Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER-9/BC/2012
TENTANG
TATALAKSANA AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
|
||||
|
|
|||
Menimbang: | ||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 butir 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 200/PMK.04/2011 tentang Audit Kepabeanan dan Audit Cukai, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai;
|
||||
|
||||
Mengingat: | ||||
1. | Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); | |||
2. | Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755); | |||
3. | Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; | |||
4. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2011; | |||
5. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2011 tentang Audit Kepabeanan dan Audit Cukai; | |||
|
||||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan: | ||||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TENTANG TATALAKSANA AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
|
||||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
|
|||
2.
|
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 39 Tahun 2007.
|
|||
3. | Audit adalah audit kepabeanan dan/atau audit cukai. | |||
4. | Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan. | |||
5. | Audit Cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai. | |||
6. | Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai. | |||
7. | Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. | |||
8. | Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. | |||
9. | Audit Umum adalah audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai. | |||
10. | Audit Khusus adalah audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan tertentu terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai. | |||
11. | Audit Investigasi adalah Audit dalam rangka membantu proses penyelidikan dalam hal terdapat dugaan tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai. | |||
12. | Tim Audit adalah tim yang diberi tugas untuk melaksanakan Audit berdasarkan surat tugas atau surat perintah dari Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. | |||
13. | Auditee adalah orang yang diaudit oleh Tim Audit. | |||
14. | Daftar Temuan Sementara yang selanjutnya disingkat DTS adalah daftar yang memuat temuan dan kesimpulan sementara atas hasil pelaksanaan audit. | |||
15. | Laporan Hasil Audit yang selanjutnya disingkat LHA adalah laporan pelaksanaan audit yang disusun oleh tim audit sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan audit. | |||
16. | Auditor adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai auditor yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan audit. | |||
17. | Ketua Auditor adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai Ketua Auditor Bea dan Cukai. | |||
18. | Pengendali Teknis Audit yang selanjutnya disingkat PTA adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai PTA Bea dan Cukai. | |||
19. | Pengawas Mutu Audit yang selanjutnya disingkat PMA adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai PMA Bea dan Cukai. | |||
20. | Data Elektronik adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis. | |||
21. | Data Audit adalah laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai. | |||
22. | Daftar Rencana Obyek Audit yang selanjutnya disingkat DROA adalah daftar yang berisi nama Orang yang akan diaudit beserta alasan dan rencana waktu pelaksanaan audit dalam periode tertentu. | |||
23. | Periode DROA adalah jangka waktu dari 1 Januari s.d. 30 Juni dan dari 1 Juli s.d. 31 Desember. | |||
24. | Nomor Penugasan Audit yang selanjutnya disingkat NPA adalah nomor yang diterbitkan oleh Direktur Audit dan berfungsi sebagai sarana pengawasan pelaksanaan audit serta menjadi dasar penerbitan surat tugas. | |||
25. | Pekerjaan Kantor adalah pekerjaan dalam rangka audit yang dilakukan di Kantor Pejabat Bea dan Cukai. | |||
26. | Pekerjaan Lapangan adalah pekerjaan dalam rangka audit yang dilakukan di tempat Auditee yang dapat meliputi kantor, pabrik, tempat usaha, atau tempat lain, yang diketahui ada kaitannya dengan kegiatan usaha Auditee. | |||
27. | Sediaan Barang adalah semua barang yang terkait dengan kewajiban di bidang kepabeanan dan/atau cukai. | |||
28. | Tindakan Pengamanan adalah tindakan penyegelan yang dilakukan untuk menjamin laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai, dan barang yang penting agar tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak berpindah tempat atau ruangan sampai pemeriksaan dapat dilanjutkan dan/atau dilakukan tindakan lain yang dibenarkan oleh ketentuan dalam peraturan perundanganundangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai dengan tetap mempertimbangkan kelangsungan kegiatan usaha. | |||
29. | Kertas Kerja Audit yang selanjutnya disingkat KKA adalah catatan yang dibuat oleh Tim Audit mengenai prosedur yang digunakan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh, dan kesimpulan yang didapatkan selama penugasan. | |||
30. | Pembahasan Akhir adalah kegiatan pembahasan yang dilakukan antara Tim Audit dan Auditee atas DTS. | |||
31. | Berita Acara Penghentian Audit yang selanjutnya disingkat BAPA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit tentang penghentian pelaksanaan pekerjaan lapangan audit. | |||
32. | Berita Acara Hasil Audit yang selanjutnya disingkat BAHA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit atas hasil pembahasan akhir hasil audit. | |||
33. | Direktorat Audit adalah Direktorat Audit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | |||
34. | Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | |||
35. | Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Pelayanan Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | |||
36. | Kantor Pengawasan dan Pelayanan adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. | |||
37. | Penelaahan adalah bagian dari kegiatan pembahasan akhir yang dilakukan oleh Tim Penelaahan untuk membantu menyelesaikan perbedaan pendapat antara Tim Audit dengan Auditee terkait penafsiran peraturan kepabeanan dan/atau cukai. | |||
38. | Tim Penelaahan adalah Tim yang dibentuk oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk melakukan penelaahan. | |||
