Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
|
|||
|
|
|
|
Menimbang |
|||
a.
|
bahwa untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai agar terlaksana dengan sistematis, sinergis, dan komprehensif berdasarkan tugas pokok dan fungsinya dalam rangka menunjang proses reformasi sistem dan prosedur pada DJBC, perlu dibuat peraturan mengenai tatalaksana pengawasan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
|
||
b.
|
bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tatalaksana Pengawasan;
|
||
|
|
|
|
Mengingat |
|||
1.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
||
2.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062;
|
||
4.
|
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671;
|
||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan Di Bidang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3626);
|
||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Kepabeanan dan Cukai (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3651);
|
||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penindakan di Bidang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5040);
|
||
8.
|
Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tanggal 3 Nopember 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 120), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4330;
|
||
9.
|
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 30/KMK.05/1997 tanggal 16 Januari 1997 Tentang Tatalaksana Penindakan Di Bidang Kepabeanan;
|
||
10.
|
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 92/KMK.05/1997 tentang Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai;
|
||
11.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.04/2009 tanggal 30 Desember 2009 tentang Tata Cara Penghentian, Pemeriksaan, Penegahan, Penyegelan,Tindakan Berupa Tidak Melayani Pemesanan Pita Cukai atau Tanda Pelunasan Cukai Lainnya, dan Bentuk Surat Perintah Penindakan;
|
||
12.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.04/2006 tanggal 20 Pebruari 2006 tentang Penyelesaian Terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang yang Dikuasai Negara, dan Barang yang Menjadi Milik Negara;
|
||
13.
|
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-08/BC/1997 tentang Penghentian, Pemeriksaan, dan Penegahan Sarana Pengangkut dan Barang di atasnya serta Penghentian Pembongkaran dan Penegahan Barang;
|
||
14.
|
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-37/BC/1997 tentang Pemeriksaan barang, Bangunan, atau Tempat lain dan Surat atau Dokumen yang Berkaitan dengan Barang;
|
||
15.
|
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-38/BC/1997 tentang Pemeriksaan Badan;
|
||
16.
|
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-57/BC/1997 tentang Petunjuk Pelaksana Proses Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai;
|
||
17.
|
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-101/BC/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penindakan dan Penyidikan di Bidang Kepabeanan dan Cukai pada Direktorat Penindakan dan Penyidikan;
|
||
18.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.01/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan;
|
||
19.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
||
20.
|
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pangkalan Sarana Operasi Bea dan Cukai.
|
||
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATALAKSANA PENGAWASAN.
|
|||
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai ini yang dimaksud dengan:
|
|||
a.
|
Pengawasan adalah keseluruhan kegiatan pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai yang meliputi kegiatan intelijen, penindakan, penanganan perkara, intelijen dan penindakan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Narkotika, dan pengelolaan sarana operasi.
|
||
b.
|
Unit Pengawasan adalah unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi berkenaan dengan kegiatan intelijen, penindakan, penanganan perkara, intelijen dan penindakan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Narkotika, dan pengelolaan sarana operasi.
|
||
c.
|
Unit Intelijen adalah unit pengawasan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan mempunyai fungsi intelijen dalam pengelolaan informasi berupa pengumpulan, penilaian, analisis, distribusi, dan evaluasi data atau informasi berdasarkan database dan/atau informasi lainnya yang menunjukkan indikator risiko pelanggaran kepabeanan dan cukai.
|
||
d.
|
Unit Penindakan adalah unit pengawasan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan mempunyai fungsi penindakan dalam pelaksanaan upaya fisik yang bersifat administratif berupa patroli, penghentian, pemeriksaan, penegahan, penyegelan, dan penindakan lainnya dalam rangka pengawasan kepabeanan dan cukai.
|
||
e.
|
Unit Penyidikan adalah unit pengawasan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan mempunyai fungsi penanganan perkara berupa penelitian/penyelidikan, penyidikan, penanganan barang hasil penindakan dan barang bukti, penerbitan rekomendasi untuk pengenaan sanksi administrasi, dan kegiatan lainnya berkaitan dengan penanganan perkara kepabeanan dan cukai.
|
||
f.
|
Unit Narkotika adalah unit pengawasan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan mempunyai fungsi intelijen dalam pengelolaan informasi berupa pengumpulan, penilaian, analisis, distribusi, dan evaluasi data atau informasi NPP serta penanganan penindakan dalam pelaksanaan upaya fisik yang bersifat administratif berupa patroli, penghentian, pemeriksaan, penegahan, penyegelan, dan penindakan lainnya dalam pengawasan kepabeanan berkaitan dengan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Narkotika.
|
||
g.
|
Unit Sarana Operasi adalah Unit pengawasan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan mempunyai fungsi pengelolaan sarana operasi berupa penyediaan, penempatan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sebagai pendukung fungsi pengawasan kepabeanan dan/atau cukai untuk Unit Intelijen, Unit Penindakan, Unit Penyidikan, dan Unit Narkotika.
|
||
h.
|
Pangkalan Sarana Operasi adalah unit sarana operasi yang berada di bawah Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama yang melaksanakan tugas dan mempunyai fungsi pengelolaan sarana operasi berupa penyediaan, penempatan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sebagai pendukung fungsi pengawasan kepabeanan dan cukai untuk Unit Intelijen, Unit Penindakan, dan Unit Penyidikan.
|
||
i.
|
Sarana Operasi adalah sarana operasi pengawasan yang digunakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai pendukung fungsi pengawasan kepabeanan dan/atau cukai untuk Unit Intelijen, Unit Penindakan, Unit Penyidikan, dan Unit Narkotika berupa kapal patroli, pesawat terbang, pemindai (scanner), radar pantai, senjata api, anjing pelacak, peralatan telekomunikasi dan sarana operasi pengawasan lainnya.
|
||
j.
|
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Narkotika yang selanjutnya disebut NPP adalah barang berupa narkotika, psikotropika, dan prekursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang- Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
|
||
k.
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut DJBC adalah unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan yang melaksanakan tugas dan mempunyai fungsi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan.
|
||
l.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
m.
|
Kantor Pusat adalah Kantor Pusat DJBC.
|
||
n.
|
Kantor adalah Kantor di lingkungan DJBC yang meliputi Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan.
|
||
o.
|
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah DJBC yang meliputi Kantor Wilayah tipe A, tipe B, dan tipe khusus.
|
||
p.
|
Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan DJBC yang meliputi Kantor Pelayanan Utama dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan.
|
||
q.
|
Pejabat adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepabenan dan/atau Cukai.
|
||
r.
|
Anjing Pelacak adalah K-9 sebagaimana dimaksud Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Anjing Pelacak Narkotika.
|
||
s.
|
Pelanggaran adalah pelanggaran di bidang kepabeanan dan/atau cukai termasuk pelanggaran terkait pengangkutan barang tertentu.
|
||
|
|
|
|
BAB II
KEWENANGAN PENGAWASAN Pasal 2 |
|||
(1)
|
Kegiatan pengawasan dilaksanakan sesuai kewenangan kepabeanan dan cukai berdasarkan ketentuan yang berlaku dan dilaksanakan secara sistematis, sinergis dan komprehensif.
|
||
(2)
|
Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pola dasar:
|
||
|
a.
|
kebijakan teknis oleh Kantor Pusat
|
|
|
b.
|
koordinasi pelaksanaan kebijakan teknis oleh Kantor Wilayah
|
|
|
c.
|
pelaksanaan kebijakan teknis oleh Kantor Pelayanan.
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai kewenangan pelaksanaan kebijakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat dikecualikan berdasarkan kriteria tertentu.
|
||
|
|
|
|
Pasal 3 |
|||
(1)
|
Kewenangan dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilaksanakan sesuai fungsi, berupa:
|
||
|
a.
|
fungsi pokok oleh Unit Intelijen, Unit Penindakan dan Unit Penyidikan;
|
|
|
b.
|
fungsi khusus oleh Unit Narkotika;
|
|
|
c.
|
fungsi pendukung oleh Unit Sarana Operasi.
|
|
(2)
|
Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||
|
a.
|
fungsi intelijen dalam pengelolaan informasi meliputi pengumpulan, penilaian, analisis, distribusi dan evaluasi data atau informasi, yang dilaksanakan oleh Unit Intelijen;
|
|
|
b.
|
fungsi penindakan dalam pelaksanaan upaya fisik yang bersifat administratif meliputi penghentian, pemeriksaan, penegahan, penyegelan, dan penindakan lainnya, yang dilaksanakan oleh Unit Penindakan;
|
|
|
c.
|
fungsi penanganan perkara meliputi penelitian/penyelidikan, penyidikan, penanganan barang hasil penindakan dan barang bukti, penerbitan rekomendasi untuk pengenaan sanksi administrasi, dan kegiatan lainnya berkaitan dengan penanganan perkara kepabeanan dan cukai, yang dilaksanakan oleh Unit Penyidikan;
|
|
|
d.
|
fungsi intelijen dalam pengelolaan informasi berupa pengumpulan, penilaian, analisis, distribusi, dan evaluasi data atau informasi serta penindakan dalam pelaksanaan upaya fisik yang bersifat administratif berupa patroli, penghentian, pemeriksaan, penegahan, penyegelan, dan penindakan lainnya dalam pengawasan kepabeanan berkaitan dengan NPP, yang dilaksanakan oleh Unit Narkotika.
