Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan atau penyempurnaan
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER-35/BC/2017
TENTANG
TATALAKSANA AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
|
|||
Menimbang |
|||
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 34 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 258/PMK.04/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2011 tentang Audit Kepabeanan dan Audit Cukai, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai;
|
|||
|
|||
Mengingat |
|||
1.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
||
2.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
||
3.
|
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
|
||
4.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.01/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2011 tentang Audit Kepabeanan dan Audit Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.04/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2011 tentang Audit Kepabeanan dan Audit Cukai;
|
||
|
|
||
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATALAKSANA AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI.
|
|||
|
|||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
|
|||
1.
|
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
|
||
2.
|
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
|
||
3.
|
Audit adalah Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.
|
||
4.
|
Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||
5.
|
Audit Cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.
|
||
6.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
7.
|
Direktur Audit adalah Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai.
|
||
8.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai.
|
||
9.
|
Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
|
||
10.
|
Audit Umum adalah audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
11.
|
Audit Khusus adalah audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan tertentu terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
12.
|
Audit Investigasi adalah audit dalam rangka membantu proses penyelidikan dalam hal terdapat dugaan tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
13.
|
Auditee adalah orang yang diaudit oleh Tim Audit.
|
||
14.
|
Tim Audit adalah tim yang diberi tugas untuk melaksanakan audit berdasarkan surat tugas atau surat perintah.
|
||
15.
|
Auditor adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai auditor yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan Audit.
|
||
16.
|
Ketua Auditor adalah Auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai Ketua Auditor Bea dan Cukai.
|
||
17.
|
Pengendali Teknis Audit yang selanjutnya disebut PTA adalah Auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai Pengendali Teknis Audit Bea dan Cukai.
|
||
18.
|
Pengawas Mutu Audit yang selanjutnya disebut PMA adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai PMA Bea dan Cukai.
|
||
19.
|
Laporan Analisis Objek Audit yang selanjutnya disingkat LAOA adalah laporan atas hasil analisis yang dilakukan dalam rangka menentukan objek audit.
|
||
20.
|
Nomor Penugasan Audit yang selanjutnya disingkat NPA adalah nomor yang diterbitkan oleh Direktur Audit dan berfungsi sebagai sarana pengawasan pelaksanaan audit serta menjadi dasar penerbitan surat tugas atau surat perintah.
|
||
21.
|
Data Audit adalah laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, dan/atau sediaan barang serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
22.
|
Data Elektronik adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.
|
||
23.
|
Pekerjaan Kantor adalah pekerjaan dalam rangka Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang dilakukan di Kantor Pejabat Bea dan Cukai.
|
||
24.
|
Pekerjaan Lapangan adalah pekerjaan dalam rangka audit yang dilakukan di tempat Auditee yang dapat meliputi kantor, pabrik, gudang, tempat usaha, atau tempat lain, yang diketahui ada kaitannya dengan kegiatan usaha Auditee.
|
||
25.
|
Sediaan Barang adalah semua barang yang terkait dengan kewajiban di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
26.
|
Tindakan Pengamanan adalah tindakan penyegelan yang dilakukan untuk menjamin laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai, dan barang yang penting agar tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak berpindah tempat atau ruangan sampai pemeriksaan dapat dilanjutkan dan/atau dilakukan tindakan lain yang dibenarkan oleh ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai dengan tetap mempertimbangkan kelangsungan kegiatan usaha.
|
||
27.
|
Teknik Audit Sampling adalah teknik pengujian substantif yang dilakukan dengan tingkat kurang dari 100% (seratus persen).
|
||
28.
|
Kertas Kerja Audit yang selanjutnya disingkat KKA adalah catatan yang dibuat oleh Tim Audit mengenai prosedur yang digunakan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh, dan kesimpulan yang didapatkan selama penugasan.
|
||
29.
|
Daftar Temuan Sementara yang selanjutnya disingkat DTS adalah daftar yang memuat temuan dan kesimpulan sementara atas hasil pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.
|
||
30.
|
Pembahasan Akhir adalah kegiatan pembahasan yang dilakukan antara Tim Audit dan Auditee atas DTS.
|
||
31.
|
Penelaahan adalah bagian dari kegiatan pembahasan akhir yang dilakukan oleh Tim Penelaahan untuk membantu menyelesaikan perbedaan pendapat antara Tim Audit dengan Auditee terkait penafsiran peraturan kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
32.
|
Tim Penelaahan adalah tim yang dibentuk oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk melakukan penelaahan.
|
||
33.
|
Risalah Penelaahan adalah risalah yang dibuat oleh Tim Penelaahan yang memuat hasil penelaahan.
|
||
34.
|
Berita Acara Penghentian Audit yang selanjutnya disingkat BAPA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit tentang penghentian pelaksanaan pekerjaan lapangan audit.
|
||
35.
|
Berita Acara Hasil Audit yang selanjutnya disingkat BAHA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit atas hasil pembahasan akhir.
|
||
36.
|
Laporan Hasil Audit yang selanjutnya disingkat LHA adalah laporan pelaksanaan audit yang disusun oleh Tim Audit sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.
|
||
37.
|
Executive Summary adalah uraian singkat yang berisi materi temuan dan penjelasan atas KKA.
|
||
38.
|
Direktorat Audit adalah Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
39.
|
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
40.
|
Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Pelayanan Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
41.
|
Kantor Pengawasan dan Pelayanan adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.