39. | Risalah Penelaahan adalah risalah yang dibuat oleh Tim Penelaahan yang memuat hasil penelaahan. | |||
40. | Teknik Audit Sampling adalah teknik pengujian substantif yang dilakukan dengan tingkat kurang dari 100% (seratus persen). | |||
BAB II
WEWENANG, TUJUAN DAN JENIS AUDIT
Pasal 2
Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan Audit terhadap Orang yang bertindak sebagai:
|
||||
a. | importir; eksportir; pengusaha tempat penimbunan sementara; pengusaha tempat penimbunan berikat; pengusaha pengurusan jasa kepabeanan; atau pengusaha pengangkutan sesuai Undang-Undang Kepabeanan; dan/atau | |||
b. | pengusaha pabrik; pengusaha tempat penyimpanan; importir barang kena cukai; penyalur; dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sesuai Undang-Undang Cukai. | |||
Pasal 3
Audit bertujuan untuk menguji tingkat kepatuhan Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
|
||||
Pasal 4 | ||||
(1) | Audit terdiri dari Audit Umum, Audit Khusus dan Audit Investigasi. | |||
(2) | Audit Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terencana atau sewaktu-waktu. | |||
(3) | Audit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sewaktu-waktu dan dapat berupa: | |||
a. | Audit khusus dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai; atau | |||
b. | Audit Khusus selain sebagaimana dimaksud pada huruf a. | |||
(4) | Audit investigasi dilaksanakan berdasarkan permintaan Direktur Penindakan dan Penyidikan atau Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan dalam rangka membantu proses penyelidikan. | |||
(5) | Permintaan dari Direktur Penindakan dan Penyidikan atau Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus didukung dengan dugaan pelanggaran tindak pidana. | |||
(6) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat meminta penjelasan atas dugaan pelanggaran pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sebelum menyetujui dilakukan Audit Investigasi. | |||
(7) | Pelaksanaan Audit Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus didahulukan dari Audit Umum dan Audit Khusus guna penyelesaian secepatnya. | |||
BAB III
PENENTUAN OBYEK AUDIT, DROA, PERUBAHAN DROA, DAN AUDIT SEWAKTU-WAKTU
Pasal 5
|
||||
(1) | Penentuan Obyek Audit dilakukan melalui analisis terhadap data yang terkait kegiatan kepabeanan, cukai, permintaan audit dan/atau informasi yang tersedia pada Direktorat Audit, Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan manajemen resiko. | |||
(2) | Dalam melaksanakan analisis menggunakan Manajemen resiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat melakukan akses secara elektronik dan/atau meminta data kepada unit kerja dilingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan unit lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | |||
(3) | Berdasarkan Permintaan Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memberikan akses secara elektronik dan/atau memberikan data yang diminta oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. | |||
(4) | Analisis terhadap data yang tersedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan satu atau lebih kriteria sebagai berikut: | |||
a. | profil Auditee; | |||
b. | riwayat audit; | |||
c. | nilai fasilitas kepabeanan dan cukai; | |||
d. | nilai pungutan negara; | |||
e. | barang-barang yang terkena Bea Keluar; | |||
f. | klasifikasi dan pembebanan atau tarif cukai; | |||
g. | frekuensi impor, ekspor dan/atau cukai; | |||
h. | strata produksi Barang Kena Cukai; | |||
i. | frekuensi pemesanan pita cukai; | |||
j. | informasi pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai seperti Under-valuation, Over-valuation, Misclassification, Partial (separate) payment, assist, proceed dan royalty, dan pelanggaran dalam industri yang sejenis; | |||
k. | informasi komoditi yang ditetapkan sebagai komoditi rawan atau berisiko tinggi; | |||
l. | negara asal yang berisiko; | |||
m. | eksistensi; | |||
n. | nature of business; | |||
o. | barang larangan dan pembatasan; | |||
p. | tarif preferensial dan tarif diskriminatif (anti dumping, safeguard, pembalasan, imbalan); | |||
q. | topik kepabeanan dan cukai yang menjadi perhatian nasional; | |||
r. | kriteria lain selain kriteria diatas. | |||
(5) | Dalam hal diperlukan, Pejabat Bea dan Cukai di Direktorat Audit, Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dapat melakukan observasi lapangan dan konfirmasi atas obyek audit yang sedang dianalisis kepada pihak yang terkait selain obyek audit yang sedang dianalisis | |||
(6) | Observasi lapangan dan konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan menggunakan Surat Tugas dari Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sesuai contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(7) | Analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau observasi lapangan dan konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam Lembar Analisis Obyek Audit (LAOA) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(8) | Terhadap LAOA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dijadikan dasar dalam penentuan obyek audit untuk pelaksanaan audit secara terencana dan sewaktu-waktu. | |||
Pasal 6 | ||||
(1) | Audit secara terencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan atas obyek audit yang telah disusun secara selektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (8) dan tertuang dalam DROA yang disetujui oleh Direktur Audit. | |||
(2) | DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk periode 6 (enam) bulan dengan memperhatikan ketersediaan Tim Audit dan beban kerja. | |||
Pasal 7 | ||||
(1) | Penyusunan DROA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(2) | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengusulkan DROA dan menyampaikannya kepada Direktur Audit paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum Periode DROA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Direktur Audit melakukan penelitian terhadap usulan DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan dapat melakukan koreksi dalam hal diperlukan. | |||
(4) | Direktur Audit memberikan persetujuan dengan memberikan NPA terhadap usulan DROA yang telah dilakukan penelitian dan/atau koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | |||