|
|
|
e.
|
fungsi pengelolaan sarana operasi pengawasan berupa penyediaan, penempatan, pemeliharaan, pemanfaatan dan evaluaevalusi si penggunaan sarana operasi dilaksanakan oleh Unit Sarana Operasi.
|
|
|
|
|
|
BAB III
HUBUNGAN KERJA UNIT PENGAWASAN Pasal 4 |
|||
(1)
|
Dalam kegiatan pengawasan, unit pengawasan melaksanakan hubungan kerja berdasarkan tugas dan fungsinya.
|
||
(2)
|
Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk hubungan struktural, fungsional, koordinatif dan pendukung.
|
||
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||
(1)
|
Hubungan struktural unit pengawasan dilaksanakan Kantor Pusat dengan kegiatan antara lain:
|
||
|
a.
|
penyampaian hasil pengolahan informasi oleh Subdit Intelijen kepada Unit Intelijen di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan.
|
|
|
b.
|
penyampaian hasil pengolahan informasi NPP oleh Subdit Narkotika kepada Unit Intelijen di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan.
|
|
|
c.
|
penyampaian informasi hasil penindakan oleh Subdit Intelijen kepada Unit Intelijen di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan.
|
|
|
d.
|
pelimpahan penindakan oleh Subdit Penindakan kepada Unit Penindakan di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan.
|
|
|
e.
|
pelimpahan penindakan NPP oleh Subdit Narkotika kepada Unit Penindakan di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan.
|
|
|
f.
|
pelimpahan penanganan perkara oleh Subdit Penyidikan kepada Unit Penyidikan di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan.
|
|
(2)
|
Hubungan Struktural unit pengawasan dilaksanakan Kantor Wilayah dengan kegiatan antara lain:
|
||
|
a.
|
penyampaian hasil pengolahan informasi dari Unit Intelijen di Kantor Wilayah kepada Unit Intelijen di Kantor Pelayanan.
|
|
|
b.
|
penyampaian informasi hasil penindakan segera oleh Unit Penindakan di Kantor Wilayah kepada Subdit Intelijen.
|
|
|
c.
|
penyampaian informasi hasil penindakan NPP segera oleh Unit Penindakan di Kantor Wilayah kepada Subdit Narkotika.
|
|
|
d.
|
pelimpahan penindakan dari Unit Penindakan di Kantor Wilayah kepada Unit Penindakan di Kantor Pelayanan.
|
|
|
e.
|
pelimpahan penanganan perkara oleh Unit Penyidikan di Kantor Wilayah kepada Subdit Penyidikan atau Unit Penyidikan di Kantor Pelayanan.
|
|
|
f.
|
penyampaian data hasil penindakan oleh Unit Penindakan di Kantor Wilayah kepada Subdit Penindakan.
|
|
|
g.
|
penyampaian data penanganan perkara dan penyidikan oleh Unit Penyidikan di Kantor Wilayah kepada Subdit Penyidikan.
|
|
(3)
|
Hubungan Struktural unit pengawasan dilaksanakan Kantor Pelayanan dengan kegiatan antara lain:
|
||
|
a.
|
penyampaian informasi hasil penindakan segera oleh Unit Penindakan di Kantor Pelayanan kepada Subdit Intelijen.
|
|
|
b.
|
penyampaian informasi hasil penindakan NPP segera oleh Unit Penindakan di Kantor Pelayanan kepada Subdit Narkotika.
|
|
|
c.
|
pelimpahan penanganan perkara oleh Unit Penyidikan di Kantor Pelayanan kepada Unit Penyidikan di Kantor Wilayah atau Kantor Pusat.
|
|
|
d.
|
penyampaian data hasil penindakan oleh Unit Penindakan di Kantor Pelayanan kepada Unit Penindakan di Kantor Wilayah.
|
|
|
e.
|
penyampaian data penanganan perkara dan penyidikan oleh Unit Penyidikan di Kantor Pelayanan kepada Unit Penyidikan di Kantor Wilayah.
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Hubungan fungsional unit pengawasan pada Kantor Pusat dengan kegiatan antara lain:
|
||
|
a.
|
penyampaian hasil pengolahan informasi dari Subdit intelijen kepada Subdit Penindakan.
|
|
|
b.
|
penyampaian hasil penindakan oleh Subdit Penindakan kepada Subdit Penyidikan.
|
|
|
c.
|
penyampaian hasil penanganan perkara oleh Subdit Penyidikan kepada Subdit Intelijen.
|
|
|
d.
|
penyampaian hasil penindakan NPP oleh Subdit Narkotika kepada Subdit Penyidikan.
|
|
|
e.
|
penyampaian hasil penanganan perkara NPP oleh Subdit Penyidikan kepada Subdit Narkotika.
|
|
|
f.
|
penyampaian informasi hasil penindakan segera oleh Subdit penindakan kepada Subdit Intelijen.
|
|
(2)
|
Hubungan fungsional unit pengawasan pada Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan dengan kegiatan antara lain:
|
||
|
a.
|
penyampaian hasil pengolahan informasi dari Unit intelijen kepada Unit Penindakan.
|
|
|
b.
|
penyampaian hasil penindakan oleh Unit Penindakan kepada Unit Penyidikan.
|
|
|
c.
|
penyampaian hasil penanganan perkara oleh Unit Penyidikan kepada Unit Intelijen.
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||
(1)
|
Hubungan koordinatif unit pengawasan pada Kantor Pusat dengan kegiatan antara lain:
|
||
|
a.
|
koordinasi dalam pengolahan informasi kegiatan intelijen NPP antara Subdit Narkotika dengan Subdit Intelijen.
|
|
|
b.
|
koordinasi dalam penindakan NPP antara Subdit Narkotika dengan Subdit Penindakan.
|
|
(2)
|
Hubungan koordinatif unit pengawasan antar Kantor Wilayah atau antar Kantor Pelayanan meliputi kegiatan koordinasi dalam pelimpahan penanganan perkara antar Unit Penyidikan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Hubungan pendukung dilaksanakan oleh Subdit Sarana Operasi dengan kegiatan antara lain:
|
||
|
a.
|
penyediaan sarana operasi dalam rangka pengawasan kepada Unit Pengawasan di kantor Pusat.
|
|
|
b.
|
penyediaan sarana operasi dalam rangka pengawasan kepada Unit Pengawasan di Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan.
|
|
(2)
|
Hubungan pendukung dilaksanakan oleh Pangkalan Sarana Operasi berupa kegiatan pengelolaan sarana operasi dalam rangka pengawasan pada Unit Pengawasan di Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan.
|
||
|
|
|
|
BAB IV
TATALAKSANA INTELIJEN Bagian Pertama Kegiatan Intelijen Pasal 9 |
|||
(1)
|
Kegiatan intelijen dilaksanakan oleh Unit Intelijen dalam rangka pendeteksian dini atas pelanggaran.
|
||
(2)
|
Kegiatan intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan kegiatan pengelolaan informasi sesuai siklus intelijen, meliputi:
|
||
|
a.
|
pengumpulan data atau informasi;
|
|
|
b.
|
penilaian dan analisis data atau informasi;
|
|
|
c.
|
pendistribusian data atau informasi; dan
|
|
|
d.
|
evaluasi dan pemutakhiran data atau informasi.
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
|||
Unit intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi:
|
|||
a.
|
Subdirektorat Intelijen pada Direktorat Penindakan dan Penyidikan.
|
||
b.
|
Seksi Intelijen pada Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama.
|
||
c.
|
Subseksi Intelijen pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya.
|
||
d.
|
Subseksi Intelijen pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A1/A2.
|
||
e.
|
Subseksi Penindakan dan Sarana Operasi pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3.
|
||
f.
|
Subseksi Penindakan dan Penyidikan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe B.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengumpulan Data atau Informasi Pasal 11 |
|||
(1)
|
Pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a bersumber dari:
|
||
|
a.
|
internal DJBC berupa data atau informasi yang diperoleh melalui kegiatan surveillance, monitoring, atau penerimaan informasi dari unit internal lainnya; dan/atau
|
|
|
b.
|
eksternal DJBC berupa data atau informasi yang diperoleh dari laporan masyarakat atau institusi atau sumber eksternal lainnya.
|
|
(2)
|
Surveillance sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan kegiatan pengamatan terhadap orang, tempat, sarana pengangkut dan/atau obyek tertentu secara berkesinambungan pada periode tertentu yang dilakukan secara tertutup dalam rangka pengumpulan atau pendalaman data atau informasi yang dapat menunjukkan adanya indikasi pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
(3)
|
Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan kegiatan pengamatan terhadap data-data transaksi pelayanan dan pengawasan kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
(4)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang bersifat kegiatan lapangan dilakukan dengan surat tugas dan dibuat laporan sebagaimana diatur dalam Lampiran I.
|
||
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||
(1)
|
Hasil pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan penyeleksian data atau informasi dengan penelitian terhadap lingkup informasi yang berkenaan dengan kepabeanan dan/atau cukai dalam rangka menentukan kelayakan data atau informasi untuk dilakukan klasifikasi.
|
||
(2)
|
Hasil pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Lembar Informasi (LI).
|
||
(3)
|
Hasil pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikelola dalam Pangkalan Data Intelijen yang berisi informasi yang bermanfaat untuk pengawasan kepabeanan dan/atau cukai, antara lain pangkalan data: importir atau eksportir, pengusaha barang kena cukai, PPJK, komoditi, dan lalu lintas penumpang pesawat udara.