|
||
|
|
||
BAB II
WEWENANG PEJABAT BEA DAN CUKAI, TUJUAN DAN JENIS AUDIT
Pasal 2 |
|||
Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan Audit terhadap Orang yang bertindak sebagai:
|
|||
a.
|
importir; eksportir; pengusaha tempat penimbunan sementara; pengusaha tempat penimbunan berikat; pengusaha pengurusan jasa kepabeanan; atau pengusaha pengangkutan sesuai Undang-Undang Kepabeanan; dan/atau
|
||
b.
|
pengusaha pabrik; pengusaha tempat penyimpanan; importir barang kena cukai; penyalur; dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sesuai Undang-Undang Cukai.
|
||
|
|
||
Pasal 3 |
|||
Audit bertujuan untuk menguji tingkat kepatuhan Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
|
|||
|
|||
Pasal 4 |
|||
(1)
|
Audit terdiri dari Audit Umum, Audit Khusus dan Audit Investigasi.
|
||
(2)
|
Audit Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terencana atau sewaktu-waktu.
|
||
(3)
|
Audit Khusus dan Audit Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sewaktu-waktu.
|
||
(4)
|
Audit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa:
|
||
|
a.
|
Audit khusus dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai; atau
|
|
|
b.
|
Audit khusus selain sebagaimana dimaksud pada huruf a.
|
|
(5)
|
Audit yang dilakukan secara terencana sebagaimana ayat (2) dilaksanakan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
||
(6)
|
Audit yang dilakukan sewaktu-waktu sebagaimana ayat (2) dan ayat (3), dilaksanakan berdasarkan skala prioritas.
|
||
(7)
|
Audit Khusus dalam rangka keberatan sebagaimana dimaksud ayat (4) huruf a didasarkan atas permintaan unit yang menangani keberatan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
||
(8)
|
Direktur Audit dapat meminta penjelasan atas usulan Audit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sebelum menyetujui dilakukan Audit.
|
||
(9)
|
Audit Investigasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dilaksanakan berdasarkan permintaan Direktur Penindakan dan Penyidikan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam rangka membantu proses penyelidikan.
|
||
(10)
|
Permintaan dari Direktur Penindakan dan Penyidikan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus didukung dengan dugaan pelanggaran tindak pidana.
|
||
(11)
|
Direktur Audit dapat meminta penjelasan atas dugaan pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (10) sebelum menyetujui dilakukan Audit Investigasi.
|
||
(12)
|
Pelaksanaan Audit Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus didahulukan dari Audit Umum dan Audit Khusus guna penyelesaian secepatnya.
|
||
|
|
||
BAB III
PENENTUAN OBJEK AUDIT DAN PENERBITAN NPA
Pasal 5 |
|||
(1)
|
Penentuan objek audit dilakukan melalui proses perencanaan berdasarkan manajemen risiko atas data dan informasi yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan dan cukai dan/atau rekomendasi dari unit terkait.
|
||
(2)
|
Dalam melaksanakan proses perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Audit dapat melakukan akses secara elektronik dan/atau meminta data kepada unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau unit lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
(3)
|
Berdasarkan permintaan Direktur Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus memberikan akses secara elektronik dan/atau memberikan data yang diminta oleh Direktur Audit.
|
||
(4)
|
Dalam hal diperlukan, Pejabat Bea dan Cukai di Direktorat Audit dapat melakukan observasi lapangan dan konfirmasi atas objek audit yang sedang dianalisis kepada pihak yang terkait.
|
||
(5)
|
Terhadap data, informasi dan/atau rekomendasi dari unit terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hasil observasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pejabat Bea dan Cukai melakukan analisis untuk menentukan objek audit.
|
||
(6)
|
Hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam LAOA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(7)
|
LAOA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) secara selektif dijadikan dasar dalam penentuan objek audit untuk pelaksanaan Audit.
|
||
|
|
||
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Direktur Audit memberikan persetujuan pelaksanaan Audit dengan menerbitkan NPA terhadap objek audit sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (7).
|
||
(2)
|
NPA dibuat dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
NPA harus ditindaklanjuti dengan surat tugas atau surat perintah paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya NPA oleh unit yang melaksanakan audit di Direktorat Audit, Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama.
|
||
(4)
|
Dalam hal NPA tidak ditindaklanjuti atau ditindaklanjuti lebih dari 10 (sepuluh) hari kerja, maka unit yang melaksanakan Audit di Direktorat Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Audit paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(5)
|
NPA disampaikan secara elektronik (softcopy) atau hardcopy menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
BAB IV
DASAR PELAKSANAAN AUDIT, SURAT TUGAS DAN SURAT PERINTAH
Pasal 7 |
|||
(1)
|
Audit sebagaimana pasal 4 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan NPA yang dilengkapi dengan LAOA.
|
||
(2)
|
Audit Umum secara terencana sebagaimana pasal 4 ayat (2) dilaksanakan berdasarkan NPA terencana umum.
|
||
(3)
|
Audit Umum secara sewaktu-waktu sebagaimana pasal 4 ayat (2) dilaksanakan berdasarkan NPA sewaktu-waktu umum.
|
||
(4)
|
Audit Khusus dalam rangka Keberatan sebagaimana pasal 4 ayat (4) huruf a dilaksanakan berdasarkan NPA sewaktu-waktu khusus keberatan.
|
||
(5)
|
Audit Khusus lainnya sebagaimana pasal 4 ayat (4) huruf b dilaksanakan berdasarkan NPA sewaktu-waktu khusus lainnya.
