Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER-02/BC/2019
TENTANG
TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PENERIMA FASILITAS TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DAN PENERIMA FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
bahwa dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas Tempat Penimbunan Berikat dan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, serta dalam rangka memastikan fasilitas diberikan secara tepat sasaran, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tata Laksana Monitoring dan Evaluasi Terhadap Penerima Fasilitas Tempat Penimbunan Berikat dan Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.
|
||||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang, Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
2.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4998) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara tahun 2015 nomor 279, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5768);
|
|||
3.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143/PMK.04/2011 tentang Gudang Berikat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 549);
|
|||
4.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 272/PMK.04/2015 tentang Pusat Logistik Berikat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2070) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.04/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 272/PMK.04/2015 tentang Pusat Logistik Berikat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 414);
|
|||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.04/2016 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan/atau Bahan, dan/atau Mesin yang dilakukan oleh Industri Kecil dan Menengah dengan Tujuan Ekspor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1769);
|
|||
6.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 204/PMK.04/2017 tentang Toko Bebas Bea (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1901;
|
|||
7.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1367);
|
|||
8.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1669);
|
|||
9.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.04/2018 tentang Pengembalian Bea Masuk yang Telah Dibayar atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1670);
|
|||
10.
|
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 123/KMK.04/2000 tentang Enterpot Tujuan Pameran;
|
|||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PENERIMA FASILITAS TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DAN FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
|
||||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB, adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.
|
|||
2.
|
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, yang selanjutnya disingkat KITE, adalah fasilitas:
|
|||
|
a.
|
pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor;
|
||
|
b.
|
pengembalian bea masuk yang telah dibayar atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor; dan
|
||
|
c.
|
pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah atas impor barang dan/atau bahan, dan/atau mesin yang dilakukan oleh industri kecil dan menengah dengan tujuan ekspor.
|
||
3.
|
KITE Pembebasan adalah fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
|
|||
4.
|
KITE Pengembalian adalah fasilitas pengembalian bea masuk yang telah dibayar atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
|
|||
5.
|
KITE IKM adalah fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah atas impor barang dan/atau bahan, dan/atau mesin yang dilakukan oleh industri kecil dan menengah dengan tujuan ekspor.
|
|||
6.
|
Data adalah semua dokumen kepabeanan berikut dokumen pelengkap dan/atau dokumen pendukungnya dalam bentuk format cetak dan/atau elektronik yang terkait dengan pemberian fasilitas kepabeanan.
|
|||
7.
|
Monitoring TPB adalah kegiatan pemantauan dan/atau pemeriksaan terhadap aktivitas perusahaan penerima fasilitas TPB yang dilakukan secara rutin atau insidental untuk memastikan bahwa perusahaan penerima fasilitas TPB telah mematuhi ketentuan yang berlaku.
|
|||
8.
|
Monitoring KITE adalah kegiatan pemantauan dan/atau pemeriksaan terhadap aktivitas perusahaan penerima fasilitas KITE yang dilakukan secara rutin atau insidental untuk memastikan bahwa perusahaan penerima fasilitas KITE telah mematuhi ketentuan yang berlaku.
|
|||
9.
|
Evaluasi TPB adalah kegiatan penilaian mengenai kelayakan, efisiensi, efektivitas, dan dampak dari pemberian fasilitas TPB kepada perusahaan penerima fasilitas TPB serta penilaian kebijakan yang dibuat dapat diterapkan dan telah sesuai dengan tujuan.
|
|||
10.
|
Evaluasi KITE adalah kegiatan penilaian mengenai kelayakan, efisiensi, efektivitas, dan dampak dari pemberian fasilitas KITE kepada perusahaan penerima fasilitas KITE serta penilaian kebijakan yang dibuat dapat diterapkan dan telah sesuai dengan tujuan.
|
|||
11.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
|||
12.
|
Kantor Wilayah, yang selanjutnya disebut Kanwil, adalah Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
13.
|
Kantor Pelayanan Utama, yang selanjutnya disebut KPUBC, adalah Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
14.
|
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, yang selanjutnya disebut KPPBC, adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
15.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
|
|||
16.
|
Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
|
|||
17.
|
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPN atau PPN dan PPnBM adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
|||
18.
|
Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disebut PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor.
|
|||
19.
|
Sistem Komputer Pelayanan, yang selanjutnya disingkat SKP, adalah sistem komputer yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan dan cukai.
|
|||
20.
|
Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer, yang selanjutnya disebut IT Inventory, adalah suatu sistem informasi yang dirancang, dibangun, dan digunakan oleh perusahaan untuk:
|
|||
|
a.
|
mengadministrasikan persediaan barang dengan cara mengintegrasikan sistem transaksi pemasukan, sistem transaksi pemakaian barang dan sistem transaksi pengeluaran barang;
|
||
|
b.
|
menghasilkan informasi terkait persediaan melalui teknologi komputer; dan
|
||
|
c.
|
menghasilkan laporan sesuai dengan kriteria dan persyaratan dalam fasilitas kepabeanan yang digunakan.
|
||
|
|
|
|
|
BAB II
MONITORING TPB
|
||||
Monitoring TPB meliputi:
|
||||
a.
|
Monitoring umum TPB;
|
|||
b.
|
Monitoring khusus TPB; dan
|
|||
c.
|
Monitoring mandiri TPB.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Pertama
Monitoring Umum TPB
|
||||
(1)
|
Monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a merupakan kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh unit-unit terkait di KPUBC atau KPPBC bersamaan dengan kegiatan pelayanan dan pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas TPB.
|
|||
(2)
|
Monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilaksanakan:
|
|||
|
a.
|
paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan; atau
|
||
|
b.
|
paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan, terhadap TPB yang melakukan pelayanan mandiri.
|
||
(3)
|
Monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilakukan terhadap kesesuaian atas pemenuhan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
persyaratan perizinan;
|
||
|
b.
|
prosedur pemasukan dan pengeluaran barang secara fisik dan administratif;
|
||
|
c.
|
prosedur pembongkaran, penimbunan, pengolahan, pencatatan, dan kegiatan perusahaan yang terkait dengan kepabeanan dan cukai;
|
||
|
d.
|
Existence, Responsibility, Nature of Business, dan Auditability (ERNA);
|
||
|
e.
|
IT Inventory dan Closed Circuit Television (CCTV); dan/atau
|
||
|
f.
|
prosedur lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat dilaksanakan berdasarkan data dan/atau informasi yang diperoleh dari:
|
|||
|
a.
|
SKP;
|
||
|
b.
|
akses IT Inventory dan Closed Circuit Television (CCTV); dan/atau
|
||
|
c.
|
sumber lain, seperti bukti penguasaan lokasi dan izin usaha industri.
|
||
(2)
|
Monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai pada:
|
|||
|
a.
|
unit pelayanan kepabeanan dan cukai yang bertugas melakukan pelayanan dan pengawasan di TPB atau pejabat yang ditunjuk; dan
|
||
|
b.
|
unit pengawasan yang bertugas mengawasi IT Inventory dan/atau Closed Circuit Television (CCTV) melalui ruang kendali (monitoring room),
|
||
|
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sesuai peraturan tentang uraian jabatan.
|
|||
(3)
|
Monitoring umum TPB yang dilaksanakan oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam:
|
|||
|
a.
|
Lampiran I huruf A; atau
|
||
|
b.
|
Lampiran I huruf B, dalam hal dilakukan terhadap TPB yang melakukan pelayanan mandiri,
|
||
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(4)
|
Monitoring umum TPB yang dilaksanakan oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan huruf b harus membuat laporan monitoring umum TPB sebagai bahan evaluasi mikro TPB.