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LI sebagaimana diatur dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penilaian dan Analisis Data atau informasi Pasal 13 |
|||
(1)
|
Penilaian dilakukan dengan pengklasifikasian data atau informasi berdasarkan LI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dalam rangka menentukan kelayakan data atau informasi untuk dilakukan analisis.
|
||
(2)
|
Pengklasifikasian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria tertentu berupa kehandalan sumber dan validitas informasi yang diperoleh.
|
||
(3)
|
Hasil penilaian data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Lembar Klasifikasi Informasi (LKI).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LKI sebagaimana diatur dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||
(1)
|
Analisis data atau informasi dilakukan dengan mencocokkan, membandingkan, menguji dan meneliti data atau informasi berkaitan dengan indikasi pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
(2)
|
Analisis data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
|
||
|
a.
|
Lembar Klasifikasi Informasi (LKI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); atau
|
|
|
b.
|
Nota Pengembalian Informasi (NPI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) huruf b.
|
|
(3)
|
Hasil analisis data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Lembar Kerja Analisis Intelijen (LKAI).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LKAI sebagaimana diatur dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Untuk pendalaman atau pematangan dalam analisis data atau informasi dapat dilakukan pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a.
|
||
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pendistribusian Data atau Informasi Pasal 15 |
|||
(1)
|
Lembar Kerja Analisis Intelijen (LKAI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) ditindaklanjuti dengan penerbitan produk intelijen berupa:
|
||
|
a.
|
Nota Hasil Intelijen (NHI) yang memuat informasi mengenai indikasi kuat adanya pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai yang bersifat spesifik dan mendesak dari Unit Intelijen, untuk segera dilakukan penindakan oleh Unit Penindakan Kantor Pelayanan;
|
|
|
b.
|
Nota Informasi Penindakan (NIP) yang memuat informasi mengenai indikasi adanya pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai yang bersifat spesifik dari Unit Intelijen, untuk dapat dilakukan penindakan oleh Unit Penindakan Kantor Pusat atau Kantor Wilayah secara horizontal;
|
|
|
c.
|
Nota Informasi (NI) yang memuat informasi mengenai indikasi adanya pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai yang bersifat umum atau spesifik untuk dapat dilakukan penelitian mendalam oleh Unit Intelijen di Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan;
|
|
|
d.
|
rekomendasi untuk audit, perbaikan sistem dan prosedur atau lainnya; atau
|
|
|
e.
|
informasi lainnya, antara lain meliputi kecenderungan pelanggaran yang bersifat umum atau peta kerawanan yang dapat digunakan sebagai salah satu dasar pelaksanaan patroli.
|
|
(2)
|
Produk intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas pada Unit Pengawasan atau pihak terkait.
|
||
|
|
|
|
Pasal 16 |
|||
(1)
|
Pendistribusian produk intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan:
|
||
|
a.
|
secara elektronik melalui hubungan langsung antar komputer atau melalui sistem Pertukaran Data Elektronik; atau
|
|
|
b.
|
secara manual, dalam hal distribusi secara elektronik tidak dapat dilakukan.
|
|
(2)
|
Untuk kecepatan dan kerahasiaan, NHI atau NI dapat disampaikan lebih awal melalui faksimili, radiogram, telepon, atau surat elektronik mendahului penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan NHI, NIP, dan NI sebagaimana diatur dalam Lampiran V, VI dan VII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemutakhiran Data Pasal 17 |
|||
(1)
|
Pemutakhiran data dalam profil intelijen yang meliputi profil penumpang, profil perusahaan, profil komoditi, profil pengusaha barang kena cukai, dan profil lainnya, dilaksanakan oleh Subdirektorat Intelijen berdasarkan informasi dan masukan dari Kantor dan/atau Direktorat terkait.
|
||
(2)
|
Pemutakhiran data dalam Profil Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan berdasarkan Profil Penyidikan yang berasal dari Unit Penyidikan.
|
||
(3)
|
Subdirektorat Intelijen menerima Profil Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari:
|
||
|
a.
|
Subdirektorat Penyidikan;
|
|
|
b.
|
Unit Intelijen Kantor Wilayah yang berasal dari Unit Penyidikan Kantor Wilayah; atau
|
|
|
c.
|
Unit Intelijen Kantor Pelayanan yang berasal dari Unit Penyidikan Kantor Pelayanan;
|
|
(4)
|
Profil Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Unit Intelijen digunakan sebagai dasar penyusunan analisis pasca penindakan (post seizure analysis).
|
||
(5)
|
Analisis pasca penindakan (post seizure analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya memuat:
|
||
|
a.
|
kronologis pelanggaran;
|
|
|
b.
|
modus operandi;
|
|
|
c.
|
indikator risiko pelanggaran;
|
|
|
d.
|
analisis kebijakan atau peraturan perundang-undangan;
|
|
|
e.
|
proses penanganan pelanggaran; dan
|
|
|
f.
|
kesimpulan dan saran.
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
|||
(1)
|
Subdirektorat Intelijen dapat melaksanakan penyebaran informasi hasil penindakan kepada seluruh Unit Intelijen.
|
||
(2)
|
Penyebaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan segera dengan penerbitan Distribusi Informasi Penindakan (DIP) yang dibuat berdasarkan Informasi Penindakan (IP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan 147.
|
||
(3)
|
DIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai masukan dalam pengolahan data atau informasi.
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan DIP sebagaimana diatur dalam Lampiran VIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||
(1)
|
Unit Intelijen menerima permintaan Nota Profil (NP) yang memuat Profil Intelijen dari Unit Penyidikan.
|
||
(2)
|
Nota Profil (NP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat identitas dan data pelanggaran dari orang dan/atau perusahaan.
|
||
(3)
|
Penyampaian Nota Profil (NP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Unit Penyidikan dilakukan oleh:
|
||
|
a.
|
Subdirektorat Intelijen berdasarkan permintaan dari Sub Direktorat Penyidikan;
|
|
|
b.
|
Unit Intelijen Kantor Wilayah berdasarkan permintaan dari Unit Penyidikan Kantor Wilayah;
|
|
|
c.
|
Unit Intelijen Kantor Pelayanan berdasarkan permintaan dari Unit Penyidikan Kantor Pelayanan;
|
|
(4)
|
Dalam hal Profil Intelijen tidak tersedia pada Unit Intelijen Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan, permintaan Nota Profil oleh Unit Penyidikan Kantor diajukan kepada Subdirektorat Intelijen melalui Subdirektorat Penyidikan.
|
||
(5)
|
Berdasarkan permintaan Nota Profil sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Subdirektorat Intelijen menyampaikan Nota Profil kepada Unit Penyidikan Kantor dengan tembusan Subdirektorat Penyidikan.
|
||
(6)
|
Dalam hal permintaan Nota Profil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terkait dengan NPP, Subdirektorat Intelijen menyampaikan Nota Profil kepada Unit Penyidikan Kantor dengan tembusan Subdirektorat Narkotika dan Subdirektorat Penyidikan.
|
||
(7)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan Nota Profil sebagaimana diatur dalam Lampiran IX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
BAB V
TATALAKSANA PENINDAKAN Bagian Pertama Kegiatan Penindakan Pasal 20 |
|||
(1)
|
Kegiatan penindakan dilaksanakan oleh Unit Penindakan untuk mengamankan hak-hak negara dan menjamin pemenuhan kewajiban pabean dan/atau cukai dengan upaya fisik yang bersifat administratif sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
(2)
|
Kegiatan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
|
||
|
a.
|
penelitian pra-penindakan;
|
|
|
b.
|
penentuan skema penindakan;
|
|
|
c.
|
patroli dan operasi penindakan;
|
|
|
d.
|
penentuan hasil penindakan.
|
|
(3)
|
Unit Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
Subdirektorat Penindakan pada Direktorat Penindakan dan Penyidikan.
|
|
|
b.
|
Seksi Penindakan pada Kantor wilayah atau Kantor Pelayanan Utama.
|
|
|
c.
|
Subseksi Penindakan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A1/A2 atau Tipe Madya.
|
|
|
d.
|
Subseksi Penindakan dan Sarana Operasi pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3
|
|
|
e.
|
Subseksi Penindakan dan Penyidikan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe B.
