Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan atau penyempurnaan
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
|
||||
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2021 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tata Laksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas;
|
||||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2021 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 314);
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
TATA LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
2.
|
Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut sebagai Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
|
|||
3.
|
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
4.
|
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
|||
5.
|
Tempat Penimbunan Sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
|
|||
6.
|
Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di luar Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
|
|||
7.
|
Tempat Lain adalah tempat di Kawasan Bebas selain pelabuhan laut dan bandar udara yang ditunjuk, yang dipergunakan untuk kegiatan bongkar barang dari luar Daerah Pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, dan/atau kegiatan muat barang yang akan dikeluarkan ke luar Daerah Pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus.
|
|||
8.
|
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
9.
|
Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
10.
|
Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan Kewajiban Pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
11.
|
Manifes adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh Sarana Pengangkut melalui laut, udara, dan darat.
|
|||
12.
|
Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut yang selanjutnya disebut Inward Manifest adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh Sarana Pengangkut melalui laut, udara, dan darat pada saat memasuki Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat tersebut.
|
|||
13.
|
Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut yang selanjutnya disebut Outward Manifest adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh Sarana Pengangkut melalui laut, udara, dan darat pada saat meninggalkan Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat tersebut.
|
|||
14.
|
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap Pemberitahuan Pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/airway bill, Consignment Note, dokumen pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan, dan/atau dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
|
|||
15.
|
Pertukaran Data Elektronik yang selanjutnya disingkat PDE adalah alir informasi bisnis antar aplikasi dan organisasi secara elektronik, yang terintegrasi dengan menggunakan standar yang disepakati bersama, termasuk komunikasi atau penyampaian informasi melalui media berbasis laman internet (web-based).
|
|||
16.
|
Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) yang selanjutnya disebut AEO adalah operator ekonomi yang mendapat pengakuan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu.
|
|||
17.
|
Mitra Utama Kepabeanan yang selanjutnya disebut MITA Kepabeanan adalah pengusaha di Kawasan Bebas, importir, dan/atau eksportir yang diberikan pelayanan khusus di bidang kepabeanan.
|
|||
18.
|
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
|
|||
19.
|
Akses Kepabeanan adalah akses yang diberikan kepada pengguna jasa untuk berhubungan dengan sistem pelayanan kepabeanan baik yang menggunakan teknologi informasi maupun manual.
|
|||
20.
|
Barang Hasil Produksi di Kawasan Bebas adalah barang yang merupakan hasil pengolahan atau produksi di Kawasan Bebas yang bersangkutan.
|
|||
21.
|
Pengolahan adalah kegiatan mengolah barang dan/atau bahan baku dengan atau tanpa bahan penolong menjadi barang baru yaitu barang hasil produksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, termasuk perubahan sifat dan/atau fungsinya.
|
|||
22.
|
Barang Kiriman adalah barang yang dikirim melalui Penyelenggara Pos sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pos.
|
|||
23.
|
Sarana Pengangkut adalah kendaraan/angkutan melalui laut, udara, atau darat yang dipakai untuk mengangkut barang, kendaraan yang mengangkut barang, dan/atau orang.
|
|||
24.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
|||
25.
|
Badan Pengusahaan Kawasan adalah Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
|
|||
26.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
27.
|
Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha atau badan hukum.
|
|||
28.
|
Pemindahan Lokasi Penimbunan yang selanjutnya disingkat PLP adalah pemindahan lokasi penimbunan barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari TPS asal ke TPS lain dalam satu Kawasan Pabean.
|
|||
29.
|
Barang Diangkut Terus adalah barang yang diangkut dengan Sarana Pengangkut melalui Kantor Pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dahulu.
|
|||
30.
|
Barang Diangkut Lanjut adalah barang yang diangkut dengan Sarana Pengangkut melalui Kantor Pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dahulu.
|
|||
31.
|
Pemberitahuan Pabean Free Trade Zone yang selanjutnya disingkat dengan PPFTZ adalah dokumen Pemberitahuan Pabean yang digunakan sebagai Pemberitahuan Pabean pemasukan ke Kawasan Bebas atau pengeluaran dari Kawasan Bebas.
|
|||
32.
|
PPFTZ dengan kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ-01 adalah Pemberitahuan Pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
33.
|
PPFTZ dengan kode 02 yang selanjutnya disebut PPFTZ-02 adalah Pemberitahuan Pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke Tempat Penimbunan Berikat, Kawasan Bebas lain, dan Kawasan Ekonomi Khusus.
|
|||
34.
|
PPFTZ dengan kode 03 yang selanjutnya disebut PPFTZ-03 adalah Pemberitahuan Pabean untuk pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
35.
|
Pemberitahuan Pabean dengan kode BC 1.2-FTZ yang selanjutnya disebut BC 1.2-FTZ adalah Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di Kawasan Bebas untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya.
|
|||
36.
|
Nota Pelayanan Pengeluaran Barang yang selanjutnya disingkat dengan NPPB adalah nota yang diterbitkan oleh SKP atau pejabat pemeriksa dokumen atas Pemberitahuan Pabean yang disampaikan, untuk melindungi pemasukan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Pabean dan/atau pemuatannya ke Sarana Pengangkut untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean.
|
|||
37.
|
Surat Persetujuan Pengeluaran Barang yang selanjutnya disingkat SPPB adalah surat persetujuan pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau surat persetujuan pemuatan barang untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus.
|
|||
38.
|
Nota Pemberitahuan Persyaratan Dokumen yang selanjutnya disingkat dengan NPPD adalah pemberitahuan kepada pengusaha di Kawasan Bebas oleh pejabat pemeriksa dokumen atau SKP di Kantor Pabean pemuatan untuk menyerahkan dokumen yang dipersyaratkan oleh instansi terkait.
|
|||
39.
|
Pemberitahuan Pemeriksaan Barang yang selanjutnya disingkat dengan PPB adalah pemberitahuan kepada pengusaha di Kawasan Bebas oleh pejabat pemeriksa dokumen atau SKP di Kantor Pabean pemuatan untuk dilakukan pemeriksaan fisik terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
|
|||
40.
|
Pemberitahuan Konsolidasi Barang yang selanjutnya disingkat PKB adalah pemberitahuan yang dibuat oleh pihak yang melakukan konsolidasi yang berisi daftar seluruh Pemberitahuan Pabean dan Nota Persetujuan Pengeluaran Barang yang ada dalam satu peti kemas.
|
|||
41.
|
Pemeriksaan Fisik adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui kebenaran jumlah dan jenis barang yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean.
|
|||
42.
|
Pejabat Pemeriksa Dokumen adalah Pejabat Bea dan Cukai yang berwenang untuk melakukan penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean atas Pemberitahuan Pabean.
|
|||
43.
|
Pejabat Pemeriksa Fisik adalah Pejabat Bea dan Cukai yang berwenang untuk melakukan Pemeriksaan Fisik barang dan ditunjuk langsung melalui SKP atau oleh Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
44.
|
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang selanjutnya disingkat PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan Kewajiban Pabean untuk dan atas kuasa pengusaha di Kawasan Bebas.
|
|||
45.
|
Pengangkut Kontraktual (Non-Vessel Operator Common Carrier) yang selanjutnya disebut Pengangkut Kontraktual adalah badan usaha jasa pengurusan transportasi yang melakukan negosiasi kontrak dan kegiatan lain yang diperlukan untuk terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut, dan udara, dan mengkonsolidasikan muatan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
RUANG LINGKUP Pasal 2 |
||||
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini tidak meliputi pemasukan dan pengeluaran barang berupa:
|
||||
a.
|
barang yang dibawa oleh penumpang, barang awak Sarana Pengangkut, dan pelintas batas;
|
|||
b.
|
Barang Kiriman; dan
|
|||
c.
|
kendaraan bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
KAWASAN PABEAN Pasal 3 |
||||
(1)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk.
|
|||
(2)
|
Pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pelabuhan atau bandar udara yang telah mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan dan telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean.
|
|||
(3)
|
Dalam hal pelabuhan atau bandar udara belum mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pelabuhan atau bandar udara yang telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri.
|
|||
(4)
|
Barang yang telah dimasukkan atau akan dikeluarkan ke dan dari pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(5)
|
Barang selain barang yang akan dimasukkan ke atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas dilarang dimasukkan dan/atau ditimbun di Kawasan Pabean, kecuali untuk:
|
|||
|
a.
|
tujuan pengangkutan selanjutnya;
|
||
|
b.
|
kegiatan operasional dalam Kawasan Pabean; atau
|
||
|
c.
|
tujuan lainnya berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean.
|
||
(6)
|
Tata cara kegiatan operasional dalam Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
KEDATANGAN DAN KEBERANGKATAN SARANA PENGANGKUT Bagian Kesatu Pengangkut Pasal 4 |
||||
(1)
|
Pengangkut merupakan Orang atau kuasanya di Kawasan Bebas yang:
|
|||
|
a.
|
bertanggung jawab atas pengoperasian Sarana Pengangkut yang mengangkut barang, kendaraan yang mengangkut barang dan/atau Orang; dan/atau
|
||
|
b.
|
berwenang melaksanakan kontrak Pengangkutan dan menerbitkan dokumen Pengangkutan barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan.
|
||
(2)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
operator Sarana Pengangkut atau kuasanya;
|
||
|
b.
|
Pengangkut Kontraktual; dan/atau
|
||
|
c.
|
Penyelenggara Pos.
|
||
(3)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas Pemberitahuan Pabean yang diajukannya.
|
|||
(4)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terhubung dengan ekosistem logistik Kawasan Bebas sebagai bagian dari Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) yang diwajibkan pemerintah untuk percepatan logistik nasional.
|
|||
(5)
|
Ekosistem logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut (RKSP) Pasal 5 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya akan datang melalui laut dan udara dari:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
wajib menyerahkan pemberitahuan berupa RKSP kepada Pejabat Bea dan Cukai di setiap Kantor Pabean yang akan disinggahi.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diterima di Kantor Pabean diberikan nomor pendaftaran.
|
|||
(3)
|
Penyerahan RKSP untuk Sarana Pengangkut yang datang melalui laut dan udara dari Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai penyerahan RKSP untuk Sarana Pengangkut yang datang melalui laut dan udara dari luar Daerah Pabean.
|
|||
(4)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang Sarana Pengangkutnya mempunyai jadwal kedatangan secara teratur dalam suatu periode tertentu menyerahkan RKSP kepada Pejabat Bea dan Cukai di setiap Kantor Pabean yang akan disinggahi paling lambat sebelum kedatangan Sarana Pengangkut atau sebelum keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
(5)
|
Elemen data RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
(6)
|
Tata cara penyerahan pemberitahuan berupa RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Inward Manifest Pasal 6 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan RKSP yang telah mendapatkan nomor pendaftaran di Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan pendahuluan Inward Manifest yang diajukan oleh Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a.
|
|||
(2)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya melalui darat, dan Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (2) huruf c, yang Sarana Pengangkutnya datang dari:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
wajib menyerahkan pemberitahuan Inward Manifest dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris ke Kantor Pabean kedatangan.
|
|||
(3)
|
Sarana Pengangkut yang melalui darat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk kendaraan pengangkutan barang yang diangkut oleh Sarana Pengangkut Ferry Roll On-Roll Off (Ro-Ro) yang memiliki fungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.
|
|||
(4)
|
Pemberitahuan Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pengangkut sesuai dengan dokumen Pengangkutan yang diterbitkannya.
|
|||
(5)
|
Penyerahan pemberitahuan Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sebelum kedatangan Sarana Pengangkut, untuk Sarana Pengangkut melalui laut, dalam hal waktu tempuh dari tempat keberangkatan menuju ke tempat kedatangan 24 (dua puluh empat) jam atau lebih;
|
||
|
b.
|
paling lambat sebelum kedatangan Sarana Pengangkut, untuk:
|
||
|
|
1.
|
Sarana Pengangkut melalui laut, dalam hal waktu tempuh dari tempat keberangkatan menuju ke tempat kedatangan kurang dari 24 (dua puluh empat) jam; dan
|
|
|
|
2.
|
Sarana Pengangkut melalui udara; atau
|
|
|
c.
|
paling lambat pada saat kedatangan Sarana Pengangkut, untuk Sarana Pengangkut darat.
|
||
(6)
|
Pengangkut yang telah menyampaikan pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan:
|
|||
|
a.
|
akan melakukan kegiatan pembongkaran;
|
||
|
b.
|
tidak melakukan kegiatan pembongkaran tetapi akan dilakukan kegiatan pemuatan; atau
|
||
|
c.
|
tidak melakukan kegiatan pembongkaran dan/atau pemuatan, serta:
|
||
|
|
1.
|
lego jangkar atau sandar lebih dari 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan, untuk Sarana Pengangkut melalui laut; atau
|
|
|
|
2.
|
mendarat lebih dari 8 (delapan) jam sejak kedatangan, untuk Sarana Pengangkut melalui udara,
|
|
|
wajib menyerahkan pemberitahuan Inward Manifest kepada Kantor Pabean kedatangan.
|
|||
(7)
|
Penyerahan pemberitahuan Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan dengan menambahkan waktu kedatangan Sarana Pengangkut pada pemberitahuan RKSP yang merupakan pendahuluan pemberitahuan Inward Manifest.
|
|||
(8)
|
Pendahuluan pemberitahuan Inward Manifest yang telah mendapatkan data waktu kedatangan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (7), merupakan Inward Manifest akhir dan diberikan nomor pendaftaran Inward Manifest.
|
|||
(9)
|
Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima dan mendapat nomor dan tanggal pendaftaran di Kantor Pabean kedatangan merupakan persetujuan pembongkaran barang.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Penyerahan pemberitahuan Inward Manifest untuk Sarana Pengangkut yang datang dari:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
b.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai penyerahan pemberitahuan Inward Manifest yang datang dari luar Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Elemen data Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
(3)
|
Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dibuat secara rinci dalam pos-pos serta dikelompokkan secara terpisah dengan pengelompokan:
|
|||
|
a.
|
barang asal luar Daerah Pabean yang Kewajiban Pabeannya diselesaikan di Kantor Pabean setempat;
|
||
|
b.
|
barang atau peti kemas kosong asal luar Daerah Pabean yang diangkut terus;
|
||
|
c.
|
barang atau peti kemas kosong asal luar Daerah Pabean yang diangkut lanjut;
|
||
|
d.
|
barang asal Kawasan Bebas lain yang Kewajiban Pabeannya diselesaikan di Kantor Pabean setempat;
|
||
|
e.
|
barang atau peti kemas kosong asal Kawasan Bebas lain yang diangkut terus;
|
||
|
f.
|
barang atau peti kemas kosong asal Kawasan Bebas lain yang diangkut lanjut;
|
||
|
g.
|
barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang Kewajiban Pabeannya diselesaikan di Kantor Pabean setempat;
|
||
|
h.
|
barang atau peti kemas kosong asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut terus;
|
||
|
i.
|
barang atau peti kemas kosong asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut lanjut;
|
||
|
j.
|
barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut dari satu Kawasan Pabean ke Kawasan Pabean lainnya melalui luar Daerah Pabean; dan/atau
|
||
|
k.
|
peti kemas kosong yang Kewajiban Pabeannya diselesaikan di Kantor Pabean setempat.
|
||
(4)
|
Tata cara penyerahan pemberitahuan Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan pengadministrasiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Outward Manifest Pasal 8 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) yang Sarana Pengangkutnya akan berangkat menuju:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
wajib menyerahkan pemberitahuan Outward Manifest dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris ke Kantor Pabean keberangkatan.
|
|||
(2)
|
Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melalui darat termasuk kendaraan pengangkutan barang yang diangkut oleh Sarana Pengangkut Ferry Roll On-Roll Off (Ro-Ro) yang memiliki fungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.
|
|||
(3)
|
Kewajiban menyerahkan pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat sebelum keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
(4)
|
Penyerahan pemberitahuan Outward Manifest untuk Sarana Pengangkut yang akan berangkat menuju Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau menuju tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan sebagaimana penyerahan pemberitahuan Outward Manifest yang akan berangkat menuju luar Daerah Pabean.
|
|||
(5)
|
Elemen data Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
(6)
|
Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara rinci dalam pos-pos serta dikelompokkan secara terpisah dengan pengelompokan:
|
|||
|
a.
|
barang tujuan luar Daerah Pabean yang dimuat di Kantor Pabean setempat;
|
||
|
b.
|
barang tujuan luar Daerah Pabean yang diangkut terus;
|
||
|
c.
|
barang tujuan luar Daerah Pabean yang diangkut lanjut;
|
||
|
d.
|
barang tujuan Kawasan Bebas lain yang dimuat di Kantor Pabean setempat;
|
||
|
e.
|
barang tujuan Kawasan Bebas lain yang diangkut terus;
|
||
|
f.
|
barang tujuan Kawasan Bebas lain yang diangkut lanjut;
|
||
|
g.
|
barang tujuan tempat lain dalam Daerah Pabean yang dimuat di Kantor Pabean setempat;
|
||
|
h.
|
barang tujuan tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut terus;
|
||
|
i.
|
barang tujuan tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut lanjut;
|
||
|
j.
|
barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut dari satu Kawasan Pabean ke Kawasan Pabean lainnya melalui luar Daerah Pabean; dan/atau
|
||
|
k.
|
peti kemas kosong (empty container).
|
||
(7)
|
Tata cara penyerahan pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengadministrasiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemberitahuan Lain Terkait Kedatangan Sarana Pengangkut Pasal 9 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya datang dari luar Daerah Pabean, wajib menyerahkan pemberitahuan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada saat kedatangan Sarana Pengangkut.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
daftar penumpang, untuk Sarana Pengangkut melalui laut, darat, dan udara;
|
||
|
b.
|
daftar awak Sarana Pengangkut;
|
||
|
c.
|
daftar bekal Sarana Pengangkut;
|
||
|
d.
|
daftar perlengkapan/inventaris Sarana Pengangkut;
|
||
|
e.