|
|||
(2)
|
Laporan monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC melalui Kepala Seksi terkait:
|
|||
|
a.
|
setiap 1 (satu) bulan sekali pada akhir bulan berjalan, dalam hal monitoring umum dilaksanakan oleh Pejabat Bea dan Cukai unit pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a;
|
||
|
b.
|
setiap 3 (tiga) bulan sekali pada akhir bulan berjalan, dalam hal monitoring umum dilaksanakan oleh Pejabat Bea dan Cukai unit pelayanan terhadap TPB yang melakukan pelayanan mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a; atau
|
||
|
c.
|
setiap ada informasi yang perlu ditindaklanjuti, dalam hal monitoring umum TPB dilaksanakan oleh Pejabat Bea dan Cukai unit pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b.
|
||
(3)
|
Tindak lanjut atas laporan monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
konfirmasi ke penerima fasilitas TPB untuk dilakukan penyesuaian atau perbaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
rekomendasi penerbitan nota pembetulan;
|
||
|
c.
|
rekomendasi pelaksanaan monitoring khusus;
|
||
|
d.
|
rekomendasi tidak dilayaninya akses SKP;
|
||
|
e.
|
rekomendasi pemutakhiran kategori layanan TPB;
|
||
|
f.
|
rekomendasi pelaksanaan evaluasi mikro;
|
||
|
g.
|
rekomendasi pembekuan terhadap izin TPB;
|
||
|
h.
|
rekomendasi pencabutan terhadap izin TPB; dan/atau
|
||
|
i.
|
rekomendasi lainnya.
|
||
(4)
|
Laporan monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(5)
|
Laporan monitoring umum TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai peraturan tentang tata laksana pengawasan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Monitoring Khusus TPB Pasal 6 |
||||
(1)
|
Monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b merupakan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh tim monitoring khusus berdasarkan Surat Tugas dari:
|
|||
|
a.
|
Direktur Jenderal atau Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan atau di bidang pengawasan;
|
||
|
b.
|
Kepala Kanwil;
|
||
|
c.
|
Kepala KPUBC; atau
|
||
|
d.
|
Kepala KPPBC.
|
||
(2)
|
Monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan berdasarkan manajemen risiko dalam hal terdapat informasi yang perlu segera ditindaklanjuti.
|
|||
(3)
|
Monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilaksanakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
|
|||
(4)
|
Kepala KPUBC dan Kepala KPPBC dapat menentukan frekuensi pelaksanaan monitoring khusus TPB selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan jumlah TPB yang berada dalam pengawasannya.
|
|||
(5)
|
Pemilihan TPB yang dilakukan monitoring khusus TPB ditetapkan berdasarkan manajemen risiko dan koordinasi antar unit di lingkungan DJBC dalam rangka efisiensi pengawasan.
|
|||
(6)
|
Surat Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
pemeriksaan sewaktu-waktu;
|
||
|
b.
|
pemeriksaan sederhana; atau
|
||
|
c.
|
analisis mendalam.
|
||
(2)
|
Monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan ruang kendali (monitoring room).
|
|||
(3)
|
Monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan:
|
|||
|
a.
|
paling lama 5 (lima) hari kerja untuk pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; atau
|
||
|
b.
|
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja untuk analisis mendalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
|
||
(4)
|
Monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan oleh tim yang dapat terdiri atas Pejabat Bea dan Cukai pada:
|
|||
|
a.
|
unit pelayanan kepabeanan dan cukai;
|
||
|
b.
|
unit pengawasan; dan/atau
|
||
|
c.
|
unit lainnya berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal atau Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan atau di bidang pengawasan, Kepala Kanwil, Kepala KPUBC, atau Kepala KPPBC.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Tim monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) harus membuat laporan pelaksanaan monitoring khusus TPB kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan surat tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan monitoring khusus TPB.
|
|||
(2)
|
Tindak lanjut laporan monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
asistensi atau pembinaan, dalam hal diperlukan peningkatan kepatuhan penerima fasilitas TPB, importir, dan/atau eksportir terhadap peraturan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
penelitian secara mendalam, dalam hal terdapat indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai atas pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan/atau dari TPB;
|
||
|
c.
|
penetapan Bea Masuk dan PDR1 dengan penerbitan Surat Penetapan Pabean dan/atau surat penetapan pabean lainnya, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran Bea Masuk dan PDRI sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
d.
|
pengenaan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan, dalam hal ditemukan pelanggaran yang bersifat administratif;
|
||
|
e.
|
pembekuan izin TPB, dalam hal terpenuhi ketentuan pembekuan izin TPB sesuai peraturan perundang-undangan;
|
||
|
f.
|
pencabutan izin TPB, dalam hal terpenuhi ketentuan pencabutan izin TPB sesuai peraturan perundang-undangan;
|
||
|
g.
|
penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan, dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadi tindak pidana kepabeanan dan cukai;
|
||
|
h.
|
rekomendasi audit kepabeanan dan cukai;
|
||
|
i.
|
rekomendasi dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
|
||
|
j.
|
rekomendasi lainnya.
|
||
(3)
|
Dalam hal tindak lanjut laporan monitoring khusus TPB merupakan penetapan Bea Masuk dan PD RI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, penetapan dilakukan melalui penerbitan:
|
|||
|
a.
|
Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean, dalam hal temuan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean;
|
||
|
b.
|
Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean, melalui mekanisme penelitian ulang dalam hal temuan melebihi 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean; atau
|
||
|
c.
|
Surat Penetapan Pabean dan/atau Surat Penetapan Sanksi Administrasi, sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Surat Penetapan Pabean dan/atau Surat Penetapan Sanksi Administrasi.
|
||
(4)
|
Laporan monitoring khusus TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a merupakan pemeriksaan pabean untuk menguji kepatuhan TPB atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan dilakukan secara mendadak berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Ruang lingkup pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
pemeriksaan atas 1 (satu) atau beberapa pemberitahuan pabean:
|
||
|
|
1)
|
saat barang akan masuk ke TPB;
|
|
|
|
2)
|
saat barang sudah ditimbun di TPB; atau
|
|
|
|
3)
|
saat barang akan atau sudah dikeluarkan dari TPB; atau
|
|
|
b.
|
pemeriksaan lain atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
|
||
(3)
|
Pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dapat dilakukan kepada:
|
|||
|
a.
|
Penyelenggara dan/atau Pengusaha TPB;
|
||
|
b.
|
importir;
|
||
|
c.
|
eksportir;
|
||
|
d.
|
exhibitor atau peserta pameran pada TPPB;
|
||
|
e.
|
bursa berjangka dan/atau pasar lelang komoditas di PLB; dan/atau
|
||
|
f.
|
penyedia platform e-commerce di PLB.
|
||
(4)
|
Obyek pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a meliputi pengujian:
|
|||
|
a.
|
kebenaran pemberitahuan jumlah dan jenis barang;
|
||
|
b.
|
kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif;
|
||
|
c.
|
kebenaran pemberitahuan nilai pabean;
|
||
|
d.
|
pemenuhan kewajiban larangan atau pembatasan;
|
||
|
e.
|
kesesuaian pencatatan pemasukan, pengeluaran, dan penimbunan barang dalam IT Inventory, dan/atau
|
||
|
f.
|
kepatuhan IT Inventory sesuai peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Dalam pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, dapat dilakukan pemeriksaan fisik barang dengan tingkat pemeriksaan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Tingkat pemeriksaan fisik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
|
|||
|
a.