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penelitian Pra-Penindakan Pasal 21 |
|||
(1)
|
Penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan informasi tentang indikasi pelanggaran yang diperoleh dari unit intelijen.
|
||
(2)
|
Informasi yang diperoleh dari Unit Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Nota Hasil Intelijen (NHI), Nota Informasi Penindakan (NIP), atau informasi lainnya.
|
||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), penindakan dapat dilakukan karena kondisi yang bersifat mendesak, dalam hal:
|
||
|
a.
|
terdapat informasi dari sumber lain terkait dengan penindakan yang perlu segera dilakukan;
|
|
|
b.
|
tertangkap tangan, termasuk oleh masyarakat; atau
|
|
|
c.
|
merupakan hasil pengembangan penindakan oleh Unit Penindakan terkait dengan penindakan yang sedang dilakukan.
|
|
(4)
|
Informasi dari sumber lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dituangkan dalam Lembar Informasi (LI-1).
|
||
(5)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LI-1 sebagaimana diatur dalam Lampiran X Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||
(1)
|
Penelitian pra-penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan analisis terhadap informasi untuk dapat ditentukan kelayakan operasional penindakan.
|
||
(2)
|
Atas informasi berupa Nota Hasil Intelijen (NHI) atau Nota Informasi Penindakan (NIP) dilakukan analisis untuk menentukan kelayakan operasional, meliputi:
|
||
|
a.
|
substansi pelanggaran yang meliputi jenis, tempat, waktu dan pelaku pelanggaran;
|
|
|
b.
|
kewenangan penindakan;
|
|
|
c.
|
ketersediaan personil dan sarana penindakan.
|
|
(3)
|
Informasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) digunakan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan kegiatan patroli.
|
||
(4)
|
Dalam hal hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
||
|
a.
|
memenuhi kelayakan operasional, ditindaklanjuti dengan operasi penindakan; atau
|
|
|
b.
|
tidak memenuhi kelayakan operasional, diberitahukan kepada Unit Intelijen untuk pengolahan informasi lebih lanjut melalui Nota Pengembalian Informasi (NPI).
|
|
(5)
|
Hasil analisis sebagaimana dimaksud ayat (4) dituangkan dalam Lembar Analisis Pra-penindakan (LAP)
|
||
(6)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan Lembar Analisis Pra- penindakan (LAP) sebagaimana diatur dalam Lampiran XI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(7)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan Nota Pengembalian Informasi (NPI) sebagaimana diatur dalam Lampiran XII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penentuan Skema Penindakan Pasal 23 |
|||
(1)
|
Dalam rangka operasi penindakan, dilaksanakan penentuan skema penindakan dengan mempertimbangkan:
|
||
|
a.
|
kriteria pokok berupa tempat pelanggaran;
|
|
|
b.
|
kriteria tambahan berupa ketersediaan personil, sarana operasi, waktu dan/atau kompleksitas penindakan.
|
|
(2)
|
Operasi Penindakan dilakukan oleh Kantor Pelayanan dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat pelanggaran berada pada wilayah kerja Kantor Pelayanan; dan
|
|
|
b.
|
kesiapan personil dan sarana operasi.
|
|
(3)
|
Operasi penindakan dapat dilakukan oleh Kantor Wilayah dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan namun masih dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah; dan
|
|
|
b.
|
kesiapan personil, sarana operasi, waktu dan/atau kompleksitas penindakan.
|
|
(4)
|
Operasi penindakan dapat dilakukan oleh kantor Pusat dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan atau Kantor Wilayah; dan
|
|
|
b.
|
kesiapan personil, sarana operasi, waktu dan/atau kompleksitas penindakan.
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||
(1)
|
Operasi penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan skema:
|
||
|
a.
|
penindakan mandiri;
|
|
|
b.
|
penindakan dengan perbantuan;
|
|
|
c.
|
penindakan yang dilimpahkan;atau
|
|
|
d.
|
penindakan yang dilimpahkan dengan perbantuan.
|
|
(2)
|
Penindakan mandiri dilaksanakan oleh Unit Penindakan Kantor DJBC yang menerima informasi tanpa bantuan Unit Penindakan Kantor DJBC lain.
|
||
(3)
|
Penindakan dengan perbantuan dilaksanakan oleh Unit Penindakan Kantor DJBC yang menerima informasi dengan bantuan Unit Penindakan Kantor DJBC lain.
|
||
(4)
|
Penindakan yang dilimpahkan dilakukan dengan melimpahkan penindakan ke Unit Penindakan Kantor DJBC lain secara vertikal/horizontal.
|
||
(5)
|
Penindakan yang dilimpahkan dengan perbantuan dilakukan dengan melimpahkan penindakan ke Unit Penindakan kantor DJBC lain secara vertikal/horizontal disertai bantuan.
|
||
(6)
|
Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) berdasarkan surat perintah.
|
||
(7)
|
Bentuk dan tata cara pengisian surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Lampiran XIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||
Penindakan mandiri dilaksanakan oleh Kantor DJBC setempat dengan dibuatkan Surat Bukti Penindakan (SBP) dan berita acara terkait atas pelaksanaan penindakan.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 26 |
|||
(1)
|
Penindakan dengan perbantuan dilaksanakan oleh Unit Penindakan Kantor DJBC dengan bantuan Unit Penindakan Kantor DJBC lain berdasarkan permintaan tertulis sebelum penindakan, yang disampaikan secara hierarkis disertai alasan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan.
|
||
(2)
|
Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Unit Penindakan kantor DJBC yang mengikutsertakan Unit Penindakan Kantor DJBC lain dan dibuatkan Surat Bukti Penindakan (SBP) serta berita acara terkait atas pelaksanaan penindakan.
|
||
(3)
|
Dalam keadaan mendesak yang tidak memungkinkan permintaan bantuan disampaikan sebelum penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberitahuan disampaikan segera setelah penindakan dilakukan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 27 |
|||
(1)
|
Penindakan yang dilimpahkan dilaksanakan berdasarkan Memo Pelimpahan Penindakan (MPP) yang berisi instruksi pelimpahan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan:
|
||
|
a.
|
dari Unit Penindakan Kantor Pusat ke Unit Penindakan Kantor DJBC; atau
|
|
|
b.
|
dari Unit Penindakan Kantor Wilayah ke Unit Penindakan Kantor Pelayanan.
|
|
(2)
|
Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kantor DJBC yang menerima pelimpahan dengan membuat Surat Bukti Penindakan (SBP) dan berita acara terkait penindakan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 28 |
|||
(1)
|
Penindakan yang dilimpahkan dengan perbantuan dilaksanakan berdasarkan Memo Pelimpahan Penindakan (MPP) yang berisi instruksi pelimpahan dengan bantuan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan:
|
||
|
a.
|
dari Unit Penindakan Kantor Pusat ke Unit Penindakan Kantor DJBC; atau
|
|
|
b.
|
dari Unit Penindakan Kantor Wilayah ke Unit Penindakan Kantor Pelayanan.
|
|
(2)
|
Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kantor DJBC yang menerima pelimpahan dengan membuat Surat Bukti Penindakan (SBP) dan berita acara terkait penindakan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 29 |
|||
Bentuk dan tata cara penatausahaan MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) diatur dalam Lampiran XIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
Bagian Keempat
Patroli dan Operasi Penindakan Pasal 30 |
|||
(1)
|
Kegiatan Unit Penindakan dilaksanakan dengan patroli dan/atau operasi penindakan.
|
||
(2)
|
Patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan informasi yang bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau dalam rangka pencegahan pelanggaran dalam bentuk:
|
||
|
a.
|
patroli laut;
|
|
|
b.
|
patroli darat.
|
|
(3)
|
Operasi penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan melakukan penindakan secara fisik berdasarkan hasil analisis terhadap informasi yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) meliputi kegiatan:
|
||
|
a.
|
penghentian;
|
|
|
b.
|
pemeriksaan;
|
|
|
c.
|
penegahan;
|
|
|
d.
|
penyegelan.
|
|
(4)
|
Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (3), operasi penindakan terhadap pelanggaran di bidang cukai, dapat dilaksanakan oleh Unit Pelayanan dengan tidak melayani pemesanan pita cukai sesuai ketentuan di bidang cukai yang berlaku.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 1
Patroli Laut Pasal 31 |
|||
(1)
|
Patroli laut dilaksanakan secara rutin atau sewaktu-waktu dalam rangka pencegahan pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai termasuk untuk mencari dan menemukan dugaan pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
(2)
|
Patroli Laut dilaksanakan di seluruh wilayah perairan Indonesia serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Kepabeanan.
|
||
(3)
|
Selain patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1), patroli laut dapat dilaksanakan dalam rangka:
|
||
|
a.
|
koordinasi dengan Administrasi Pabean negara lainnya;
|
|
|
b.
|
koordinasi dalam kegiatan pertahanan dan keamanan laut sesuai permintaan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Tentara Nasional Indonesia, berdasarkan nota kesepahaman;
|
|
|
c.
|
koordinasi dalam kegiatan penegakan hukum sesuai permintaan instansi terkait berdasarkan nota kesepahaman;
|
|
|
d.
|
perbantuan dalam kegiatan Search and Rescue (SAR) berkenaan dengan keadaan darurat sesuai permintaan Badan SAR Nasional/Daerah; atau
|
|
|
e.
|
perbantuan dalam kegiatan pengamanan dan pelaksanaan tugas pejabat negara berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal.