(5) | Tanggapan berupa persetujuan dan/ atau penolakan atas DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling lama sebelum Periode DROA dimulai dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(6) | Apabila Direktur Audit belum memberikan persetujuan dan/atau penolakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), terhadap usulan DROA sebagaimana dimaksud ayat (2) dianggap disetujui dan diterbitkan NPA. | |||
(7) | Dalam hal pengajuan usulan DROA melewati jangka waktu 30 hari sebelum periode DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengajuan usulan DROA disertai dengan penjelasan tertulis. | |||
(8) | Atas usulan DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Audit memberikan persetujuan dan/atau penolakan paling lama 30 hari sejak diterimanya usulan DROA. | |||
Pasal 8 | ||||
(1) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat melakukan perubahan DROA. | |||
(2) | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama mengajukan perubahan DROA kepada Direktur Audit paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum periode DROA berakhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Direktur Audit melakukan penelitian terhadap pengajuan perubahan DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan dapat melakukan koreksi bila diperlukan. | |||
(4) | Direktur Audit memberikan persetujuan dengan memberikan NPA terhadap pengajuan perubahan DROA yang telah dilakukan penelitian dan/atau koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | |||
(5) | Tanggapan berupa persetujuan dan/ atau penolakan atas perubahan DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus diberikan paling lama 15 (lima belas) hari sejak diterimanya pengajuan perubahan DROA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(6) | Apabila dalam 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya pengajuan perubahan DROA, Direktur Audit belum memberikan tanggapan berupa persetujuan dan/ atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pengajuan perubahan DROA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap disetujui dan diterbitkan NPA. | |||
Pasal 9
Pengajuan usulan DROA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), penyampaian persetujuan dan/atau penolakan atas usulan DROA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (6) atau ayat (8), penyampaian perubahan DROA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan penyampaian persetujuan dan/atau penolakan atas perubahan DROA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) atau ayat (6), dilakukan dengan menggunakan hardcopy dan/atau data elektronik.
|
||||
Pasal 10 | ||||
(1) | Audit secara sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dilakukan berdasarkan: | |||
a. | perintah Direktur Jenderal; | |||
b. | permintaan dari Direktur, Kepala Pusat Kepatuhan Internal, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; | |||
c. | permintaan instansi di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; | |||
d. | permintaan Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau | |||
e. | informasi masyarakat. | |||
(2) | Audit sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan skala prioritas. | |||
Pasal 12 | ||||
(1) | Susunan keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terdiri dari: | |||
a. | PMA | |||
b. | PTA | |||
c. | Ketua Auditor; dan | |||
d. | seorang atau lebih Auditor. | |||
(2) | Dalam hal Audit Investigasi, susunan keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan 1 (satu) atau lebih Pejabat Bea dan Cukai dari Direktorat Penindakan dan Penyidikan atau Bidang Penindakan dan Penyidikan. | |||
(3) | Susunan keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat ditambah: | |||
a. | seorang atau lebih Pejabat Bea dan Cukai selain auditor; dan/atau | |||
b. | seorang atau lebih pejabat instansi lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | |||
Pasal 13 | ||||
(1) | PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, Pejabat Bea dan Cukai dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1`), ayat (2) dan ayat (3) dalam Tim Audit, dapat diganti jika yang bersangkutan dialihtugaskan, dianggap tidak mampu, atau atas permintaan sendiri. | |||
(2) | Jumlah anggota Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d, ayat (2) dan ayat (3) dapat ditambah, dalam hal volume pekerjaan dan/atau tingkat kesulitan tinggi untuk mengoptimalkan pelaksanaan Audit. | |||
BAB V
SURAT TUGAS DAN SURAT PERINTAH
Pasal 14
|
||||
(1) | Audit Umum dan Audit Khusus dilaksanakan berdasarkan surat tugas yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(2) | Audit Investigasi dilaksanakan berdasarkan surat perintah yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IX Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 15 | ||||
(1) | Jangka waktu pekerjaan lapangan yang dicantumkan dalam surat tugas atau surat perintah dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. | |||
(2) | Dalam hal pekerjaan lapangan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana disebutkan dalam surat tugas atau surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMA harus mengajukan permohonan perpanjangan surat tugas atau surat perintah disertai dengan penjelasan tertulis kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran X Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui permohonan perpanjangan surat tugas atau surat perintah untuk pekerjaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 16 | ||||
(1) | Apabila terdapat penggantian atau penambahan dalam Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus menerbitkan surat tugas atau surat perintah dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(2) | Dalam hal terdapat penggantian PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, dan/atau pejabat Bea dan Cukai, surat tugas atau surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan pembuatan Berita Acara Serah Terima Penugasan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 17
Pelaksanaan Audit terhadap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pada periode Audit berikutnya harus dilakukan oleh Tim Audit yang berbeda.