|
10% (sepuluh persen) dari total jumlah kemasan, untuk:
|
||
|
|
1.
|
barang yang dimasukkan ke TPB dengan profil risiko layanan rendah;
|
|
|
|
2.
|
barang yang ditimbun oleh TPB dengan profil risiko layanan rendah; atau
|
|
|
|
3.
|
barang yang dikeluarkan dari TPB dan diimpor oleh importir dengan profil risiko layanan rendah; atau
|
|
|
b.
|
30% (tiga puluh persen) dari total jumlah kemasan, untuk barang yang ditimbun oleh TPB dan/atau diimpor oleh importir dengan profil risiko layanan menengah dan tinggi.
|
||
(3)
|
Dalam hal pemeriksaan fisik telah dilakukan sesuai tingkat pemeriksaan pada ayat (2) huruf a dan huruf b kedapatan adanya perbedaan, tingkat pemeriksaan fisik dapat ditingkatkan sesuai manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Terhadap pemeriksaan fisik barang dalam rangka pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Fisik.
|
|||
{5)
|
Berita Acara Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Dalam hal pemeriksaan sewaktu-waktu dilakukan untuk menguji kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), tim monitoring khusus dapat melakukan pengambilan sampel barang untuk uji laboratorium.
|
|||
(2)
|
Terhadap barang yang dilakukan uji laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh barang yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean tidak dapat dikeluarkan sampai dengan hasil uji laboratorium diterima.
|
|||
(3)
|
Pengambilan sampel untuk uji laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan Berita Acara Pengambilan Sampel.
|
|||
(4)
|
Berita Acara Pengambilan Sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai Lampiran I huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b merupakan pemeriksaan pabean untuk mengetahui kebenaran saldo barang yang ditimbun yang mendapatkan fasilitas kepabeanan, dalam periode tertentu di dalam TPB dan/atau di lokasi tempat pengeluaran sementara di luar TPB.
|
|||
(2)
|
Ruang lingkup pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi pemeriksaan untuk:
|
|||
|
a.
|
menghitung nilai Bea Masuk, PD RI, dan PPN atau PPN dan PPnBM yang masih terutang dalam hal TPB akan dicabut fasilitasnya;
|
||
|
b.
|
menguji kebenaran konversi pemakaian bahan baku dan bahan penolong yang disampaikan perusahaan; dan/atau
|
||
|
c.
|
menguji kesesuaian pencatatan barang antara IT Inventory dengan persediaan fisik barang.
|
||
(3)
|
Pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dapat dilakukan kepada:
|
|||
|
a.
|
Penyelenggara dan/atau Pengusaha TPB;
|
||
|
b.
|
exhibitor atau peserta pameran pada TPPB;
|
||
|
c.
|
bursa berjangka dan/atau pasar lelang komoditas di PLB;
|
||
|
d.
|
penyedia platform e-commerce di PLB; dan/atau
|
||
|
e.
|
penerima subkontrak atau pengeluaran sementara dari TPB ke tempat lain dalam daerah pabean.
|
||
(4)
|
Obyek pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi pemeriksaan kebenaran saldo:
|
|||
|
a.
|
bahan baku;
|
||
|
b.
|
bahan penolong;
|
||
|
c.
|
barang jadi;
|
||
|
d.
|
barang modal;
|
||
|
e.
|
peralatan perkantoran;
|
||
|
f.
|
sisa dari proses produksi atau limbah; dan/atau
|
||
|
g.
|
barang lain yang mendapatkan fasilitas.
|
||
(5)
|
Tim monitoring khusus yang melaksanakan pemeriksaan sederhana dapat menentukan obyek pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhadap 1 (satu) atau beberapa obyek pemeriksaan.
|
|||
(6)
|
Kegiatan pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dilakukan dengan membandingkan data pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari TPB, berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
SKP;
|
||
|
b.
|
IT Inventory;
|
||
|
c.
|
konversi pemakaian bahan baku dan bahan penolong; dan/atau
|
||
|
d.
|
sumber lain, seperti kontrak kerja dan bill of material.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Dalam pemeriksaan sederhana, dapat dilakukan pencacahan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan tingkat pemeriksaan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Tingkat pencacahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu;
|
|||
|
a.
|
10% (sepuluh persen), untuk barang yang ditimbun oleh TPB dengan tingkat risiko rendah; atau
|
||
|
b.
|
30% (tiga puluh persen), untuk barang yang ditimbun oleh TPB dengan tingkat risiko menengah dan tinggi.
|
||
(3)
|
Dalam hal pencacahan barang telah dilakukan sesuai tingkat pemeriksaan pada ayat (2) huruf a dan huruf b kedapatan adanya perbedaan, tingkat pencacahan barang dapat ditingkatkan sesuai manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Kegiatan pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Analisis mendalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c merupakan analisis atas data yang diperoleh berdasarkan informasi awal yang berasal dari kegiatan monitoring umum sebagai indikasi terjadinya penyalahgunaan fasilitas TPB yang perlu ditindaklanjuti guna diolah lebih lanjut sebagai bahan pengambilan keputusan.
|
|||
(2)
|
Ruang lingkup analisis mendalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c meliputi seluruh kegiatan TPB yang berdasarkan informasi awal ditemukan indikasi kesalahan.
|
|||
(3)
|
Analisis mendalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dapat dilakukan kepada:
|
|||
|
a.
|
Penyelenggara dan/atau Pengusaha TPB;
|
||
|
b.
|
importir;
|
||
|
c.
|
eksportir;
|
||
|
d.
|
exhibitor atau peserta pameran pada TPPB;
|
||
|
e.
|
bursa berjangka dan/atau pasar lelang komoditas di PLB.
|
||
|
f.
|
penyedia platform e-commerce di PLB; dan/atau
|
||
|
g.
|
penerima subkontrak dan pengeluaran sementara dari TPB ke tempat lain dalam daerah pabean.
|
||
(4)
|
Analisis mendalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dapat dilaksanakan berdasarkan data dan/atau informasi yang diperoleh dari:
|
|||
|
a.
|
SKP;
|
||
|
b.
|
akses IT Inventory dan Closed Circuit Television (CCTV); dan/atau
|
||
|
c.
|
sumber lain, seperti informasi perpajakan dan informasi intelijen.
|
||
(5)
|
Obyek kegiatan analisis mendalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
kewajaran data pada IT Inventory dibandingkan dengan SKP;
|
||
|
b.
|
pemantauan Closed Circuit Television (CCTV) secara terus menerus terhadap kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang;
|
||
|
c.
|
pencacahan barang; dan
|
||
|
d.
|
analisis dan kegiatan lainnya, seperti tracking e-seal dan perbandingan data berat kontainer di pelabuhan muat atau bongkar.
|
||
(6)
|
Kegiatan analisis mendalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Monitoring Mandiri TPB
|
||||
(1)
|
Monitoring mandiri TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c merupakan kegiatan pemantauan dan pemeriksaan yang dilakukan secara mandiri oleh perusahaan penerima fasilitas TPB.
|
|||
(2)
|
Monitoring mandiri TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
kesesuaian antara persediaan barang dengan pencatatan persediaan pada IT Inventory;
|
||
|
b.
|
kesesuaian antara pemberitahuan pabean dengan pencatatan persediaan pada IT Inventory; dan/atau
|
||
|
c.
|
hal-hal lain yang menurut pertimbangan penanggung jawab perusahaan perlu dilaporkan, seperti pencapaian atau prestasi kinerja dan hambatan perusahaan.