|
||
(6)
|
Audit Investigasi sebagaimana pasal 4 ayat (9) dilaksanakan berdasarkan NPA investigasi.
|
||
|
|
||
Pasal 8 |
|||
Penerbitan surat tugas atau surat perintah didasarkan pada NPA sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1).
|
|||
|
|||
Pasal 9 |
|||
(1)
|
Audit Umum dan Audit Khusus dilaksanakan berdasarkan surat tugas yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(2)
|
Audit Investigasi dilaksanakan berdasarkan surat perintah yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 10 |
|||
(1)
|
Tanggal mulai dan berakhirnya pekerjaan lapangan ditetapkan di dalam surat tugas atau surat perintah.
|
||
(2)
|
Jangka waktu pekerjaan lapangan ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
|
||
(3)
|
Dalam ha! pekerjaan lapangan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana disebutkan dalam surat tugas atau surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMA mengajukan permohonan perpanjangan surat tugas atau surat perintah disertai dengan penjelasan tertulis kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui permohonan perpanjangan surat tugas atau surat perintah untuk pekerjaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 11 |
|||
(1)
|
Apabila dalam pelaksanaan Audit Umum terdapat potensi temuan atas tarif dan/atau nilai pabean yang peka waktu dan potensi temuan lainnya, PMA dapat mengajukan permohonan penyelesaian LHA atas potensi temuan yang peka waktu dan permohonan penerbitan NPA Sewaktu-waktu khusus tanpa LAOA atas potensi temuan lainnya.
|
||
(2)
|
Ketentuan pengajuan permohonan oleh PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
PMA pada Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai mengajukan permohonan penyelesaian LHA dan permohonan penerbitan NPA sewaktu-waktu khusus disertai dengan penjelasan tertulis kepada Direktur Audit dengan menggunakan contoh dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|
|
b.
|
PMA pada Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama mengajukan permohonan penyelesaian LHA dan permohonan penerbitan NPA sewaktu-waktu khusus disertai dengan penjelasan tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|
(3)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana ayat (2) huruf b disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menindaklanjuti dengan mengajukan surat permohonan kepada Direktur Audit sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak disetujui oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, maka Tim Audit menyelesaikan proses Audit menggunakan NPA sebelumnya.
|
||
(5)
|
Direktur Audit memberikan jawaban atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan menggunakan contoh format lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(6)
|
Dalam hal Direktur Audit tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), permohonan dianggap ditolak.
|
||
|
|
||
Pasal 12 |
|||
(1)
|
Dalam hal Audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai maka Direktur Audit menyampaikan tembusan surat tugas kepada Direktur yang mempunyai tugas menegakkan kepatuhan internal dan Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.
|
||
(2)
|
Dalam hal Audit dilaksanakan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama maka Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menyampaikan tembusan surat tugas kepada Direktur Audit, Direktur yang mempunyai tugas menegakkan kepatuhan internal dan Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.
|
||
|
|
||
Pasal 13 |
|||
(1)
|
Setiap penerbitan surat tugas harus diikuti dengan penerbitan daftar kuesioner untuk Auditee yang diterbitkan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(2)
|
Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi oleh Auditee dan dikirim kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam amplop tertutup.
|
||
(3)
|
Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk menilai kinerja Tim Audit dan tatalaksana Audit.
|
||
|
|
||
Pasal 14 |
|||
(1)
|
Dalam hal Audit Investigasi berdasarkan surat perintah Direktur Jenderal, tembusan surat perintah disampaikan kepada Direktur Audit, Direktur yang mempunyai tugas menegakkan kepatuhan internal, Direktur yang mempunyai tugas penindakan dan penyidikan dan Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.
|
||
(2)
|
Dalam hal Audit Investigasi berdasarkan surat perintah Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, tembusan surat perintah disampaikan kepada Direktur Jenderal, Direktur Audit, Direktur yang mempunyai tugas menegakkan kepatuhan internal, Direktur yang mempunyai tugas penindakan dan penyidikan dan Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pelayanan Utama terkait.
|
||
|
|
||
BAB V
TIM AUDIT
Pasal 15 |
|||
(1)
|
Audit dilaksanakan oleh Tim Audit Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama.
|
||
(2)
|
Audit dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan instansi lain.
|
||
|
|
||
Pasal 16 |
|||
(1)
|
Susunan keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 terdiri dari:
|
||
|
a.
|
PMA;
|
|
|
b.
|
PTA;
|
|
|
c.
|
Ketua Auditor; dan
|
|
|
d.
|
seorang atau lebih Auditor.
|
|
(2)
|
Dalam hal Audit Investigasi, susunan keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan i seorang atau lebih Pejabat Bea dan Cukai dari Direktorat Penindakan dan Penyidikan atau Unit yang melaksanakan tugas dan fungsi Penindakan dan Penyidikan.
|
||
(3)
|
Susunan keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditambah:
|
||
|
a.
|
seorang atau lebih Pejabat Bea dan Cukai selain Auditor; dan/atau
|
|
|
b.
|
seorang atau lebih pejabat instansi lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|
(4)
|
Untuk kepentingan penugasan Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), pejabat instansi lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat diberikan penugasan sebagai PMA, PTA, Ketua dan Auditor.
|
||
|
|
||
Pasal 17 |
|||
(1)
|
PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, Pejabat Bea dan Cukai dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam Tim Audit, dapat diganti jika yang bersangkutan dialihtugaskan, atas permintaan sendiri atau berdasarkan pertimbangan Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
||
(2)
|
Jumlah anggota Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2) dan ayat (3) dapat ditambah dalam hal volume pekerjaan dan/atau tingkat kesulitan tinggi untuk mengoptimalkan pelaksanaan Audit.