|
||||
BAB VI
PENERBITAN NPA DAN PENERBITAN SURAT TUGAS DAN SURAT PERINTAH
Pasal 18
|
||||
(1) | Surat tugas didasarkan pada NPA. | |||
(2) | Dalam hal Audit dilaksanakan sewaktu-waktu, permintaan NPA diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama kepada Direktur Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Direktur Audit harus melakukan penelitian atas permintaan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dapat melakukan koreksi bila diperlukan. | |||
(4) | Direktur Audit menyampaikan tanggapan berupa persetujuan dan/ atau penolakan atas permintaan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan NPA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(5) | Permintaan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyampaian tanggapan berupa persetujuan dan/ atau penolakan atas permintaan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dengan menggunakan hardcopy dan/atau data elektronik. | |||
(6) | Apabila dalam 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permintaan NPA, Direktur Audit belum memberikan tanggapan berupa persetujuan dan/ atau penolakan atas permintaan NPA, terhadap usulan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap disetujui dan diterbitkan NPA. | |||
(7) | Dikecualikan dari ketentuan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal: | |||
a. | Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat Bea dan Cukai ;atau | |||
b. | Audit Investigasi. | |||
Pasal 19 | ||||
(1) | Direktur Audit dapat menerbitkan NPA untuk audit sewaktu-waktu yang akan dilaksanakan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama tanpa permohonan dari Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. | |||
(2) | Penyampaian NPA audit sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 20 | ||||
(1) | Terhadap pelaksanaan audit secara terencana, Surat tugas harus diterbitkan pada Periode DROA berjalan. | |||
(2) | Terhadap pelaksanaan audit secara sewaktu-waktu, surat tugas harus diterbitkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya NPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19. | |||
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau (2) terlewati, NPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) ,Pasal 8 ayat (6), Pasal 18 ayat (4), Pasal 18 ayat (6), atau Pasal 19 dinyatakan tidak berlaku. | |||
Pasal 21 | ||||
(1) | Dalam hal Audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit maka Direktur Audit menyampaikan tembusan surat tugas kepada Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait. | |||
(2) | Dalam hal Audit dilaksanakan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama maka Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menyampaikan tembusan surat tugas kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait. | |||
Pasal 22 | ||||
(1) | Setiap penerbitan surat tugas harus diikuti dengan penerbitan daftar kuesioner untuk Auditee yang diterbitkan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(2) | Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi oleh Auditee dan dikirim kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam amplop tertutup. | |||
(3) | Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk menilai kinerja Tim Audit dan sistem audit. | |||
Pasal 23 | ||||
(1) | Dalam hal Audit Investigasi berdasarkan surat perintah Direktur Jenderal, tembusan surat perintah disampaikan kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait. | |||
(2) | Dalam hal Audit Investigasi berdasarkan surat perintah Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, tembusan surat perintah disampaikan kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait. | |||
BAB VII
PERIODE AUDIT
Pasal 24
|
||||
(1) | Periode Audit Umum ditetapkan selama 2 (dua) tahun sampai dengan akhir bulan sebelum penerbitan surat tugas. | |||
(2) | Apabila akhir periode Audit kurang dari 2 (dua) tahun maka periode Audit dimulai sejak akhir periode Audit sebelumnya atau sejak Auditee melakukan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai sampai dengan akhir bulan sebelum penerbitan surat tugas. | |||
(3) | Tim Audit dapat mengusulkan perpanjangan periode audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi maksimal 10 (sepuluh) tahun kecuali Audit terkait tarif dan nilai pabean dengan ketentuan: | |||
a. | terdapat indikasi pelanggaran yang berulang-ulang baik yang terjadi didalam periode audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maupun yang terjadi di luar periode audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1); | |||
b. | terdapat informasi dari pihak lain yang menyatakan bahwa terdapat indikasi pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai yang terjadi di luar periode audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau | |||
c. | atas perintah atau permintaan Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. | |||
(4) | PMA mengajukan usulan perpanjangan periode Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(5) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui atau menolak usulan perpanjangan periode audit yang diajukan oleh PMA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIX Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 25
Periode Audit Khusus dan Audit Investigasi sesuai kebutuhan berdasarkan ruang lingkup yang diminta.
|
||||
BAB VIII
KEGIATAN AUDIT
Bagian Pertama
Perencanaan Audit
Pasal 26
Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memanggil Auditee untuk diberikan penjelasan perihal pelaksanaan audit yang akan dilaksanakan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||||
Pasal 27 | ||||
(1) | Sebelum melaksanakan Audit, Tim Audit harus menyusun rencana kerja audit dan Program Audit. | |||
(2) | Penyusunan Rencana Kerja Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Penyusunan Program Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peraturan perundang-undangan kepabeanan dan/atau cukai sesuai ruang lingkup Audit. | |||
(4) | Contoh penyusunan Program Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Bagian Kedua
Pelaksanaan Audit
Pasal 28
Dalam melaksanakan audit, Tim Audit berwenang:
|
||||
a. | meminta data audit; | |||
b. | meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari auditee dan/atau pihak lain yang terkait; | |||
c. | memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan Data Audit, ruangan tempat untuk menyimpan Sediaan Barang, dan ruangan tempat untuk menyimpan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai; | |||
d. | melakukan Tindakan Pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai. | |||
Pasal 29 | ||||
(1) | Pelaksanaan Audit harus diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal penugasan sebagaimana tercantum dalam Surat Tugas atau Surat Perintah. | |||
(2) | Penyelesaian Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sehingga menjadi paling lama 12 (dua belas) bulan dengan periode perpanjangan maksimum 3 (tiga) bulan untuk setiap permohonan perpanjangan penyelesaian Audit. | |||
(3) | Dalam hal penyelesaian Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan sejak tanggal surat penugasan sebagaimana tercantum dalam Surat Tugas atau Surat Perintah, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menyakinkan kepastian penyelesaian Audit. | |||
