Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER-4/BC/2024
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PENGHAPUSAN PIUTANG DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 Tahun 2023 tentang Penghapusan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Petunjuk Teknis Penghapusan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai;
|
||||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
|
|||
2.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 Tahun 2023 tentang Penghapusan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1085);
|
|||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGHAPUSAN PIUTANG DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Piutang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Piutang adalah tagihan atas bea masuk, bea keluar, dan/atau cukai, yang belum dilunasi termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk pembalasan, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
|
|||
2.
|
Penghapusbukuan adalah proses akuntansi untuk menghapus pencatatan aset berupa Piutang dari neraca dengan tidak menghilangkan hak tagih.
|
|||
3.
|
Penghapustagihan adalah serangkaian kegiatan untuk menghapus hak tagih atau upaya tagih berdasarkan berbagai kriteria dan prosedur yang ditetapkan.
|
|||
4.
|
Laporan Keuangan adalah laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan.
|
|||
5.
|
Neraca adalah komponen Laporan Keuangan yang menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
|
|||
6.
|
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat dengan CaLK adalah komponen Laporan Keuangan yang meliputi penjelasan, daftar rincian, dan/atau analisis atas Laporan Keuangan.
|
|||
7.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||
8.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
9.
|
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah Khusus di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
10.
|
Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
11.
|
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan Utama adalah instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
|
|||
12.
|
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai yang selanjutnya disingkat dengan KPPBC adalah instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala Kantor Wilayah.
|
|||
13.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai.
|
|||
14.
|
Laporan Hasil Penelitian pada Kantor Pelayanan yang selanjutnya disingkat dengan LHP adalah laporan yang dibuat oleh tim Penghapustagihan pada Kantor Pelayanan yang berisi hasil penelitian atas daftar Piutang yang akan dihapustagihkan.
|
|||
15.
|
Laporan Hasil Penelitian pada Kantor Wilayah yang selanjutnya disingkat dengan LHP-W adalah laporan yang dibuat oleh tim Penghapustagihan pada Kantor Wilayah yang berisi hasil penelitian atas daftar usulan Piutang yang akan dihapustagihkan.
|
|||
16.
|
Laporan Hasil Penelitian pada Kantor Pusat yang selanjutnya disingkat dengan LHP-P adalah laporan yang dibuat oleh tim Penghapustagihan pada Kantor Pusat yang berisi hasil penelitian atas daftar usulan Piutang yang akan dihapustagihkan.
|
|||
17.
|
Daftar Usulan Penghapusbukuan yang selanjutnya disingkat dengan DUPb adalah daftar usulan Piutang yang akan dihapusbukukan dan ditetapkan oleh kepala Kantor Pelayanan.
|
|||
18.
|
Daftar Usulan Penghapustagihan Kantor Pelayanan yang selanjutnya disingkat dengan DUPt adalah daftar usulan Piutang yang akan dihapustagihkan yang disusun oleh tim Penghapustagihan pada Kantor Pelayanan dan ditetapkan oleh kepala Kantor Pelayanan.
|
|||
19.
|
Daftar Usulan Penghapustagihan pada Kantor Wilayah yang selanjutnya disingkat dengan DUPt-W adalah daftar usulan Piutang yang akan dihapustagihkan yang disusun oleh tim Penghapustagihan pada Kantor Wilayah dan ditetapkan oleh kepala Kantor Wilayah.
|
|||
20.
|
Daftar Usulan Penghapustagihan pada Kantor Pusat yang selanjutnya disingkat dengan DUPt-P adalah daftar usulan Piutang yang akan dihapustagihkan yang disusun oleh tim Penghapustagihan pada Kantor Pusat dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Terhadap Piutang dapat dilakukan penghapusan.
|
|||
(2)
|
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Penghapusbukuan; dan
|
||
|
b.
|
Penghapustagihan.
|
||
(3)
|
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Piutang yang tercantum dalam:
|
|||
|
a.
|
surat penetapan, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP);
|
|
|
|
2.
|
Surat Penetapan Pabean (SPP);
|
|
|
|
3.
|
Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA);
|
|
|
|
4.
|
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP);
|
|
|
|
5.
|
Surat Penetapan Perhitungan Bea Keluar (SPPBK);
|
|
|
|
6.
|
Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK);
|
|
|
|
7.
|
Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, dan Pajak Dalam Rangka Impor (SPKPBM);
|
|
|
|
8.
|
Surat Pemberitahuan Pengenaan Sanksi Administrasi (SPPSA); dan
|
|
|
|
9.
|
surat penetapan lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
|
|
b.
|
surat tagihan, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Surat Tagihan di Bidang Cukai (STCK-1);
|
|
|
|
2.
|
Surat Pemberitahuan dan Penagihan Biaya Pengganti (SPPBP-1); dan
|
|
|
|
3.
|
surat tagihan lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
|
|
c.
|
Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan; dan/atau
|
||
|
d.
|
putusan badan peradilan pajak, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
putusan banding; dan
|
|
|
|
2.
|
putusan peninjauan kembali.