|
||
|
|
||
Pasal 18 |
|||
(1)
|
Dalam hal terdapat penggantian atau penambahan dalam Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus menerbitkan surat tugas atau surat perintah dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(2)
|
Dalam hal terdapat penggantian PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, dan/atau pejabat Bea dan Cukai, surat tugas atau surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan pembuatan Berita Acara Serah Terima Penugasan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 19 |
|||
Pelaksanaan Audit terhadap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pada periode Audit berikutnya harus dilakukan oleh Tim Audit yang berbeda.
|
|||
|
|||
BAB VI
PERIODE AUDIT
Pasal 20 |
|||
(1)
|
Periode Audit Umum ditetapkan selama 2 (dua) tahun sampai dengan akhir bulan sebelum bulan penerbitan surat tugas.
|
||
(2)
|
Apabila akhir periode Audit kurang dari 2 (dua) tahun maka periode Audit dimulai sejak akhir periode Audit sebelumnya atau sejak Auditee melakukan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai sampai dengan akhir bulan sebelum bulan penerbitan surat tugas.
|
||
(3)
|
Tim Audit dapat mengusulkan perpanjangan periode audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi maksimal 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan:
|
||
|
a.
|
terdapat indikasi pelanggaran yang berulang-ulang baik yang terjadi didalam periode Audit maupun yang terjadi diluar periode Audit;
|
|
|
b.
|
terdapat informasi dari pihak lain yang menyatakan bahwa terdapat indikasi pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai yang terjadi diluar periode Audit; dan/atau
|
|
|
c.
|
atas perintah atau permintaan Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
|
(4)
|
PMA mengajukan usulan perpanjangan periode Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui atau menolak diajukan usulan perpanjangan periode Audit yang oleh PMA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 21 |
|||
Periode Audit Khusus dan Audit Investigasi sesuai kebutuhan berdasarkan ruang lingkup NPA dan LAOA.
|
|||
|
|||
BAB VII
KEGIATAN AUDIT
Bagian Pertama
Perencanaan Audit
Pasal 22 |
|||
Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat mengundang Auditee untuk diberikan penjelasan perihal pelaksanaan Audit yang akan dilaksanakan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|||
Pasal 23 |
|||
(1)
|
Setelah menerima surat tugas atau surat perintah yang dilengkapi LAOA, Tim Audit harus menyusun Rencana Kerja Audit dan Program Audit.
|
||
(2)
|
Penyusunan Rencana Kerja Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
Penyusunan Program Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peraturan perundang-undangan kepabeanan dan/atau cukai sesuai ruang lingkup Audit.
|
||
(4)
|
Contoh penyusunan Program Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Bagian Kedua
Pelaksanaan Audit
Pasal 24 |
|||
Dalam melaksanakan Audit, Tim Audit berwenang:
|
|||
a.
|
meminta Data Audit;
|
||
b.
|
meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Auditee dan/atau pihak lain yang terkait;
|
||
c.
|
memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan Data Audit, ruangan tempat untuk menyimpan Sediaan Barang, dan ruangan tempat untuk menyimpan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai;
|
||
d.
|
melakukan Tindakan Pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
e.
|
melakukan penindakan di bidang kepabeanan dan/atau cukai berupa penegahan alat angkut dan/atau penyegelan barang dan/atau alat angkut yang diduga terkait dengan tindak pidana Kepabeanan dan/atau Cukai dalam rangka Audit Investigasi.
|
||
f.
|
melakukan pemeriksaan fisik terhadap Sediaan Barang.
|
||
g.
|
mengambil contoh Sediaan Barang untuk kepentingan pengujian barang, dan dalam hal diperlukan dapat meminta bantuan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk atau pihak terkait lainnya.
|
||
|
|
||
Pasal 25 |
|||
(1)
|
Pelaksanaan Audit harus diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal penugasan sebagaimana tercantum dalam surat tugas atau surat perintah.
|
||
(2)
|
Yang dimaksud dengan tanggal penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal dimulainya kegiatan Pekerjaan Lapangan.
|
||
(3)
|
Penyelesaian Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sehingga menjadi paling lama 12 (dua belas) bulan dengan periode perpanjangan maksimum 3 (tiga) bulan untuk setiap permohonan perpanjangan penyelesaian Audit.
|
||
(4)
|
Dalam ha! penyelesaian Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan sejak tanggal penugasan, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menyakinkan kepastian penyelesaian Audit.
|
||
(5)
|
Dalam hal langkah-langkah yang dianggap perlu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penyelesaian Audit diperkirakan tidak dapat memenuhi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus mengajukan perpanjangan kepada Direktur Jenderal sebelum jangka waktu 12 (dua belas) bulan berakhir.
|
||
(6)
|
Dalam hal pelaksanaan Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMA harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit sebelum berakhirnya jangka waktu penyelesaian Audit kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(7)
|
Dalam hal pelaksanaan Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama berdasarkan permintaan PMA, harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit sebelum berakhirnya jangka waktu penyelesaian Audit kepada Direktur Jenderal dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(8)
|
Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 26 |
|||
(1)
|
Pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) meliputi Pekerjaan Lapangan dan Pekerjaan Kantor.
|
||
(2)
|
Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbagi dalam 2 (dua) kegiatan yaitu:
|
||
|
a.