|
||
(3)
|
Monitoring mandiri TPB dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Monitoring mandiri TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas TPB paling banyak 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun.
|
|||
(2)
|
Kegiatan monitoring mandiri TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan berdasarkan surat pembentukan tim monitoring mandiri TPB yang ditandatangani oleh direksi atau pimpinan perusahaan dengan tembusan kepada Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC.
|
|||
(3)
|
Tim monitoring mandiri TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan laporan hasil monitoring mandiri TPB dengan disertai bukti-bukti pendukung kepada Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan kegiatan monitoring mandiri TPB.
|
|||
(4)
|
Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC menindaklanjuti laporan hasil monitoring mandiri TPB paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak laporan hasil monitoring mandiri TPB diterima.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Tindak lanjut laporan monitoring mandiri sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (4) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
pelunasan kewajiban pabean sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
penyesuaian data pada SKP dan/atau IT Inventory; dan/atau
|
||
|
c.
|
perbaikan pemenuhan persyaratan TPB.
|
||
(2)
|
Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC dapat menerbitkan Surat Tugas monitoring khusus dalam hal laporan monitoring mandiri yang disampaikan ditolak.
|
|||
(3)
|
Dalam hal hasil laporan monitoring mandiri TPB kedapatan selisih kurang, terhadap barang yang seharusnya berada di TPB:
|
|||
|
a.
|
musnah tanpa sengaja, atas selisih tersebut:
|
||
|
|
1.
|
tidak dipungut Bea Masuk, Cukai, dan PDRI; dan
|
|
|
|
2.
|
dilakukan penyesuaian pencatatan dalam IT Inventory.
|
|
|
b.
|
dapat dipertanggungjawabkan oleh penerima fasilitas TPB, yaitu selisih kurang tersebut bukan karena kelalaian, bukan karena kesengajaan, dan tidak terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, atas selisih tersebut:
|
||
|
|
1.
|
ditagih Bea Masuk, Cukai, dan PDRI tanpa dikenakan sanksi administrasi berupa denda; dan
|
|
|
|
2.
|
dilakukan penyesuaian pencatatan dalam IT Inventory.
|
|
|
c.
|
tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh penerima fasilitas TPB, yaitu selisih kurang tersebut karena kelalaian, bukan karena kesengajaan, dan tidak terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, atas selisih tersebut:
|
||
|
|
1.
|
ditagih Bea Masuk dan PDRI serta dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan perundang-undangan;
|
|
|
|
2.
|
terhadap Barang Kena Cukai dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cukai; dan
|
|
|
|
3.
|
dilakukan penyesuaian pencatatan dalam IT Inventory.
|
|
(4)
|
Musnah tanpa sengaja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi selisih kurang yang terjadi akibat:
|
|||
|
a.
|
penguapan atau penyusutan karena perubahan suhu, kelembaban udara, dan/atau sejenisnya yang dibuktikan dengan laporan dari badan atau lembaga yang berwenang; dan/atau
|
||
|
b.
|
keadaan kahar (force majeure) yang dibuktikan dengan keterangan dari instansi terkait yaitu:
|
||
|
|
1.
|
Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah dalam hal terjadi bencana alam;
|
|
|
|
2.
|
Kepolisian Negara Republik Indonesia, minimal setingkat Kepolisian Resor dalam hal huru-hara, kebakaran, dan/atau kecelakaan darat yang menyatakan bahwa kondisi tersebut terjadi diluar kemampuannya; atau
|
|
|
|
3.
|
Komite Nasional Keselamatan Transportasi, dalam hal kecelakaan laut atau udara.
|
|
(5)
|
Laporan hasil monitoring mandiri TPB sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (4) sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(6)
|
Persetujuan Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
EVALUASI TPB
|
||||
Evaluasi TPB meliputi:
|
||||
a.
|
Evaluasi mikro TPB; dan
|
|||
b.
|
Evaluasi makro TPB.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Pertama
Evaluasi Mikro TPB
|
||||
(1)
|
Evaluasi mikro TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf (a) merupakan penilaian yang dilakukan oleh tim evaluasi mikro TPB di KPUBC atau KPPBC terhadap kelayakan dari pemberian fasilitas TPB kepada perusahaan penerima fasilitas TPB, sebagai bahan evaluasi makro TPB.
|
|||
(2)
|
Evaluasi mikro TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf (a) dilakukan secara periodik setiap 6 (enam) bulan sekali, pada minggu kedua bulan Juli dan bulan Januari.
|
|||
(3)
|
Kegiatan yang dilakukan pada evaluasi mikro TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf (a) meliputi analisis atas:
|
|||
|
a.
|
laporan monitoring umum, monitoring khusus dan/atau monitoring mandiri;
|
||
|
b.
|
rekomendasi audit kepabeanan;
|
||
|
c.
|
rekomendasi atau permintaan untuk melakukan evaluasi dari aparat pemeriksa fungsional;
|
||
|
d.
|
partisipasi aktif penerima fasilitas TPB dalam program DJBC, seperti pengukuran dampak ekonomi fasilitas TPB;
|
||
|
e.
|
laporan keuangan;
|
||
|
f.
|
informasi lain, seperti profil layanan TPB; dan/atau
|
||
|
g.
|
pertimbangan lain dari Direktur Jenderal atau Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan atau di bidang pengawasan, Kepala KPUBC, Kepala Kanwil, atau Kepala KPPBC.
|
||
(4)
|
Tim evaluasi mikro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC sesuai dengan Surat Tugas yang terdiri atas Pejabat Bea dan Cukai pada:
|
|||
|
a.
|
unit kepabeanan dan cukai;
|
||
|
b.
|
unit pengawasan; dan/atau
|
||
|
c.
|
unit lainnya dengan pertimbangan Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC.
|
||
(5)
|
Tindak lanjut dari evaluasi mikro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
asistensi dan/atau pembinaan;
|
||
|
b.
|
tidak dilayaninya akses SKP;
|
||
|
c.
|
pembekuan izin TPB;
|
||
|
d.
|
rekomendasi pencabutan izin TPB;
|
||
|
e.
|
rekomendasi penyempurnaan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
f.
|
pemberian penghargaan kepada perusahaan yang telah patuh pada ketentuan;
|
||
|
g.
|
pemberian penilaian untuk pemutakhiran kategori layanan TPB; dan/atau
|
||
|
h.
|
penetapan pola pelayanan dan pengawasan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Tim evaluasi mikro TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) menyampaikan laporan evaluasi mikro TPB kepada Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC, sekaligus sebagai laporan dari Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC kepada Kepala Kanwil.
|
|||
(2)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kanwil pada minggu keempat bulan Juli dan Januari.
|
|||
(3)
|
Laporan evaluasi mikro TPB sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Evaluasi Makro TPB
|
||||
(1)
|
Evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf (b) merupakan penilaian mengenai dampak dan efektivitas kebijakan pemberian fasilitas TPB.
|
|||
(2)
|
Evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf (b) dilakukan oleh tim evaluasi makro TPB pada:
|
|||
|
a.
|
Kanwil atau KPUBC; atau
|
||
|
b.
|
Direktorat yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Evaluasi makro TPB yang dilakukan oleh tim evaluasi makro TPB pada Kanwil atau KPUBC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a meliputi penilaian atas efektivitas dan dampak ekonomi dari kebijakan pemberian fasilitas TPB secara regional di wilayah Kanwil tersebut.
|
|||
(2)
|
Kegiatan yang dilakukan pada evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
analisis atas laporan hasil evaluasi mikro TPB;
|
||
|
b.
|
analisis atas rekomendasi audit kepabeanan; dan/atau
|
||
|
c.