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
KEDALUWARSA
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Hak penagihan atas Piutang yang tercantum dalam dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak timbulnya kewajiban membayar.
|
|||
(2)
|
Masa kedaluwarsa atas Piutang di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
yang terutang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
|
||
|
b.
|
yang terutang memperoleh penundaan atas kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda administrasi paling lama 12 (dua belas) bulan; atau
|
||
|
c.
|
yang terutang melakukan pelanggaran di bidang kepabeanan.
|
||
(3)
|
Penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibuktikan dengan Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan penundaan utang kepabeanan.
|
|||
(4)
|
Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dibuktikan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
|
|||
(5)
|
Masa kedaluwarsa atas Piutang di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal terdapat pengakuan utang cukai.
|
|||
(6)
|
Pengakuan utang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan pengangsuran utang cukai.
|
|||
(7)
|
Dalam hal terjadi hal-hal yang menyebabkan tidak diperhitungkannya masa kedaluwarsa hak penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6), hak penagihan atas Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak timbulnya kewajiban membayar ditambah dengan:
|
|||
|
a.
|
jangka waktu penundaan yang tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan penundaan utang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
|
||
|
b.
|
masa hukuman atas pelanggaran yang tercantum dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4); atau
|
||
|
c.
|
jangka waktu pengangsuran cukai yang tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal mengenai persetujuan pengangsuran utang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
||
|
|
|
|
|
BAB III
PENGHAPUSBUKUAN
Bagian Kesatu
Kriteria Penghapusbukuan
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal Piutang tidak memenuhi kriteria pengakuan aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar akuntansi pemerintahan.
|
|||
(2)
|
Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Piutang dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
hak penagihannya sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
|
||
|
b.
|
pihak yang terutang merupakan orang pribadi, dalam hal:
|
||
|
|
1.
|
telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;
|
|
|
|
2.
|
pailit; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
tidak dapat ditemukan;
|
|
|
c.
|
pihak yang terutang merupakan badan hukum, dalam hal:
|
||
|
|
1.
|
telah bubar atau likuidasi;
|
|
|
|
2.
|
pailit; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
tidak dapat ditemukan; atau
|
|
|
d.
|
hak penagihannya tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri.
|
||
(3)
|
Pemenuhan kriteria Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
|
|||
|
a.
|
dalam hal pihak yang terutang merupakan orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1, dibuktikan dengan dokumen berupa:
|
||
|
|
1.
|
keterangan kematian dari instansi dan/atau pejabat yang berwenang;
|
|
|
|
2.
|
keterangan ahli waris dari instansi dan/atau pejabat yang berwenang; dan
|
|
|
|
3.
|
akta otentik yang dibuat oleh notaris yang menyatakan bahwa ahli waris dari pihak yang terutang tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;
|
|
|
b.
|
dalam hal pihak yang terutang merupakan badan hukum yang telah bubar atau likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 1, dibuktikan dengan dokumen berupa:
|
||
|
|
1.
|
putusan pengadilan mengenai pembubaran atau likuidasi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan/atau
|
|
|
|
2.
|
pengumuman menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dalam Berita Negara Republik Indonesia mengenai pembubaran atau rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
|
|
|
c.
|
dalam hal pihak yang terutang merupakan orang pribadi yang dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 atau badan hukum yang dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2, dibuktikan dengan dokumen berupa putusan pengadilan mengenai pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
||
|
d.
|
dalam hal pihak yang terutang merupakan orang pribadi yang tidak dapat ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3 atau badan hukum yang tidak dapat ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 3, dibuktikan dengan dokumen berupa:
|
||
|
|
1.
|
keterangan domisili dari instansi dan/atau pejabat yang berwenang;
|
|
|
|
2.
|
keterangan dari Kantor Pelayanan Pajak mengenai status wajib pajak; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
bukti pendukung lainnya; atau
|
|
|
e.