|
rencana penyimpanan (stowage plan) atau rencana pemuatan (bay plan), untuk Sarana Pengangkut melalui laut;
|
||
|
f.
|
daftar senjata api dan amunisi; dan
|
||
|
g.
|
daftar obat-obatan termasuk narkotika yang digunakan untuk kepentingan pengobatan.
|
||
(3)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya datang dari tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, wajib menyerahkan pemberitahuan dalam Bahasa Indonesia kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada saat kedatangan Sarana Pengangkut.
|
|||
(4)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||
|
a.
|
daftar penumpang dan/atau kendaraan yang mengangkut barang;
|
||
|
b.
|
daftar awak Sarana Pengangkut; dan
|
||
|
c.
|
daftar bekal Sarana Pengangkut.
|
||
(5)
|
Tata cara penyerahan daftar penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk Sarana Pengangkut melalui udara dan pengadministrasiannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyampaian data penumpang atas kedatangan atau keberangkatan sarana pengangkut udara ke atau dari daerah pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Penyampaian, Perbaikan, dan Pembatalan Pemberitahuan RKSP, Inward Manifest, Outward Manifest, dan Pemberitahuan Lain Terkait Kedatangan Sarana Pengangkut Pasal 10 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), disampaikan ke Kantor Pabean dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(2)
|
Pemberitahuan lain terkait kedatangan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) disampaikan ke Kantor Pabean dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(3)
|
SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terhubung dengan ekosistem logistik Kawasan Bebas sebagai bagian dari ekosistem logistik nasional (National Logistic Ecosystem/NLE).
|
|||
(4)
|
Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dapat dilakukan perbaikan atau pembatalan.
|
|||
(5)
|
Pengangkut dapat dikenakan sanksi atas penyampaian Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), yang tidak sesuai ketentuan.
|
|||
(6)
|
Tata cara perbaikan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Rekonsiliasi Pasal 11 |
||||
(1)
|
Terhadap pos dan/atau subpos Inward Manifest dilakukan penutupan dengan mencantumkan nomor dan tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean atau dokumen lain yang digunakan untuk penyelesaian Kewajiban Pabean.
|
|||
(2)
|
Terhadap pos dan/atau subpos Outward Manifest dilakukan rekonsiliasi dengan Pemberitahuan Pabean atau dokumen lain yang digunakan untuk pengeluaran barang dari Kawasan Bebas.
|
|||
(3)
|
Penutupan pos dan/atau subpos Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan rekonsiliasi pos Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara elektronik atau manual.
|
|||
(4)
|
Tata cara pelaksanaan penutupan pos dan/atau subpos Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
(5)
|
Tata cara pelaksanaan rekonsiliasi pos dan/atau subpos Outward Manifest dengan Pemberitahuan Pabean atau dokumen lain yang digunakan untuk pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata laksana kepabeanan di bidang ekspor.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PEMBONGKARAN Bagian Kesatu Ketentuan Umum Pembongkaran Pasal 12 |
||||
(1)
|
Barang yang diangkut oleh Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), wajib dibongkar di:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Pabean; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.
|
||
(2)
|
Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, menyerahkan Inward Manifest yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9).
|
|||
(3)
|
Dalam hal barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas berupa Sarana Pengangkut, Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dianggap melakukan pembongkaran pada saat Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dapat dilakukan langsung ke Sarana Pengangkut lainnya tanpa dilakukan penimbunan (trucklossing), dalam hal:
|
|||
|
a.
|
telah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang;
|
||
|
b.
|
barang yang dibongkar mempunyai bentuk, sifat, dan karakteristik tertentu yang secara teknis tidak memungkinkan untuk ditimbun di TPS; atau
|
||
|
c.
|
diangkut lanjut.
|
||
(2)
|
Pembongkaran barang di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dapat dilakukan di luar pelabuhan dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut laut lainnya, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Sarana Pengangkut awal tidak dapat sandar langsung ke dermaga pelabuhan; dan/atau
|
||
|
b.
|
barang untuk diangkut lanjut (Ship to Ship) untuk tujuan luar Daerah Pabean.
|
||
(3)
|
Barang yang telah dibongkar di luar pelabuhan dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut laut lainnya dalam hal Sarana Pengangkut awal tidak dapat sandar langsung ke dermaga pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib dibawa ke:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Pabean melalui jalur yang ditetapkan; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Tempat Lain tersebut.
|
||
(4)
|
Tata cara pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
Pembongkaran barang berupa barang cair, gas, atau barang curah lainnya dapat dilakukan melalui:
|
||||
a.
|
jalur pipa;
|
|||
b.
|
sabuk konveyor (conveyor belt); dan/atau
|
|||
c.
|
alat pembongkaran lain,
|
|||
yang dihubungkan dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut darat dan/atau tempat penimbunan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Dalam hal Sarana Pengangkut dalam keadaan darurat, Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dapat membongkar barang terlebih dahulu.
|
|||
(2)
|
Atas pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengangkut harus:
|
|||
|
a.
|
melaporkan hal tersebut dengan segera ke Kantor Pabean terdekat dan Kantor Pabean tujuan dengan menggunakan alat komunikasi yang tersedia; dan
|
||
|
b.
|
menyerahkan Inward Manifest atas barang yang diangkutnya ke Kantor Pabean terdekat dalam jangka waktu paling lama 72 (tujuh puluh dua) jam setelah pembongkaran.
|
||
(3)
|
Terhadap keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean dapat melakukan:
|
|||
|
a.
|
penelitian atas laporan keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan
|
||
|
b.
|
pengawasan pembongkaran, dalam hal keadaan memungkinkan.
|
||
(4)
|
Dalam hal Kepala Kantor Pabean menolak keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketentuan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pembongkaran Dilakukan di Tempat Lain di Luar Kawasan Pabean Pasal 16 |
||||
(1)
|
Pembongkaran barang untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dapat diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
barang yang dibongkar bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat dibongkar di Kawasan Pabean;
|
||
|
b.
|
barang angkut lanjut;
|
||
|
c.
|
adanya kendala teknis di Kawasan Pabean seperti tidak tersedianya alat untuk melakukan pembongkaran atau alat untuk melakukan pembongkaran dalam kondisi rusak sehingga tidak dapat dilakukan pembongkaran; atau
|
||
|
d.
|
terdapat kongesti yang dinyatakan secara tertulis oleh pengelola pelabuhan yang ditunjuk.
|
||
(2)
|
Untuk melakukan pembongkaran di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a harus mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean dengan menyebutkan alasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan dokumen pendukung berupa:
|
|||
|
a.
|
dokumen Pengangkutan, dalam hal:
|
||
|
|
1.
|
alasan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b; dan
|
|
|
|
2.
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a belum menyerahkan Inward Manifest; dan
|
|
|
b.
|
denah lokasi pembongkaran dan tata letak (layout) tempat pembongkaran di Tempat Lain.
|
||
(4)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(5)
|
Untuk kepentingan penelitian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pabean atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dapat melakukan penelitian lapangan terhadap:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Pabean, jika alasan permohonan pembongkaran di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf c;
|
||
|
b.
|
pelabuhan, jika alasan permohonan pembongkaran di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; dan/atau
|
||
|
c.
|
lokasi dan tata letak (layout) tempat pembongkaran.
|
||
(6)
|
Penelitian lapangan atas lokasi dan tata letak (layout) tempat pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dapat dilakukan dengan pertimbangan tertentu yakni:
|
|||
|
a.
|
lokasi pembongkaran belum pernah diajukan sebagai tempat pembongkaran barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
b.
|
atas pertimbangan Kepala Kantor Pabean perlu dilakukan penelitian lapangan.
|
||
(7)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan surat persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah:
|
|||
|
a.
|
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap dan tidak dilakukan penelitian lapangan; atau
|
||
|
b.
|
dilakukan penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
||
(8)
|
Persetujuan pembongkaran di Tempat Lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(9)
|
Rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak diperlukan dalam hal Sarana Pengangkut dalam keadaan darurat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Persetujuan pembongkaran barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dapat diberikan secara periodik dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
(2)
|
Persetujuan pembongkaran secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
keseluruhan barang yang diangkut oleh Sarana Pengangkut merupakan barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas oleh pengusaha yang mendapatkan pengakuan sebagai AEO atau pengusaha yang ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan; dan/atau
|
||
|
b.
|
frekuensi pemasukan ke Kawasan Bebas tinggi, dan:
|
||
|
|
1.
|
barang bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat dibongkar di Kawasan Pabean; atau
|
|
|
|
2.
|
tidak tersedianya Kawasan Pabean.
|
|
(3)
|
Untuk memperoleh persetujuan pembongkaran secara periodik, permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilampiri dengan:
|
|||
|
a.
|
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); dan
|
||
|
b.
|
daftar rencana pembongkaran barang dalam periode sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(4)
|
Dalam hal terdapat perubahan rencana pembongkaran barang, perubahan daftar rencana pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b disampaikan ke Kantor Pabean sebelum Pembongkaran berikutnya.
|
|||
(5)
|
Terhadap persetujuan pembongkaran secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan evaluasi oleh Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(6)
|
Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
|
|||
(5)
|
kedapatan tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan persetujuan secara periodik, Kepala Kantor Pabean dapat mencabut persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(7)
|
Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan penerbitan surat pencabutan persetujuan pembongkaran barang di Tempat Lain secara periodik.
|
|||
(8)
|
Hasil evaluasi persetujuan pembongkaran secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dijadikan menjadi dasar pertimbangan pemberian persetujuan pembongkaran secara periodik selanjutnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pembongkaran Barang dari Sarana Pengangkut Laut ke Sarana Pengangkut Lainnya Paragraf Kesatu Pembongkaran Barang dari Sarana Pengangkut Laut ke Sarana Pengangkut Lainnya Tanpa Dilakukan Penimbunan di TPS (Trucklossing) Pasal 18 |
||||
(1)
|
Pengangkut menyampaikan pemberitahuan trucklossing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) kepada Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk sebelum dilakukan pembongkaran barang langsung ke Sarana Pengangkut lainnya.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan trucklossing sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:
|
|||
|
a.
|
alasan pembongkaran langsung ke Sarana Pengangkut lainnya;
|
||
|
b.
|
nomor dan tanggal Inward Manifest dan nomor pos/subpos; dan
|
||
|
c.
|
nomor dan tanggal dokumen penyelesaian Kewajiban Pabean, dalam hal telah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a.
|
||
(3)
|
Pemberitahuan trucklossing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(4)
|
Tata cara pembongkaran barang langsung ke Sarana Pengangkut lainnya tanpa dilakukan penimbunan di TPS di dalam area pelabuhan (trucklossing) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf Kedua
Pembongkaran Barang dari Sarana Pengangkut Laut ke Sarana Pengangkut Laut Lainnya yang Dilakukan di Luar Pelabuhan Pasal 19 |
||||
(1)
|
Untuk melakukan pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Pengangkut harus mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menyebutkan alasan permohonan.
|
|||
(3)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan surat persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
|
|||
(4)
|
Terhadap pembongkaran di Tempat Lain yang dilakukan di luar pelabuhan dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut laut lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan pengawasan secara selektif oleh Pejabat Bea dan Cukai berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(5)
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) membuat laporan pengawasan atas pembongkaran.
|
|||
(6)
|
Pengangkut yang bertanggung jawab atas Sarana Pengangkut awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) bertanggung jawab atas bea masuk dan pajak dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas terutang dalam proses pembongkaran sampai dengan pembongkaran di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b.
|
|||
(7)
|
Tata cara pembongkaran barang dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut laut lainnya yang dilakukan di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan pelaporan pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dapat mengajukan 1 (satu) permohonan yang meliputi permohonan:
|
|||
|
a.
|
pembongkaran di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
pembongkaran ke Sarana Pengangkut laut lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
|
||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pabean melalui SKP.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Tanggung Jawab Pembongkaran Pasal 21 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf a bertanggung jawab atas sanksi administrasi berupa denda dan/atau perpajakan dalam rangka pemasukan barang ke Kawasan Bebas atas barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penelitian dan Pengawasan Pembongkaran Pasal 22 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP melakukan penelitian kesesuaian jumlah barang yang dibongkar dengan Inward Manifest.
|
|||
(2)
|
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kedapatan selisih jumlah barang yang dibongkar dengan Inward Manifest, Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian lanjutan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal terdapat selisih jumlah barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang melakukan pengangkutan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean dikenai sanksi administrasi berupa denda, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
jumlah barang asal luar Daerah Pabean yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan; atau
|
||
|
b.
|
jumlah barang asal luar Daerah Pabean yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan.
|
||
(4)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dapat membuktikan bahwa ketidaksesuaian jumlah barang asal luar Daerah Pabean terjadi di luar kemampuannya.
|
|||
(5)
|
Dalam hal terdapat selisih jumlah barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang melakukan pengangkutan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean dikenai sanksi pemblokiran Akses Kepabeanan, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
jumlah barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan; atau
|
||
|
b.
|
jumlah barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan.
|
||
(6)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam hal Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dapat membuktikan bahwa ketidaksesuaian jumlah barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean terjadi di luar kemampuannya.
|
|||
(7)
|
Dalam hal terdapat selisih jumlah barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
|||
|
a.
|
selisih kurang dari yang diberitahukan atas:
|
||
|
|
1.
|
barang asal luar Daerah Pabean yang dimasukkan dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau pemblokiran; atau
|
|
|
|
2.
|
barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dimasukkan dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dikenakan sanksi administrasi berupa pemblokiran; atau
|
|
|
b.
|
selisih lebih dari yang diberitahukan atas:
|
||
|
|
1.
|
barang asal luar Daerah Pabean yang dimasukkan dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau pemblokiran; atau
|
|
|
|
2.
|
barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dimasukkan dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dikenakan sanksi administrasi berupa pemblokiran.
|
|
(8)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dalam hal Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dapat membuktikan bahwa ketidaksesuaian jumlah barang asal Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus terjadi di luar kemampuannya.
|
|||
(9)
|
Ketidaksesuaian jumlah barang yang terjadi di luar kemampuan Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (6), dan ayat (8) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
selisih kurang atau lebih atas berat dan/atau volume sebagai akibat penyusutan atau penambahan berat dan/atau volume yang disebabkan oleh faktor alam; dan/atau
|
||
|
b.
|
keadaan kahar (force majeure).
|
||
(10)
|
Dalam hal selisih jumlah barang yang dibongkar dengan Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi pada barang curah, penyelesaian ketidaksesuaian jumlah barang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlakuan kepabeanan atas selisih berat dan/atau volume barang impor dalam bentuk curah dan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dalam bentuk curah.
|
|||
(11)
|
Dalam hal barang bukan merupakan barang curah, jumlah barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
jumlah peti kemas, dalam hal barang diangkut menggunakan peti kemas; atau
|
||
|
b.
|
jumlah kemasan, dalam hal barang diangkut tidak menggunakan peti kemas.
|
||
(12)
|
Dalam hal diperlukan untuk penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta konfirmasi atau keterangan kepada Pengangkut dan/atau pihak lain yang terkait.
|
|||
(13)
|
Tata cara penelitian atas kesesuaian jumlah barang yang dibongkar dengan jumlah yang diberitahukan dalam Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
(14)
|
Tata cara pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penghitungan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan.
|
|||
(15)
|
Tata cara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyederhanaan registrasi kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Terhadap pembongkaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dapat dilakukan pengawasan oleh Pejabat Bea dan Cukai secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh SKP atau Pejabat Bea dan Cukai dengan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
profil Pengangkut;
|
||
|
b.
|
profil komoditas;
|
||
|
c.
|
profil Pengusaha;
|
||
|
d.
|
frekuensi pemasukan barang dari luar Daerah Pabean; dan/atau
|
||
|
e.
|
data atau informasi lain yang terkait dengan pembongkaran.
|
||
(3)
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan pengawasan pembongkaran.
|
|||
(4)
|
Tata cara pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PENIMBUNAN Bagian Kesatu Ketentuan Umum Penimbunan Pasal 24 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang belum diselesaikan Kewajiban Pabeannya dapat ditimbun di:
|
|||
|
a.
|
TPS; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.
|
||
(2)
|
Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di:
|
|||
|
a.
|
TPS; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.
|
||
(3)
|
Dalam hal barang berupa Sarana Pengangkut, penimbunan dianggap telah dilakukan setelah Sarana Pengangkut selesai dilakukan pembongkaran.
|
|||
(4)
|
Pengusaha TPS dan Pengusaha di Kawasan Bebas yang menguasai Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS wajib menyampaikan daftar timbun barang yang ditimbun di TPS atau Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam bentuk dan jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan pabean dan tempat penimbunan sementara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Penetapan TPS, jangka waktu penimbunan, dan tata cara penimbunan barang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kawasan pabean dan tempat penimbunan sementara.
|
|||
(2)
|
Barang yang ditimbun di TPS melewati jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai barang tidak dikuasai dan dipindahkan untuk ditimbun di TPP.
|
|||
(3)
|
Tata cara pemindahan barang dari TPS ke TPP dan penyelesaian barang tidak dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelesaian terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penimbunan Barang di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS Pasal 26 |
||||
(1)
|
Penimbunan barang di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
barang tersebut bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat ditimbun di Kawasan Pabean;
|
||
|
b.
|
adanya kendala teknis di TPS, seperti tidak tersedianya alat untuk melakukan penimbunan atau kerusakan pada alat yang digunakan untuk melakukan penimbunan;
|
||
|
c.
|
terdapat kongesti di pelabuhan;
|
||
|
d.
|
tidak tersedianya TPS di tempat pembongkaran atau tempat pemuatan; dan/atau
|
||
|
e.
|
barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas tersebut dimasukkan oleh pengusaha yang mendapatkan pengakuan sebagai AEO atau ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan.
|
||
(2)
|
Jangka waktu penimbunan barang di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penimbunan.