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||
(1)
|
Patroli laut dilaksanakan oleh Satuan Tugas Patroli yang sekurang-kurangnya terdiri dari Komandan Patroli, Nakhoda, dan anggota patroli.
|
||
(2)
|
Komandan Patroli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bertanggung jawab sebagai pimpinan tugas patroli laut, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur/golongan II c dan memiliki kualifikasi teknis pemeriksa.
|
||
(3)
|
Nakhoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab dalam pengoperasian kapal, keselamatan kapal dan personil serta tugas lainnya berkaitan dengan tugas patroli laut dari Komandan Patroli.
|
||
(4)
|
Anggota patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi anak buah kapal yang memiliki kualifikasi di bidang perkapalan dan/atau pegawai yang ditunjuk.
|
||
(5)
|
Satuan Tugas Patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengenakan Pakaian Seragam Dinas sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
|
|
|
|
Pasal 33 |
|||
(1)
|
Kegiatan patroli laut dilaksanakan sesuai dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan DJBC atau patroli laut gabungan dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah secara mandiri, dengan memanfaatkan kapal patroli dan/atau awak kapal patroli yang dimiliki atau dari Pangkalan Sarana Operasi yang berada di bawahnya.
|
||
(2)
|
Kegiatan patroli laut dapat dilaksanakan secara lintas wilayah kerja Kantor Wilayah DJBC dalam skema Kerjasama Operasi (KSO), dengan memanfaatkan kapal patroli dan/atau awak kapal patroli yang dimiliki untuk pengawasan pada wilayah kerja Kantor Wilayah DJBC lain, dengan ketentuan:
|
||
|
a.
|
Berdasarkan permintaan tertulis atau berdasarkan MoU antar Kantor Wilayah DJBC terkait;
|
|
|
b.
|
Pelaksanaan patroli masih dalam wilayah kerja PSO;
|
|
|
c.
|
Pengoperasian kapal patroli termasuk penugasan komandan patroli secara teknis dan pembiayaan menjadi tanggung jawab Kantor Wilayah DJBC yang membawahi PSO.
|
|
(3)
|
Kegiatan patroli laut dapat dilaksanakan secara lintas wilayah kerja Kantor Wilayah DJBC dalam skema Bawah Kendali Operasi (BKO), dengan memanfaatkan kapal patroli dan/atau awak kapal patroli yang dimiliki untuk pengawasan pada wilayah kerja Kantor Wilayah DJBC lain, dengan ketentuan:
|
||
|
a.
|
Berdasarkan permintaan tertulis oleh Kantor Wilayah DJBC yang akan melaksanakan patroli kepada Direktur Penindakan dan Penyidikan dengan tembusan Kantor Wilayah DJBC yang membawahi PSO;
|
|
|
b.
|
Pemberian bantuan sarana operasi dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari Direktur Penindakan dan Penyidikan;
|
|
|
c.
|
Pengoperasian kapal patroli termasuk penugasan komandan patroli secara teknis dan pembiayaan menjadi tanggung jawab Kantor Wilayah DJBC yang akan melaksanakan patroli.
|
|
(4)
|
Kegiatan patroli laut dapat dilaksanakan secara lintas wilayah kerja Kantor Wilayah DJBC dalam skema terpadu, dengan memanfaatkan kapal patroli dan/atau awak kapal patroli yang dimiliki satu atau lebih Kantor Wilayah, dengan ketentuan:
|
||
|
a.
|
berdasarkan perintah Direktur Jenderal dengan atau tanpa permintaan/masukan dari Kantor Wilayah DJBC terkait;
|
|
|
b.
|
tidak terbatas pada wilayah kerja PSO;
|
|
|
c.
|
dapat dilaksanakan secara gabungan dengan melibatkan kapal patroli dari beberapa PSO.
|
|
|
d.
|
Pengoperasian kapal patroli termasuk penugasan komandan patroli secara teknis dan pembiayaan menjadi tanggung jawab dari Direktorat Penindakan dan Penyidikan.
|
|
(5)
|
Persyaratan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) atau (4) dikecualikan dalam hal dilakukan berdasarkan perintah Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk.
|
||
|
|
|
|
Pasal 34 |
|||
Persiapan patroli laut dilaksanakan dengan pemenuhan persyaratan meliputi:
|
|||
a.
|
kelengkapan administrasi patroli berupa surat perintah dan dokumen administrasi patroli.
|
||
b.
|
sarana patroli berupa kapal patroli berikut perlengkapannya termasuk senjata api dalam hal diperlukan, dan
|
||
c.
|
personil Satuan Tugas Patroli terdiri dari Komandan Patroli, Nakhoda, anak buah kapal dan anggota patroli.
|
||
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||
(1)
|
Kelengkapan administrasi patroli berupa surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang merupakan dasar pelaksanaan patroli.
|
||
(2)
|
Surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||
|
a.
|
Surat Perintah Patroli (SPP) kepada Komandan patroli dan anggota patroli.
|
|
|
b.
|
Surat Perintah Berlayar (SPB) kepada nakhoda dan anak buah kapal.
|
|
(3)
|
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||
|
a.
|
Direktur Penindakan dan Penyidikan atau pejabat yang ditunjuk;
|
|
|
b.
|
Kepala Kantor DJBC atau pejabat yang ditunjuk; atau
|
|
|
c.
|
Kepala Pangkalan Sarana Operasi atau pejabat yang ditunjuk sesuai ketentuan yang berlaku.
|
|
(4)
|
Kelengkapan administrasi patroli berupa dokumen patroli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a berupa:
|
||
|
a.
|
dokumen tugas patroli, sekurang-kurangnya meliputi dokumen untuk pemeriksaan, penegahan, penyegelan dan penggunaan senjata api yang merupakan tanggung jawab komandan patroli.
|
|
|
b.
|
dokumen sarana patroli, sekurang-kurangnya meliputi dokumen kapal, mesin, radio dan peralatan lain yang merupakan tanggung jawab nakhoda.
|
|
(5)
|
Bentuk dan tata cara pengisian SPP sebagaimana diatur dalam Lampiran XV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(6)
|
Bentuk dan tata cara pengisian SPB sebagaimana diatur dalam Lampiran XVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(7)
|
Bentuk dan tata cara pengisian dokumen tugas patroli sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a diatur dalam Lampiran XVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(8)
|
Bentuk dan tata cara pengisian dokumen sarana patroli sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf b diatur dalam Lampiran XVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 36 |
|||
(1)
|
Sarana operasi berupa kapal patroli berikut kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b yang digunakan dalam pelaksanaan patroli wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
||
(2)
|
Sarana operasi berupa senjata api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b dapat digunakan dalam pelaksanaan patroli dan wajib dilengkapi dengan Izin Penguasaan Pinjam Pakai Senjata Api Dinas yang dikeluarkan oleh Pejabat yang menerbitkan surat perintah.
|
||
(3)
|
Izin Penguasaan Pinjam Pakai Senjata Api Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan Daftar Penempatan Senjata Api Dinas yang mencantumkan jumlah, jenis, merk, tipe, dan ukuran/caliber serta jumlah amunisi untuk masing-masing jenis serta nama-nama pejabat yang bertanggung jawab untuk tiap-tiap senjata api dinas.
|
||
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||
(1)
|
Sebelum keberangkatan patroli, komandan patroli wajib melakukan kegiatan:
|
||
|
a.
|
pemeriksaan/pengecekan atas persiapan patroli berupa kelengkapan administrasi patroli, sarana patroli dan personil Satuan Tugas Patroli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Kesiapan Patroli;
|
|
|
b.
|
pengarahan/penjelasan teknis patroli kepada Anggota Satuan Tugas Patroli sesuai petunjuk dari pejabat yang menerbitkan surat perintah; dan
|
|
|
c.
|
Pengecekan kelayakan cuaca.
|
|
(2)
|
tata cara Pemeriksaan kesiapan patroli laut sebagaimana diatur dalam Lampiran XIX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Daftar Pemeriksaan Kesiapan Patroli Laut sebagaimana diatur dalam Lampiran XX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 38 |
|||
Patroli laut dilaksanakan dengan kegiatan meliputi:
|
|||
a.
|
pelaporan keberangkatan dan selama berlayar;
|
||
b.
|
penentuan sasaran patroli;
|
||
c.
|
penghentian sarana pengangkut;
|
||
d.
|
pemeriksaan sarana pengangkut;
|
||
e.
|
pengamanan patroli; dan
|
||
f.
|
pengakhiran patroli.
|
||
|
|
|
|
Pasal 39 |
|||
(1)
|
Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a wajib dilaksanakan oleh Komandan Patroli kepada Pejabat yang menerbitkan surat perintah melalui radio atau alat komunikasi lainnya, berupa:
|
||
|
a.
|
pelaporan saat keberangkatan, yaitu pada saat kapal patroli meninggalkan dermaga.
|
|
|
b.
|
pelaporan selama berlayar secara berkala sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) jam atau sesuai dengan perintah pejabat yang menerbitkan surat perintah mengenai posisi kapal patroli, personil Satuan Tugas Patroli, sarana patroli, cuaca dan keadaan yang dihadapi.
|
|
(2)
|
Komandan patroli bertanggung jawab terhadap kelancaran/ kesinambungan komunikasi dan pelaporan selama 24 (dua puluh empat) jam setiap hari, baik antar kapal patroli maupun dengan pejabat yang menerbitkan surat perintah.
|
||
|
|
|
|
Pasal 40 |
|||
(1)
|
Sasaran pelaksanaan patroli ditujukan terhadap sarana pengangkut yang berbendera Indonesia, asing, atau tanpa bendera yang berada:
|
||
|
a.
|
di seluruh perairan dalam Daerah Pabean Indonesia;
|
|
|
b.
|
di perairan yang digunakan untuk pelayaran internasional, dalam rangka pengejaran tidak terputus.
|
|
(2)
|
Sasaran pelaksanaan patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap:
|
||
|
a.
|
Kapal Perang dan Kapal Instansi Penegak Hukum.
|
|
|
b.
|
Sarana Pengangkut yang disegel oleh penegak hukum lain.
|
|
(3)
|
Penentuan sasaran pelaksanaan patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hasil pengamatan terhadap asal, rute, jenis, haluan sarana pengangkut dan muatan barang untuk dapat dilakukan penghentian dan pemeriksaan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 41 |
|||
(1)
|
Penghentian sarana pengangkut yang diduga melakukan pelanggaran, dilaksanakan oleh Satuan Tugas Patroli atas perintah Komandan Patroli dengan memberikan tanda/isyarat yang dapat dilihat atau didengar.
