim dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya.
|
||||||||
|
|
|
||||||||
BAB VI
TATA CARA PENYAMPAIAN SKD WPLN, PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN DAN PELAPORAN PAJAK Pasal 7 |
||||||||||
(1)
|
Dalam rangka pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), WPLN menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Pemotong dan/atau Pemungut Pajak.
|
|||||||||
(2)
|
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak yang menerima SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan informasi dalam SKD WPLN dimaksud secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|||||||||
(3)
|
Atas penyampaian SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan tanda terima SKD WPLN, dan Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan tanda terima SKD WPLN tersebut kepada WPLN.
|
|||||||||
(4)
|
Penyampaian SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dilakukan 1 (satu) kali untuk menerima Manfaat P3B sesuai dengan periode yang tercantum dalam SKD WPLN.
|
|||||||||
(5)
|
WPLN yang telah memiliki tanda terima SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak perlu menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pemotongan dan/atau pemungutan pajak berikutnya sesuai dengan periode yang tercantum dalam SKD WPLN untuk penghasilan yang berasal dari:
|
|||||||||
|
a.
|
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
|
||||||||
|
b.
|
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak selain Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a.
|
||||||||
(6)
|
WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menyampaikan tanda terima SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pemotong dan/atau Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b.
|
|||||||||
(7)
|
Dalam rangka pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pemotong dan/atau Pemungut Pajak yang menerima tanda terima SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus melakukan pengecekan terhadap informasi dalam SKD WPLN pada laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan tanda terima SKD WPLN yang diterima tersebut.
|
|||||||||
(8)
|
Dalam hal berdasarkan pengecekan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diketahui bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak terpenuhi, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
|
|||||||||
|
|
|||||||||
Pasal 8 |
||||||||||
(1)
|
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang berbentuk dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan.
|
|||||||||
|
||||||||||
Pasal 9 |
||||||||||
(1)
|
Pemotong dan/atau Pemungut Wajib melaporkan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut di Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tetap harus melaporkan penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh tersebut dalam Surat Pemberitahuan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan.
|
|||||||||
(3)
|
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus menyampaikan tanda terima SKD WPLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) sebagai pengganti SKD WPLN untuk dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Masa untuk masa terutangnya pajak.
|
|||||||||
|
|
|||||||||
BAB VII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK Pasal 10 |
||||||||||
(1)
|
WPLN dapat meminta pengembalian kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak terkait penerapan P3B yang disebabkan:
|
|||||||||
|
a.
|
kesalahan penerapan P3B;
|
||||||||
|
b.
|
keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan P3B setelah terjadi pemotongan dan/atau pemungutan; atau
|
||||||||
|
c.
|
Persetujuan Bersama.
|
||||||||
(2)
|
Kesalahan penerapan P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara lain meliputi kesalahan administratif seperti salah potong, salah tulis, dan/atau salah hitung.
|
|||||||||
(3)
|
Keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah keterlambatan penyampaian SKD oleh WPLN setelah dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak.
|
|||||||||
(4)
|
Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh Pejabat yang Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang telah dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||||||
(5)
|
Pengembalian kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal pemotongan dan/atau pemungutan pajak telah dilaporkan dalam SPT Masa Pemotong atau Pemungut Pajak untuk masa terutangnya pajak.
|
|||||||||
(6)
|
Tata cara pengembalian kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
|
|||||||||
|
||||||||||
BAB VIII
KETENTUAN KHUSUS Pasal 11 |
||||||||||
(1)
|
Dalam hal penerima penghasilan merupakan Pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh otoritas perpajakan di Indonesia dan otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, penerapan P3B dapat dilakukan dengan tidak menggunakan Form DGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
|
|||||||||
(2)
|
Penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Certificate of Residence yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) atau surat keterangan dari otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang menyatakan bahwa penerima penghasilan tersebut merupakan pihak yang dapat dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu berdasarkan P3B.
|
|||||||||
(3)
|
Certificate of Residence atau surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan untuk tahun pajak yang tercantum pada Certificate of Residence atau surat keterangan tersebut.
|
|||||||||
|
|
|||||||||
Pasal 12 |
||||||||||
Untuk dapat menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B selain ketentuan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, WPLN harus menyerahkan Certificate of Residence yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kegiatan usaha atau tempat kedudukan WPLN di Indonesia paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
|
||||||||||
|
|
|||||||||
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 |
||||||||||
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku:
|
||||||||||
1.
|
SKD yang telah disahkan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, tetap dapat dipergunakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2018; dan
|
|||||||||
2.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||||||
|
||||||||||
BAB X
PENUTUP Pasal 14 |
||||||||||
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019.
|
||||||||||
|
||||||||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2018 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd.
ROBERT PAKPAHAN
|