|
|||
(3)
|
Tanggal penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan tanggal pada saat barang mulai ditimbun di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS.
|
|||
(4)
|
Barang yang ditimbun melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai barang tidak dikuasai dan dipindahkan untuk ditimbun di TPP.
|
|||
(5)
|
Tata cara pemindahan barang dari Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS dan penyelesaian barang tidak dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelesaian terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Untuk melakukan penimbunan barang di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, pengusaha yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
menyebutkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1); dan
|
||
|
b.
|
melampirkan denah lokasi penimbunan dan tata letak (layout) tempat penimbunan di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS.
|
||
(2)
|
Ketentuan untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap barang yang telah mendapatkan persetujuan pengeluaran.
|
|||
(3)
|
Untuk kepentingan penelitian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean dapat melakukan penelitian lapangan terhadap:
|
|||
|
a.
|
TPS, jika alasan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b;
|
||
|
b.
|
pelabuhan, jika alasan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c; dan/atau
|
||
|
c.
|
lokasi dan tata letak (layout) tempat penimbunan.
|
||
(4)
|
Penelitian lapangan atas lokasi dan tata letak (layout) tempat penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat dilakukan dengan pertimbangan tertentu yakni:
|
|||
|
a.
|
lokasi penimbunan belum pernah diajukan sebagai tempat penimbunan barang;
|
||
|
b.
|
status kepemilikan lokasi penimbunan;
|
||
|
c.
|
profil pengusaha yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas dan/atau profil barang; dan/atau
|
||
|
d.
|
atas pertimbangan Kepala Kantor Pabean perlu dilakukan penelitian lapangan.
|
||
(5)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan surat persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah:
|
|||
|
a.
|
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap, dalam hal tidak dilakukan penelitian lapangan; atau
|
||
|
b.
|
dilakukan penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||
(6)
|
Persetujuan Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berfungsi sebagai dokumen untuk melindungi pengeluaran barang dari Kawasan Pabean ke Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS.
|
|||
(7)
|
Pengajuan penyelesaian Kewajiban Pabean dilakukan oleh pengusaha yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah selesai penimbunan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(8)
|
Ketepatan waktu pengajuan penyelesaian Kewajiban Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi salah satu indikator profil kepatuhan pengusaha yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas.
|
|||
(9)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(10)
|
Tata cara penimbunan barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Persetujuan penimbunan barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (6), dapat diberikan secara periodik dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
(2)
|
Persetujuan penimbunan secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
permohonan diajukan oleh pengusaha yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas yang mendapatkan pengakuan sebagai AEO atau
|
||
|
b.
|
frekuensi pemasukan barang ke Kawasan Bebas tinggi dan:
|
||
|
|
1.
|
barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat ditimbun di Kawasan Pabean; atau
|
|
|
|
2.
|
tidak tersedianya TPS di tempat pembongkaran.
|
|
(3)
|
Untuk memperoleh persetujuan atas permohonan penimbunan secara periodik, permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilampiri dengan daftar rencana penimbunan barang dalam periode tertentu.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat perubahan rencana penimbunan barang, perubahan daftar rencana penimbunan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan ke Kantor Pabean sebelum penimbunan berikutnya.
|
|||
(5)
|
Persetujuan atas permohonan penimbunan secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan evaluasi oleh Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(6)
|
Hasil evaluasi persetujuan penimbunan secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dijadikan dasar pertimbangan pemberian persetujuan penimbunan secara periodik selanjutnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Pengusaha Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) wajib menyampaikan daftar timbun atas barang yang ditimbun di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, yang memuat informasi mengenai:
|
|||
|
a.
|
jumlah kemasan;
|
||
|
b.
|
jenis kemasan; dan/atau
|
||
|
c.
|
jumlah barang curah yang telah ditimbun.
|
||
(2)
|
Daftar timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen,
|
|
|
kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang memberikan persetujuan penimbunan barang di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5) dalam jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah selesai penimbunan.
|
|||
(3)
|
Pengusaha yang tidak menyampaikan daftar timbun dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan penimbunan di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS selanjutnya tidak dilayani sampai dengan daftar timbun disampaikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Dalam hal Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan pengusaha yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas merupakan pihak yang sama, permohonan penimbunan barang di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dapat diajukan dalam 1 (satu) permohonan yang di dalamnya memuat permohonan mengenai:
|
|||
|
a.
|
Pembongkaran di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
Pembongkaran barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut laut lainnya yang dilakukan di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
|
||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pabean dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penimbunan Barang di Sarana Pengangkut Laut di Luar Pelabuhan (Floating Storage Unit) Pasal 31 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat ditimbun di Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
mempunyai bentuk, sifat, dan karakteristik tertentu;
|
||
|
b.
|
telah mendapat persetujuan pembongkaran barang; dan/atau
|
||
|
c.
|
barang untuk diangkut lanjut ke luar Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Untuk kepentingan pengawasan kepabeanan, Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai TPS.
|
|||
(3)
|
Jangka waktu penimbunan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan permohonan pengusaha Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS dan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Penetapan Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan permohonan dari pengusaha Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS dengan dilampiri:
|
|||
|
a.
|
salinan perizinan berusaha di Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
izin usaha penimbunan dan/atau pergudangan dari Badan Pengusahaan Kawasan;
|
||
|
c.
|
bukti kepemilikan atas tempat penimbunan atau penguasaan atas tempat penimbunan paling singkat 2 (dua) tahun;
|
||
|
d.
|
rekomendasi dari Penyelenggara Pelabuhan Laut, kecuali terminal khusus;
|
||
|
e.
|
gambar denah lokasi dan tata ruang yang meliputi:
|
||
|
|
1.
|
tempat penimbunan barang;
|
|
|
|
2.
|
ruang kerja Pejabat Bea dan Cukai; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
tempat lain yang menunjang kegiatan pengelolaan TPS;
|
|
|
f.
|
daftar peralatan dan fasilitas penunjang kegiatan usaha yang dimiliki dan surat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan peralatan dan fasilitas yang memadai yang disesuaikan dengan volume kegiatan;
|
||
|
g.
|
data mengenai profil perusahaan;
|
||
|
h.
|
surat pernyataan mengenai kesanggupan melunasi bea masuk, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau perpajakan, dalam hal terdapat kewajiban pelunasan oleh pengusaha Sarana Pengangkut laut; dan
|
||
|
i.
|
surat keterangan dari pengelola Sarana Pengangkut laut tentang penggunaan Sarana Pengangkut laut, dalam hal pengusaha tempat penimbunan bukan pengelola Sarana Pengangkut laut.
|
||
(5)
|
Dalam hal Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi Sarana Pengangkut yang dikarenakan:
|
|||
|
a.
|
keputusan pemerintah; atau
|
||
|
b.
|
melakukan perbaikan ke Pelabuhan,
|
||
|
harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan dari pengusaha Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS.
|
|||
(6)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(7)
|
Dalam hal keadaan darurat, Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi terlebih dahulu dan disertai kewajiban untuk:
|
|||
|
a.
|
melaporkan keadaan darurat tersebut pada kesempatan pertama ke Kantor Pabean terdekat, dengan menggunakan alat komunikasi yang tersedia; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan dengan segera jumlah barang muatan Sarana Pengangkut ke Kantor Pabean terdekat.
|
||
(8)
|
Dalam hal Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi tanpa persetujuan dari Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sarana Pengangkut laut dikenakan sanksi berupa pemblokiran Akses Kepabeanan sebagai pengusaha di Kawasan Bebas atas kegiatan pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean.
|
|||
(9)
|
Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan sampai dengan pengusaha mengajukan izin kepada Kepala Kantor Pabean dengan mencantumkan alasan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi Sarana Pengangkut dan telah diberikan persetujuan oleh Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(10)
|
Persyaratan dalam penetapan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan manajemen risiko.
|
|||
(11)
|
Tata cara penetapan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Pabean dan TPS.
|
|||
(12)
|
Tata cara pemblokiran Akses Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyederhanaan registrasi kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Pengusaha Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) wajib menyampaikan daftar timbun atas barang yang ditimbun di Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), yang memuat informasi mengenai jenis dan jumlah/volume barang yang ditimbun.
|
|||
(2)
|
Daftar timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditampilkan dalam sistem IT Inventory perusahaan yang dapat diakses oleh Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pengawasan Penimbunan Pasal 33 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan penimbunan barang pada:
|
|||
|
a.
|
TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a;
|
||
|
b.
|
tempat lain yang dipersamakan dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b; dan
|
||
|
c.
|
Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1).
|
||
(2)
|
Pengawasan penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(3)
|
Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
profil TPS atau profil pengusaha Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS, jika ditimbun di TPS;
|
||
|
b.
|
profil pengusaha yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas;
|
||
|
c.
|
profil komoditas;
|
||
|
d.
|
frekuensi kegiatan pemasukan barang ke Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
e.
|
data atau informasi lain terkait dengan penimbunan barang.
|
||
(4)
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan pengawasan penimbunan.
|
|||
(5)
|
Tata cara pengawasan penimbunan barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
PEMUATAN Bagian Kesatu Ketentuan Umum Pemuatan Pasal 34 |
||||
(1)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
||
|
c.
|
Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus,
|
||
|
wajib dilakukan di Kawasan Pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di Tempat Lain setelah mendapatkan izin Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Izin pemuatan di Tempat Lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(3)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke dalam Sarana Pengangkut dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP.
|
|||
(4)
|
Permohonan pemuatan di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui SKP.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke dalam Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) ke Sarana Pengangkut dilakukan di Kawasan Pabean tempat pemuatan atau dalam keadaan tertentu dapat dilakukan di Tempat Lain atas izin Kepala Kantor Pabean pemuatan.
|
|||
(2)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Sarana Pengangkut ditangguhkan pelaksanaannya, dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dikenakan nota hasil intelijen (NHI).
|
|||
(3)
|
Tata cara pemuatan barang curah yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata laksana kepabeanan di bidang ekspor.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemasukan Barang ke Kawasan Pabean Tempat Pemuatan Pasal 36 |
||||
(1)
|
Pemasukan Barang ke Kawasan Pabean tempat pemuatan di pelabuhan muat untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas:
|
|||
|
a.
|
ke luar Daerah Pabean, dilakukan dengan menggunakan:
|
||
|
|
1.
|
NPPB;
|
|
|
|
2.
|
permohonan pemasukan sebagian peti kemas ke Kawasan Pabean tempat pemuatan yang telah diberikan catatan persetujuan oleh Kepala Kantor Pabean pemuatan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, dalam hal telah dilakukan Pemeriksaan Fisik barang namun persyaratan pengeluaran berupa laporan surveyor belum dipenuhi;
|
|
|
|
3.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang ke luar Daerah Pabean dan/atau PPB, dalam hal dilakukan Pemeriksaan Fisik barang di Kawasan Pabean tempat pemuatan;
|
|
|
|
4.
|
PKB, dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas merupakan barang konsolidasi;
|
|
|
|
5.
|
permohonan pemuatan barang curah yang telah diberikan catatan persetujuan muat oleh Kepala Kantor Pabean pemuatan, dalam hal menggunakan prosedur pemuatan barang curah; dan/atau
|
|
|
|
6.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang ke luar Daerah Pabean Pembetulan atau Pemberitahuan Pembetulan Pemberitahuan Konsolidasi Barang (PP-PKB) dan SPPB, dalam hal terjadi penggantian peti kemas atau kemasan barang yang dikeluarkan dari Kawasan Pabean tempat pemuatan untuk dimasukkan kembali ke Kawasan Pabean tempat pemuatan semula;
|
|
|
b.
|
ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dilakukan dengan menggunakan:
|
||
|
|
1.
|
SPPB;
|
|
|
|
2.
|
permohonan pemasukan sebagian peti kemas ke Kawasan Pabean tempat pemuatan yang telah diberikan catatan persetujuan oleh Kepala Kantor Pabean pemuatan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, dalam hal telah dilakukan Pemeriksaan Fisik barang namun persyaratan pengeluaran berupa laporan surveyor belum dipenuhi;
|
|
|
|
3.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang ke tempat lain dalam Daerah Pabean dan/atau PPB, dalam hal dilakukan Pemeriksaan Fisik barang di Kawasan Pabean tempat pemuatan;
|
|
|
|
4.
|
PKB, dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas merupakan barang konsolidasi;
|
|
|
|
5.
|
permohonan pemuatan barang curah yang telah diberikan catatan persetujuan muat oleh Kepala Kantor Pabean pemuatan, dalam hal menggunakan prosedur pemuatan barang curah; dan/atau
|
|
|
|
6.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang ke luar Daerah Pabean Pembetulan atau PP-PKB dan SPPB, dalam hal terjadi penggantian peti kemas atau kemasan barang yang dikeluarkan dari Kawasan Pabean tempat pemuatan untuk dimasukkan kembali ke Kawasan Pabean tempat pemuatan semula; atau
|
|
|
c.
|
menuju ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, dilakukan dengan menggunakan:
|
||
|
|
1.
|
SPPB;
|
|
|
|
2.
|
permohonan pemasukan sebagian peti kemas ke Kawasan Pabean tempat pemuatan yang telah diberikan catatan persetujuan oleh Kepala Kantor Pabean pemuatan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, dalam hal telah dilakukan Pemeriksaan Fisik barang namun persyaratan pengeluaran berupa laporan surveyor belum dipenuhi;
|
|
|
|
3.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dan/atau PPB, dalam hal dilakukan Pemeriksaan Fisik barang di Kawasan Pabean tempat pemuatan;
|
|
|
|
4.
|
PKB, dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas merupakan barang konsolidasi;
|
|
|
|
5.
|
permohonan pemuatan barang curah yang telah diberikan catatan persetujuan muat oleh Kepala Kantor Pabean pemuatan, dalam hal menggunakan prosedur pemuatan barang curah; dan/atau
|
|
|
|
6.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus Pembetulan atau PP-PKB dan SPPB, dalam hal terjadi penggantian peti kemas atau kemasan barang yang dikeluarkan dari Kawasan Pabean tempat pemuatan untuk dimasukkan kembali ke Kawasan Pabean tempat pemuatan semula.
|
|
(2)
|
Dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ditimbun di TPS dalam Kawasan Pabean tempat pemuatan, Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
||
|
c.
|
Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus,
|
||
|
PPB dan/atau PKB disampaikan oleh pihak yang melakukan konsolidasi kepada pengusaha TPS sebagai pemberitahuan bahwa penimbunan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas di TPS telah mendapat persetujuan Pejabat Pemeriksa Dokumen di Kantor Pabean pemuatan.
|
|||
(3)
|
Pengusaha TPS wajib menyampaikan realisasi penimbunan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Kantor Pabean pemuatan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Pengusaha atau PPJK yang akan mengeluarkan barang dari Kawasan Bebas menyampaikan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus ke Kantor Pabean pemuatan:
|
|||
|
a.
|
paling cepat 7 (tujuh) hari sebelum tanggal perkiraan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus; dan
|
||
|
b.
|
paling lambat sebelum barang dimasukkan ke Kawasan Pabean tempat pemuatan.
|
||
(2)
|
Atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa barang curah, pengusaha atau PPJK dapat menyampaikan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang ke luar Daerah Pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebelum keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BEBAS Pasal 38 |
||||
(1)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(2)
|
Perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
izin pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas; atau
|
||
|
b.
|
izin pemasukan dan pengeluaran barang selain barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas.
|
||
(3)
|
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sesuai dengan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan yang berhubungan kegiatan usahanya.
|
|||
(4)
|
Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(5)
|
Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dimiliki oleh 1 (satu) pengusaha untuk 1 (satu) perizinan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) terhadap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas atas:
|
|||
|
a.
|
barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
|
||
|
b.
|
barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
|
||
|
c.
|
Barang Kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;
|
||
|
d.
|
barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
|
||
|
e.
|
persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
f.
|
barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
|
||
|
g.
|
peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
|
||
|
h.
|
barang pindahan;
|
||
|
i.
|
barang pribadi penumpang, awak Sarana Pengangkut, pelintas batas;
|
||
|
j.
|
Barang Kiriman;
|
||
|
k.
|
obat-obatan yang dimasukkan dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;
|
||
|
l.
|
bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan;
|
||
|
m.
|
peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
|
||
|
n.
|
barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
|
||
|
o.
|
barang untuk keperluan olahraga yang dimasukkan oleh induk organisasi olahraga nasional;
|
||
|
p.
|
barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam;
|
||
|
q.
|
buku ilmu pengetahuan; dan
|
||
|
r.
|
barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya.
|
||
(2)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen pendukung yang menjelaskan peruntukkan barang dimaksud.
|
|||
(3)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, huruf j, dan huruf q.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN PABEAN ATAU TEMPAT LAIN ATAS BARANG YANG TELAH SELESAI DIBONGKAR DARI SARANA PENGANGKUT Bagian Kesatu Pengeluaran Barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain Pasal 40 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau yang ditimbun di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean untuk:
|
|||
|
a.
|
dimasukkan ke Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
diangkut lanjut;
|
||
|
c.
|
diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lain; atau
|
||
|
d.
|
dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Tata cara pengeluaran barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain Untuk Dimasukkan ke Kawasan Bebas Pasal 41 |
||||
(1)
|
Barang yang dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a dapat berupa barang yang diperuntukkan untuk:
|
|||
|
a.
|
penjualan;
|
||
|
b.
|
pemakaian langsung;
|
||
|
c.
|
penimbunan (logistik);
|
||
|
d.
|
Pengolahan;
|
||
|
e.
|
pengerjaan proyek;
|
||
|
f.
|
pekerjaan subkontrak;
|
||
|
g.
|
pemasukan kembali barang:
|
||
|
|
1.
|
yang dikeluarkan untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang termasuk dalam barang yang mendapatkan cost recovery atau gross split, yang dikeluarkan ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
|
|
|
3.
|
yang dikeluarkan ke luar Daerah Pabean;
|
|
|
|
4.