(4) | Dalam hal langkah-langkah yang dianggap perlu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penyelesaian Audit diperkirakan tidak dapat memenuhi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus mengajukan perpanjangan ke Direktur Jenderal sebelum jangka waktu 12 (dua belas) bulan berakhir. | |||
(5) | Apabila pelaksanaan Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMA harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit sebelum berakhirnya jangka waktu penyelesaian audit kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(6) | Apabila pelaksanaan Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama berdasarkan permintaan PMA, harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit sebelum berakhirnya jangka waktu penyelesaian audit kepada Direktur Jenderal dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(7) | Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 30 | ||||
(1) | Pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) meliputi Pekerjaan Lapangan dan Pekerjaan Kantor. | |||
(2) | Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terbagi dalam 2 (dua) kegiatan yaitu: | |||
a. | penyampaian surat tugas/surat perintah dan observasi; dan | |||
b. | pengumpulan data dan informasi. | |||
(3) | Dalam tahap penyampaian surat tugas/surat perintah dan observasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Tim Audit harus melaksanakan hal-hal sebagai berikut: | |||
a. | menyerahkan surat tugas/surat perintah, memperlihatkan tanda pengenal, dan menjelaskan tujuan pelaksanaan Audit kepada Auditee atau yang mewakili. | |||
b. | bersama-sama dengan Auditee melakukan penandatangan Pakta Integritas dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
c. | meminta Auditee atau yang mewakili untuk memberikan penjelasan tentang Struktur Pengendalian Internal (SPI) Auditee. | |||
d. | melakukan pengujian terhadap pelaksanaan SPI guna penyempurnaan Rencana Kerja Audit dan Program Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1). | |||
(4) | Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Tim Audit meminta Auditee atau yang mewakili untuk menyerahkan data sesuai ruang lingkup audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 31 | ||||
(1) | Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b, Tim Audit dapat melakukan pencacahan fisik Sediaan Barang. | |||
(2) | Sebelum pelaksanaan pencacahan fisik Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit harus memberitahukan rencana pelaksanaannya dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Ketentuan mengenai pemberitahuan secara tertulis rencana pelaksanaan pencacahan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk Audit Investigasi. | |||
(4) | Dalam hal pelaksanaan pencacahan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus, Auditee wajib menyediakan peralatan dan tenaga ahli tersebut. | |||
(5) | Hasil pelaksanaan pencacahan fisik Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIX Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 32 | ||||
(1) | Untuk kepentingan pelaksanaan Audit, Auditee wajib: | |||
a. | menyerahkan data Audit dan menunjukkan sediaan barangnya untuk diperiksa; | |||
b. | memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis; dan | |||
c. | menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Auditee apabila penggunaan data elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus; | |||
(2) | Dalam hal pimpinan Auditee tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada yang mewakilinya. | |||
(3) | Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Auditee atau yang mewakilinya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Auditee dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai. | |||
Pasal 33 | ||||
(1) | Berdasarkan permintaan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4), Auditee wajib menyerahkan Data Audit secara lengkap. | |||
(2) | Terhadap penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut: | |||
a. | penyerahan Data Audit untuk Audit Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Audit Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan Data Audit dan dapat diperpanjang atas permohonan Auditee sebelum jangka waktu penyerahan Data Audit berakhir untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja; | |||
b. | penyerahan Data Audit untuk Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan Data Audit; | |||
c. | penyerahan Data Audit untuk Audit Investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus dilakukan pada saat diterimanya permintaan Data Audit. | |||
(3) | Permohonan perpanjangan batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis kepada Pengawas Mutu Audit sebelum jangka waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berakhir. | |||
(4) | Perpanjangan batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat diberikan paling lama 3 (tiga) hari kerja dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXX Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(5) | Penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengembalian Data Audit dilakukan secara tertulis dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(6) | Data Audit dapat berupa salinan, foto copy, dan/atau data elektronik dengan ketentuan Auditee membuat Surat Pernyataan yang ditandatangani di atas materai bahwa yang diserahkan kepada Tim Audit adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 34 | ||||
(1) | Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a, kepada Auditee diberikan Surat Peringatan I. | |||
(2) | Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap setelah 3 (tiga) hari kerja sejak Surat Peringatan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, kepada Auditee diberikan surat peringatan II. | |||
(3) | Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap setelah 3 (tiga) hari kerja sejak surat peringatan II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima sehingga menyebabkan Pejabat Bea dan Cukai tidak dapat menjalankan kewenangan melakukan Audit, Auditee dianggap menolak membantu kelancaran Audit. | |||
(4) | Dalam hal pimpinan Auditee atau yang mewakili menolak untuk membantu kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan Auditee atau yang mewakilinya harus menandatangani surat pernyataan penolakan diaudit. | |||
(5) | Dalam hal pimpinan Auditee atau yang mewakili menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Tim Audit harus membuat Berita Acara dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(6) | Surat Peringatan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Surat Peringatan II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan ditandatangani oleh Pengawas Mutu Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 35 | ||||
(1) | Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b, Tim Audit menyusun LHA berdasarkan data yang diperoleh. | |||
(2) | Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c, Tim Audit dapat melakukan Tindakan Pengamanan dan/atau penindakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabenanan dan/atau cukai berupa: | |||
a. | penegahan alat angkut; dan/atau | |||
b. | penyegelan barang dan/atau alat angkut, yang diduga terkait dengan tindak pidana Kepabeanan dan/atau Cukai. | |||
Pasal 36
Berkaitan dengan Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2):
|
||||