|
penyampaian surat tugas atau surat perintah dan observasi; dan
|
|
|
b.
|
pengumpulan data dan informasi.
|
|
(3)
|
Dalam tahap penyampaian surat tugas atau surat perintah dan observasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Tim Audit melaksanakan kegiatan antara lain:
|
||
|
a.
|
menyerahkan surat tugas atau surat perintah, memperlihatkan tanda pengenal, dan menjelaskan tujuan pelaksanaan Audit kepada Auditee atau yang mewakili.
|
|
|
b.
|
bersama-sama dengan Auditee melakukan penandatanganan Pakta Integritas dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|
|
c.
|
meminta Auditee atau yang mewakili untuk memberikan penjelasan tentang Sistem Pengendalian Internal (SPI) yang diterapkannya.
|
|
|
d.
|
melakukan pengujian terhadap pelaksanaan SPI sebagaimana ayat (3) huruf c guna penyempurnaan Rencana Kerja Audit dan Program Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).
|
|
(4)
|
Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Tim Audit meminta Auditee atau yang mewakili untuk menyerahkan data sesuai ruang lingkup Audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Setelah selesai pekerjaan lapangan sampai dengan diterbitkan LHA, Tim Audit membuat laporan perkembangan pelaksanaan Audit kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
||
(6)
|
Laporan perkembangan pelaksanaan Audit sebagaimana ayat (5) dilaporkan tiap bulan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 27 |
|||
(1)
|
Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b, Tim Audit dapat melakukan pencacahan fisik Sediaan Barang sesuai Rencana Kerja Audit dan Program Audit yang telah disusun.
|
||
(2)
|
Sebelum pelaksanaan pencacahan fisik Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit harus memberitahukan rencana pelaksanaannya dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai pemberitahuan secara tertulis rencana pelaksanaan pencacahan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk Audit Investigasi.
|
||
(4)
|
Dalam hal pelaksanaan pencacahan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus, Auditee wajib menyediakan peralatan dan tenaga ahli tersebut.
|
||
(5)
|
Hasil pelaksanaan pencacahan fisik Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVIl Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 28 |
|||
(1)
|
Untuk kepentingan pelaksanaan Audit, Auditee wajib:
|
||
|
a.
|
menyerahkan Data Audit dan menunjukkan Sediaan Barang untuk diperiksa;
|
|
|
b.
|
memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis
|
|
|
c.
|
menyediakan tenaga dan/atau peralatan dengan biaya Auditee apabila penggunaan data elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus; dan
|
|
|
d.
|
menyerahkan contoh barang dari Sediaan Barang bila diminta oleh Tim Audit untuk menunjang pemeriksaan Data Audit.
|
|
(2)
|
Dalam hal pimpinan Auditee tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada yang mewakilinya.
|
||
|
|
||
Pasal 29 |
|||
(1)
|
Berdasarkan permintaan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), Auditee wajib menyerahkan Data Audit secara lengkap.
|
||
(2)
|
Terhadap penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
penyerahan Data Audit untuk Audit Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Audit Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan Data Audit dan dapat diperpanjang atas permohonan Auditee sebelum jangka waktu penyerahan Data Audit berakhir untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja;
|
|
|
b.
|
penyerahan Data Audit untuk Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a, harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan Data Audit;
|
|
|
c.
|
penyerahan Data Audit untuk Audit Investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus dilakukan pada saat diterimanya permintaan Data Audit
|
|
(3)
|
Permohonan perpanjangan batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis kepada PMA sebelum jangka waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berakhir.
|
||
(4)
|
Perpanjangan batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat diberikan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengembalian Data Audit dilakukan secara tertulis dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(6)
|
Data Audit dapat berupa salinan, fotocopy, dan/atau data elektronik dengan ketentuan Auditee membuat surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai bahwa yang diserahkan kepada Tim Audit adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 30 |
|||
(1)
|
Dalam hal Auditee tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a, kepada Auditee diberikan surat peringatan I.
|
||
(2)
|
Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap setelah 3 (tiga) hari kerja sejak surat peringatan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, kepada Auditee diberikan surat peringatan II.
|
||
(3)
|
Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap setelah 3 (tiga) hari kerja sejak surat peringatan II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima sehingga menyebabkan Pejabat Bea dan Cukai tidak dapat menjalankan kewenangan melakukan Audit, Auditee dianggap menolak membantu kelancaran Audit.
|
||
(4)
|
Dalam hal pimpinan Auditee atau yang mewakili menolak untuk membantu kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan Auditee atau yang mewakilinya harus menandatangani surat pernyataan penolakan diaudit.
|
||
(5)
|
Dalam hal pimpinan Auditee atau yang mewakili menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Tim Audit harus membuat Berita Acara dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(6)
|
Surat peringatan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat peringatan II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan ditandatangani oleh PMA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 31 |
|||
(1)
|
Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit dalam rangka Audit Khusus keberatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b Tim Audit menyusun LHA berdasarkan data yang diperoleh.
|
||
(2)
|
Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit dalam rangka audit investigasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c Tim Audit dapat melakukan Tindakan Pengamanan dan/atau penindakan sesuai dengan Pasal 24 butir (d) dan (e).
|
||
|
|
||
Pasal 32 |
|||
(1)
|
Berkaitan dengan Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dalam hal Auditee menolak untuk diaudit, Auditee atau wakilnya harus menandatangani surat pernyataan penolakan diaudit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini; dan
|
||
(2)
|
Dalam hal Auditee atau wakilnya menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan diaudit, Tim Audit harus membuat berita acara penolakan diaudit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
Berkaitan dengan Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dalam hal Auditee menolak membantu kelancaran Audit :
|
||
|
a.