|
pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB dengan berkoordinasi kepada KPPBC di bawah pengawasannya.
|
||
(3)
|
Tim evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan laporan evaluasi makro TPB kepada Direktur Jenderal secara periodik setiap 6 (enam) bulan sekali, paling lambat pada akhir bulan Agustus dan akhir bulan Februari.
|
|||
(4)
|
Pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d disampaikan bersamaan dengan penyampaian evaluasi makro TPB yang dilaporkan pada bulan Agustus.
|
|||
(5)
|
Pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan melalui koordinasi dengan KPPBC untuk memberikan kuesioner kepada TPB yang berada dibawah pengawasannya dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(6)
|
Laporan evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Evaluasi makro TPB yang dilakukan oleh tim evaluasi makro TPB pada Direktorat yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dilakukan:
|
|||
|
a.
|
secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali untuk penilaian dampak dan efektivitas kebijakan pemberian fasilitas TPB secara nasional.
|
||
|
b.
|
secara insidental berdasarkan manajemen risiko.
|
||
(2)
|
Kegiatan yang dilakukan pada evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
analisis atas laporan hasil evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (2) huruf a;
|
||
|
b.
|
analisis atas rekomendasi audit kepabeanan;
|
||
|
c.
|
analisis atas rekomendasi dari aparat pemeriksa fungsional;
|
||
|
d.
|
analisis atas hasil evaluasi dari Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk; dan/atau
|
||
|
e.
|
pengumpulan dan pengolahan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB.
|
||
(3)
|
Pengumpulan dan pengolahan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan bekerja sama dengan pihak yang kompeten.
|
|||
(4)
|
Kegiatan yang dilakukan pada evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pengisian Kertas Kerja Evaluasi Makro TPB Insidental.
|
|||
(5)
|
Kertas Kerja Evaluasi Makro TPB Insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Tim evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a menyampaikan laporan evaluasi makro TPB kepada Direktur Jenderal paling lambat pada akhir bulan Oktober pada tahun berjalan.
|
|||
(2)
|
Tim evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b menyampaikan laporan evaluasi makro TPB kepada Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan, paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan evaluasi makro TPB insidental.
|
|||
(3)
|
Tindak lanjut dari evaluasi makro TPB dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
publikasi hasil dampak ekonomi pemberian fasilitas TPB;
|
||
|
b.
|
rekomendasi penyempurnaan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
c.
|
rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan izin TPB; dan/atau
|
||
|
d.
|
rekomendasi lainnya, seperti perbaikan untuk pemenuhan persyaratan TPB.
|
||
(4)
|
Laporan evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(5)
|
Laporan evaluasi makro TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
MONITORING KITE
|
||||
Monitoring KITE meliputi:
|
||||
a.
|
Monitoring umum KITE;
|
|||
b.
|
Monitoring khusus KITE; dan
|
|||
c.
|
Monitoring mandiri KITE.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Pertama
Monitoring Umum KITE
|
||||
(1)
|
Monitoring umum KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a merupakan kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh unit-unit terkait di Kanwil, KPUBC atau KPPBC sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing, bersamaan dengan kegiatan pelayanan dan pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE.
|
|||
(2)
|
Monitoring umum KITE meliputi pemantauan yang dilakukan terhadap kesesuaian atas pemenuhan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
persyaratan perizinan fasilitas KITE;
|
||
|
b.
|
impor, ekspor, dan/atau mutasi barang dalam rangka subkontrak secara administratif;
|
||
|
c.
|
IT Inventory perusahaan;
|
||
|
d.
|
penyerahan jaminan;
|
||
|
e.
|
penyampaian konversi;
|
||
|
f.
|
penyampaian laporan pertanggungjawaban atau penyelesaian barang atau bahan baku; dan/atau
|
||
|
g.
|
kewajiban kepabeanan lainnya.
|
||
(3)
|
Pelaksanaan monitoring umum KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilaksanakan berdasarkan data dan/atau informasi yang diperoleh dari:
|
|||
|
a.
|
SKP;
|
||
|
b.
|
akses IT Inventory perusahaan; dan/atau
|
||
|
c.
|
sumber informasi lainnya.
|
||
(4)
|
Dalam hal diperlukan adanya peninjauan lapangan dan/atau kegiatan yang memerlukan pemeriksaan fisik lainnya seperti stock opname, penilaian Sistem Pengendalian Internal (SPI), atau pendayagunaan IT Inventory, pelaksanaan monitoring umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan pemeriksaan lapangan.
|
|||
(5)
|
Pelaksanaan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus berdasarkan Surat Tugas pemeriksaan lapangan yang diterbitkan oleh Kepala Kanwil, Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Pelaksanaan monitoring umum KITE sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2), dilakukan oleh pejabat dan/atau pegawai pada:
|
|||
|
a.
|
unit pelayanan dan pengawasan di Kanwil/KPUBC yang bertugas melakukan pelayanan dan pengawasan KITE Pembebasan dan KITE Pengembalian; atau
|
||
|
b.
|
unit pelayanan dan pengawasan di KPPBC yang bertugas melakukan pelayanan dan pengawasan fasilitas KITE IKM.
|
||
(2)
|
Monitoring umum KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam:
|
|||
|
a.
|
Lampiran II huruf A, dalam hal monitoring umum dilakukan oleh unit pengawasan di Kanwil, KPUBC atau KPPBC; dan/atau
|
||
|
b.
|
Lampiran II huruf B, dalam hal monitoring umum dilakukan oleh unit di bidang Fasilitas Kepabeanan di Kanwil/KPUBC atau unit pelayanan kepabeanan dan cukai di KPPBC,
|
||
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(3)
|
Kepala Kanwil, Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC berdasarkan manajemen risiko dapat menentukan frekuensi pelaksanaan monitoring umum KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan beban kerja dan pola pengawasan KITE di bawah pengawasannya.
|
|||
(4)
|
Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b membuat laporan monitoring umum KITE sebagai bahan evaluasi mikro KITE.
|
|||
(5)
|
Tindak lanjut atas laporan monitoring umum KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa rekomendasi:
|
|||
|
a.
|
ke pihak perusahaan untuk dilakukan perbaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
|
||
|
b.
|
untuk dilakukan monitoring khusus;
|
||
|
c.
|
untuk dilakukan evaluasi mikro;
|
||
|
d.
|
pembekuan fasilitas KITE;
|
||
|
e.
|
pencabutan fasilitas KITE; dan/atau
|
||
|
f.
|
selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
|
||
(6)
|
Laporan monitoring umum KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Kepala Kanwil, Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC secara:
|
|||
|
a.
|
periodik setiap 1 (satu) bulan sekali; dan/atau
|
||
|
b.
|
sewaktu-waktu, dalam hal terdapat informasi dan/atau hasil analisis yang perlu segera ditindaklanjuti,
|
||
|
sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Monitoring Khusus KITE
|
||||
(1)
|
Monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b merupakan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh tim monitoring khusus berdasarkan Surat Tugas dari:
|
|||
|
a.
|
Direktur Jenderal atau Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan atau di bidang pengawasan;
|
||
|
b.
|
Kepala Kanwil;
|
||
|
c.
|
Kepala KPUBC; atau
|
||
|
d.
|
Kepala KPPBC.
|
||
(2)
|
Pelaksanaan monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berdasarkan manajemen risiko dalam hal terdapat informasi yang perlu segera ditindaklanjuti.
|
|||
(3)
|
Pelaksanaan monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d paling kurang 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan berdasarkan manajemen risiko dengan mempertimbangkan jumlah perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada dalam pengawasannya.