|
dalam hal hak penagihannya tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dibuktikan dengan Keputusan Menteri.
|
||
(4)
|
Penghapusbukuan terhadap Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, dapat dilakukan setelah dilakukan penagihan aktif.
|
|||
(5)
|
Penagihan aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa penyampaian atau pemberitahuan surat paksa.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penelitian Penghapusbukuan
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Pelayanan melakukan penelitian terhadap Piutang yang memenuhi kriteria Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
|
|||
(2)
|
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap dokumen yang akan diusulkan Penghapusbukuan.
|
|||
(3)
|
Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam DUPb dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengajuan Penghapusbukuan
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Pelayanan mengajukan DUPb sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) kepada direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pengiriman DUPb sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala KPPBC, DUPb ditembuskan kepada kepala Kantor Wilayah.
|
|||
(3)
|
Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan melakukan rekapitulasi dan validasi data atas DUPb sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(4)
|
Hasil rekapitulasi dan validasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(5)
|
Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan Penghapusbukuan pada Neraca berdasarkan hasil rekapitulasi dan validasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
|||
(6)
|
Piutang yang telah dilakukan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dicatat secara ekstrakomptabel dan diungkapkan secara memadai dalam CaLK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar akuntansi pemerintahan.
|
|||
(7)
|
Piutang yang telah dilakukan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap dikelola sampai dengan dilakukannya Penghapustagihan.
|
|||
(8)
|
Pengajuan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Piutang yang memenuhi kriteria Penghapusbukuan sampai dengan 30 Juni diajukan untuk dihapusbukukan dalam Laporan Keuangan semesteran; atau
|
||
|
b.
|
Piutang yang memenuhi kriteria Penghapusbukuan sampai dengan 31 Desember diajukan untuk dihapusbukukan dalam Laporan Keuangan tahunan.
|
||
|
|
|
|
|
BAB IV
PENGHAPUSTAGIHAN
Bagian Kesatu
Kriteria Penghapustagihan
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Penghapustagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dilakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
Piutang yang hak penagihannya sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan/atau
|
||
|
b.
|
hak negara untuk melakukan penagihan tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri.
|
||
(2)
|
Pemenuhan kriteria Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
dalam hal Piutang yang hak penagihannya sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuktikan dengan dokumen berupa:
|
||
|
|
1.
|
surat penetapan, surat tagihan, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan, dan/atau putusan badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); dan/atau
|
|
|
|
2.
|
dokumen yang diterbitkan dalam rangka pelaksanaan penagihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan utang di bidang kepabeanan dan cukai; dan/atau
|
|
|
b.
|
dalam hal hak negara untuk melakukan penagihan tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibuktikan dengan Keputusan Menteri.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Tim Penghapustagihan
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pengajuan usulan Piutang yang akan dilakukan Penghapustagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dibentuk tim Penghapustagihan.
|
|||
(2)
|
Tim Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
|
|||
|
a.
|
kepala Kantor Pelayanan;
|
||
|
b.
|
kepala Kantor Wilayah; dan
|
||
|
c.
|
Direktur Jenderal.
|
||
(3)
|
Tim Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit beranggotakan:
|
|||
|
a.
|
jurusita Bea dan Cukai disertai dengan perwakilan dari unit yang mengelola penerimaan dan unit yang mengelola pengawasan untuk Kantor Pelayanan;
|
||
|
b.
|
perwakilan dari unit yang mengelola penerimaan dan unit yang mengelola pengawasan untuk Kantor Wilayah; dan
|
||
|
c.
|
perwakilan dari unit eselon II yang mengelola penerimaan dan unit eselon II yang melaksanakan pengawasan untuk kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
(4)
|
Tim penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh minimal Pejabat Bea dan Cukai setingkat unit eselon III, yang mempunyai struktur:
|
|||
|
a.
|
ketua;
|
||
|
b.
|
wakil ketua;
|
||
|
c.
|
sekretaris; dan
|
||
|
d.
|
anggota.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penelitian dan Pengajuan Penghapustagihan
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Tim Penghapustagihan pada Kantor Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a mempunyai tugas untuk:
|
|||
|
a.
|
melakukan penelitian terhadap pemenuhan kriteria Penghapustagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
|
||
|
b.
|
menyusun kertas kerja reviu dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini;
|
||
|
c.
|
menuangkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a ke dalam LHP dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini; dan
|
||
|
d.