|
subkontrak;
|
|
|
|
5.
|
pinjaman;
|
|
|
|
6.
|
perbaikan, atau
|
|
|
|
7.
|
yang dikeluarkan sementara dalam jangka waktu tertentu ke luar Daerah Pabean dengan carnet,
|
|
|
h.
|
peragaan, pameran, atau demonstrasi;
|
||
|
i.
|
perbaikan, pengujian atau kalibrasi;
|
||
|
j.
|
pemasukan sementara dengan carnet; atau
|
||
|
k.
|
kegiatan lainnya.
|
||
(2)
|
Terhadap barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dimiliki oleh:
|
|||
|
a.
|
perusahaan di Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
perusahaan di luar Daerah Pabean;
|
||
|
c.
|
perusahaan di Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus;
|
||
|
d.
|
perusahaan di tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
||
|
e.
|
Orang selain sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan sementara dengan carnet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g angka 7 dan huruf j, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara dengan menggunakan carnet atau ekspor yang dimaksudkan untuk diimpor kembali dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan carnet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Terhadap pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a, wajib disampaikan dengan Pemberitahuan Pabean ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari:
|
||
|
|
1.
|
luar Daerah Pabean; atau
|
|
|
|
2.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
|
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari:
|
||
|
|
1.
|
Kawasan Bebas lain;
|
|
|
|
2.
|
tempat penimbunan berikat; atau
|
|
|
|
3.
|
kawasan ekonomi khusus.
|
|
(3)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Pemberitahuan Pabean yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran dari Kantor Pabean asal.
|
|||
(2)
|
huruf b merupakan Pemberitahuan Pabean yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran dari Kantor Pabean asal.
|
|||
(4)
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari tempat penimbunan berikat untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 menggunakan Pemberitahuan Pabean BC 2.7.
|
|||
(5)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari:
|
|||
|
a.
|
tempat penimbunan berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tempat penimbunan berikat; dan
|
||
|
b.
|
kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus.
|
||
(6)
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari tempat penimbunan berikat untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 ditambahkan elemen data berupa:
|
|||
|
a.
|
pada bagian header Dokumen TPB kode BC 2.7:
|
||
|
|
1.
|
jenis tujuan lainnya, dengan elemen data:
|
|
|
|
|
a)
|
kawasan ekonomi khusus;
|
|
|
|
b)
|
Kawasan Bebas; dan
|
|
|
|
c)
|
kawasan khusus lainnya;
|
|
|
2.
|
pada data pemberitahuan, berupa Pengusaha di Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus atau kawasan khusus lainnya dengan elemen data:
|
|
|
|
|
a)
|
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
|
|
|
|
b)
|
nama;
|
|
|
|
c)
|
alamat; dan
|
|
|
|
d)
|
nomor izin usaha kawasan khusus;
|
|
|
3.
|
pengesahan Pengusaha Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus atau kawasan khusus lainnya secara elektronik; dan
|
|
|
|
4.
|
pengirim barang dengan elemen data:
|
|
|
|
|
a)
|
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
|
|
|
|
b)
|
nama; dan
|
|
|
|
c)
|
alamat;
|
|
b.
|
pada bagian header Lembar Lampiran Konversi Pemakaian Bahan pada Dokumen TPB kode BC 2.7:
|
||
|
|
1.
|
jenis tujuan lainnya, dengan elemen data:
|
|
|
|
|
a)
|
kawasan ekonomi khusus;
|
|
|
|
b)
|
Kawasan Bebas; dan
|
|
|
|
c)
|
kawasan khusus lainnya; dan
|
|
|
2.
|
pengesahan Pengusaha Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus atau kawasan khusus lainnya Secara Elektronik;
|
|
|
c.
|
pada bagian header Lembar Lampiran Data Barang Dan/Atau Bahan Asal Impor Pada Dokumen TPB kode BC 2.7 berupa Pengesahan Pengusaha Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus atau kawasan khusus lainnya Secara Elektronik; dan
|
||
|
d.
|
pada bagian header Lembar Lampiran Data Barang Dan/Atau Bahan Asal TLDDP pada Dokumen TPB kode BC 2.7 berupa Pengesahan Pengusaha Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus atau kawasan khusus lainnya Secara Elektronik.
|
||
(7)
|
Ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk:
|
|||
|
a.
|
barang pribadi penumpang;
|
||
|
b.
|
awak Sarana Pengangkut;
|
||
|
c.
|
barang pribadi pelintas batas; atau
|
||
|
d.
|
Barang Kiriman,
|
||
|
sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.
|
|||
(8)
|
Penentuan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
(9)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Terhadap Pemberitahuan Pabean asal Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b, pengusaha di Kawasan Bebas:
|
|||
|
a.
|
melakukan pencocokan antara data yang tercantum dalam Pemberitahuan Pabean asal Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dengan dokumen transaksi dan/atau dokumen pengangkutan;
|
||
|
b.
|
mengisi data:
|
||
|
|
1.
|
NPWP, nama, alamat, dan Nomor Pokok PPJK, dalam hal menggunakan PPJK;
|
|
|
|
2.
|
nama sarana pengangkut pemasukan barang ke Kawasan Bebas;
|
|
|
|
3.
|
nomor voyage atau nomor flight;
|
|
|
|
4.
|
nomor dan tanggal Inward Manifest; dan
|
|
|
|
5.
|
nomor pos atau sub pos dari Inward Manifest,
|
|
|
|
ke dalam SKP dalam hal menggunakan Sarana Pengangkut laut atau udara.
|
||
(2)
|
Atas hasil pencocokan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
|
|||
|
a.
|
Dalam hal sesuai, pengusaha di Kawasan Bebas melakukan perekaman catatan kesesuaian hasil pencocokan data;
|
||
|
b.
|
Dalam hal tidak sesuai:
|
||
|
|
1.
|
pengusaha di Kawasan Bebas melakukan perekaman catatan ketidaksesuaian hasil pencocokan data; atau
|
|
|
|
2.
|
pengusaha di Kawasan Bebas mengajukan izin penimbunan di Tempat Lain dan melakukan perekaman catatan ketidaksesuaian hasil pencocokan data.
|
|
(3)
|
SKP menunjuk Pejabat Pemeriksa Fisik untuk melakukan:
|
|||
|
a.
|
pemeriksaan dan/atau pelepasan tanda pengaman; dan/atau
|
||
|
b.
|
Pemeriksaan Fisik dalam hal:
|
||
|
|
1.
|
dikenakan NHI;
|
|
|
|
2.
|
terdapat ketidaksesuaian hasil pencocokan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1; atau
|
|
|
|
3.
|
pengajuan izin timbun di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2.
|
|
(4)
|
Pejabat Bea dan Cukai melakukan perekaman hasil pemeriksaan dan/atau pelepasan tanda pengaman ke dalam SKP.
|
|||
(5)
|
Dalam hal tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kedapatan rusak atau hilang, pengusaha di Kawasan Bebas asal dan/atau Pengangkut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
(6)
|
SKP menerbitkan Surat Persetujuan Penyelesaian Dokumen (SPPD) sebagai dokumen pengeluaran barang dari Kawasan Pabean, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
hasil pemeriksaan dan/atau pelepasan tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai;
|
||
|
b.
|
tidak dilakukan Pemeriksaan Fisik; dan/atau
|
||
|
c.
|
dilakukan Pemeriksaan Fisik dan ditemukan hasil pemeriksaan sesuai.
|
||
(7)
|
SPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus asal melalui SKP paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal SPPB dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebagai realisasi pemasukan barang ke Kawasan Bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengeluaran Barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain Untuk Dimasukkan ke Kawasan Bebas dalam Rangka Pemberian Fasilitas Perpajakan Berupa PPN Tidak Dipungut Pasal 44 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pemberian fasilitas perpajakan berupa PPN tidak dipungut atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, pengajuan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a angka 2 dilampiri dengan faktur pajak yang digunakan pada penyerahan barang kena pajak yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut.
|
|||
(2)
|
Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a angka 2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pemberian fasilitas perpajakan berupa PPN tidak dipungut atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat dilakukan Pemeriksaan Fisik.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
manajemen risiko;
|
||
|
b.
|
nota intelijen di bidang perpajakan; atau
|
||
|
c.
|
NHI di bidang kepabeanan dan cukai.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Fisik berdasarkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a dilakukan secara bersama oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Hasil Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam laporan hasil Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 oleh pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak dan ditandatangani secara bersama oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Pemeriksaan Fisik berdasarkan nota intelijen di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Fisik berdasarkan NHI di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Hasil Pemeriksaan Fisik berdasarkan NHI di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapat penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(3)
|
Tata cara Pemeriksaan Fisik berdasarkan NHI di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Fisik berdasarkan manajemen risiko dan nota intelijen perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a dan huruf b, dilakukan di tempat penyimpanan barang milik pengusaha.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Fisik berdasarkan NHI di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c, dilakukan di tempat penyimpanan barang milik pengusaha atau di Kawasan Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Terhadap barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dimasukan ke Kawasan Bebas yang akan dilakukan Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai melekatkan tanda pengaman saat pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah barang mendapat SPPB.
|
|||
(2)
|
Tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Penerapan manajemen risiko dalam rangka melaksanakan Pasal 45 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan profil risiko yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
(2)
|
Profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pemutakhiran data.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
Tata cara:
|
||||
a.
|
penyusunan laporan hasil pemeriksaan dan penyelesaian hasil Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2);
|
|||
b.
|
Pemeriksaan Fisik berdasarkan nota intelijen di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47;
|
|||
c.
|
pelaksanaan Pemeriksaan Fisik di tempat penyimpanan barang milik pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1); dan
|
|||
d.
|
pelekatan tanda pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1),
|
|||
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pengeluaran Barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain Untuk Dimasukkan dalam Jangka Waktu Tertentu ke Kawasan Bebas dari Luar Daerah Pabean Pasal 53 |
||||
(1)
|
Barang asal luar Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dimasukkan dalam jangka waktu tertentu ke Kawasan Bebas dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Penelitian dokumen dan Pemeriksaan Fisik atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara penelitian dokumen dan Pemeriksaan Fisik atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pengeluaran Barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain Untuk Dimasukkan dalam Jangka Waktu Tertentu ke Kawasan Bebas dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean Pasal 54 |
||||
(1)
|
Barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dimasukkan sementara ke Kawasan Bebas dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Fisik atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara penelitian dokumen dan Pemeriksaan Fisik atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemasukan Barang Eksep ke Kawasan Bebas Pasal 55 |
||||
(1)
|
Dalam hal pengeluaran atas barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas terdapat selisih kurang (eksep) dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), penyelesaian barang yang kurang tersebut dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean semula dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal SPPB.
|
|||
(2)
|
Dalam hal barang yang terdapat selisih kurang (eksep) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didatangkan lebih dari 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan SPPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha harus mengajukan:
|
|||
|
a.
|
surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pabean; dan
|
||
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) yang baru.
|
||
(3)
|
Tata cara pemasukan barang yang terdapat selisih kurang (eksep) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN PABEAN ATAU TEMPAT LAIN UNTUK DIKELUARKAN DARI KAWASAN BEBAS Bagian Kesatu Pemasukan Barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk Dikeluarkan dari Kawasan Bebas Pasal 56 |
||||
(1)
|
Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain, setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain;
|
||
|
c.
|
tempat penimbunan berikat;
|
||
|
d.
|
kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
e.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Barang yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa barang untuk:
|
|||
|
a.
|
penjualan;
|
||
|
b.
|
penimbunan (logistik);
|
||
|
c.
|
Pengolahan;
|
||
|
d.
|
pengerjaan proyek;
|
||
|
e.
|
pekerjaan subkontrak;
|
||
|
f.
|
pengeluaran kembali barang:
|
||
|
1.
|
subkontrak;
|
||
|
2.
|
pinjaman; atau
|
||
|
3.
|
perbaikan,
|
||
|
g.
|
tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
||
|
h.
|
pengeluaran dalam rangka fasilitas pembebasan bea masuk untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang termasuk dalam barang yang mendapatkan cost recovery dan gross split, yang dikeluarkan ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
||
|
i.
|
peragaan, pameran, atau demonstrasi;
|
||
|
j.
|
perbaikan, rekondisi, pengujian atau kalibrasi;
|
||
|
k.
|
pengeluaran sementara dalam jangka waktu tertentu ke luar Daerah Pabean dengan carnet;
|
||
|
l.
|
bekal Sarana Pengangkut; atau
|
||
|
m.
|
kegiatan lainnya.
|
||
(3)
|
Tata cara pengeluaran sementara dalam jangka waktu tertentu ke luar Daerah Pabean dengan dokumen carnet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara dengan menggunakan carnet atau ekspor yang dimaksudkan untuk diimpor kembali dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan carnet.
|
|||
(4)
|
Terhadap barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas yang berasal dari luar Daerah Pabean dan mendapatkan penetapan jumlah dan jenis oleh Badan Pengusahaan Kawasan, tidak dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(5)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atas pengeluaran barang konsumsi berupa Barang Kiriman, barang penumpang, atau barang awak Sarana Pengangkut dalam jumlah dan/atau nilai tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
|||
(6)
|
Tata cara pemasukan barang ke Kawasan Pabean untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf l, dapat dilakukan untuk Sarana Pengangkut yang:
|
|||
|
a.
|
bersandar di pelabuhan/di bandar udara;
|
||
|
b.
|
lego jangkar di perairan koordinat Kawasan Bebas; atau
|
||
|
c.
|
lego jangkar di luar perairan koordinat Kawasan Bebas.
|
||
(2)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa bekal Sarana Pengangkut untuk Sarana Pengangkut yang lego di perairan koordinat Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan untuk Sarana Pengangkut yang lego jangkar di luar perairan koordinat Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
telah mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan oleh pengusaha penyedia bekal Sarana Pengangkut yang memiliki perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b;
|
||
|
b.
|
Sarana Pengangkut yang akan mengangkut bekal Sarana Pengangkut ke Sarana Pengangkut tujuan wajib terdaftar di Kantor Pabean dan memiliki automatic identification system (AIS) yang berfungsi selama Pengangkutan barang berupa bekal Sarana Pengangkut ke Sarana Pengangkut tujuan; dan
|
||
|
c.
|
Sarana Pengangkut tujuan berbendera asing dan lego jangkar di perairan internasional.
|
||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, memuat paling sedikit informasi mengenai jumlah, jenis dan/atau nilai barang berupa bekal Sarana Pengangkut, identitas Sarana Pengangkut yang akan mengangkut bekal Sarana Pengangkut, identitas Sarana Pengangkut tujuan, dan bukti pendukung.
|
|||
(4)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(5)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan surat persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diterima secara lengkap.
|
|||
(6)
|
Jumlah dan/atau nilai barang berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan manajemen risiko.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Pemasukan barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), wajib disampaikan dengan Pemberitahuan Pabean ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(3)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pengusaha atau PPJK yang akan memasukkan barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, penyampaian dilakukan dengan menghitung sendiri bea keluar yang seharusnya dibayar jika pengeluaran barang tersebut dikenakan bea keluar;
|
||
|
b.
|
untuk Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, penyampaian mendasarkan pada Dokumen Pelengkap Pabean dengan menghitung sendiri bea masuk, bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan, cukai, dan pajak yang seharusnya dibebaskan atau ditangguhkan; atau
|
||
|
c.
|
untuk Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, penyampaian mendasarkan pada Dokumen Pelengkap Pabean dengan menghitung sendiri bea masuk, bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan, cukai, dan pajak yang seharusnya dibayar.
|
||
(4)
|
Kewajiban memberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean berupa:
|
|||
|
a.
|
barang yang pada saat pemasukan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean telah diberitahukan sebagai barang pemasukan sementara;
|
||
|
b.
|
barang yang akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, sehingga pada saat pemasukan kembali ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean dapat diperlakukan sebagai barang dimasukkan kembali; atau
|
||
|
c.
|
barang yang dikenakan bea keluar melebihi batas pengecualian pengenaan bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk:
|
|||
|
a.
|
barang pribadi penumpang, awak Sarana Pengangkut, barang pribadi pelintas batas, atau Barang Kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu; atau
|
||
|
b.
|
pengeluaran barang berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, sepanjang terdapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean.
|
||
(6)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diberikan nomor dan tanggal oleh Pejabat Bea dan Cukai, merupakan persetujuan untuk pemasukan barang ke Kawasan Pabean.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2), dilampiri dengan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).
|
|||
(2)
|
Dalam hal penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) tidak dilampiri:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2); dan/atau
|
||
|
b.
|
dokumen pendukung atau bukti cetak data elektronik yang membuktikan barang sepenuhnya berasal dari Kawasan Bebas (wholly obtained) atau berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, atau ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diperlakukan sebagai barang yang berasal dari luar Daerah Pabean.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari diperlakukan sebagai barang yang berasal dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan Fisik kedapatan barang sepenuhnya berasal dari Kawasan Bebas (wholly obtained) atau berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(4)
|
Barang yang sepenuhnya berasal dari Kawasan Bebas (wholly obtained) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) adalah barang yang berupa:
|
|||
|
a.
|
hasil alam di Kawasan Bebas yang bersangkutan; atau
|
||
|
b.
|
limbah konsumsi rumah tangga, limbah proses pengolahan, atau limbah proses produksi di Kawasan Bebas yang bersangkutan.
|
||
(5)
|
Dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf e berupa Barang Hasil Produksi di Kawasan Bebas, penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) dapat dilampiri:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
konversi penggunaan barang atau bahan baku dalam proses produksi yang dilakukannya, atas barang atau bahan baku yang berasal dari luar Daerah Pabean.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a merupakan:
|
|||
|
a.
|
barang asal Kawasan Bebas dan/atau tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
||
|
b.
|
barang yang dikenakan bea keluar,
|
||
|
diperlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bea keluar.
|
|||
(2)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean; atau
|
||
|
b.
|
pengeluaran sementara barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean.