a. | dalam hal Auditee atau wakilnya menolak untuk diaudit, Auditee atau wakilnya harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Diaudit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXV Peraturan Direktur Jenderal ini; | |||
b. | dalam hal Auditee atau wakilnya menolak untuk menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Diaudit, Tim Audit harus membuat Berita Acara Penolakan Diaudit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIII Peraturan Direktur Jenderal ini; | |||
c. | dalam hal Auditee atau wakilnya tidak berada di tempat, Audit tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai yang ada untuk mewakili Auditee dan mendampingi Tim Audit guna membantu kelancaran Audit; | |||
d. | dalam hal menolak membantu kelancaran Audit, pegawai Auditee sebagaimana dimaksud pada huruf c harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXV Peraturan Direktur Jenderal ini; atau | |||
e. | dalam hal pegawai Auditee menolak untuk menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada huruf d, Tim Audit harus membuat Berita Acara Penolakan Membantu Kelancaran Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 37
Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d dapat dilakukan dalam hal:
|
||||
a. | Auditee atau wakilnya tidak memberi kesempatan kepada Tim Audit untuk memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan data audit termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, sediaan barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting; | |||
b. | Tim Audit memerlukan upaya pengamanan Data Audit. | |||
Pasal 38 | ||||
(1) | Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menghentikan pelaksanaan Audit dalam hal: | |||
a. | Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) tidak dapat dilaksanakan; | |||
b. | Audit tidak dapat dilanjutkan setelah Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; | |||
c. | terdapat selain alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b. | |||
(2) | Penghentian Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Berita Acara Penghentian Audit (BAPA) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXVI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Berdasarkan BAPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun Laporan Hasil Audit. | |||
(4) | Terhadap Auditee yang pelaksanaan auditnya dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkomendasikan kepada Direktorat dan/atau Bidang terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||
(5) | Berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal, terhadap Auditee yang pelaksanaan auditnya dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkomendasikan kepada instansi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||
Pasal 39 | ||||
(1) | Berdasarkan data dan informasi yang diterima dari Auditee, Tim Audit melakukan pengujian berdasarkan Program Audit yang disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1). | |||
(2) | Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik Audit Sampling. | |||
Pasal 40 | ||||
(1) | Terhadap proses dan hasil dari pengujian data dan informasi yang diterima dari Auditee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Tim Audit membuat KKA. | |||
(2) | KKA sebagaimana dimaksud ayat (1) menjadi dasar Tim Audit untuk menyusun DTS sesuai dengan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXVII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal: | |||
a. | Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai; atau | |||
b. | Audit Investigasi. | |||
Pasal 41 | ||||
(1) | DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) disampaikan kepada Auditee dengan menggunakan Surat Pengantar yang ditandatangani oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sesuai contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini dengan disertai Lembar Pernyataan Persetujuan DTS sesuai contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIX Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(2) | Sebelum Surat Pengantar DTS ditandatangani oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat meminta Tim Audit untuk mempresentasikan Temuan Auditnya. | |||
(3) | Auditee harus menanggapi DTS secara tertulis dengan cara mengisi dan menandatangani pada kolom yang telah disediakan serta mengirimkan kembali kepada Tim Audit selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Surat Pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |||
(4) | Apabila diperlukan, sebelum memberikan tanggapan Auditee dapat meminta penjelasan secara tertulis atas DTS. | |||
(5) | Sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlewati, Auditee dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan secara tertulis kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. | |||
(6) | Berdasarkan permohonan Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memberikan perpanjangan waktu penyampaian tanggapan. | |||
(7) | Perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya diberikan 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XL Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(8) | Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa: | |||
a. | menerima seluruh temuan dalam DTS; | |||
b. | menolak sebagian temuan dalam DTS; atau | |||
c. | menolak seluruh temuan dalam DTS. | |||
(9) | Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (7) terlewati, Auditee tetap tidak menyampaikan tanggapan, maka Auditee dianggap menyetujui seluruh DTS dan atas DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar pembuatan BAHA. | |||
Pasal 42 | ||||
(1) | Dalam hal Auditee menerima seluruh temuan hasil Audit dalam DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a, Auditee menandatangani Lembar Persetujuan DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1). | |||
(2) | Lembar Persetujuan DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar pembuatan BAHA. | |||
Pasal 43 | ||||
(1) | Dalam hal Auditee menolak sebagian temuan dalam DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf b atau menolak seluruh temuan dalam DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf c, Tim Audit dan Auditee melakukan pembahasan akhir yang dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya tanggapan Auditee. | |||
(2) | Direktur Audit u.b Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit, Kepala Kantor Wilayah u.b Kepala Bidang Audit atau Kepala Kantor Pelayanan Utama u.b Kepala Bidang Audit mengundang Auditee untuk melakukan Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | Berdasarkan permohonan Auditee, Direktur Audit u.b Kepala Sub Direktorat Pelaksanaan Audit, Kepala Kantor Wilayah u.b Kepala Bidang Audit atau Kepala Kantor Pelayanan Utama u.b Kepala Bidang Audit dapat memberikan persetujuan perubahan waktu pelaksanaan Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(4) | Perubahan waktu pelaksanaan Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |||
(5) | Proses Pembahasan Akhir dituangkan dalam risalah Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(6) | Risalah pembahasan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dirangkum dalam Hasil Pembahasan Akhir dan ditutup dengan BAHA. | |||
(7) | Auditee dianggap menerima seluruh temuan audit dalam DTS dan dijadikan dasar pembuatan BAHA, dalam hal: | |||