|
menyusun DUPt dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(2)
|
Kepala Kantor Pelayanan mengajukan DUPt sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d kepada:
|
|||
|
a.
|
kepala Kantor Wilayah, dalam hal DUPt disusun oleh KPPBC; atau
|
||
|
b.
|
Direktur Jenderal u.p direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan, dalam hal DUPt disusun oleh Kantor Pelayanan Utama,
|
||
|
dilengkapi dengan dokumen pendukung.
|
|||
(3)
|
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
surat penetapan, surat tagihan, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan, dan/atau putusan badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
|
||
|
b.
|
dokumen-dokumen dalam rangka pelaksanaan penagihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan utang di bidang kepabeanan dan cukai;
|
||
|
c.
|
LHP; dan
|
||
|
d.
|
Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b apabila ada.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Tim penghapustagihan pada Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b mempunyai tugas untuk:
|
|||
|
a.
|
melakukan penelitian terhadap:
|
||
|
|
1.
|
pemenuhan kriteria Penghapustagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
|
|
|
|
2.
|
LHP; dan
|
|
|
|
3.
|
DUPt;
|
|
|
b.
|
menyusun kertas kerja reviu dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini;
|
||
|
c.
|
menuangkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a ke dalam LHP-W dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini; dan
|
||
|
d.
|
menyusun DUPt-W dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini, dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a dinyatakan sesuai.
|
||
(2)
|
Kepala Kantor Wilayah mengembalikan DUPt sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3 disertai dengan alasan pengembalian, dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan tidak sesuai atau masih diperlukan dokumen pendukung.
|
|||
(3)
|
Kepala Kantor Wilayah menyampaikan DUPt-W sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilengkapi dengan dokumen pendukung kepada Direktur Jenderal u.p direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan, dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan sesuai.
|
|||
(4)
|
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
LHP;
|
||
|
b.
|
DUPt;
|
||
|
c.
|
LHP-W;
|
||
|
d.
|
surat penetapan, surat tagihan, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan, dan/atau putusan badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
|
||
|
e.
|
dokumen-dokumen dalam rangka pelaksanaan penagihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan utang di bidang kepabeanan dan cukai; dan
|
||
|
f.
|
Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b apabila ada.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Tim penghapustagihan pada Kantor Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c mempunyai tugas untuk:
|
|||
|
a.
|
melakukan penelitian terhadap:
|
||
|
|
1.
|
pemenuhan kriteria Penghapustagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
|
|
|
|
2.
|
LHP;
|
|
|
|
3.
|
DUPt;
|
|
|
|
4.
|
LHP-W; dan
|
|
|
|
5.
|
DUPt-W;
|
|
|
b.
|
menyusun kertas kerja reviu menyusun kertas kerja reviu dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini;
|
||
|
c.
|
menuangkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a ke dalam LHP-P dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini; dan
|
||
|
d.
|
menyusun DUPt-P dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini, dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a dinyatakan sesuai.
|
||
(2)
|
Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan atas nama Direktur Jenderal melakukan pengembalian:
|
|||
|
a.
|
DUPt-W sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 5, apabila usulan disampaikan oleh kepala Kantor Wilayah; atau
|
||
|
b.
|
DUPt sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, apabila usulan disampaikan oleh kepala Kantor Pelayanan Utama,
|
||
|
dengan disertai alasan pengembalian, dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan tidak sesuai atau masih diperlukan dokumen pendukung.
|
|||
(3)
|
Direktur Jenderal menyampaikan DUPt-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d kepada Menteri disertai dengan dokumen pendukung, dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan sesuai.
|
|||
(4)
|
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
LHP;
|
||
|
b.
|
DUPt;
|
||
|
c.
|
LHP-W;
|
||
|
d.
|
DUPt-W;
|
||
|
e.
|
LHP-P;
|
||
|
f.
|
surat penetapan, surat tagihan, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan, dan/atau putusan badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
|
||
|
g.
|
dokumen-dokumen dalam rangka pelaksanaan penagihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan utang di bidang kepabeanan dan cukai; dan
|
||
|
h.
|
Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b apabila ada.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Penyampaian usulan Penghapustagihan dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
DUPt yang diajukan oleh kepala KPPBC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret;
|
||
|
b.
|
DUPt yang diajukan oleh kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni;
|
||
|
c.
|
DUPt-W yang diajukan oleh kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni; dan
|
||
|
d.