|
||
(3)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pelabuhan muat di Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, atau tempat lain dalam Daerah Pabean:
|
|||
|
a.
|
setelah diselesaikan Kewajiban Pabeannya; dan
|
||
|
b.
|
diangkut dengan Sarana Pengangkut dalam negeri yang merupakan bagian dari angkutan multimoda.
|
||
(4)
|
Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata laksana kepabeanan di bidang ekspor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Barang yang telah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dikeluarkan ke:
|
|||
|
a.
|
tempat penimbunan berikat;
|
||
|
b.
|
kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
hanya dapat dikeluarkan untuk dimuat ke Sarana Pengangkut yang berangkat ke luar dari Kawasan Bebas.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui darat, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Pejabat Bea dan Cukai melekatkan tanda pengaman pada kemasan/peti kemas sebelum barang dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagai pengaman barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain sampai dengan:
|
||
|
|
1.
|
Kawasan Pabean tempat barang dimuat ke Sarana Pengangkut udara atau laut yang akan mengangkut barang ke luar dari Kawasan Bebas;
|
|
|
|
2.
|
Kawasan Pabean tempat Sarana Pengangkut darat meninggalkan Kawasan Bebas; atau
|
|
|
|
3.
|
barang yang diimpor untuk ditimbun di tempat penimbunan berikat selesai dimasukkan ke tempat penimbunan berikat; dan
|
|
|
b.
|
persetujuan pengeluaran barang untuk dikeluarkan ke:
|
||
|
|
1.
|
tempat penimbunan berikat;
|
|
|
|
2.
|
kawasan ekonomi khusus; atau
|
|
|
|
3.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
|
|
|
berfungsi juga sebagai persetujuan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Pabean tempat pengeluaran barang dari Kawasan Bebas.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemasukan Barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk Dikeluarkan Kembali dari Kawasan Bebas ke Luar Daerah Pabean Pasal 62 |
||||
(1)
|
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dapat dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Penelitian dokumen dan Pemeriksaan Fisik atas pengeluaran kembali barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara penelitian dokumen dan Pemeriksaan Fisik atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemasukan Barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk Dikeluarkan Kembali dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean Pasal 63 |
||||
(1)
|
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dapat dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Penelitian dokumen dan Pemeriksaan Fisik atas pengeluaran kembali barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara penelitian dokumen dan Pemeriksaan Fisik atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(3)
|
Pemungutan PPN atas pengeluaran kembali barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang terdapat pemungutan PPN dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas.
|
|||
(4)
|
Terhadap pengeluaran kembali barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan dari pemeriksaan ketentuan larangan dan pembatasan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pemasukan Barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk Dikeluarkan dari Kawasan Bebas untuk Tujuan Tertentu dalam Jangka Waktu Tertentu ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean Pasal 64 |
||||
(1)
|
Barang asal luar Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf e untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan dari pengusaha.
|
|||
(2)
|
Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan terhadap barang yang berhubungan dengan:
|
|||
|
a.
|
kegiatan usahanya berupa mesin atau peralatan untuk:
|
||
|
|
1.
|
kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
|
|
|
|
2.
|
diperbaiki, direkondisi, dikalibrasi dan/atau diuji; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
keperluan peragaan atau demonstrasi; atau
|
|
|
b.
|
kegiatan lain, antara lain:
|
||
|
|
1.
|
barang untuk keperluan pertunjukan umum, olah raga, dan/atau perlombaan;
|
|
|
|
2.
|
barang untuk keperluan penanggulangan bencana alam, kebakaran, kerusakan lingkungan, gangguan keamanan atau ketertiban, untuk tujuan kemanusiaan, atau sosial;
|
|
|
|
3.
|
barang keperluan pemerintah pusat atau pemerintah daerah; atau
|
|
|
|
4.
|
barang untuk keperluan kegiatan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
(3)
|
Terhadap pengeluaran barang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa mesin atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 1, pengusaha wajib:
|
|||
|
a.
|
membayar bea masuk sebesar 2% (dua persen) untuk setiap bulan atau bagian dari bulan, dikalikan jumlah bulan jangka waktu pengeluaran, dikalikan jumlah bea masuk yang seharusnya dibayar; dan
|
||
|
b.
|
menyerahkan jaminan sebesar selisih antara bea masuk yang seharusnya dibayar dengan yang telah dibayar ditambah dengan PPN dan Pajak Penghasilan Pasal 22.
|
||
(4)
|
Terhadap pengeluaran barang berupa mesin atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 dan angka 3, atau barang untuk kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pengusaha wajib menyerahkan jaminan sebesar bea masuk yang seharusnya dibayar, ditambah dengan PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22.
|
|||
(5)
|
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (4), wajib diserahkan sebelum mendapat nomor Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf e.
|
|||
(6)
|
Kepala Kantor Pabean menetapkan bentuk jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(7)
|
Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sehingga menjadi paling lama 3 (tiga) tahun, dimulai sejak tanggal Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf e.
|
|||
(8)
|
Pejabat Bea dan Cukai memberikan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dengan mempertimbangkan bukti pendukung yang menyebutkan tentang jangka waktu pengeluaran barang untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(9)
|
Tata cara penyerahan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan.
|
|||
(10)
|
Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
(1)
|
Terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), pengusaha harus menyampaikan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a angka 2 dengan dilampiri dokumen pendukung, atas barang yang akan dimasukkan kembali sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7).
|
|||
(2)
|
Realisasi pemasukan kembali atas barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7).
|
|||
(3)
|
Tata cara pemasukan kembali barang yang telah dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 66
|
||||
(1)
|
Pengusaha yang terlambat memasukkan kembali barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar berdasarkan penetapan Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Terlambat memasukkan kembali barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengusaha tidak menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a angka 2 sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7); atau
|
||
|
b.
|
pengusaha menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a angka 2 sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7), tetapi realisasi pemasukan kembali atas barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2).
|
||
(3)
|
Dalam hal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) tidak akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas, pengusaha mengajukan permohonan untuk tidak memasukkan kembali barang yang telah dikeluarkan dari Kawasan Bebas kepada Kepala Kantor Pabean tempat pengeluaran barang.
|
|||
(4)
|
Dalam hal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) merupakan barang yang terkena ketentuan pembatasan, perizinan impor wajib dipenuhi sebelum pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan.
|
|||
(5)
|
Terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) yang telah mendapat keputusan mengenai tidak memasukkan kembali barang, pengusaha wajib membayar bea masuk dan/atau pajak dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas yang terutang serta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7), semula.
|
|||
(6)
|
Tata cara penyampaian permohonan keterlambatan pemasukan kembali ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemasukan Barang yang Mendapat Fasilitas Pembebasan Bea Masuk untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Termasuk dalam Barang yang Mendapatkan Cost Recovery dan Gross Split ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk Dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean Pasal 67 |
||||
(1)
|
Barang asal luar Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf e untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
|
|||
(2)
|
Barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan barang yang:
|
|||
|
a.
|
mendapat fasilitas pembebasan;
|
||
|
b.
|
termasuk dalam barang yang mendapatkan cost recovery dan gross split; dan
|
||
|
c.
|
berdasarkan peraturan perundang-undangan mengharuskan untuk dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean.
|
||
(3)
|
Terhadap pengeluaran barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha wajib melampirkan keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada saat penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf c.
|
|||
(4)
|
Terhadap barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diselesaikan kewajiban untuk dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean dengan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas dengan menyampaikan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a angka 2.
|
|||
(5)
|
Terhadap pemasukan kembali barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan Pemeriksaan Fisik.
|
|||
(6)
|
Tata cara Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud sebagaimana pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan tata cara Pemeriksaan Fisik atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Konsolidasi Pasal 68 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dapat dilakukan konsolidasi di TPS atau Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).
|
|||
(2)
|
Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan konsolidasi dalam hal barang tersebut telah:
|
|||
|
a.
|
disampaikan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
mendapatkan SPPB yang merupakan persetujuan pemuatan barang ke atas Sarana Pengangkut yang akan keluar dari Kawasan Bebas, atau NPPB.
|
||
(3)
|
Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, dapat dilakukan konsolidasi di TPS atau Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) atas barang yang berasal dari tempat lain dari Kantor Pabean lain yang berada di Kawasan Bebas maupun bukan di Kawasan Bebas.
|
|||
(4)
|
Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan konsolidasi dalam hal barang tersebut telah:
|
|||
|
a.
|
disampaikan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf b dan huruf c; dan
|
||
|
b.
|
mendapatkan SPPB yang merupakan persetujuan pemuatan barang ke atas Sarana Pengangkut yang akan keluar dari Kawasan Bebas, atau persetujuan pemuatan dari Kantor Pabean asal.
|
||
(5)
|
Pihak yang melakukan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) adalah konsolidator yang merupakan pengusaha yang telah mendapat persetujuan sebagai pihak yang melakukan konsolidasi barang dari Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(6)
|
Konsolidator sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memberitahukan konsolidasi barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dalam PKB dan menyampaikannya ke Kantor Pabean pemuatan.
|
|||
(7)
|
PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan pemberitahuan yang dibuat oleh pihak yang melakukan konsolidasi yang berisi daftar seluruh Pemberitahuan Pabean dan NPPB atau SPPB yang ada dalam satu peti kemas atau Pemberitahuan Pabean dari Kantor Pabean asal.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dilakukan Pemeriksaan Fisik, pelaksanaan Pemeriksaan Fisik dilakukan sebelum barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dikonsolidasikan.
|
|||
(2)
|
Kegiatan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pihak yang melakukan konsolidasi, terdiri dari:
|
|||
|
a.
|
Konsolidator yang telah mendapat persetujuan sebagai pihak yang melakukan konsolidasi barang dari Kepala Kantor Pabean;
|
||
|
b.
|
pengusaha yang melakukan sendiri konsolidasi barangnya; atau
|
||
|
c.
|
pengusaha dalam satu kelompok perusahaan (holding company).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Untuk mendapatkan persetujuan sebagai konsolidator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a, pengusaha mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal pengusaha telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
menyelenggarakan pembukuan dan bersedia diaudit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
||
|
b.
|
menyediakan ruang kerja untuk Pejabat Pemeriksa Barang dan petugas dinas luar;
|
||
|
c.
|
mempunyai pegawai yang bersertifikat ahli kepabeanan yang diterbitkan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK); dan
|
||
|
d.
|
mempunyai tempat untuk kegiatan stuffing.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Untuk melakukan konsolidasi dalam satu kelompok perusahaan, harus ditunjuk pengusaha yang bertanggung jawab atas konsolidasi barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dari kelompok perusahaan yang melakukan konsolidasi barangnya.
|
|||
(2)
|
Pengusaha yang bertanggung jawab atas konsolidasi barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada Kantor Pabean pemuatan tentang:
|
|||
|
a.
|
perusahaan-perusahaan yang barangnya akan dikonsolidasikan; dan/atau
|
||
|
b.
|
perubahan atas data perusahaan-perusahaan yang barangnya akan dikonsolidasikan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Pihak yang melakukan konsolidasi barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) harus memberitahukan konsolidasi barang dalam PKB dan menyampaikannya ke Kantor Pabean pemuatan.
|
|||
(2)
|
Pada Kantor Pabean pemuatan yang dalam sistem pelayanan kepabeanannya menggunakan sistem PDE kepabeanan, penyampaian PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan sistem PDE kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Pada Kantor Pabean pemuatan yang dalam sistem pelayanan kepabeanannya tidak menggunakan sistem PDE kepabeanan, penyampaian PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan tulisan di atas formulir.
|
|||
(4)
|
PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicetak sesuai peruntukannya sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
1 (satu) lembar untuk masing-masing pengusaha;
|
||
|
b.
|
1 (satu) lembar untuk pihak yang melakukan konsolidasi;
|
||
|
c.
|
1 (satu) lembar untuk pengusaha TPS;
|
||
|
d.
|
1 (satu) lembar untuk Pengangkut;
|
||
|
e.
|
1 (satu) lembar untuk Kantor Pabean pemuatan; dan
|
||
|
f.
|
1 (satu) lembar untuk petugas pengawasan stuffing.
|
||
(5)
|
Hasil cetak data PKB yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran digunakan sebagai dokumen pemasukan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Pabean tempat pemuatan dan pemuatan ke Sarana Pengangkut.
|
|||
(6)
|
Dalam hal pengusaha yang akan mengeluarkan barang dari Kawasan Bebas telah menyampaikan Pemberitahuan Pabean di Kantor Pabean pemuatan, pengangkutan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dari gudang pengusaha ke tempat konsolidasi menggunakan NPPB atau SPPB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Tata cara pendaftaran konsolidator dan konsolidasi barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pengeluaran Barang Sebagian (Parsial) dari Kawasan Bebas Pasal 74 |
||||
(1)
|
Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat dilakukan pengeluaran sebagian (parsial).
|
|||
(2)
|
Pengeluaran sebagian (parsial) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
terdapat barang yang terkena ketentuan pembatasan diberitahukan dengan benar dalam dokumen Pemberitahuan Pabean tetapi belum memenuhi persyaratan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
b.
|
terdapat kendala pengiriman dari pengusaha dengan memberitahukan kepada Kepala Kantor Pabean.
|
||
(3)
|
Penyelesaian barang yang telah dikeluarkan sebagian (parsial) dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean semula paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal SPPB.
|
|||
(4)
|
Dalam hal sisa barang yang akan dilakukan pengeluaran sebagian (parsial) dalam jangka waktu lebih dari 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan SPPB, pengusaha harus melakukan kegiatan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
mengajukan surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pabean; dan
|
||
|
b.
|
mengajukan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, yang baru.
|
||
(5)
|
Terhadap sisa barang yang tidak dilakukan pengeluaran sebagian (parsial) dalam jangka waktu lebih dari 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan SPPB akan ditetapkan sebagai barang dikuasai negara.
|
|||
(6)
|
Penyelesaian barang dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara.
|
|||
(7)
|
Tata cara pengeluaran sebagian (parsial) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
PENGANGKUTAN BARANG UNTUK DIANGKUT TERUS ATAU DIANGKUT LANJUT Bagian Kesatu Pemasukan Barang ke Kawasan Pabean untuk Diangkut Terus atau Diangkut Lanjut Pasal 75 |
||||
(1)
|
Barang yang diangkut oleh Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dapat dimasukkan ke Kawasan Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut.
|
|||
(2)
|
Pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ke Kawasan Pabean, wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean berupa Inward Manifest.
|
|||
(3)
|
Pemberitahuan Pabean berupa Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara rinci dalam pos-pos serta dikelompokkan secara terpisah.
|
|||
(4)
|
Pengelompokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
barang atau peti kemas kosong asal luar Daerah Pabean yang diangkut terus;
|
||
|
b.
|
barang atau peti kemas kosong asal luar Daerah Pabean yang diangkut lanjut;
|
||
|
c.
|
barang atau peti kemas kosong asal Kawasan Bebas lain yang diangkut terus;
|
||
|
d.
|
barang atau peti kemas kosong asal Kawasan Bebas lain yang diangkut lanjut;
|
||
|
e.
|
barang atau peti kemas kosong asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut terus; dan/atau
|
||
|
f.
|
barang atau peti kemas kosong asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut lanjut.
|
||
(5)
|
Pos-pos sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibuat berdasarkan Bill of Lading, Airway Bill, atau dokumen Pengangkutan barang lainnya.
|
|||
(6)
|
Tata cara penyerahan Pemberitahuan Pabean berupa Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata laksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes kedatangan Sarana Pengangkut, dan Manifes keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang dari Kawasan Pabean untuk Diangkut Terus atau Diangkut Lanjut Pasal 76 |
||||
(1)
|
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dapat dikeluarkan kembali dari Kawasan Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut.
|
|||
(2)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean berupa Outward Manifest.
|
|||
(3)
|
Pemberitahuan Pabean berupa Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara rinci dalam pos-pos serta dikelompokkan secara terpisah.
|
|||
(4)
|
Pengelompokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
barang atau peti kemas kosong asal luar Daerah Pabean yang diangkut terus;
|
||
|
b.
|
barang atau peti kemas kosong asal luar Daerah Pabean yang diangkut lanjut;
|
||
|
c.
|
barang atau peti kemas kosong asal Kawasan Bebas lain yang diangkut terus;
|
||
|
d.
|
barang atau peti kemas kosong asal Kawasan Bebas lain yang diangkut lanjut;
|
||
|
e.
|
barang atau peti kemas kosong asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut terus; dan/atau
|
||
|
f.
|
barang atau peti kemas kosong asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang diangkut lanjut.
|
||
(5)
|
Pos-pos sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat berdasarkan Bill of Lading, Airway Bill, atau dokumen pengangkutan barang lainnya.
|
|||
(6)
|
Pos-pos sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus memuat elemen data yang dapat memberikan informasi pemasukan barang ke Kawasan Pabean yang paling sedikit meliputi nomor dan tanggal pendaftaran serta nomor pos dan subpos Inward Manifest.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyerahan Pemberitahuan Pabean berupa Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut, dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
(8)
|
Tata cara pemasukan barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dan pengeluaran barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penimbunan Barang untuk Diangkut Lanjut Pasal 77 |
||||
(1)
|
Sementara menunggu pengeluaran untuk diangkut lanjut, barang yang dibongkar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat ditimbun di TPS, TPS Pusat Distribusi, atau tempat lain yang dipersamakan dengan TPS.
|
|||
(2)
|
Penetapan TPS sebagai TPS Pusat Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan pabean dan tempat penimbunan sementara.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pembongkaran dan/atau Pemuatan Barang dari dan ke Sarana Pengangkut untuk Diangkut Lanjut Pasal 78 |
||||
(1)
|
Pembongkaran dan/atau pemuatan barang dari dan ke Sarana Pengangkut untuk diangkut lanjut dapat dilakukan di Kawasan Pabean atau dalam hal tertentu dapat dibongkar atau dimuat di Tempat Lain setelah mendapat izin dari Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Izin pembongkaran atau pemuatan di Tempat Lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(3)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke dalam Sarana Pengangkut dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP.