a. | Auditee tidak menghadiri Pembahasan Akhir; | |||
b. | Auditee hadir tetapi tidak melaksanakan Pembahasan Akhir; atau | |||
c. | Auditee melaksanakan Pembahasan Akhir tetapi tidak menandatangani Hasil Pembahasan Akhir. | |||
Pasal 44 | ||||
(1) | BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (9), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (7) dibuat dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(2) | BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(3) | BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (9) dilampiri dengan DTS yang tidak ditanggapi oleh Auditee. | |||
(4) | BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilampiri dengan Lembar Persetujuan DTS yang telah ditandatangani oleh Auditee. | |||
(5) | BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (7) huruf a dilampiri dengan: | |||
a. | DTS yang telah ditanggapi oleh Auditee; dan | |||
b. | Undangan Pembahasan Akhir. | |||
(6) | BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (7) huruf b dilampiri dengan: | |||
a. | DTS yang telah ditanggapi oleh Auditee; | |||
b. | Undangan Pembahasan Akhir, dan | |||
c. | Daftar Hadir. | |||
(7) | BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (7) huruf c dilampiri dengan: | |||
a. | DTS yang telah ditanggapi oleh Auditee; | |||
b. | Undangan Pembahasan Akhir; | |||
c. | Daftar Hadir; dan | |||
d. | Hasil Pembahasan Akhir yang tidak ditandatangani oleh Auditee. | |||
(8) | BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) dilampiri dengan: | |||
a. | DTS yang telah ditanggapi oleh Auditee; | |||
b. | Undangan Pembahasan Akhir; | |||
c. | Hasil pembahasan akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLVI Peraturan Direktur Jenderal ini; | |||
d. | Risalah Pembahasan Akhir; dan | |||
e. | Daftar Hadir. | |||
(9) | Tim Audit dan Auditee harus menandatangani BAHA beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (8). | |||
Pasal 45 | ||||
(1) | Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara Tim Audit dengan Auditee dalam Risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5) yang terkait penafsiran peraturan kepabeanan dan/atau cukai, PMA mengajukan permohonan penelaahan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLVII Peraturan Direktur Jenderal ini kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam waktu 3 hari kerja sejak tanggal Risalah Pembahasan Akhir. | |||
(2) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menolak atau menyetujui permohonan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |||
(3) | Dalam hal permohonan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Tim Audit membuat hasil pembahasan akhir berdasarkan Risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menutup Pembahasan Akhir dengan membuat BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6). | |||
(4) | Dalam hal permohonan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Direktur Audit, Kepala kantor wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus membentuk Tim Penelaahan. | |||
(5) | Tim Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus mulai melakukan penelaahan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pembentukan tim penelaahan. | |||
(6) | Hasil Penelaahan harus dituangkan dalam Risalah Penelaahan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLVIII Peraturan Direktur Jenderal ini dan merupakan bagian dari Risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5). | |||
(7) | Risalah Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIX Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(8) | Tata kerja Tim Penelaahan diatur dalam Lampiran L Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 46
Hasil pembahasan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (8) huruf c memuat:
|
||||
a. | temuan audit yang disetujui oleh Auditee; | |||
b. | temuan audit yang dibatalkan oleh Tim Audit; dan/atau | |||
c. | temuan audit yang dipertahankan oleh Tim Audit. | |||
Bagian Ketiga
Pelaporan Hasil Audit
Pasal 47
|
||||
(1) | Dalam hal Audit Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) atau Audit Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, LHA disusun berdasarkan BAPA atau BAHA. | |||
(2) | Dalam hal Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau Audit Investigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), LHA disusun berdasarkan KKA. | |||
(3) | LHA yang disusun berdasarkan BAHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(4) | LHA yang disusun berdasarkan BAHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(5) | LHA yang disusun berdasarkan KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LIII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(6) | LHA disampaikan secara hardcopy dan/atau data elektronik kepada: | |||
a. | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama; dan/atau | |||
b. | Auditee. | |||
(7) | KKA disampaikan secara hardcopy dan/atau data elektronik kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. | |||
(8) | Dalam hal Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai dan Audit Investigasi, LHA tidak disampaikan kepada Auditee. | |||
(9) | LHA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus diterima oleh Direktur Audit paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerbitan LHA. | |||
Pasal 48 | ||||
(1) | LHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) digunakan sebagai dasar: | |||
a. | penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai; | |||
b. | penetapan Pejabat Bea dan Cukai; | |||
c. | penerbitan surat tindak lanjut; dan/atau | |||
d. | penerbitan surat tindak lanjut hasil audit cukai. | |||
(2) | Penetapan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dituangkan dalam: | |||
a. | Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), dalam hal terdapat kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang diakibatkan karena kesalahan tarif dan/atau nilai pabean. | |||
b. | Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK), dalam hal terdapat kekurangan atau kelebihan pembayaran bea keluar dan/atau sanksi administrasi berupa denda. | |||
(3) | Penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dituangkan dalam: | |||
a. | Surat Penetapan Pabean (SPP), dalam hal terdapat kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda; atau | |||
b. | Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), dalam hal terdapat pengenaan sanksi administrasi berupa denda. | |||
(4) | Penerbitan Surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal: | |||
a. | tidak terdapat kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda; | |||
b. | Nilai Pabean tidak dapat diterima berdasarkan Nilai Transaksi dan diajukan penelitian ulang untuk penetapan kembali nilai pabean kepada Direktur Teknis Kepabeanan untuk audit yang dilakukan Direktorat Audit; | |||
c. | Nilai Pabean tidak dapat diterima berdasarkan Nilai Transaksi dan diajukan penelitian ulang untuk penetapan kembali nilai pabean kepada unit yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk audit yang dilakukan Kantor Wilayah dan/atau Kantor Pelayanan Utama; | |||
d. | terdapat perbedaan penafsiran tentang tarif dan diajukan penelitian ulang untuk penetapan kembali tarif kepada Direktur Teknis Kepabeanan untuk audit yang dilakukan oleh Direktorat Audit; dan/atau | |||