|
DUPt-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) disampaikan kepada Menteri paling lambat tanggal 31 Desember.
|
||
(2)
|
Penyampaian usulan penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui sistem aplikasi persuratan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
Berdasarkan DUPt-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), diterbitkan Keputusan Menteri mengenai Penghapustagihan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Pelayanan melakukan penghapusan data Piutang pada catatan Piutang berdasarkan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
|||
(2)
|
Penghapusan catatan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diungkapkan dalam CaLK pada periode terjadinya Penghapustagihan Piutang.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Dalam rangka menjamin efektivitas kegiatan penghapusan Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dilakukan proses monitoring dan evaluasi.
|
|||
(2)
|
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh:
|
|||
|
a.
|
direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan;
|
||
|
b.
|
kepala Kantor Wilayah; atau
|
||
|
c.
|
kepala Kantor Pelayanan.
|
||
(3)
|
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
implementasi peraturan terkait dengan penghapusan Piutang, berupa:
|
||
|
|
1.
|
jangka waktu pengajuan Piutang yang akan dihapusbukukan atau dihapustagihkan; dan/atau
|
|
|
|
2.
|
dokumen yang diajukan untuk dilakukan Penghapusan dibandingkan dengan jumlah Piutang yang disetujui untuk dilakukan Penghapusan; dan
|
|
|
b.
|
sistem aplikasi yang digunakan dalam proses penghapusan Piutang, berupa:
|
||
|
|
1.
|
kelengkapan fitur pada aplikasi; dan/atau
|
|
|
|
2.
|
kendala yang terjadi dalam pelaksanaan Penghapusan Piutang melalui sistem aplikasi.
|
|
(4)
|
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan untuk:
|
|||
|
a.
|
masukan atas kebijakan yang berlaku; dan/atau
|
||
|
b.
|
memperbaiki pelaksanaan penghapusan piutang.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan melalui sistem aplikasi perbendaharaan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Dalam hal sistem aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami gangguan operasional atau belum dapat diterapkan, monitoring dan evaluasi dilakukan secara manual berdasarkan catatan Piutang.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
BERITA ACARA PENELUSURAN
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Dalam hal surat penetapan, surat tagihan, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan, dan/atau putusan badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dan/atau dokumen yang diterbitkan dalam rangka pelaksanaan penagihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan utang di bidang kepabeanan dan cukai tidak ditemukan, dilakukan penelusuran terhadap dokumen fisik dan dokumen digital.
|
|||
(2)
|
Dokumen fisik dan dokumen digital yang tidak dapat ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan karena:
|
|||
|
a.
|
terjadinya hal yang berada di luar kendali kepala Kantor Pelayanan seperti bencana alam, kebakaran atau pencurian; atau
|
||
|
b.
|
sebab lain yang menyebabkan dokumen fisik dan dokumen digital tidak dapat ditemukan.
|
||
(3)
|
Dalam hal dokumen fisik dan dokumen digital tidak ditemukan yang disebabkan karena terjadi keadaan di luar kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dibuktikan dengan:
|
|||
|
a.
|
surat keterangan atau laporan kejadian dari instansi dan/atau pejabat yang berwenang; dan
|
||
|
b.
|
surat pernyataan dari kepala Kantor Pelayanan.
|
||
(4)
|
Dalam hal dokumen fisik dan dokumen digital tidak ditemukan yang disebabkan karena sebab lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan penelusuran dokumen fisik dan dokumen digital pada tempat penyimpanan dokumen.
|
|||
(5)
|
Hasil penelusuran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara penelusuran dokumen.
|
|||
(6)
|
Berita acara penelusuran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(7)
|
Berita acara penelusuran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan sebagai pengganti surat penetapan, surat tagihan, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan, dan/atau putusan badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dan/atau dokumen yang diterbitkan dalam rangka pelaksanaan penagihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan utang di bidang kepabeanan dan cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18 |
||||
Pada saat Peraturan Direktur ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
terhadap usulan penghapusan Piutang yang telah diajukan oleh Kepala Kantor Pelayanan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini dan belum diterbitkan Keputusan Menteri mengenai penghapusan Piutang, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Nomor 42/BC/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penghapusan dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai; dan
|
|||
b.
|
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) tidak berlaku terhadap Penghapusbukuan atas Piutang yang telah kedaluwarsa sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19 |
||||
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-42/BC/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penghapusan dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Maret 2024
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
ttd.
ASKOLANI
|