|
|||
(4)
|
Permohonan pemuatan di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui SKP.
|
|||
(5)
|
Terhadap pembongkaran dan/atau pemuatan barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan dari Kawasan Bebas dari atau ke Sarana Pengangkut untuk diangkut lanjut, dilakukan pengawasan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Untuk dapat melakukan pembongkaran dan/atau pemuatan barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan dari Kawasan Bebas di Tempat Lain untuk diangkut lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), Pengangkut mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(3)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Kantor Pabean merupakan Kantor Pelayanan Utama, persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Kepala Bidang yang menyelenggarakan fungsi pengawasan pembongkaran atau pemuatan atas nama Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
|||
(5)
|
Dalam keadaan tertentu yang memerlukan penelitian lapangan, persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diberikan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah penelitian lapangan dan permohonan diterima secara lengkap.
|
|||
(6)
|
Persetujuan pembongkaran dan/atau pemuatan barang di Tempat Lain untuk diangkut lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), berlaku sebagai dokumen pengeluaran atau pemasukan dari atau ke Kawasan Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pengangkutan Barang untuk Diangkut Lanjut dengan Multimoda Pasal 80 |
||||
(1)
|
Pengangkutan barang dengan tujuan untuk diangkut lanjut, dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari 1 (satu) jenis moda transportasi yang dibuktikan dengan kontrak pengangkutan multimoda.
|
|||
(2)
|
Kontrak pengangkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Bill of Lading, Airway Bill, atau dokumen Pengangkutan barang lainnya.
|
|||
(3)
|
Kontrak pengangkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit:
|
|||
|
a.
|
rute perjalanan;
|
||
|
b.
|
moda transportasi yang digunakan; dan
|
||
|
c.
|
lokasi angkut terus atau angkut lanjut.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pengawasan Terhadap Barang untuk Diangkut Terus dan Diangkut Lanjut Pasal 81 |
||||
(1)
|
Pengangkutan barang dari Kawasan Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut dilakukan di bawah pengawasan pabean.
|
|||
(2)
|
Pengawasan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
SKP melakukan rekonsiliasi atas pemasukan dan pengeluaran barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut.
|
|||
(2)
|
Dalam hal SKP mengalami gangguan operasional atau rekonsiliasi memerlukan penelitian lebih mendalam oleh Pejabat Bea dan Cukai, Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan rekonsiliasi atas pemasukan dan pengeluaran barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut.
|
|||
(3)
|
Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
|||
|
a.
|
berdasarkan hasil penelitian tingkat kesesuaian antara uraian elemen data rincian pos-pos pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dengan pos-pos Pemberitahuan Pabean Inward Manifest yang disampaikan oleh Pengangkut berdasarkan uraian elemen data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3); dan
|
||
|
b.
|
dengan penutupan pos-pos Pemberitahuan Pabean Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Dalam hal barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan berikutnya di:
|
|||
|
a.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain,
|
||
|
SKP menyampaikan informasi keberangkatan barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut kepada Kantor Pabean tujuan.
|
|||
(2)
|
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa rincian pos-pos Pemberitahuan Pabean berupa Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3).
|
|||
(3)
|
Dalam hal SKP mengalami gangguan operasional, Pejabat Bea dan Cukai menyampaikan informasi keberangkatan barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut kepada Kantor Pabean tujuan.
|
|||
(4)
|
Terhadap pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan berupa pemasangan tanda pengaman dan:
|
|||
|
a.
|
Pemeriksaan Fisik; atau
|
||
|
b.
|
pengawalan berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Pabean.
|
||
(5)
|
Dalam hal barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut ke Kawasan Bebas lain:
|
|||
|
a.
|
tidak sampai di TPS tujuan; atau
|
||
|
b.
|
tanda pengaman kedapatan rusak atau hilang,
|
||
|
dilakukan pemberitahuan kepada KPP setempat untuk dapat menjadi pertimbangan untuk pemberian fasilitas perpajakan berupa PPN tidak dipungut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||
(1)
|
SKP di Kantor Pabean tujuan melakukan rekonsiliasi tindak lanjut pengangkutan barang yang diangkut terus atau diangkut lanjut.
|
|||
(2)
|
Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
|||
|
a.
|
berdasarkan penelitian tingkat kesesuaian, antara informasi keberangkatan barang untuk diangkut terus dan diangkut lanjut berupa rincian pos-pos pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dengan rincian pos-pos pemberitahuan Inward Manifest; dan
|
||
|
b.
|
dengan penutupan informasi keberangkatan barang untuk diangkut terus dan diangkut lanjut berupa rincian pos-pos pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3).
|
||
(3)
|
SKP di Kantor Pabean tujuan menyampaikan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pabean asal.
|
|||
(4)
|
Dalam hal hasil rekonsiliasi tindak lanjut pengangkutan barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum diterima dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberangkatan Sarana Pengangkut:
|
|||
|
a.
|
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat Bea dan Cukai Kantor Pabean asal menyampaikan pemberitahuan kepada Pengangkut; dan
|
||
|
b.
|
dilakukan penelitian oleh Pejabat Bea dan Cukai pada Kantor Pabean asal.
|
||
(5)
|
Dalam hal SKP di Kantor Pabean tujuan mengalami gangguan operasional, Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean tujuan:
|
|||
|
a.
|
melakukan rekonsiliasi atas pemasukan dan pengeluaran barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut; dan
|
||
|
b.
|
menyampaikan hasil rekonsiliasi atas pemasukan dan pengeluaran barang untuk diangkut terus atau diangkut lanjut kepada Kantor Pabean asal.
|
||
BAB XII
PENGANGKUTAN BARANG DARI KAWASAN PABEAN ATAU TEMPAT LAIN KE TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA LAINNYA Bagian Kesatu Pengeluaran Barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk Diangkut ke TPS di Kawasan Pabean Lainnya Pasal 85 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat dikeluarkan untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyampaikan Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di Kawasan Bebas untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya.
|
|||
(3)
|
Terhadap pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean yang akan diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib menyerahkan jaminan sebesar bea masuk, cukai, PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22, kepada Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean tempat pembongkaran barang.
|
|||
(4)
|
Pengeluaran barang untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
barang yang ditimbun bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat ditimbun, membutuhkan sarana dan prasarana penyimpanan atau penumpukan yang khusus dan tidak tersedia di gudang atau lapangan penumpukan barang di TPS asal;
|
||
|
b.
|
gudang atau lapangan penumpukan barang di tempat penimbunan asal berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean dapat terjadi stagnasi/kongesti;
|
||
|
c.
|
tidak tersedia TPS di Kawasan Pabean yang bersangkutan;
|
||
|
d.
|
barang yang dimuat dalam 1 (satu) master bill of lading/airway bill yang ditujukan kepada perusahaan jasa pengurusan transportasi (freight forwarder) dan/atau penyelenggara pos yang berkedudukan di TPS lain;
|
||
|
e.
|
barang yang dimuat dalam kantong pos yang akan diselesaikan Kewajiban Pabeannya melalui TPS lain yang khusus digunakan untuk layanan pos; atau
|
||
|
f.
|
keadaan memaksa (force majeure).
|
||
(5)
|
Pengeluaran barang untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan dalam hal pemilik barang (consignee) dalam dokumen pengangkutan barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) merupakan pengusaha yang berada di Kawasan Bebas lain atau di tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(6)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di suatu Kantor Pabean dengan tujuan untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean di Kantor Pabean lainnya dengan alasan kongesti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, dapat diberikan jika seluruh TPS lain di wilayah kerja Kantor Pabean tempat dilakukan pembongkaran terdapat kongesti dan tidak dapat dilakukan PLP.
|
|||
(7)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di suatu Kantor Pabean dengan tujuan untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean di Kantor Pabean lainnya dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
pengusaha TPS di Kantor Pabean asal, jika terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf d, dan huruf e; atau
|
||
|
b.
|
pengusaha TPS di Kantor Pabean asal atas permintaan pengusaha, jika terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, huruf c, dan huruf f.
|
||
(8)
|
Pengusaha TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (7), bertanggung jawab atas bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas atas barang yang dikeluarkan dari Kawasan Pabean untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya.
|
|||
(9)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
(10)
|
Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (7) yang akan mengeluarkan barang dari TPS, wajib menyerahkan Pemberitahuan Pabean pada Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean asal.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Pabean untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya.
|
|||
(3)
|
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikeluarkan dari TPS setelah Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean asal melakukan penelitian dan memberikan nomor serta tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(5)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pemberitahuan Pabean Outward Manifest pada Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean asal.
|
|||
(6)
|
Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP pada Kantor Pabean asal menyampaikan tembusan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kantor Pabean tujuan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemindahan Lokasi Penimbunan Pasal 87 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat dilakukan PLP antar TPS dalam satu Kawasan Pabean.
|
|||
(2)
|
PLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan jika barang yang bersangkutan belum diajukan Pemberitahuan Pabean.
|
|||
(3)
|
Atas PLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha TPS wajib menyampaikan permohonan untuk dilakukan PLP antar TPS dalam satu Kawasan Pabean kepada Kepala Kantor Pabean melalui Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dengan mencantumkan alasan permohonan PLP.
|
|||
(4)
|
PLP antar TPS dalam satu Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
tingkat penggunaan lapangan penumpukan (yard occupancy ratio) atau tingkat penggunaan gudang (shed occupancy ratio) di TPS sama atau lebih tinggi dari batas standar penggunaan/pemanfaatan fasilitas yang ditetapkan oleh instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang pelabuhan atau bandar udara;
|
||
|
b.
|
barang yang ditimbun bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat ditimbun, membutuhkan sarana dan prasarana penyimpanan atau penumpukan yang khusus dan tidak tersedia di gudang atau lapangan penumpukan barang di TPS asal;
|
||
|
c.
|
barang yang dimuat dalam 1 (satu) master bill of lading/airway bill yang ditujukan kepada perusahaan jasa pengurusan transportasi (freight forwarder) dan/atau penyelenggara pos yang berkedudukan di TPS lain;
|
||
|
d.
|
barang yang karena karakteristiknya memerlukan pelayanan segera (rush handling) akan dikeluarkan melalui TPS lain yang khusus disediakan untuk pelayanan segera;
|
||
|
e.
|
barang yang dimuat dalam kantong pos yang akan diselesaikan Kewajiban Pabeannya melalui TPS lain yang khusus digunakan untuk layanan pos; atau
|
||
|
f.
|
berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean dimungkinkan terjadi stagnasi atau keadaan memaksa (force majeure) setelah mendapatkan masukan dari pengusaha TPS.
|
||
(5)
|
Permohonan PLP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan dalam bentuk:
|
|||
|
c.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
d.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(6)
|
Contoh format Permohonan PLP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(7)
|
Tata cara PLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap permohonan PLP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (3).
|
|||
(2)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk atas nama Kepala Kantor Pabean memberikan persetujuan atau penolakan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
|
|||
(3)
|
Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||
|
a.
|
dicatat pada lembar permohonan PLP, dalam hal permohonan yang diajukan dalam bentuk tulisan di atas formulir; atau
|
||
|
b.
|
diterbitkan respon persetujuan PLP, dalam hal permohonan yang diajukan dalam bentuk data secara elektronik.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS dapat melakukan PLP terhadap barang yang akan dilakukan Pemeriksaan Fisik barang dalam rangka pemeriksaan pabean dan/atau pemeriksaan karantina ke TPS lain dalam 1 (satu) Kawasan Pabean tanpa persetujuan Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
PLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah Pengusaha TPS menyampaikan pemberitahuan kepada Kantor Pabean dalam bentuk data elektronik melalui SKP TPS online.
|
|||
(3)
|
Untuk dapat melakukan PLP ke TPS lain dalam 1 (satu) Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
pintu masuk dan pintu keluar Kawasan Pabean digunakan secara bersama oleh seluruh TPS dalam Kawasan Pabean; dan
|
||
|
b.
|
pintu masuk dan pintu keluar Kawasan Pabean telah menerapkan sistem pintu otomatis yang terintegrasi dengan sistem elektronik pengelolaan penimbunan barang di seluruh TPS.
|
||
(4)
|
Pengusaha TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan data pengeluaran dan pemasukan barang secara real time ke SKP pada Kantor Pabean.
|
|||
(5)
|
Selain PLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PLP dilakukan terhadap barang yang ditimbun di TPS yang keputusan mengenai penetapan TPS telah berakhir atau dicabut.
|
|||
(6)
|
Dalam hal TPS belum ditetapkan sebagai TPS online, maka pengajuan PLP menggunakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (3).
|
|||
(7)
|
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali PLP, kecuali terhadap:
|
|||
|
a.
|
barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas yang telah mendapat persetujuan pengeluaran ke luar Daerah Pabean; dan/atau
|
||
|
b.
|
barang yang dilakukan PLP karena terjadi keadaan darurat.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemasukan Barang ke Kawasan Pabean atas Barang yang Diangkut dari TPS di Kawasan Pabean Lainnya Pasal 90 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (7), wajib menyampaikan Pemberitahuan Pabean yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) ke Kantor Pabean yang mengawasi TPS di Kawasan Pabean tujuan.
|
|||
(2)
|
Penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan penyampaian pemberitahuan RKSP dan Inward Manifest pada Kantor Pabean yang mengawasi TPS di Kawasan Pabean tujuan.
|
|||
(3)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan paling lambat:
|
|||
|
a.
|
sebelum kedatangan di TPS di Kawasan Pabean tujuan, dalam hal pengangkutan melalui laut dan udara; atau
|
||
|
b.
|
saat kedatangan di TPS di Kawasan Pabean tujuan, dalam hal pengangkutan melalui darat.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pengawasan Pengangkutan Barang dari Kawasan Pabean untuk Diangkut ke TPS di Kawasan Pabean Lainnya di Tempat Lain dalam Daerah Pabean Pasal 91 |
||||
(1)
|
Pengangkutan barang dari Kawasan Pabean untuk dikeluarkan untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c dilakukan di bawah pengawasan pabean.
|
|||
(2)
|
Pengawasan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan pemasangan tanda pengaman dan disertai dengan:
|
|||
|
a.
|
penyerahan jaminan oleh pengusaha TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (7); atau
|
||
|
b.
|
pengawalan,
|
||
|
berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(3)
|
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikembalikan setelah barang sampai di TPS tujuan dalam keadaan lengkap.
|
|||
(4)
|
Jenis jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
PENGANGKUTAN BARANG YANG BERADA DI BAWAH PENGAWASAN SATU KANTOR PABEAN Bagian Kesatu Pengangkutan Barang Antar Wilayah dalam Kawasan Bebas yang Melalui Tempat Lain dalam Daerah Pabean di Bawah Pengawasan Satu Kantor Pabean Pasal 92 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang berada di Kawasan Bebas dapat dilakukan pengangkutan antar wilayah dalam Kawasan Bebas yang melalui tempat lain dalam Daerah Pabean di bawah pengawasan satu Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Untuk dapat melakukan pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha pemilik barang mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dengan dilampiri dokumen pendukung.
|
|||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(4)
|
Pemuatan atas barang yang akan dilakukan pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di:
|
|||
|
a.
|
gudang pengusaha; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain,
|
||
|
setelah mendapatkan izin dari Kepala Kantor Pabean atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Terhadap pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan berupa:
|
|||
|
a.
|
Pemeriksaan Fisik atas jumlah dan kemasan barang;
|
||
|
b.
|
pemasangan tanda pengaman terhadap kemasan atau peti kemas; dan/atau
|
||
|
c.
|
pengawalan,
|
||
|
oleh Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengangkutan Barang dalam Rangka Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan Bebas ke dan dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus di Bawah Pengawasan Satu Kantor Pabean Pasal 93 |
||||
(1)
|
Terhadap barang dapat dilakukan pengangkutan dalam rangka:
|
|||
|
a.
|
pemasukan ke Kawasan Bebas dari tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
b.
|
pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus.
|
||
(2)
|
Pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b atau Pasal 58 ayat (2) dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(3)
|
Pembongkaran dan pemuatan atas barang yang akan dilakukan pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di Tempat Lain setelah mendapatkan izin dari Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(4)
|
Terhadap pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan oleh Pejabat Bea dan Cukai berupa:
|
|||
|
a.
|
pemasangan tanda pengaman terhadap kemasan atau peti kemas; dan/atau
|
||
|
b.
|
pengawalan.
|
||
|
|
|
|
|
BAB XIV
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PENGEMAS YANG DIPAKAI BERULANG-ULANG (RETURNABLE PACKAGE) KE DAN DARI KAWASAN BEBAS Pasal 94 |
||||
(1)
|
Pemasukan dan/atau pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) ke atau dari Kawasan Bebas dapat dilakukan oleh pengusaha setelah mendapat izin dari Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kemasan yang berasal dari luar Daerah Pabean atau dari tempat lain dalam Daerah Pabean, yang digunakan atau akan digunakan dalam rangka Pengangkutan dan/atau pengemasan barang ke dan/atau dari Kawasan Bebas secara berulang-ulang.
|
|||
(3)
|
Termasuk dalam pemasukan dan/atau pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemasukan atau pengeluaran kemasan asal luar Daerah Pabean yang digunakan untuk pengangkutan barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean secara berulang-ulang.
|
|||
(4)
|
Permohonan diajukan di awal kegiatan dan diperpanjang setiap tahun dengan menyebutkan uraian pengemas antara lain:
|
|||
|
a.
|
jenis;
|
||
|
b.
|
identitas;
|
||
|
c.
|
negara asal;
|
||
|
d.
|
spesifikasi teknis; dan
|
||
|
e.
|
jumlah barang.
|
||
(5)
|
Izin dari Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan sepanjang memenuhi persyaratan:
|
|||
|
a.