|
||
(2)
|
Terhadap sarana pengangkut yang tidak mengindahkan perintah penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pengejaran.
|
||
(3)
|
Dalam hal pengejaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara terus menerus (hot pursuit) hingga keluar wilayah kerja, komandan patroli pada kesempatan pertama harus melaporkan kepada pejabat yang mengeluarkan surat perintah.
|
||
(4)
|
tata cara penghentian sarana pengangkut sebagaimana diatur dalam Lampiran XXI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan sarana pengangkut dilaksanakan berdasarkan hasil pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dengan menggunakan manifes sebagai instrumen untuk mencari dan menemukan dugaan pelanggaran, meliputi:
|
||
|
a.
|
mengangkut barang impor/ekspor tanpa dilindungi manifes;
|
|
|
b.
|
mengangkut barang impor/ekspor dengan dilindungi manifes, namun atas barang impor/ekspor tersebut:
|
|
|
|
1)
|
sama sekali tidak tercantum dalam manifes.
|
|
|
2)
|
sebagian tidak tercantum dalam manifes.
|
|
c.
|
mengangkut barang impor dan/atau barang ekspor yang tidak tercantum dalam manifes atau daftar barang Anak Buah Kapal (ABK) dengan cara disembunyikan dalam ruangan ABK, ruang mesin atau dinding-dinding sarana pengangkut;
|
|
|
d.
|
mengangkut barang impor dan/atau ekspor dengan dilindungi manifes ganda;
|
|
|
e.
|
mengangkut barang impor dan/atau ekspor dengan modus antar pulau; atau
|
|
|
f.
|
mengangkut barang impor dan/atau ekspor yang diduga seluruhnya atau sebagian belum diselesaikan kewajiban pabeannya.
|
|
(2)
|
Dalam rangka pemeriksaan sarana pengangkut, komandan patroli memerintahkan nakhoda kapal patroli untuk merapatkan kapal patroli ke sarana pengangkut dengan wajib mempertimbangkan keselamatan personil Satuan Tugas Patroli dan kapal patroli serta cuaca dan kondisi sarana pengangkut yang akan diperiksa berdasarkan masukan dari nakhoda kapal patroli.
|
||
(3)
|
Dalam rangka pemeriksaan sarana pengangkut, Komandan patroli memerintahkan kepada:
|
||
|
a.
|
Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota untuk memeriksa sarana pengangkut;
|
|
|
b.
|
Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota untuk mengamankan pelaksanaan pemeriksaan dengan menggunakan senjata api atau alat keamanan lainnya; dan
|
|
|
c.
|
Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota untuk menjaga kapal patroli dengan menggunakan senjata api atau alat keamanan lainnya.
|
|
(4)
|
Anggota yang bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mengenakan baju pelampung (life jacket) dan dilengkapi dengan:
|
||
|
a.
|
perlengkapan pemeriksaan meliputi peralatan tulis, peralatan kerja berupa tang, obeng, alat pemotong, alat ukur, senter, kamera dan peralatan komunikasi serta segel/tanda pengaman.
|
|
|
b.
|
peralatan pengamanan pelaku dan barang hasil penindakan.
|
|
(5)
|
Komandan patroli bertanggung jawab terhadap kelancaran, ketertiban, keamanan pelaksanaan pemeriksaan dan kelancaran lalu lintas kapal-kapal lainnya.
|
||
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan Tugas Patroli di tempat penghentian sarana pengangkut.
|
||
(2)
|
Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan di tempat penghentian karena dikhawatirkan mengganggu ketertiban umum dan/atau membahayakan keselamatan personil dan kapal patroli atau sarana pengangkut beserta awaknya, Komandan Patroli dapat:
|
||
|
a.
|
memerintahkan sarana pengangkut untuk menuju ke tempat lain yang layak, Kantor terdekat, atau Kantor tempat kedudukan pejabat penerbit Surat Perintah Patroli untuk pemeriksaan; atau
|
|
|
b.
|
melakukan upaya paksa (pendeligeran) untuk dapat dipenuhinya perintah sebagaimana dimaksud pada huruf a, dalam hal perintah komandan patroli tidak diindahkan.
|
|
(3)
|
Pemeriksaan sarana pengangkut dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dokumen sarana pengangkut/barang dan fisik barang untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran.
|
||
(4)
|
Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
|
||
|
a.
|
tidak ditemukan adanya dugaan pelanggaran, komandan patroli segera memerintahkan sarana pengangkut untuk meneruskan perjalanannya.
|
|
|
b.
|
ditemukan adanya dugaan pelanggaran dilakukan kegiatan penindakan lebih lanjut.
|
|
(9)
|
tata cara pemeriksaan sarana pengangkut diatur dalam Lampiran XXII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 44 |
|||
(1)
|
Pengamanan pelaksanaan patroli dilakukan atas perintah Komandan Patroli dalam hal terjadi keadaan darurat, dengan:
|
||
|
a.
|
menyelamatkan personil Satuan Tugas Patroli dan kapal patroli apabila kapal patroli mengalami kerusakan, kebocoran, kebakaran atau keadaan darurat lainnya.
|
|
|
b.
|
menyelamatkan awak sarana pengangkut, dokumen-dokumen, barang serta sarana pengangkut dalam hal sarana pengangkut yang ditegah mengalami kerusakan, kebocoran, kebakaran atau keadaan darurat lainnya.
|
|
|
c.
|
mengambil tindakan tegas demi keselamatan personil Satuan Tugas Patroli dan kapal patroli dalam hal sarana pengangkut yang ditegah mengalami kerusakan, kebocoran dan/atau kebakaran sebagai akibat tindakan yang disengaja/sabotase oleh awak sarana pengangkut atau pihak lain.
|
|
(2)
|
Dalam hal terjadi ancaman atau perlawanan oleh awak sarana pengangkut atau pihak lain dalam pelaksanaan patroli, Komandan Patroli memerintahkan personil Satuan Tugas Patroli untuk melakukan tindakan pengamanan, penyelamatan, dan pembelaan diri dengan atau tanpa menggunakan senjata api atau alat keamanan lainnya dengan sedapat mungkin meminta persetujuan pejabat yang menerbitkan surat perintah, dan setelah pelaksanaan patroli wajib:
|
||
|
a.
|
membuat laporan tentang terjadinya peristiwa ancaman atau perlawanan serta tindakan pengamanan kepada pejabat yang menerbitkan surat perintah.
|
|
|
b.
|
membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan senjata api dinas DJBC dan berita acara kepada pejabat yang menerbitkan surat perintah sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 56 tahun 1996 tentang Penggunaan Senjata Api Dinas DJBC.
|
|
(3)
|
tata cara pengamanan patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran XXIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
Berita acara Penggunaan Senjata Api Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dalam Lampiran XXIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||
(1)
|
Pengakhiran patroli dilakukan dalam hal:
|
||
|
a.
|
Surat Perintah Patroli telah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang;
|
|
|
b.
|
atas perintah atau persetujuan pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Patroli atau pejabat yang ditunjuk; atau
|
|
|
c.
|
sasaran patroli yang ditentukan telah tercapai.
|
|
(2)
|
Dalam hal patroli berakhir, Komandan Patroli melakukan kegiatan:
|
||
|
a.
|
pengecekan sebelum meninggalkan Kapal Patroli, terhadap:
|
|
|
|
1)
|
jumlah anggota satuan tugas patroli;
|
|
|
2)
|
kelengkapan senjata api dinas beserta amunisi;
|
|
|
3)
|
kapal patroli, bahan bakar minyak, logistik, alat komunikasi, alat keselamatan, alat navigasi;
|
|
|
4)
|
kelengkapan administrasi patroli dan kapal patroli; dan
|
|
|
5)
|
kelengkapan alat pemeriksaan dan pengamanan.
|
|
b.
|
pelaporan pelaksanaan patroli secara tertulis kepada pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Patroli atau pejabat yang ditunjuk;
|
|
|
c.
|
pengembalian senjata api dinas dan amunisi kepada pejabat yang menangani persenjataan; dan
|
|
|
d.
|
pengembalian perlengkapan patroli kepada pejabat yang menangani perlengkapan patroli.
|
|
(3)
|
Dalam hal masa berlaku surat perintah akan berakhir, namun patroli masih diperlukan, Pejabat yang menerbitkan surat perintah dapat memperpanjang surat perintah dan menyampaikan kepada Satuan Tugas Patroli melalui Berita Radiogram.
|
||
(4)
|
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c sebagaimana diatur dalam Lampiran XXV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 2
Patroli Darat Pasal 46 |
|||
(1)
|
Patroli darat dilaksanakan secara rutin atau sewaktu-waktu dalam rangka pencegahan pelanggaran termasuk untuk mencari dan menemukan dugaan pelanggaran.
|
||
(2)
|
Patroli darat dilaksanakan di dalam daerah pabean, meliputi:
|
||
|
a.
|
pelabuhan laut/udara;
|
|
|
b.
|
kawasan pabean;
|
|
|
c.
|
tempat lain dalam daerah pabean (TLDDP);
|
|
|
d.
|
perbatasan darat;
|
|
|
e.
|
pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha penyalur atau tempat penjualan eceran barang kena cukai, atau
|
|
|
f.
|
peredaran bebas barang kena cukai.