|
|||
(4)
|
Tim monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari pejabat dan/atau pegawai pada:
|
|||
|
a.
|
unit pelayanan dan pengawasan di Kanwil/KPUBC yang bertugas melakukan pelayanan dan pengawasan KITE Pembebasan dan Pengembalian;
|
||
|
b.
|
unit pelayanan dan pengawasan di KPPBC yang bertugas melakukan pelayanan dan pengawasan fasilitas KITE IKM; dan/atau
|
||
|
c.
|
unit lainnya berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal atau Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan atau di bidang pengawasan, Kepala Kanwil, Kepala KPUBC, atau Kepala KPPBC.
|
||
(5)
|
Surat Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
pemeriksaan sewaktu-waktu; dan/atau
|
||
|
b.
|
analisis mendalam.
|
||
(2)
|
Pelaksanaan monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
data yang didapatkan dari akses IT Inventory;
|
||
|
b.
|
data yang didapatkan dari SKP;
|
||
|
c.
|
peraturan perundang-undangan tentang KITE serta peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai; dan/atau
|
||
|
d.
|
data terkait lainnya.
|
||
(3)
|
Jangka waktu pelaksanaan monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
|||
|
a.
|
paling lama 5 (lima) hari kerja; atau
|
||
|
b.
|
lebih dari 5 (lima) hari kerja sesuai pertimbangan Direktur Jenderal atau Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan atau di bidang pengawasan, Kepala Kanwil, Kepala KPUBC, atau Kepala KPPBC.
|
||
(4)
|
Tim monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) membuat laporan pelaksanaan monitoring khusus KITE kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan monitoring khusus KITE.
|
|||
(5)
|
Tindak lanjut laporan monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
asistensi atau pembinaan, dalam hal diperlukan peningkatan kepatuhan penerima fasilitas KITE terhadap peraturan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
penetapan tagihan bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda, dalam hal hasil laporan monitoring khusus KITE terdapat tagihan pungutan negara yang wajib dilunasi oleh perusahaan;
|
||
|
c.
|
rekomendasi untuk dilakukan evaluasi mikro;
|
||
|
d.
|
rekomendasi untuk dilakukan audit kepabeanan;
|
||
|
e.
|
rekomendasi kepada unit pengawasan untuk dilakukan penyelidikan;
|
||
|
f.
|
rekomendasi pembekuan atau pencabutan fasilitas KITE, dalam hal memenuhi ketentuan pembekuan atau pencabutan fasilitas KITE sesuai peraturan perundang-undangan;
|
||
|
g.
|
rekomendasi perubahan Data pada SKP; dan/atau
|
||
|
h.
|
rekomendasi lainnya.
|
||
(6)
|
Laporan monitoring khusus KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal. 29 ayat (1) huruf a merupakan pemeriksaan pabean untuk menguji kepatuhan perusahaan penerima fasilitas KITE atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara mendadak berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Obyek pemeriksaan sewaktu-waktu meliputi pengujian:
|
|||
|
a.
|
kebenaran pemberitahuan jumlah dan jenis barang;
|
||
|
b.
|
kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif;
|
||
|
c.
|
kebenaran pemberitahuan jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan berdasarkan konversi;
|
||
|
d.
|
hasil pencacahan/stock opname dengan catatan pemakaian bahan baku pada IT Inventory dan saldo bahan baku pada SKP;
|
||
|
e.
|
kesesuaian pencatatan pemasukan, pengeluaran, dan penimbunan barang dalam IT Inventory, termasuk selisih jumlah pemakaian bahan baku dalam hal terdapat perbedaan antara konversi dengan laporan pertanggungjawaban;
|
||
|
f.
|
pemenuhan kewajiban larangan atau pembatasan; dan/atau
|
||
|
g.
|
informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia.
|
||
(3)
|
Pemeriksaan sewaktu-waktu, dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
Peraturan perundang-undangan tentang KITE dan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai;
|
||
|
b.
|
SKP;
|
||
|
c.
|
data akses IT Inventory;
|
||
|
d.
|
konversi;
|
||
|
e.
|
informasi dari hasil monitoring umum yang dilakukan masing-masing unit sesuai dengan tugas pokok dan fungsi;
|
||
|
f.
|
informasi dari pihak eksternal terutama terkait dengan pelanggaran di bidang fasilitas kepabeanan; dan/atau
|
||
|
g.
|
data terkait lainnya.
|
||
(4)
|
Pemeriksaan sewaktu-waktu dapat dilakukan kepada:
|
|||
|
a.
|
perusahaan penerima fasilitas KITE; dan/atau
|
||
|
b.
|
perusahaan penerima subkontrak.
|
||
(5)
|
Kegiatan pemeriksaan sewaktu-waktu, dapat dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam:
|
|||
|
a.
|
lampiran II huruf F, dalam hal pemeriksaan sewaktu-waktu KITE Pembebasan dan/atau KITE Pengembalian; atau
|
||
|
b.
|
lampiran II huruf G, dalam hal pemeriksaan sewaktu-waktu KITE IKM,
|
||
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(6)
|
Pengujian atau penelitian atas selisih antara jumlah pemakaian bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (4), dapat dilakukan pemeriksaan fisik barang dengan tingkat pemeriksaan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Tingkat pemeriksaan fisik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
|
|||
|
a.
|
10% (sepuluh persen), untuk barang yang ditimbun oleh perusahaan KITE dengan tingkat risiko rendah; atau
|
||
|
b.
|
30% (tiga puluh persen), untuk barang yang ditimbun oleh perusahaan KITE dengan tingkat risiko menengah dan tinggi.
|
||
(3)
|
Dalam hal pencacahan barang telah dilakukan sesuai tingkat pemeriksaan pada ayat (2) huruf a dan huruf b kedapatan adanya perbedaan, tingkat pencacahan barang dapat ditingkatkan sesuai manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Terhadap pemeriksaan fisik barang dalam rangka pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Fisik.
|
|||
(5)
|
Berita Acara Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Dalam hal pemeriksaan sewaktu-waktu dilakukan untuk menguji kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) memerlukan untuk dilakukan uji laboratorium, tim monitoring khusus dapat melakukan pengambilan sampel barang untuk uji laboratorium.
|
|||
(2)
|
Pengambilan sampel untuk uji laboratorium sebagaimana, dimaksud pada ayat (1) dibuatkan Berita Acara Pengambilan Sampel.
|
|||
(3)
|
Berita Acara Pengambilan Sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai Lampiran II huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Analisis mendalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b merupakan penelitian dan analisis data berdasarkan informasi dan/atau target yang ditetapkan.
|
|||
(2)
|
Ruang lingkup analisis mendalam meliputi:
|
|||
|
a.
|
identifikasi dan pemetaan risiko pelanggaran terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada dibawah pengawasan Kanwil, KPUBC, dan/atau KPPBC;
|
||
|
b.
|
analisis terhadap aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran barang; dan/atau
|
||
|
c.
|
analisis terhadap permasalahan lain berdasarkan data atau informasi yang tersedia.
|
||
(3)
|
Analisis mendalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(4)
|
Identifikasi dan pemetaan risiko pelanggaran terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilaksanakan berdasarkan data dan/atau informasi yang diperoleh dari:
|
|||
|
a.
|
SKP;
|
||
|
b.
|
akses IT Inventory; dan/atau.
|
||
|
c.
|
sumber lain, seperti informasi perpajakan, informasi intelijen, dan informasi lainnya.