|
tidak akan habis dipakai secara fungsi maupun bentuk;
|
||
|
b.
|
tidak mengalami perubahan bentuk secara hakiki;
|
||
|
c.
|
saat dimasukkan ke Kawasan Bebas dapat diidentifikasikan sebagai barang yang sama/identik saat dikeluarkan, atau pada saat dikeluarkan dari Kawasan Bebas dapat diidentifikasi sebagai barang yang sama/identik saat dimasukkan kembali; dan
|
||
|
d.
|
tujuan penggunaan returnable package jelas.
|
||
(6)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan surat persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
|
|||
(7)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.
|
|||
(8)
|
Terhadap pemasukan dan pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari ketentuan menyerahkan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2).
|
|||
(9)
|
Penyampaian permohonan, pemberian izin, dan pelayanan pemasukan dan pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik melalui SKP; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(10)
|
Tata cara pemasukan dan pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XV
PENYAMPAIAN PEMBERITAHUAN PABEAN DAN DOKUMEN PELENGKAP PABEAN Bagian Kesatu Penyampaian Pemberitahuan Pabean dan Dokumen Pelengkap Pabean Pasal 95 |
||||
(1)
|
Dokumen berupa:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
Dokumen Pelengkap Pabean,
|
||
|
wajib disampaikan pengusaha ke Kantor Pabean untuk setiap pemasukan atau pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean dan Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui sistem PDE kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Sistem PDE kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhubung dengan sistem Indonesia National Single Window (INSW) dan/atau ekosistem logistik Kawasan Bebas sebagai bagian dari ekosistem logistik nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
|
|||
(2)
|
terhubung dengan sistem Indonesia National Single Window (INSW) dan/atau ekosistem logistik Kawasan Bebas sebagai bagian dari ekosistem logistik nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
|
|||
(4)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
(5)
|
Dalam hal diperlukan, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta Dokumen Pelengkap Pabean lainnya, dan atas permintaan tersebut pengusaha harus menyampaikan secara online melalui SKP atau hard copy dalam jangka waktu 3 hari dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Pemberitahuan Pabean yang telah disampaikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf a dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan waktu pelayanan keadaan kahar:
|
|||
|
a.
|
secara nasional yang disebabkan SKP di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
||
|
b.
|
secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
||
(2)
|
Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf b dapat disampaikan dalam bentuk hardcopy dalam hal Kepala Kantor menetapkan lain dengan mempertimbangkan keterbatasan sistem PDE kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha wajib menyampaikan dokumen bukti pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas atau bukti pembayaran bea keluar, atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas.
|
|||
(4)
|
Penyampaian bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperlukan dalam hal pembayaran bea masuk, cukai, pajak, dan/atau bea keluar dilakukan melalui sistem pembayaran yang terintegrasi dengan sistem PDE kepabeanan di Kantor Pabean.
|
|||
(5)
|
Tata cara penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa surat keterangan asal (certificate of origin) untuk kepentingan pemberian tarif preferensi, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penyampaian Pemberitahuan Pabean dan Dokumen Pelengkap Pabean Dalam Keadaan Kahar Pasal 97 |
||||
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean dalam keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai pelayanan penyampaian pemberitahuan kepabeanan dan/atau pemberitahuan cukai dalam keadaan kahar.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Perubahan Dan Pembatalan Pemberitahuan Pabean Pasal 98 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf a dapat dilakukan perubahan atau pembatalan.
|
|||
(2)
|
Tata cara perubahan atau pembatalan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penyampaian Pemberitahuan Pabean Secara Berkala Pasal 99 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf a dapat disampaikan ke Kantor Pabean secara berkala setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean atas pemasukan atau pengeluaran barang yang dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
pengusaha yang telah ditetapkan sebagai pengusaha yang:
|
||
|
|
1.
|
mendapat pengakuan sebagai AEO; atau
|
|
|
|
2.
|
telah ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan; atau
|
|
|
b.
|
pengusaha selain huruf a yang memasukkan atau mengeluarkan barang dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
|
1.
|
telah memenuhi ketentuan pembatasan, dalam hal barang dimasukkan ke atau akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas wajib memenuhi ketentuan pembatasan;
|
|
|
|
2.
|
jumlah barang yang dimasukkan ke atau akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dapat diukur dengan alat ukur yang berada di bawah pengawasan Kantor Pabean; dan
|
|
|
|
3.
|
jenis barang yang dimasukkan ke atau akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas melalui pipa atau transmisi, atau yang pembongkaran atau pemuatannya melalui pipa atau transmisi, tidak berubah-ubah.
|
|
(2)
|
Untuk penyampaian Pemberitahuan Pabean secara berkala atas pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean ke tempat lain dalam Daerah Pabean, selain harus mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha harus menyerahkan jaminan.
|
|||
(3)
|
Kepala Kantor Pabean menetapkan bentuk jaminan yang harus diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Bentuk jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan.
|
|||
(5)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean secara berkala tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVI
PEMERIKSAAN PABEAN Pasal 100 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pengawasan terhadap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dapat dilakukan pemeriksaan pabean dengan tetap menjamin kelancaran arus barang.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan Pemeriksaan Fisik.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesatu
Penelitian Dokumen Pasal 101 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang akan:
|
|||
|
a.
|
dimasukkan ke Kawasan Bebas dari:
|
||
|
|
1.
|
luar Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
Kawasan Bebas lain;
|
|
|
|
3.
|
tempat penimbunan berikat; atau
|
|
|
|
4.
|
kawasan ekonomi khusus; atau
|
|
|
b.
|
dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1),
|
||
|
dilakukan penelitian dokumen.
|
|||
(2)
|
Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(3)
|
Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan kelengkapan dan kebenaran pengisian Pemberitahuan Pabean, kelengkapan Dokumen Pelengkap Pabean, dan pemenuhan ketentuan larangan dan pembatasan.
|
|||
(4)
|
Dikecualikan dari penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pemasukan barang ke Kawasan Bebas yang dilakukan dari:
|
|||
|
a.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
||
|
b.
|
luar Daerah Pabean berupa barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a;
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemeriksaan Fisik Pasal 102 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang akan:
|
|||
|
a.
|
dimasukkan ke Kawasan Bebas dari:
|
||
|
|
1.
|
luar Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
|
|
|
3.
|
Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus; atau
|
|
|
b.
|
dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
||
|
|
1.
|
luar Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
|
|
|
3.
|
Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus,
|
|
|
dapat dilakukan Pemeriksaan Fisik.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko atau NHI.
|
|||
(3)
|
Dalam hal informasi intelijen diperoleh setelah dilakukan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), unit pengawasan dapat menerbitkan NHI.
|
|||
(4)
|
Terhadap barang yang diterbitkan NHI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan Pemeriksaan Fisik.
|
|||
(5)
|
Pemeriksaan Fisik atas pemasukan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas berupa barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas, hanya dilakukan berdasarkan NHI.
|
|||
(6)
|
Terhadap barang yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3, Pemeriksaan Fisik di pelabuhan asal dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(7)
|
Terhadap barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, Pemeriksaan Fisik dapat dilakukan di pelabuhan tujuan berdasarkan NHI.
|
|||
(8)
|
Pemeriksaan Fisik atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) hanya dilakukan pada saat:
|
|||
|
a.
|
pengeluaran barang untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
||
|
b.
|
pemasukan kembali barang yang dikeluarkan untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||
(1)
|
Hasil Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dinyatakan dalam laporan hasil Pemeriksaan Fisik yang direkam dalam SKP.
|
|||
(2)
|
Dalam hal hasil Pemeriksaan Fisik atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a angka 1 kedapatan jumlah dan jenis barang:
|
|||
|
a.
|
sesuai, SKP menerbitkan SPPB; atau
|
||
|
b.
|
tidak sesuai:
|
||
|
|
1.
|
SKP menerbitkan Nota Pembetulan atas Pemberitahuan Pabean pemasukan barang dari Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
SKP menerbitkan SPPB; dan
|
|
|
|
3.
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penelitian dokumen melakukan pembetulan data Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean dalam sistem SKP berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan Fisik.
|
|
(3)
|
Dalam hal hasil Pemeriksaan Fisik atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas tujuan dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a angka 3 kedapatan jumlah dan jenis barang:
|
|||
|
a.
|
sesuai, SKP menerbitkan SPPD; atau
|
||
|
b.
|
tidak sesuai, Pejabat Bea dan Cukai memasang tanda pengaman kembali dan:
|
||
|
|
1.
|
Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Bebas tujuan menyampaikan kepada Kantor Pabean asal barang untuk melakukan pembetulan data Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang;
|
|
|
|
2.
|
dalam hal kedapatan selisih kurang, Kantor Pabean asal barang mengenakan Bea Masuk, cukai, PPN, pajak penghasilan pasal 22, dan/atau sanksi administrasi berupa denda kepada pengusaha di Kawasan Bebas, tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus asal, kecuali dapat membuktikan bahwa terjadi di luar kemampuannya; atau
|
|
|
|
3.
|
pengusaha di Kawasan Bebas tujuan menyampaikan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas, dalam hal dapat dibuktikan terjadi salah kirim dan/atau tidak sesuai pesanan.
|
|
(4)
|
Dalam hal hasil Pemeriksaan Fisik atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf b angka 1 kedapatan jumlah dan jenis barang:
|
|||
|
a.
|
sesuai, SKP menerbitkan NPPB; atau
|
||
|
b.
|
tidak sesuai:
|
||
|
|
1.
|
SKP menerbitkan Nota Pembetulan atas Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, dan menerbitkan NPPB; dan
|
|
|
|
2.
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penelitian dokumen melakukan pembetulan data Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean dalam sistem SKP berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan Fisik.
|
|
(5)
|
Dalam hal hasil Pemeriksaan Fisik atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf b angka 2 kedapatan jumlah dan jenis barang:
|
|||
|
a.
|
sesuai, SKP menerbitkan SPPB; atau
|
||
|
b.
|
tidak sesuai:
|
||
|
|
1.
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penelitian dokumen menerbitkan Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP); dan/atau
|
|
|
|
2.
|
unit yang memiliki fungsi pengawasan melakukan pencegahan dan penyegelan barang sampai dilakukan pelunasan oleh pengusaha.
|
|
(6)
|
Dalam hal hasil Pemeriksaan Fisik atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf b angka 3 kedapatan jumlah dan jenis barang:
|
|||
|
a.
|
sesuai, SKP menerbitkan SPPB; atau
|
||
|
b.
|
tidak sesuai:
|
||
|
|
1.
|
SKP menerbitkan Nota Pembetulan atas Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, dan menerbitkan SPPB;
|
|
|
|
2.
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penelitian dokumen melakukan pembetulan data Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dalam sistem SKP laporan hasil Pemeriksaan Fisik; dan
|
|
|
|
3.
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penelitian dokumen menyampaikan informasi pembetulan data Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus kepada Kantor Pabean tujuan untuk menjadi atensi pengawasan.
|
|
(7)
|
Dalam hal pengusaha di Kawasan Bebas, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus asal telah melunasi pungutan bea masuk, cukai, PPN, pajak penghasilan Pasal 22 dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 2, pengusaha di Kawasan Bebas, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus asal menyampaikan bukti pelunasan kepada pengusaha di Kawasan Bebas tujuan untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di Kawasan Bebas tujuan.
|
|||
(8)
|
Tata cara Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemeriksaan fisik barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan Fisik dapat dilakukan di Kawasan Pabean atau di Tempat Lain di luar Kawasan Pabean dengan izin Kepala Kantor Pabean atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Pemeriksaan Fisik atas barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dilakukan karena ditetapkan secara acak atau diterbitkan NHI, Pemeriksaan Fisik dilakukan di Kawasan Pabean atau Tempat Lain di luar Kawasan Pabean dengan izin Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(3)
|
Persetujuan Pemeriksaan Fisik barang di Tempat Lain di luar Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan izin untuk menimbun barang di gudang atau lapangan penimbunan milik pengusaha yang bersangkutan.
|
|||
(4)
|
Tata cara penimbunan barang untuk Pemeriksaan Fisik barang di Tempat Lain di luar Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penelitian Tarif dan Nilai Pabean Pasal 105 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian dan penetapan terhadap tarif dan nilai pabean yang diberitahukan atas:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2),
|
||
|
yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran.
|
|||
(2)
|
Penelitian tarif dan nilai pabean atas Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean.
|
|||
(3)
|
Penelitian tarif dan penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap pemasukan barang ke dan/atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas yang dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
pengusaha yang telah mendapat pengakuan sebagai AEO;
|
||
|
b.
|
pengusaha yang telah ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan;
|
||
|
c.
|
pengusaha produsen dengan kategori risiko rendah;
|
||
|
d.
|
pengusaha yang mendapatkan fasilitas dari Badan Koordinasi Penanaman Modal;
|
||
|
e.
|
pengusaha yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Ekspor Tujuan Ekspor (KITE) Pembebasan;
|
||
|
f.
|
pengusaha yang mendapatkan fasilitas pembebasan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan
|
||
|
g.
|
instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang mengimpor secara langsung.
|
||
(4)
|
Penelitian dan penetapan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan terhadap Pemberitahuan Pabean atau Pemberitahuan Pabean yang diajukan pengusaha, instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila terdapat informasi dan petunjuk yang dapat dipertanggungjawabkan dari unit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan instansi di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian tarif dan nilai pabean dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Manajemen Risiko dalam Pemeriksaan Pabean Pasal 106 |
||||
Ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) dan Pasal 102 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XVII
PENGHITUNGAN BEA MASUK, CUKAI, DAN PAJAK Bagian Kesatu Nilai Pabean Pasal 107 |
||||
(1)
|
Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yakni nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, yakni nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pada saat barang asal luar Daerah Pabean dimasukkan ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus.
|
|||
(3)
|
Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak penghasilan Pasal 22 dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa:
|
|||
|
a.
|
barang dan/atau bahan baku dari luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas, menggunakan nilai pabean pada saat barang asal luar Daerah Pabean dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); atau
|
||
|
b.
|
Barang Hasil Produksi di Kawasan Bebas, menggunakan:
|
||
|
|
1.
|
nilai pabean pemasukan barang asal luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam hal menggunakan konversi penggunaan barang dan/atau bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) huruf b;
|
|
|
|
2.
|
harga jual pada saat pengeluaran Barang Hasil Produksi di Kawasan Bebas, dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan/atau
|
|
|
c.
|
barang selain huruf a dan huruf b berupa:
|
||
|
|
1.
|
sisa dari proses produksi di Kawasan Bebas yang berupa waste atau scrap; atau
|
|
|
|
2.
|
barang modal yang dimusnahkan dengan cara perusakan dengan menghilangkan fungsi utamanya dan masih memiliki nilai ekonomis,
|
|
|
|
menggunakan harga jual pada saat pengeluaran dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(4)
|
Dalam hal nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi, nilai pabean ditentukan secara hierarki berdasarkan nilai transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, metode deduksi, metode komputasi, atau tata cara yang wajar dan konsisten.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
(6)
|
Contoh penghitungan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||
(1)
|
Nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan ayat (2) merupakan harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas ditambah dengan biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sepanjang biaya-biaya dan/atau nilai-nilai tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar.
|
|||
(2)
|
Dalam hal harga yang seharusnya dibayar dan/atau biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengeluaran dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean belum dapat ditentukan nilainya pada saat pengajuan Pemberitahuan Pabean, pengusaha dapat melakukan deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan/atau pembayaran inisiatif (voluntary payment).
|
|||
(3)
|
Tata cara lebih lanjut mengenai nilai transaksi, atau biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan/atau pembayaran inisiatif (voluntary payment) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan/atau pembayaran inisiatif (voluntary payment).