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
|||
(1)
|
Patroli darat dilaksanakan oleh Satuan Tugas Patroli yang terdiri dari Komandan Patroli dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota patroli.
|
||
(2)
|
Komandan Patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur/golongan IIc dan memiliki kualifikasi teknis pemeriksa, bertanggung jawab sebagai pimpinan tugas patroli.
|
||
(3)
|
Kegiatan patroli dilaksanakan sesuai dengan wilayah kerja Kantor DJBC.
|
||
(4)
|
Satuan Tugas Patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengenakan Pakaian Seragam Dinas sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
(5)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikecualikan untuk kelancaran tugas patroli berdasarkan surat perintah.
|
||
|
|
|
|
Pasal 48 |
|||
Persiapan patroli darat dilaksanakan dengan kegiatan pemenuhan persyaratan meliputi:
|
|||
a.
|
kelengkapan administrasi berupa surat perintah dan dokumen tugas patroli.
|
||
b.
|
sarana patroli berupa kendaraan berikut perlengkapannya termasuk senjata api dalam hal diperlukan, dan
|
||
c.
|
personil satuan tugas patroli yaitu komandan dan anggota patroli.
|
||
|
|
|
|
Pasal 49 |
|||
(1)
|
Surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a berupa Surat Perintah Patroli, diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan merupakan dasar pelaksanaan patroli.
|
||
(2)
|
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||
|
a.
|
Direktur Penindakan dan Penyidikan atau pejabat yang ditunjuk; atau
|
|
|
b.
|
Kepala Kantor DJBC atau pejabat yang ditunjuk.
|
|
(3)
|
Kelengkapan administrasi patroli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a sekurang-kurangnya meliputi dokumen untuk pemeriksaan, penegahan, penyegelan dan penggunaan senjata api yang merupakan tanggung jawab komandan patroli.
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara pengisian dokumen tugas patroli sebagaimana diatur dalam Lampiran XVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||
(1)
|
Dalam pelaksanaan patroli dapat digunakan sarana operasi berupa senjata api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b.
|
||
(2)
|
Senjata api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan Izin Penguasaan Pinjam Pakai Senjata Api Dinas yang dikeluarkan oleh Pejabat yang menerbitkan surat perintah.
|
||
(3)
|
Penggunaan Senjata Api Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan tentang penggunaan Senjata Api Dinas yang berlaku.
|
||
|
|
|
|
Pasal 51 |
|||
(1)
|
Sebelum keberangkatan, komandan patroli wajib melakukan kegiatan:
|
||
|
a.
|
pemeriksaan/pengecekan atas persiapan patroli berupa kelengkapan administrasi patroli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Kesiapan Patroli; dan
|
|
|
b.
|
pengarahan/penjelasan teknis patroli kepada Anggota Satuan Tugas Patroli sesuai petunjuk dari pejabat yang menerbitkan surat perintah.
|
|
(2)
|
tata cara pemeriksaan persiapan patroli darat sebagaimana diatur dalam Lampiran XXVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(3)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Daftar Pemeriksaan Kesiapan Patroli Darat sebagaimana diatur dalam Lampiran XXVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||
(1)
|
Kegiatan patroli darat dilaksanakan dengan pengamatan terhadap sasaran patroli berupa sarana pengangkut, barang atau tempat yang diduga terkait dengan pelanggaran atas:
|
||
|
a.
|
kedatangan atau keberangkatan sarana pengangkut di pelabuhan laut/udara.
|
|
|
b.
|
pembongkaran, pemuatan, penimbunan, pemeriksaan dan pengeluaran barang impor/ekspor pada kawasan pabean di dalam maupun luar pelabuhan laut/udara,
|
|
|
c.
|
pengangkutan barang yang masih dalam pengawasan kepabeanan di luar kawasan pabean,
|
|
|
d.
|
pemasukan/pengeluaran barang impor/ekspor di perbatasan darat,
|
|
|
e.
|
produksi di pabrik, penimbunan di Tempat Penyimpanan, tempat usaha penyalur atau penjualan di Tempat Penjualan Eceran barang kena cukai, atau
|
|
|
f.
|
pengangkutan dan peredaran barang kena cukai di peredaran bebas.
|
|
(2)
|
Dalam hal kegiatan patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, komandan patroli membuat pelaporan pelaksanaan patroli secara tertulis kepada pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Patroli atau pejabat yang ditunjuk dan mengembalikan perlengkapan patroli.
|
||
(3)
|
Dalam hal hasil pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya dugaan pelanggaran dilakukan kegiatan penindakan lebih lanjut.
|
||
(4)
|
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana diatur dalam Lampiran XXV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 3
Penghentian Sarana Pengangkut Pasal 53 |
|||
(1)
|
Penghentian sarana pengangkut serta barang impor, ekspor, barang tertentu, barang kena cukai dan/atau barang lain yang terkait yang berada di atasnya, dilaksanakan oleh Pejabat secara selektif berdasarkan informasi adanya dugaan pelanggaran.
|
||
(2)
|
Sarana pengangkut sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
alat yang digunakan untuk mengangkut impor, ekspor, barang tertentu, barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait di darat, di air, atau di udara; dan
|
|
|
b.
|
orang pribadi yang mengangkut impor, ekspor, barang tertentu, barang kena cukai dan/atau barang lainnya tanpa menggunakan alat angkut.
|
|
(3)
|
Penghentian terhadap sarana pengangkut dilakukan dengan cara memberikan isyarat berupa isyarat tangan, isyarat bunyi, isyarat lampu, radio dan sebagainya yang lazim digunakan sebagai isyarat untuk menghentikan sarana pengangkut.
|
||
(4)
|
Dalam melakukan penghentian, Pejabat harus menunjukkan surat perintah kepada Pengangkut atau orang pribadi yang dihentikan.
|
||
(5)
|
Terhadap sarana pengangkut yang tidak mengindahkan perintah penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pengejaran.
|
||
(6)
|
Dalam hal pengejaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara terus menerus (hot pursuit) hingga keluar wilayah kerja, pada kesempatan pertama harus dilaporkan kepada pejabat yang mengeluarkan surat perintah.
|
||
(7)
|
Atas perintah atau permintaan dari Pejabat, Pengangkut wajib:
|
||
|
a.
|
menghentikan sarana pengangkut atau kegiatan mengangkutnya; dan
|
|
|
b.
|
menunjukkan dokumen impor, ekspor, barang kena cukai dan/atau dokumen pelengkap lainnya yang diwajibkan menurut peraturan yang berlaku.
|
|
(8)
|
Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera dilanjutkan dengan pemeriksaan.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 4
Pemeriksaan Sarana Pengangkut, Barang, Bangunan/tempat dan/atau Badan Pasal 54 |
|||
Pemeriksaan dilakukan terhadap sarana pengangkut, barang, tempat/bangunan atau orang pribadi yang diduga terkait pelanggaran.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 55 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dilaksanakan:
|
||
|
a.
|
terhadap sarana pengangkut laut/darat pada saat pengangkutan; atau
|
|
|
b.
|
terhadap sarana pengangkut laut/udara pada saat kedatangan atau keberangkatan di pelabuhan laut/udara.
|
|
(2)
|
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memeriksa dokumen, sarana pengangkut dan fisik barang.
|
||
(3)
|
tata cara pemeriksaan sarana pengangkut laut sebagaimana diatur dalam Lampiran XXII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
tata cara pemeriksaan sarana pengangkut darat sebagaimana diatur dalam Lampiran XVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 56 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dilaksanakan terhadap barang impor atau ekspor di dalam/luar kawasan pabean atau di perbatasan darat dengan memeriksa fisik barang secara keseluruhan berdasarkan dokumen pabean atau dokumen barang lainnya meliputi:
|
||
|
a.
|
jumlah dan jenis kemasan dan/atau barang;
|
|
|
b.
|
merek/tipe barang;
|
|
|
c.
|
negara asal barang; dan/atau
|
|
|
d.
|
spesifikasi lainnya.
|
|
(2)
|
Pemeriksaan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 berupa barang kena cukai dilaksanakan di pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha penyalur atau tempat penjualan eceran, dengan memeriksa fisik barang secara keseluruhan berdasarkan dokumen cukai atau dokumen barang lainnya, yang meliputi:
|
||
|
a.
|
jumlah dan jenis kemasan dan/atau barang;
|
|
|
b.
|
harga jual eceran dan tarif cukai;
|
|
|
c.
|
keaslian pita cukai;
|
|
|
d.
|
personalisasi; dan/atau
|
|
|
e.
|
kadar etil alkohol untuk minuman dan konsentrat mengandung etil alkohol.
|
|
(3)
|
tata cara pemeriksaan barang dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan barang.
|
||
|
|
|
|
Pasal 57 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan bangunan/tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang pendiriannya berdasarkan ketentuan kepabeanan dan cukai, dilaksanakan dengan meminta kepada pihak yang menguasai bangunan/tempat untuk menunjukkan ruangan/tempat untuk penyimpanan/penimbunan barang yang berada di:
|
||
|
a.
|
tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, tempat penimbunan pabean.
|
|
|
b.
|
pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha penyalur atau tempat penjualan eceran.