|
||
(5)
|
Analisis aktivitas perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(6)
|
Analisis informasi atau permasalahan lain dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Monitoring mandiri KITE sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 huruf c merupakan kegiatan pemantauan yang dapat dilakukan oleh perusahaan penerima fasilitas KITE.
|
|||
(2)
|
Monitoring mandiri KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemantauan yang dilakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
persyaratan perizinan fasilitas KITE;
|
||
|
b.
|
prosedur pemasukan dan pengeluaran barang secara fisik dan administratif;
|
||
|
c.
|
prosedur pembongkaran, penimbunan, pengolahan, pencatatan, dan kegiatan perusahaan yang terkait dengan kepabeanan;
|
||
|
d.
|
kesesuaian antara persediaan barang dengan pencatatan pada IT Inventory; dan/atau
|
||
|
e.
|
pemenuhan ketentuan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
||
(3)
|
Monitoring mandiri KITE dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam lampiran II huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktorat Jenderal ini.
|
|||
(4)
|
Kegiatan monitoring mandiri KITE dilakukan berdasarkan surat pembentukan tim monitoring mandiri KITE yang ditandatangani oleh direksi atau pimpinan perusahaan dengan tembusan kepada Kepala Kanwil, Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC.
|
|||
(5)
|
Monitoring mandiri KITE dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas KITE paling banyak 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun terhadap kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(6)
|
Tim monitoring mandiri KITE menyampaikan laporan hasil pelaksanaan monitoring mandiri KITE kepada Kepala Kanwil, Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(7)
|
Tindak lanjut laporan monitoring mandiri KITE sebagaimana dimaksud ayat (5), dapat berupa permohonan:
|
|||
|
a.
|
pelunasan kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam hal terdapat selisih jumlah pemakaian bahan baku;
|
||
|
b.
|
perpanjangan periode pembebasan;
|
||
|
c.
|
penyesuaian Data SKP:
|
||
|
d.
|
penyesuaian data pada IT Inventory; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk dilakukan evaluasi mikro KITE,
|
||
|
untuk mendapatkan persetujuan atau penelitian lebih lanjut oleh Kepala Kanwil, Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC.
|
|||
(8)
|
Dalam hal hasil pelaksanaan monitoring mandiri KITE terdapat selisih kurang terhadap barang yang seharusnya berada di lokasi Perusahaan KITE dan/atau Perusahaan Penerima Subkontrak:
|
|||
|
a.
|
ditagih bea masuk dan PDRI serta dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
terhadap barang kena cukai dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan yang mengatur mengenai cukai; dan
|
||
|
c.
|
dilakukan penyesuaian pencatatan dalam IT Inventory.
|
||
|
|
|
|
|
BAB V
EVALUASI KITE
|
||||
Evaluasi KITE meliputi:
|
||||
a.
|
Evaluasi Mikro KITE; dan
|
|||
b.
|
Evaluasi Makro KITE.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Pertama
Evaluasi Mikro KITE
|
||||
(1)
|
Evaluasi mikro KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a merupakan penilaian yang dilakukan oleh tim evaluasi mikro KITE pada:
|
|||
|
a.
|
Kanwil/KPUBC, kepada perusahaan penerima fasilitas KITE Pembebasan dan/atau KITE Pengembalian; atau
|
||
|
b.
|
KPPBC, kepada perusahaan penerima fasilitas KITE IKM,
|
||
|
terhadap kelayakan pemberian fasilitas KITE.
|
|||
(2)
|
Evaluasi mikro KITE dilakukan secara periodik setiap 6 (enam) bulan sekali, pada minggu ketiga bulan Juli dan bulan Januari.
|
|||
(3)
|
Kegiatan yang dilakukan pada evaluasi mikro KITE meliputi analisis atas:
|
|||
|
a.
|
laporan hasil monitoring umum KITE, monitoring khusus KITE, dan/atau monitoring mandiri KITE;
|
||
|
b.
|
tindak lanjut hasil audit kepabeanan dan/atau audit cukai;
|
||
|
c.
|
capaian kinerja perusahaan;
|
||
|
d.
|
laporan keuangan; dan/atau
|
||
|
e.
|
informasi lain dari Kepala Kanwil, Kepala KPUBC, Kepala KPPBC, atau unit lainnya.
|
||
(4)
|
Pelaksanaan kegiatan evaluasi mikro KITE sebagaimana dimaksud ayat (3) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
Tindak lanjut dari evaluasi mikro KITE dapat berupa rekomendasi:
|
||||
a.
|
asistensi dan/atau pembinaan;
|
|||
b.
|
pembekuan fasilitas KITE;
|
|||
c.
|
pencabutan fasilitas KITE;
|
|||
d.
|
usulan perubahan dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan;
|
|||
e.
|
dilakukan penyelidikan;
|
|||
f.
|
dilakukan audit kepabeanan dan/atau audit cukai;
|
|||
g.
|
pemberian penghargaan kepada perusahaan yang telah patuh pada ketentuan dan/atau terbukti memberikan dampak ekonomi; dan/atau
|
|||
h.
|
lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Tim evaluasi mikro KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) ditunjuk oleh Kepala Kanwil, KPUBC atau KPPBC sesuai dengan Surat Tugas yang terdiri atas Pejabat Bea dan Cukai pada:
|
|||
|
a.
|
unit fasilitas kepabeanan atau unit kepabeanan dan cukai;
|
||
|
b.
|
unit pengawasan; dan/atau
|
||
|
c.
|
unit lainnya dengan pertimbangan Kepala Kanwil, Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC.
|
||
(2)
|
Tim evaluasi mikro KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyampaikan laporan hasil pelaksanaan evaluasi mikro KITE kepada:
|
|||
|
a.
|
Kepala Kanwil atau Kepala KPUBC melalui Kepala Bidang Fasilitas atau Pejabat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan; dan/atau
|
||
|
b.
|
Kepala KPPBC melalui Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai atau Pejabat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan, paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan evaluasi mikro KITE.
|
||
(3)
|
Laporan evaluasi mikro KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Evaluasi Makro KITE
|
||||
(1)
|
Evaluasi makro KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b merupakan penilaian mengenai efektivitas kebijakan dan dampak ekonomi dari pemberian fasilitas KITE.
|
|||
(2)
|
Evaluasi makro KITE dilakukan oleh tim evaluasi makro KITE pada:
|
|||
|
a.
|
Kanwil atau KPUBC; atau
|
||
|
b.
|
Direktorat yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan,
|
||
|
berdasarkan Surat Tugas dari Kepala Kanwil, Kepala KPUBC, atau Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Evaluasi makro KITE yang dilakukan oleh tim evaluasi makro KITE pada Kanwil atau KPUBC sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali untuk penilaian atas:
|
|||
|
a.
|
efektivitas kebijakan; dan
|
||
|
b.
|
dampak ekonomi,
|
||
|
atas pemberian fasilitas KITE secara regional di wilayah Kanwil tersebut.
|
|||
(4)
|
Evaluasi makro KITE yang dilakukan oleh tim evaluasi makro KITE pada Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali untuk penilaian atas:
|
|||
|
a.
|
efektivitas kebijakan; dan
|
||
|
b.
|
dampak ekonomi,
|
||
|
atas pemberian fasilitas KITE secara nasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Kegiatan evaluasi atas efektivitas kebijakan dari pemberian fasilitas KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
analisis atas laporan hasil evaluasi mikro KITE;
|
||
|
b.
|
analisis atas efektivitas implementasi peraturan; dan/atau
|
||
|
c.
|
analisis atas informasi lainnya yang dipandang perlu berdasarkan pertimbangan Kepala Kanwil atau KPUBC.