|
dalam hal Auditee atau wakilnya tidak berada di tempat, Audit tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai yang ada untuk mewakili Auditee dan mendampingi Tim Audit guna membantu kelancaran Audit;
|
|
|
b.
|
Auditee atau pegawai Auditee sebagaimana dimaksud pada huruf a harus menandatangani surat pernyataan penolakan membantu kelancaran audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini; atau
|
|
|
c.
|
dalam hal Auditee atau pegawai Auditee sebagaimana dimaksud pada huruf a menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan membantu kelancaran audit sebagaimana dimaksud pada huruf b, Tim Audit harus menyusun berita acara penolakan membantu kelancaran audit dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXVI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
|||
Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d dapat dilakukan dalam hal:
|
|||
a.
|
Auditee atau wa kilnya tidak memberi kesempatan kepada Tim Audit untuk memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan Data Audit termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, Sediaan Barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting;
|
||
b.
|
Auditee menolak diaudit atau menolak membantu kelancaran Audit; dan/atau
|
||
c.
|
Tim Audit memerlukan upaya pengamanan Data Audit.
|
||
|
|
||
Pasal 34 |
|||
(1)
|
Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menghentikan pelaksanaan Audit dalam hal:
|
||
|
a.
|
Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) tidak dapat dilaksanakan;
|
|
|
b.
|
Audit tidak dapat dilanjutkan setelah Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;
|
|
|
c.
|
terdapat alasan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
|
|
(2)
|
Penghentian Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan BAPA dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
BAPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk menyusun LHA.
|
||
(4)
|
Dalam hal pelaksanaan Audit dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
||
|
a.
|
Auditee yang bersangkutan dapat direkomendasikan kepada Direktorat dan/atau Bidang terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
|
|
|
b.
|
Auditee yang bersangkutan dapat dilakukan pemblokiran dan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
|
||
Pasal 35 |
|||
(1)
|
Berdasarkan data dan informasi yang diterima dari Auditee, Tim Audit melakukan pengujian berdasarkan Program Audit yang disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).
|
||
(2)
|
Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik Audit Sampling.
|
||
|
|
||
Pasal 36 |
|||
(1)
|
Terhadap proses dan hasil dari pengujian data dan informasi yang diterima dari Auditee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Tim Audit membuat KKA.
|
||
(2)
|
KKA sebagaimana dimaksud ayat (1) menjadi dasar Tim Audit untuk menyusun DTS sesuai dengan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal:
|
||
|
a.
|
Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai; atau
|
|
|
b.
|
Audit Investigasi.
|
|
|
|
||
Pasal 37 |
|||
(1)
|
DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) disampaikan kepada Auditee dengan menggunakan surat pengantar yang ditandatangani oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sesuai contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXXIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini dengan disertai lembar pernyataan persetujuan DTS sesuai contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XL yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(2)
|
Sebelum surat pengantar DTS ditandatangani, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama dan/atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta Tim Audit untuk mempresentasikan temuan auditnya.
|
||
(3)
|
Auditee harus menanggapi DTS secara tertulis dengan cara mengisi dan menandatangani pada kolom yang telah disediakan serta mengirimkan kembali kepada Tim Audit selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(4)
|
Apabila diperlukan, sebelum memberikan tanggapan Auditee dapat meminta penjelasan secara tertulis atas DTS.
|
||
(5)
|
Sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlewati, Auditee dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan secara tertulis kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
||
(6)
|
Berdasarkan permohonan Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memberikan perpanjangan waktu penyampaian tanggapan.
|
||
(7)
|
Perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya diberikan 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(8)
|
Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
||
|
a.
|
menerima seluruh temuan dalam DTS;
|
|
|
b.
|
menolak sebagian temuan dalam DTS; atau
|
|
|
c.
|
menolak seluruh temuan dalam DTS.
|
|
(10)
|
Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (7) terlewati, Auditee tetap tidak menyampaikan tanggapan, maka Auditee dianggap menyetujui seluruh DTS dan atas DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar pembuatan BAHA.
|
||
|
|
||
Pasal 38 |
|||
(1)
|
Dalam ha! Auditee menerima seluruh temuan hasil Audit dalam DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (8) huruf a, Auditee menandatangani Lembar Persetujuan DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
|
||
(2)
|
Lembar Persetujuan DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar pembuatan BAHA.
|
||
|
|
||
Pasal 39 |
|||
(1)
|
Dalam ha! Auditee menolak sebagian temuan dalam DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (8) huruf b atau menolak seluruh temuan dalam DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (8) huruf c, Tim Audit dan Auditee mela kukan pembahasan akhir yang dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya tanggapan Auditee.
|
||
(2)
|
Direktur Audit u.b Kepala Subdirektorat yang melaksanak an tugas dan fungsi pelaksanaan audit dan penelitian ulang kepabeanan dan cukai, Kepala Kantor Wilayah u. b Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang Kepabeanan dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama u.b Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang Kepabeanan dan Cukai mengundang Auditee untuk melakukan Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
Berdasarkan permohonan Auditee, Direktur Audit u.b Kepala Subdirektorat yang melaksanakan tugas dan fungsi pelaksanaan audit dan penelitian ulang kepabeanan dan cukai, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memberikan persetujuan perubahan waktu pelaksanaan Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
Perubahan waktu pelaksanaan Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(5)
|
Proses Pembahasan Akhir dituangkan dalam risalah Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(6)
|
Risalah pembahasan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dirangkum dalam Hasil Pembahasan Akhir dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini dan ditutup dengan BAHA.