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Klasifikasi dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Barang dalam Rangka Pemasukan dan Pengeluaran ke dan dari Kawasan Bebas Pasal 109 |
||||
(1)
|
Klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk untuk penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka pemasukan dan pengeluaran ke dan dari Kawasan Bebas berpedoman pada Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
|
|||
(2)
|
Dalam hal terjadi perubahan ketentuan yang mengatur mengenai sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk yang berbeda dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), berlaku ketentuan mengenai perubahan sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk dimaksud.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean mendapat nomor dan tanggal pendaftaran di Kantor Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||
(1)
|
Tarif preferensi dapat diberikan kepada pengusaha atas pengeluaran Barang Hasil Produksi di Kawasan Bebas yang menggunakan bahan baku dan/atau bahan penolong asal luar Daerah Pabean, dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Tata cara pengenaan tarif preferensi di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Dasar Penghitungan Pungutan Negara Pasal 111 |
||||
(1)
|
Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang dan/atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas, dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
klasifikasi dan nilai pabean yang berlaku pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1); dan
|
|
|
|
2.
|
pembebanan yang berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dan/atau bahan baku dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean didaftarkan;
|
|
|
b.
|
cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai;
|
||
|
c.
|
PPN dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
d.
|
pajak penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari nilai pabean sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1 ditambah dengan bea masuk pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan ke Kawasan Bebas.
|
||
(2)
|
Dasar penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
klasifikasi dan nilai pabean yang berlaku pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1); dan
|
|
|
|
2.
|
pembebanan yang berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dan/atau bahan baku dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean didaftarkan;
|
|
|
b.
|
cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai;
|
||
|
c.
|
PPN dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
d.
|
pajak penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari nilai pabean sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1 ditambah dengan bea masuk pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan ke Kawasan Bebas.
|
||
(3)
|
Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d termasuk bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal pada saat pemasukan barang dan/atau bahan baku asal luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan, saat pengeluaran barang dan/atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.
|
|||
(5)
|
Pemungutan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan berdasarkan tarif yang berlaku pada saat pengeluaran barang dan/atau bahan baku dari Kawasan Bebas.
|
|||
(6)
|
Dikecualikan dari pemungutan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jika bahan baku asal luar Daerah Pabean:
|
|||
|
a.
|
telah dilakukan Pengolahan sehingga menjadi barang yang baru berupa Barang Hasil Produksi di Kawasan Bebas, dan/atau menjadi bagian dari Barang Hasil Produksi Kawasan Bebas; atau
|
||
|
b.
|
dipergunakan untuk keperluan memperbaiki barang lain dan menjadi bagian dari barang yang dilakukan perbaikan tersebut.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||
(1)
|
Penghitungan pungutan negara atas Barang Hasil Produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
harga jual pada saat barang hasil produksi Kawasan Bebas dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
klasifikasi barang hasil produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
|
|
|
3.
|
pembebanan yang berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang hasil produksi Kawasan Bebas, dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean didaftarkan;
|
|
|
b.
|
cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai;
|
||
|
c.
|
PPN dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
d.
|
pajak penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari harga jual ditambah dengan bea masuk pada saat barang hasil produksi Kawasan Bebas dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Atas Barang Hasil Produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dapat dikecualikan dari ketentuan pungutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Barang Hasil Produksi Kawasan Bebas dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean oleh pengusaha yang memiliki konversi penggunaan barang atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang jelas, terukur, dan konsisten; dan
|
||
|
b.
|
pada saat pemasukan ke Kawasan Bebas sudah terjadi transaksi jual beli.
|
||
(3)
|
Penghitungan pungutan negara atas Barang Hasil Produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
klasifikasi dan nilai pabean yang berlaku pada saat barang dan/atau bahan baku sebagaimana dimaksud pada Pasal 105 ayat (1) huruf a dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas; dan
|
|
|
|
2.
|
pembebanan yang berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran Barang Hasil Produksi Kawasan Bebas, dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean didaftarkan;
|
|
|
b.
|
cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai;
|
||
|
c.
|
PPN dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
d.
|
pajak penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari nilai pabean ditambah dengan bea masuk sebagaimana dimaksud huruf a pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.
|
||
(4)
|
Dalam hal pembebanan tarif bea masuk untuk bahan baku lebih tinggi dari pembebanan tarif bea masuk untuk Barang Hasil Produksi Kawasan Bebas, dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu pembebanan tarif bea masuk Barang Hasil Produksi Kawasan Bebas yang berlaku pada saat dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(5)
|
Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran bahan baku asal luar Daerah Pabean yang dipergunakan untuk keperluan memperbaiki barang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (6) huruf b dilaksanakan sesuai dengan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(6)
|
Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran Barang Hasil Produksi di Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dilaksanakan sesuai dengan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||
(1)
|
Terhadap:
|
|||
|
a.
|
harga jual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) huruf a angka 1;
|
||
|
b.
|
konversi penggunaan barang atau bahan baku asal luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) huruf a; dan/atau
|
||
|
c.
|
transaksi jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) huruf b,
|
||
|
dapat dilakukan pengujian oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, secara periodik dan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Untuk kepentingan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara, pengujian terhadap konversi penggunaan barang atau bahan baku dan transaksi jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
(3)
|
Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) ditemukan pelanggaran yang bersifat administratif, pelanggaran dimaksud ditindaklanjuti dengan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) terdapat kesengajaan serta terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, dilakukan penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk (NDPBM) Pasal 114 |
||||
(1)
|
Untuk penghitungan bea masuk, cukai untuk pemasukan barang kena cukai dari luar Daerah Pabean yang pelunasan cukainya dengan pembayaran, dan pajak penghasilan Pasal 22, dipergunakan nilai dasar penghitungan bea masuk (NDPBM) yang berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean didaftarkan ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean yang didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pemberitahuan Pabean yang telah diisi secara lengkap dan benar, dan telah diterima oleh Pejabat Bea dan Cukai atau SKP di Kantor Pabean.
|
|||
(3)
|
Tata cara penghitungan nilai dasar penghitungan bea masuk (NDPBM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea masuk.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pembayaran Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda Pasal 115 |
||||
(1)
|
Pengusaha melakukan pembayaran bea masuk, bea keluar, PPN, pajak penghasilan Pasal 22, cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean yang dibuat oleh Pengusaha dan telah diajukan ke Kantor Pabean;
|
||
|
b.
|
dokumen cukai; dan/atau
|
||
|
c.
|
surat penetapan.
|
||
(2)
|
Untuk melakukan pembayaran bea masuk, bea keluar, PPN, pajak penghasilan Pasal 22, cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda, SKP atau Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan kode billing.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 116 |
||||
(1)
|
Pembayaran bea masuk, dan pajak penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1), dapat dilakukan dengan cara pembayaran tunai atau berkala.
|
|||
(2)
|
Pembayaran bea keluar, cukai, dan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) dilakukan dengan cara pembayaran tunai.
|
|||
(3)
|
Pembayaran bea masuk dan pajak penghasilan Pasal 22 secara berkala hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan pengusaha untuk:
|
|||
|
a.
|
pengeluaran barang yang dilakukan oleh pengusaha yang:
|
||
|
|
1.
|
termasuk kategori berisiko rendah;
|
|
|
|
2.
|
kegiatan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean rutin dan frekuensinya tinggi; dan
|
|
|
|
3.
|
menyerahkan jaminan; atau
|
|
|
b.
|
pengeluaran barang yang dilakukan oleh pengusaha yang mendapat pengakuan sebagai AEO atau ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan setelah diserahkan jaminan.
|
||
(4)
|
Pembayaran tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat pada saat Pemberitahuan Pabean didaftarkan.
|
|||
(5)
|
Tata cara pembayaran bea masuk, bea keluar, cukai, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Keberatan Pasal 117 |
||||
(1)
|
Pengusaha/Orang dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai mengenai:
|
|||
|
a.
|
tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, PPN, dan pajak penghasilan Pasal 22;
|
||
|
b.
|
selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk;
|
||
|
c.
|
pengenaan sanksi administrasi berupa denda; atau
|
||
|
d.
|
penetapan bea keluar.
|
||
(2)
|
Tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberatan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVIII
HAK AKSES ATAS TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK PENGELOLAAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG (IT INVENTORY) Pasal 118 |
||||
(1)
|
Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) harus dimiliki dan didayagunakan oleh:
|
|||
|
a.
|
pengusaha TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2);
|
||
|
b.
|
pengusaha penimbunan (logistik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c dan Pasal 56 ayat (2) huruf b;
|
||
|
c.
|
pengusaha yang mengeluarkan barang berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf l; dan
|
||
|
d.
|
pengusaha di Kawasan Bebas yang mendapatkan fasilitas tarif preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1).
|
||
(2)
|
Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c harus:
|
|||
|
a.
|
dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak;
|
||
|
b.
|
diberitahukan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Pabean berupa pernyataan memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang; dan
|
||
|
c.
|
memperbarui data terhadap IT Inventory paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) hari.
|
||
(3)
|
Pemberitahuan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan pemberian hak akses kepada Pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
(4)
|
Terhadap teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) yang didayagunakan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, Pejabat Bea dan Cukai dengan mendapatkan hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat melakukan pemeriksaan atas:
|
|||
|
a.
|
pencatatan pemasukan dan pengeluaran barang, penyesuaian (adjustment), yang disesuaikan dengan jenis kegiatan usaha, yang meliputi elemen data sebagai berikut:
|
||
|
|
1.
|
data pemasukan barang:
|
|
|
|
|
a)
|
nomor dokumen bukti penerimaan barang;
|
|
|
|
b)
|
tanggal penerimaan barang;
|
|
|
|
c)
|
pengirim barang (berasal dari eksternal);
|
|
|
|
d)
|
kode barang;
|
|
|
|
e)
|
uraian barang;
|
|
|
|
f)
|
jumlah;
|
|
|
|
g)
|
satuan;
|
|
|
|
h)
|
nilai; dan
|
|
|
|
i)
|
jenis, nomor, dan tanggal dokumen pemasukan ke Kawasan Bebas;
|
|
|
2.
|
data pengeluaran barang:
|
|
|
|
|
a)
|
nomor dokumen bukti pengeluaran barang;
|
|
|
|
b)
|
tanggal pengeluaran barang;
|
|
|
|
c)
|
pengirim barang (berasal dari eksternal);
|
|
|
|
d)
|
kode barang;
|
|
|
|
e)
|
uraian barang;
|
|
|
|
f)
|
jumlah;
|
|
|
|
g)
|
satuan;
|
|
|
|
h)
|
nilai; dan
|
|
|
|
i)
|
jenis, nomor, dan tanggal dokumen pengeluaran dari Kawasan Bebas; dan
|
|
|
3.
|
data penyesuaian (adjustment):
|
|
|
|
|
a)
|
tanggal penyesuaian (adjustment);
|
|
|
|
b)
|
kode barang;
|
|
|
|
c)
|
uraian barang;
|
|
|
|
d)
|
jumlah;
|
|
|
|
e)
|
satuan; dan
|
|
|
|
f)
|
nilai.
|
|
b.
|
pencatatan dan/atau pembukuan yang terkait dokumen kepabeanan dan/atau cukai;
|
||
|
c.
|
data yang menggambarkan pemasukan dan pengeluaran barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan, cukai, dan/atau perpajakan; dan
|
||
|
d.
|
data, riwayat aktivitas, dan pemasukan dan pengeluaran barang minimal dalam waktu 2 (dua) tahun periode sebelumnya.
|
||
(5)
|
Terhadap teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) yang didayagunakan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pejabat Bea dan Cukai dengan mendapatkan hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat melakukan pemeriksaan atas:
|
|||
|
a.
|
perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan;
|
||
|
b.
|
pencatatan pemasukan bahan baku dan/atau bahan penolong, dan sekaligus melakukan pengeluaran Barang Hasil Produksi ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
||
|
c.
|
konversi bahan baku menjadi barang jadi dan blueprint proses produksi yang telah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean yang mengawasi, pada saat barang akan dikeluarkan ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(6)
|
Terhadap pengusaha yang tidak memperbarui data teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) melebihi jangka waktu 3 (tiga) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Pejabat Bea dan Cukai dapat menyampaikan rekomendasi monitoring dan evaluasi, dan/atau melakukan evaluasi ulang penilaian profil operator ekonomi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 119 |
||||
(1)
|
Terhadap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang belum memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1), atas kegiatan pemasukan dan pengeluaran barangnya ke dan dari Kawasan Bebas tidak dilayani.
|
|||
(2)
|
Terhadap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang telah memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) namun saat pengeluaran barang dari Kawasan Bebas tidak melampirkan dan/atau tidak dapat membuktikan dokumen Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas, atas kegiatan pengeluaran barangnya dari Kawasan Bebas tersebut tidak dilayani.
|
|||
(3)
|
Terhadap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang telah memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) namun terbukti melakukan kegiatan pengeluaran barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk, atas pengusaha dimaksud dikenakan sanksi pembekuan perizinan berusaha oleh Badan Pengusahaan Kawasan dan/atau pemblokiran Akses Kepabeanan atas kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(4)
|
Dalam hal hasil penelitian dokumen kedapatan tidak memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory), tidak dilayani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
|||
|
a.
|
Pejabat Bea dan Cukai menyampaikan pemberitahuan kepada pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c mengenai tidak dilayani Pemberitahuan Pabean berikutnya sampai dengan dapat membuktikan kepemilikan dan pendayagunaan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory); dan
|
||
|
b.
|
Pejabat Bea dan Cukai menyampaikan kepada unit yang melakukan pengelolaan dan penyimpanan data dan dokumen, melakukan pelayanan dukungan teknis komunikasi data, dan PDE untuk melakukan penolakan layanan Pemberitahuan Pabean selanjutnya yang diberitahukan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(5)
|
Dalam hal hasil penelitian dokumen kedapatan tidak melampirkan atau tidak dapat membuktikan dokumen Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas, tidak dilayani sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan Pejabat Bea dan Cukai menyampaikan pemberitahuan kepada pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c mengenai tidak dilayani Pemberitahuan Pabean berikutnya sampai dengan pengusaha dimaksud dapat melampirkan dan/atau membuktikan dokumen Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas.
|
|||
(6)
|
Jangka waktu untuk pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c untuk melampirkan dan/atau membuktikan dokumen Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diberikan paling lama 3 (tiga) hari.
|
|||
(7)
|
Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6) pengusaha tidak dapat melampirkan dan/atau membuktikan dokumen Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas:
|
|||
|
a.
|
atas Pemberitahuan Pabean yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran serta sedang dilakukan penelitian dokumen tetap dapat dilayani dengan dilakukan Pemeriksaan Fisik; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat Bea dan Cukai menyampaikan:
|
||
|
|
1.
|
rekomendasi monitoring dan evaluasi, dan/atau melakukan evaluasi ulang penilaian profil operator ekonomi; dan
|
|
|
|
2.
|
kepada unit yang melakukan pengelolaan dan penyimpanan data dan dokumen, melakukan pelayanan dukungan teknis komunikasi data, dan PDE untuk melakukan penolakan layanan Pemberitahuan Pabean selanjutnya yang diberitahukan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIX
MONITORING DAN EVALUASI Pasal 120 |
||||
(1)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pengusaha yang melakukan kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(2)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemanfaatan atas pemberian fasilitas kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai.
|
||
(3)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
pengawasan rutin; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemeriksaan sewaktu-waktu,
|
||
|
yang dilaksanakan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap ketentuan di bidang perpajakan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, dan dapat didampingi oleh Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
||||
(1)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) huruf a dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
||
|
b.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; atau
|
||
|
c.
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Bebas.
|
||
(2)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
|
|||
|
a.
|
menguji pemenuhan ketentuan dan/atau prosedur kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang secara fisik dan administratif;
|
||
|
b.
|
menguji kebenaran harga jual, konversi pemakaian bahan baku dan/atau bahan penolong, atau penetapan bea masuk, bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindak pengamanan, bea masuk pembalasan, PPN, dan/atau pajak penghasilan Pasal 22;
|
||
|
c.
|
menguji kesesuaian pencatatan barang antara IT Inventory dengan persediaan fisik barang; dan/atau
|
||
|
d.
|
menganalisis data yang diperoleh berdasarkan informasi awal yang berasal dari kegiatan monitoring sebagai indikasi terjadinya penyalahgunaan fasilitas yang perlu ditindaklanjuti untuk diolah lebih lanjut sebagai bahan pengambilan keputusan.
|
||
(3)
|
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan bersama dengan unit yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang audit dan/atau unit yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan, dengan diterbitkan surat tugas monitoring dan evaluasi.
|
|||
(4)
|
Dalam hal monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) ditemukan adanya indikasi pelanggaran berdasarkan hasil pengujian atau analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat merekomendasikan untuk dilakukan audit dan/atau penelitian lebih lanjut oleh unit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang audit kepabeanan dan cukai, dan/atau pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
||||
(1)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemanfaatan atas pemberian fasilitas kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) huruf b dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
direktur pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan;
|
||
|
b.
|
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
||
|
c.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; atau
|
||
|
d.
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Bebas.
|
||
(2)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemanfaatan atas pemberian fasilitas kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengukur:
|
|||
|
a.
|
efektivitas kebijakan pemberian fasilitas kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai; dan/atau
|
||
|
b.
|
dampak ekonomi pemberian fasilitas kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai.
|
||
(3)
|
Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dipergunakan untuk:
|
|||
|
a.
|
asistensi atau pembinaan;
|
||
|
b.
|
pemberian penilaian untuk pemutakhiran profil operator ekonomi;
|
||
|
c.
|
publikasi hasil dampak ekonomi;
|
||
|
d.
|
rekomendasi penyempurnaan peraturan perundang-undangan; dan/atau
|
||
|
e.
|
rekomendasi pembekuan perizinan berusaha kepada Badan Pengusahaan Kawasan.
|
||
|
|
|
|
|
BAB XX
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 123 |
||||
(1)
|
Sarana Pengangkut untuk kepentingan perbaikan di Kawasan Bebas atau pengeluaran Sarana Pengangkut setelah dilakukan perbaikan di Kawasan Bebas diperlakukan sebagai barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).
|
|||
(2)
|
Terhadap pemasukan atau pengeluaran Sarana Pengangkut untuk kepentingan perbaikan di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha menyampaikan Pemberitahuan Pabean pemasukan atau pengeluaran barang ke atau dari Kawasan Bebas kepada Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(3)
|
Terhadap pemasukan Sarana Pengangkut untuk kepentingan perbaikan di Kawasan Bebas, atau pengeluaran Sarana Pengangkut setelah dilakukan perbaikan di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pengawasan oleh unit pengawasan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai tata cara pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 124 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan Pabean yang digunakan dalam tata cara pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas yang mengacu pada ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini adalah Pemberitahuan Pabean yang digunakan di Kawasan Bebas.
|
|||
(2)
|
Dalam hal SKP belum tersedia atau dalam proses pengembangan:
|
|||
|
a.
|
Kantor Pabean dapat menyelenggarakan layanan elektronik (SKP) secara mandiri dengan sebelumnya menyampaikan pemberitahuan kepada unit yang membawahi teknologi informasi; atau
|
||
|
b.
|
permohonan diajukan melalui tulisan di atas formulir.
|
||
(3)
|
Dalam hal pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus menggunakan dokumen Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b memerlukan penyesuaian SKP, pelayanan pemasukan barang menggunakan dokumen Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus.
|
|||
(4)
|
Untuk kelancaran pelayanan dan pengelolaan manajemen risiko, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dapat menyusun petunjuk teknis yang berkaitan dengan upaya kelancaran pelayanan dan pengawasan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XXI
PENUTUP Pasal 125 |
||||
(1)
|
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
|
|||
|
a.
|
Pasal 26 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-01/BC/2016 Tentang Tata Laksana Pusat Logistik Berikat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-II/BC/2018 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
|
||
|
b.
|
Pasal 67 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-07/BC/2021 Tentang Tata Laksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Tempat Penimbunan Berikat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||
(2)
|
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2021 DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- ASKOLANI |