|
||
{2)
|
Kegiatan evaluasi atas dampak ekonomi dari pemberian fasilitas KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengumpulan data; dan
|
||
|
b.
|
analisa hasil pengumpulan data,
|
||
|
terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas KITE secara regional di wilayah Kanwil atau KPUBC tersebut.
|
|||
(3)
|
Kegiatan yang dilakukan pada evaluasi makro KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4) huruf a meliputi analisis atas:
|
|||
|
a.
|
laporan hasil evaluasi makro KITE yang dilakukan oleh tim evaluasi makro KITE pada Kanwil atau KPUBC sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, secara nasional;
|
||
|
b.
|
efektivitas implementasi peraturan secara nasional; dan/atau
|
||
|
c.
|
informasi lainnya yang dipandang perlu berdasarkan pertimbangan Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan.
|
||
(4)
|
Kegiatan yang dilakukan pada evaluasi makro KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4) huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
koordinasi dengan Kementerian atau Lembaga terkait lainnya; dan
|
||
|
b.
|
pengolahan dan pengukuran data,
|
||
|
terkait dampak ekonomi pemberian fasilitas KITE secara nasional.
|
|||
(5)
|
Kegiatan evaluasi atas efektivitas kebijakan pemberian fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(6)
|
Pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada dibawah pengawasannya dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Tim evaluasi makro KITE pada Kanwil/KPUBC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a menyampaikan laporan evaluasi makro KITE kepada Direktur yang memiliki tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan:
|
|||
|
a.
|
untuk penilaian efektivitas kebijakan pemberian fasilitas KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) paling lambat minggu kedua bulan Februari; dan
|
||
|
b.
|
untuk penyampaian penilaian dan pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas KITE yang berada pada wilayah kerja setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) paling lambat akhir bulan Agustus.
|
||
(2)
|
Tim evaluasi makro KITE pada Direktorat yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b menyampaikan laporan evaluasi makro KITE kepada Direktur Jenderal:
|
|||
|
a.
|
untuk penilaian efektivitas kebijakan pemberian fasilitas KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) paling lambat bulan Juni pada tahun berjalan; dan
|
||
|
b.
|
untuk pengukuran data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas KITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) paling lambat bulan Desember pada tahun berjalan.
|
||
(3)
|
Laporan pelaksanaan kegiatan evaluasi makro sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam:
|
|||
|
a.
|
lampiran II huruf T, dalam hal penilaian efektivitas kebijakan pemberian fasilitas KITE yang berada dibawah pengawasan Kanwil atau KPUBC; dan
|
||
|
b.
|
lampiran II huruf U, dalam hal penyampaian penilaian dan pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas KITE yang berada dibawah pengawasan Kanwil atau KPUBC,
|
||
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(4)
|
Laporan pelaksanaan kegiatan evaluasi makro sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam:
|
|||
|
a.
|
lampiran II huruf V, dalam hal penilaian efektivitas kebijakan pemberian fasilitas KITE secara nasional; dan
|
||
|
b.
|
lampiran II huruf W, dalam hal hasil pengukuran dampak ekonomi dari pemberian fasilitas KITE secara nasional,
|
||
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
(5)
|
Tindak lanjut dari evaluasi makro KITE dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
publikasi hasil dampak ekonomi pemberian fasilitas KITE;
|
||
|
b.
|
rekomendasi penyempurnaan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
c.
|
rekomendasi pembekuan fasilitas KITE;
|
||
|
d.
|
rekomendasi pencabutan fasilitas KITE; dan/atau
|
||
|
e.
|
rekomendasi lainnya.
|
||
|
|
|
|
|
BAB VI
KEPATUHAN PELAKSANAAN MONITORING DAN EVALUASI
|
||||
(1)
|
Pelaksanaan tugas pelayanan, tugas pengawasan, dan tugas administrasi, serta pelaksanaan tugas pada kegiatan monitoring dan evaluasi ditetapkan dalam Rencana Kerja Tahunan.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka pengawasan dan pelayanan pada saat melaksanakan monitoring atau evaluasi, Direktorat yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan, dan unit-unit terkait di Kantor Pusat DJBC, Kanwil, KPUBC, atau KPPBC dapat:
|
|||
|
a.
|
meminta Data terkait fasilitas kepabeanan;
|
||
|
b.
|
meminta dokumen laporan keuangan, Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Orang dan pihak lain yang terkait;
|
||
|
d.
|
memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan/tempat untuk menyimpan Data, ruangan/tempat untuk menyimpan sediaan barang, dan ruangan/tempat untuk menyimpan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai;
|
||
|
e.
|
melakukan tindakan pengamanan dan/atau penindakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai dalam hal pemeriksaan tidak dapat dilakukan karena penolakan dari penerima fasilitas kepabeanan, importir, dan/atau eksportir.
|
||
(3)
|
Permintaan Data atau keterangan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan secara tertulis.
|
|||
(4)
|
Berdasarkan permintaan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penerima fasilitas TPB dan/atau KITE wajib menyerahkan Data secara lengkap sesuai ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Penyerahan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan pada saat diterimanya permintaan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atau sesuai jangka waktu yang dipersyaratkan pada saat permintaan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
Dalam melaksanakan monitoring atau evaluasi, tim monitoring atau evaluasi melakukan hal-hal sebagai berikut:
|
||||
a.
|
memperlihatkan tanda pengenal;
|
|||
b.
|
menyampaikan surat tugas;
|
|||
c.
|
menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan monitoring atau evaluasi; dan
|
|||
d.
|
merahasiakan segala informasi yang telah diperoleh dari penerima fasilitas kepada pihak lain yang tidak berhak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Untuk kepentingan pelaksanaan Monitoring atau Evaluasi, Penerima Fasilitas TPB atau KITE wajib:
|
|||
|
a.
|
menyerahkan Data, dokumen laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan; dan
|
||
|
b.
|
memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis dengan contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(2)
|
Dalam hal penerima fasilitas tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada yang mewakili atau yang mendapat kuasa.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penerima fasilitas menolak atau tidak membantu pelaksanaan monitoring atau evaluasi, maka penerima fasilitas diminta untuk menandatangani Surat Penolakan atau Tidak Membantu Pelaksanaan Monitoring atau Evaluasi sebagaimana format contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
SISTEM OTOMASI MONITORING DAN EVALUASI
|
||||
(1)
|
Pelaksanaan tugas administrasi pada kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan dengan menggunakan sistem aplikasi monitoring dan evaluasi yang memproses hasil monitoring dan evaluasi secara terintegrasi dengan perangkat komunikasi data yang dilakukan oleh unit-unit pengguna aplikasi yang terkait fasilitas TPB atau KITE.
|
|||
(2)
|
Kegiatan yang dilakukan pada tugas administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pembuatan surat tugas tim monitoring dan evaluasi;
|
||
|
b.
|
catatan analisis monitoring dan evaluasi;
|
||
|
c.
|
laporan hasil pengukuran dampak ekonomi atas fasilitas TPB dan KITE;
|
||
|
d.
|
laporan monitoring; dan
|
||
|
e.
|
laporan evaluasi.
|
||
(3)
|
Dalam hal sistem aplikasi monitoring dan evaluasi belum tersedia sehingga tugas administrasi sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak dapat dilakukan secara elektronik, tugas administrasi dilakukan secara manual.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
PENUTUP
|
||||
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku, ketentuan mengenai monitoring dan evaluasi TPB dan KITE yang bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Februari 2019
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
ttd.
HERU PAMBUDI
|