|
||
(7)
|
Auditee dianggap menerima seluruh temuan Audit dalam DTS dan dijadikan dasar pembuatan BAHA, dalam hal:
|
||
|
a.
|
Auditee tidak menghadiri Pembahasan Akhir;
|
|
|
b.
|
Auditee hadir tetapi tidak melaksanakan Pembahasan Akhir; atau
|
|
|
c.
|
Auditee melaksanakan Pembahasan Akhir tetapi tidak menandatangani hasil Pembahasan Akhir.
|
|
|
|
||
Pasal 40 |
|||
(1)
|
BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (9), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (7) huruf a dan huruf b dibuat dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(2)
|
BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6) dan Pasal 39 ayat (7) huruf c dibuat dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (9) dilampiri dengan DTS yang tidak ditanggapi oleh Auditee.
|
||
(4)
|
BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dilampiri dengan lembar persetujuan DTS yang telah ditandatangani oleh Auditee.
|
||
(5)
|
BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (7) huruf a dilampiri dengan:
|
||
|
a.
|
DTS yang telah ditanggapi oleh Auditee; dan
|
|
|
b.
|
undangan Pembahasan Akhir.
|
|
(6)
|
BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (7) huruf b dilampiri dengan:
|
||
|
a.
|
DTS yang telah ditanggapi oleh Auditee;
|
|
|
b.
|
undangan Pembahasan Akhir; dan
|
|
|
c.
|
daftar hadir.
|
|
(7)
|
BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (7) huruf c dilampiri dengan:
|
||
|
a.
|
DTS yang telah ditanggapi oleh Auditee;
|
|
|
b.
|
Undangan Pembahasan Akhir;
|
|
|
c.
|
daftar hadir; dan
|
|
|
d.
|
hasil Pembahasan Akhir yang tidak ditandatangani oleh Auditee.
|
|
(8)
|
BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6) dilampiri dengan:
|
||
|
a.
|
DTS yang telah ditanggapi oleh Auditee;
|
|
|
b.
|
Undangan Pembahasan Akhir;
|
|
|
c.
|
hasil Pembahasan Akhir yang ditandatangani Auditee;
|
|
|
d.
|
risalah Pembahasan Akhir; dan
|
|
|
e.
|
daftar hadir.
|
|
(9)
|
Tim Audit dan Auditee harus menandatangani BAHA beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
|
||
|
|
||
Pasal 41 |
|||
(1)
|
Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara Tim Audit dengan Auditee dalam risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5) yang terkait penafsiran peraturan kepabeanan dan/atau cukai, PMA mengajukan permohonan penelaahan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam waktu 3 hari kerja sejak tanggal Risalah Pembahasan Akhir.
|
||
(2)
|
Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menolak atau menyetujui permohonan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Dalam hal permohonan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Tim Audit membuat basil pembahasan akhir berdasarkan Risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (5) dan menutup Pembahasan Akhir dengan membuat BAHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6).
|
||
(4)
|
Dalam hal permohonan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Direktur Audit, Kepala kantor wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus membentuk Tim Penelaahan.
|
||
(5)
|
Tim Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus mulai melakukan penelaahan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pembentukan Tim Penelaahan.
|
||
(6)
|
Hasil Penelaahan harus dituangkan dalam Risalah Penelaahan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XLIX Peraturan Direktur Jenderal ini dan merupakan bagian dari Risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5).
|
||
(7)
|
Risalah Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran L Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(8)
|
Tata kerja Tim Penelaahan diatur dalam Lampiran LI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 42 |
|||
(1)
|
Hasil pembahasan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (8) huruf c memuat:
|
||
|
a.
|
temuan audit yang disetujui oleh Auditee;
|
|
|
b.
|
temuan audit yang dibatalkan oleh Tim Audit; dan/atau
|
|
|
c.
|
temuan audit yang dipertahankan oleh Tim Audit.
|
|
|
|
||
Bagian Ketiga
Pelaporan Hasil Audit
Pasal 43 |
|||
(1)
|
Dalam hal Audit Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) atau Audit Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b, LHA disusun berdasarkan BAPA atau BAHA.
|
||
(2)
|
LHA yang disusun berdasarkan BAHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
LHA yang disusun berdasarkan BAPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
LHA dan KKA disampaikan secara hardcopy dan/atau data elektronik kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
||
(5)
|
LHA dan KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan tagihan audit dan kewajiban yang menjadi dasar pemeriksaan audit selanjutnya, disampaikan secara hardcopy kepada Auditee.
|
||
(6)
|
Dalam hal Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a atau Audit Investigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), LHA disusun berdasarkan KKA.
|
||
(7)
|
LHA yang disusun berdasarkan KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(8)
|
Dalam hal Audit Khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai dan/atau Audit Investigasi, LHA dan KKA tidak disampaikan kepada Auditee.
|
||
(9)
|
LHA dan KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus diterima oleh Direktur Audit paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerbitan LHA.
|
||
|
|
||
Pasal 44 |
|||
(1)
|
LHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) digunakan sebagai dasar:
|
||
|
a.
|
penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
|
|
|
b.
|
penetapan Pejabat Bea dan Cukai;
|
|
|
c.
|
penerbitan surat tindak lanjut; dan/atau
|
|
|
d.