e. | terdapat perbedaan penafsiran tentang tarif dan diajukan penelitian ulang untuk penetapan kembali tarif kepada unit yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk audit yang dilakukan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama; dan/atau | |||
f. | terdapat rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang terkait sesuai ketentuan yang berlaku. | |||
(5) | Surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LIV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(6) | Dalam hal hasil penetapan kembali nilai pabean dan/atau tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) butir b, c, d dan e mengakibatkan kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau PDRI, Direktorat Teknis Kepabeanan, Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama menindaklanjuti dengan menerbitkan SPKTNP. | |||
(7) | Dalam hal hasil penetapan kembali tarif bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) butir d dan e mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea keluar dan/atau sanksi administrasi berupa denda, Direktorat Teknis, Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama menindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK). | |||
(8) | Surat tindak lanjut hasil audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diterbitkan dalam hal pelaksanaan audit cukai dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LV Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
Pasal 49 | ||||
(1) | LHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) digunakan sebagai dasar penerbitan surat Tindak Lanjut Hasil Audit. | |||
(2) | Surat Tindak Lanjut Lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan dan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/ atau cukai. | |||
Pasal 50 | ||||
(1) | Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) dan Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) ditandatangani oleh: | |||
a. | Direktur Audit atas nama Direktur Jenderal dalam hal audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit; | |||
b. | Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal dalam hal audit dilaksanakan oleh Kantor Wilayah; atau | |||
c. | Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Direktur Jenderal dalam hal audit dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Utama. | |||
(2) | Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (6) dan Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (7) ditandatangani oleh: | |||
a. | Direktur Teknis Kepabeanan atas nama Direktur Jenderal dalam hal terdapat penetapan kembali tarif dan/ atau nilai pabean atas permintaan Direktorat Audit; | |||
b. | Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal dalam hal terdapat penetapan kembali tarif dan/ atau nilai pabean atas permintaan Bidang Audit; atau | |||
c. | Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Direktur Jenderal dalam hal terdapat penetapan kembali tarif dan/ atau nilai pabean atas permintaan Bidang Audit. | |||
(3) | Surat Penetapan Pabean (SPP) dan Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3), surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (4) dan surat tindak lanjut hasil audit cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (8) ditandatangani oleh: | |||
a. | Direktur Audit dalam hal audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit; | |||
b. | Kepala Kantor Wilayah dalam hal audit dilaksanakan oleh Kantor Wilayah; atau | |||
c. | Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam hal audit dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Utama. | |||
Pasal 51 | ||||
(1) | Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a, Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b, Surat Penetapan Pabean (SPP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf a, Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf b, dan/atau surat tindak lanjut hasil audit cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (8): | |||
a. | diterbitkan terpisah antara temuan audit yang disetujui dengan temuan audit yang dipertahankan untuk setiap Kantor Pelayanan Utama dan/atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan yang melakukan kegiatan monitoring pelaksanaan penagihan; | |||
b. | disampaikan kepada: | |||
1) | Auditee; | |||
2) | Direktur Audit, dalam hal audit dilakukan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama; dan/atau | |||
3) | Kepala Kantor Pelayanan Utama, Kabid Perbendaharaan dan Keberatan dan/atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan. | |||
(2) | Surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (4) disampaikan kepada setiap pihak terkait. | |||
(3) | Penyampaian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK), Surat Penetapan Pabean (SPP), dan/atau Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) dilakukan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LVI Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
(4) | Atas setiap penyampaian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), dan/atau surat tindak lanjut hasil audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Bidang yang menangani penagihan pada Kantor Pelayanan Utama dan/atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan harus melakukan pemantauan atas pelaksanaan penagihan. | |||
Pasal 52
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a, Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b, Surat Penetapan Pabean (SPP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf a, Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf b menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bentuk dan isi surat penetapan, surat keputusan, surat teguran, dan surat paksa.
|
||||
Pasal 53 | ||||
(1) | Direktorat Audit, Kantor Wilayah, dan Kantor Pelayanan Utama harus menatausahakan hasil audit. | |||
(2) | Tatacara penatausahaan hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LVII Peraturan Direktur Jenderal ini. | |||
BAB IX
TANGGUNG JAWAB
Pasal 54
|
||||
(1) | Tim Audit bertanggung jawab terhadap kesimpulan dan/atau rekomendasi audit yang dituangkan dalam LHA yang disusun berdasarkan data yang telah diserahkan oleh Auditee pada saat pelaksanaan Audit. | |||
(2) | Tim Audit harus merahasiakan segala informasi yang telah diperoleh dari Auditee kepada pihak lain yang tidak berhak. | |||
(3) | Auditee bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kelengkapan data yang telah diserahkan kepada Tim Audit pada saat pelaksanaan Audit. | |||
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 55
Pelaksanaan audit atas surat tugas atau surat perintah yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, diselesaikan dengan menggunakan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Nomor P13/BC/2008 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-4/BC/2011.
|
||||
BAB XI
PENUTUP
Pasal 56
Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, Peraturan Direktur Jenderal Nomor P-13/BC/2008 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-4/BC/2011 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 57
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 11 Maret 2012.
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Maret 2012
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
AGUNG KUSWANDONO
NIP 196703291991031001
|
||||