|
penerbitan surat tindak lanjut hasil audit cukai.
|
|
(2)
|
Penetapan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dituangkan dalam:
|
||
|
a.
|
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), dalam hal terdapat kekurangan dan/atau kelebihan pemba yaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang diakibatkan k arena kesalahan tarif dan/atau nilai pabean.
|
|
|
b.
|
Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK), dalam hal terdapat kekurangan atau kelebihan pembayaran bea keluar dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
|
(3)
|
Penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dituangkan dalam:
|
||
|
a.
|
Surat Penetapan Pabean (SPP), dalam hal terdapat kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda; atau
|
|
|
b.
|
Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), dalam hal terdapat pengenaan sanksi administrasi berupa denda.
|
|
(4)
|
Penerbitan surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal:
|
||
|
a.
|
tidak terdapat kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda;
|
|
|
b.
|
terdapat rekomendasi kepada pihak-pihak yang terkait sesuai ketentuan yang berlaku.
|
|
(5)
|
Tindak lanjut terhadap rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b disampaikan kepada Direktur Audit dan apabila tidak dapat dilaksanakan harus memberikan penjelasan tertulis.
|
||
(6)
|
Surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(7)
|
Surat tindak lanjut hasil audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diterbitkan dalam hal pelaksanaan audit cukai dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 45 |
|||
(1)
|
LHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) digunakan sebagai dasar penerbitan surat Tindak Lanjut Hasil Audit.
|
||
(2)
|
Surat Tindak Lanjut Lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan dan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
|
|
||
Pasal 46 |
|||
(1)
|
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) dan Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) ditandatangani oleh:
|
||
|
a.
|
Direktur Audit atas nama Direktur Jenderal dalam hal Audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai;
|
|
|
b.
|
Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal dalam hal Audit dilaksanakan oleh Kantor Wilayah; atau
|
|
|
c.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Direktur Jenderal dalam hal Audit dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Utama.
|
|
(2)
|
Surat Penetapan Pabean (SPP) dan Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3), surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dan surat tindak lanjut hasil audit cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (7) ditandatangani oleh:
|
||
|
a.
|
Direktur Audit dalam hal Audit dilaksanakan oleh Direktorat Audit;
|
|
|
b.
|
Kepala Kantor Wilayah dalam hal Audit dilaksanakan oleh Kantor Wilayah; atau
|
|
|
c.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam ha! Audit dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Utama.
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
|||
(1)
|
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a, Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b, Surat Penetapan Pabean (SPP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf a, Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf b, dan/atau surat tindak lanjut hasil audit cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (7):
|
||
|
a.
|
diterbitkan terpisah antara temuan Audit yang disetujui dengan temuan Audit yang dipertahankan untuk setiap Kantor Pelayanan Utama dan/atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan yang melakukan kegiatan monitoring pelaksanaan penagihan;
|
|
|
b.
|
disampaikan kepada:
|
|
|
|
1.
|
Auditee;
|
|
|
2.
|
Direktur Audit, dalam ha! Audit dilakukan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama; dan/atau
|
|
|
3.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama, Kepala Bidang Perbendaharaan dan Keberatan dan/atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan.
|
(2)
|
Surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) disampaikan kepada setiap pihak terkait.
|
||
(3)
|
Penyampaian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK), Surat Penetapan Pabean (SPP), dan/atau Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) dilakukan dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
Atas setiap penyampaian Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), dan/atau surat tindak lanjut hasil audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Bidang yang menangani penagihan pada Kantor Pelayanan Utama dan/atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan harus melakukan pemantauan atas pelaksanaan penagihan.
|
||
(5)
|
Penyampaian surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan penjelasan terkait dengan temuan hasil Audit berupa Executive Summary untuk masing-masing kantor tujuan.
|
||
(6)
|
Executive Summary sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun dengan meng gunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LVIII yang merupakan bagian tidak terpi sahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 48 |
|||
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a, Surat Penetapan Kembali Perhi tungan Bea Keluar (SPKPBK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b, Surat Penetapan Pabean (SPP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf a, Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf b menggunakan contoh formulir sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bentuk dan isi surat penetapan, surat keputusan, surat teguran, dan surat paksa.
|
|||
|
|
||
Pasal 49 |
|||
(1)
|
Direktorat Audit, Kantor Wilayah, dan Kantor Pelayanan Utama harus menatausahakan hasil Audit.
|
||
(2)
|
Tata cara penatausahaan hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran LIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
BAB VIII
TANGGUNG JAWAB
Pasal 50 |
|||
(1)
|
Tim Audit bertanggung jawab terhadap kesimpulan dan/atau rekomendasi Audit yang dituangkan dalam LHA yang disusun berdasarkan data yang telah diserahkan oleh Auditee pada saat pelaksanaan Audit.
|
||
(2)
|
Tim Audit harus merahasiakan segala informasi yang telah diperoleh dari Auditee kepada pihak lain yang tidak berhak.
|
||
(3)
|
Auditee bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kelengkapan data yang telah diserahkan kepada Tim Audit pada saat pelaksanaan Audit.
|
||
|
|
||
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51 |
|||
Pelaksanaan Audit atas surat tugas atau surat perintah yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, diselesaikan dengan menggunakan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai.
|
|||
|
|||
Pasal 52 |
|||
Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||
|
|||
BAB X
PENUTUP
Pasal 53 |
|||
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
|
|||
|
|||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 November 2017
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
-ttd-
HERU PAMBUDI
|