|
|
(2)
|
Pemeriksaan bangunan/tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang pendiriannya tidak berdasarkan ketentuan kepabeanan dan/atau cukai, dilaksanakan berdasarkan izin Direktur Jenderal dengan meminta kepada pihak yang menguasai bangunan/tempat untuk menunjukkan ruangan/tempat untuk penyimpanan/ penimbunan barang.
|
||
(3)
|
tata cara pemeriksaan bangunan/tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dalam Lampiran XXIX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 58 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dilakukan terhadap orang pribadi yang:
|
||
|
a.
|
berada di atas atau baru saja turun dari sarana pengangkut yang masuk ke dalam daerah pabean.
|
|
|
b.
|
berada di atas atau siap naik ke sarana pengangkut dengan tujuan keluar daerah pabean.
|
|
|
c.
|
sedang berada di atau baru saja meninggalkan Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat, atau
|
|
|
d.
|
sedang berada di atau baru saja meninggalkan kawasan pabean
|
|
(2)
|
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedapat mungkin dilaksanakan di tempat tertutup oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) Pejabat yang sama jenis kelaminnya dengan yang diperiksa dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Badan.
|
||
(3)
|
tata cara pemeriksaan orang pribadi serta bentuk dan tata cara pengisian Berita Acara Pemeriksaan Badan sebagaimana diatur dalam Lampiran XXX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 5
Penegahan Pasal 59 |
|||
(1)
|
Penegahan dilaksanakan terhadap sarana pengangkut dan/atau barang yang diduga terkait dengan pelanggaran.
|
||
(2)
|
Penegahan terhadap sarana pengangkut laut/udara, dilaksanakan dengan mencegah keberangkatan atau mencegah untuk melanjutkan perjalanan sarana pengangkut yang memuat barang impor atau ekspor yang:
|
||
|
a.
|
terdapat perbedaan jumlah dan/atau jenis kemasan/barang dengan manifest;
|
|
|
b.
|
terdapat manifest lebih dari satu yang memuat data berbeda, atau tidak dapat menunjukkan manifest; atau
|
|
|
c.
|
terdapat barang yang dicantumkan dalam manifest tetapi terdapat dugaan melanggar ketentuan larangan dan pembatasan di bidang impor, ekspor, barang tertentu atau cukai.
|
|
(3)
|
Penegahan terhadap sarana pengangkut darat, dilaksanakan dengan mencegah keberangkatan atau mencegah untuk melanjutkan perjalanan sarana pengangkut yang memuat barang impor, ekspor, barang tertentu atau barang kena cukai, yang sebagian atau seluruhnya tidak memenuhi kewajiban kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
(4)
|
Penegahan terhadap barang, dilakukan dengan menunda pengeluaran, pemuatan, pembongkaran dan pengangkutan barang impor, ekspor, barang tertentu atau barang kena cukai, yang sebagian atau seluruhnya tidak memenuhi kewajiban kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 6
Penyegelan Pasal 60 |
|||
(1)
|
Penyegelan dilaksanakan dengan mengunci, menyegel dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan terhadap sarana pengangkut, barang, bangunan atau tempat yang diduga terkait pelanggaran.
|
||
(2)
|
Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan segel atau tanda pengaman yang terbuat dari kertas, plastik, logam, lak dan/atau bahan lainnya dengan bentuk tertentu berupa lembaran, pita, kunci, kancing dan/atau bentuk lainnya yang dilengkapi dengan piranti elektronik atau tidak.
|
||
(3)
|
Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
|
||
|
a.
|
penindakan, penyidikan, audit, penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa; atau
|
|
|
b.
|
pengamanan terhadap barang yang belum diselesaikan kewajiban pabean dan/atau cukainya atau barang lain yang harus diawasi.
|
|
(4)
|
Pemilik dan/atau yang menguasai barang, sarana pengangkut, kemasan dan bangunan atau tempat lain yang disegel oleh Pejabat wajib menjaga agar semua segel tidak rusak atau hilang baik secara fisik maupun fungsinya.
|
||
(5)
|
tata cara penyegelan dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku tentang penyegelan.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 7
Surat Bukti Penindakan Pasal 61 |
|||
(1)
|
Atas pelaksanaan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, 54, 59, dan 60 diterbitkan Surat Bukti Penindakan (SBP) dan diserahkan kepada pemilik atau pihak yang menguasai sarana pengangkut, bangunan/tempat/ruang atau barang.
|
||
(2)
|
Surat Bukti Penindakan ditandatangani oleh Pejabat yang melakukan penindakan dan pemilik atau pihak yang dilakukan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Dalam hal pemilik atau pihak yang dilakukan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak menandatangani Surat Bukti Penindakan, dibuat Berita Acara Penolakan Tanda tangan Surat Bukti Penindakan, disertai alasan penolakan yang ditandatangani oleh pejabat yang melakukan penindakan dan pemilik atau pihak yang dilakukan penindakan.
|
||
(4)
|
Dalam hal pemilik atau pihak yang dilakukan penindakan menolak menandatangani Berita Acara Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat yang melakukan penindakan membuat dan menandatangani Berita Acara Penolakan.
|
||
(5)
|
Berdasarkan Surat Bukti Penindakan, Pejabat yang melaksanakan penindakan segera membuat Laporan Pelaksanaan Tugas Penindakan (LPTP).
|
||
(6)
|
Bentuk dan Tata cara pengisian Surat Bukti Penindakan serta Berita Acara Penolakan Tanda tangan sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(7)
|
Bentuk dan Tata cara pengisian Laporan Pelaksanaan Tugas Penindakan (LPTP) sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 8
Penindakan Segera Pasal 62 |
|||
(1)
|
Dalam keadaan tertentu dapat dilakukan penindakan segera oleh Unit Intelijen atau Unit Narkotika dengan persetujuan Unit Penindakan Kantor DJBC asal, dalam hal ditemukan dugaan pelanggaran berdasarkan:
|
||
|
a)
|
hasil kegiatan surveillance kepabeanan dan/atau cukai oleh Unit Intelijen Kantor DJBC
|
|
|
b)
|
hasil kegiatan surveillance kepabeanan terkait NPP oleh Unit Narkotika.
|
|
(2)
|
Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keadaan yang sangat mendesak (peka waktu) dan perlu untuk dilakukan penindakan.
|
||
(3)
|
Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan dan dibuatkan Surat Bukti Penindakan.
|
||
(4)
|
tata cara penatausahaan Penindakan Segera sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 9
Penyebaran Segera Informasi Hasil Penindakan Pasal 63 |
|||
(1)
|
Atas hasil penindakan yang telah dilaksanakan, Unit Penindakan segera menyampaikan kepada Subdit Intelijen dengan menggunakan Informasi Penindakan (IP) yang ditembuskan kepada Subdit Penindakan, untuk digunakan sebagai masukan atau referensi dalam rangka pengolahan informasi.
|
||
(2)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan IP sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penentuan Hasil Penindakan Pasal 64 |
|||
(1)
|
Segera setelah seluruh tahapan penindakan selesai, dilaksanakan pembuatan Laporan Tugas Penindakan (LTP) dan dilakukan Analisa Hasil Penindakan dalam waktu:
|
||
|
a.
|
paling lama 7x24 jam sejak dilakukan penindakan untuk dugaan pelanggaran kepabeanan; dan
|
|
|
b.
|
paling lama 14x24 jam sejak dilakukan penindakan untuk dugaan pelanggaran cukai
|
|
(2)
|
Jangka waktu pelaksanaan Analisa Hasil Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas memperhatikan batasan waktu sesuai ketentuan yang berlaku dan dapat diperpanjang atas izin atasan dari yang melaksanakan penindakan.
|
||
(3)
|
Analisa Hasil Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan adanya dugaan pelanggaran atas penindakan yang dilakukan.
|
||
(4)
|
Dalam hal berdasarkan Analisa Hasil Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diduga terdapat pelanggaran, dibuat Laporan Pelanggaran (LP) dan diserahkan kepada Unit Penyidikan dengan dilampiri Laporan Tugas Penindakan (LTP), berkas penindakan beserta barang hasil penindakan.
|
||
(5)
|
Dalam hal berdasarkan Analisa Hasil Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diduga tidak terdapat pelanggaran, Pejabat yang melakukan penindakan membuat laporan pelaksanaan penindakan dan mengembalikan barang yang dilakukan penindakan kepada yang menguasai barang dengan berita acara.
|
||
(6)
|
Analisis hasil penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam Lembar Penentuan Hasil Penindakan (LPHP).
|
||
(7)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LTP sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(8)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LPHP sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(9)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LP sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
BAB VI
TATA LAKSANA PENANGANAN PERKARA Bagian Pertama Kegiatan Penanganan Perkara Pasal 65 |
|||
(1)
|
Kegiatan penanganan perkara dilaksanakan oleh Unit Penyidikan untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran dan/atau membuat terang pelanggaran.
|
||
(2)
|
Kegiatan penanganan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
penerimaan perkara;
|
|
|
b.
|
penelitian pendahuluan;
|
|
|
c.
|
penentuan skema penanganan perkara;
|
|
|
d.
|
penelitian/penyelidikan dan penyidikan;
|
|
|
e.
|
penanganan barang hasil penindakan;
|
|
|
f.
|
penanganan pelaku pelanggaran;
|
|
|
g.
|
pengelolaan Cabang Rumah Tahanan DJBC.
|
|
(3)
|
Unit Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
Subdirektorat Penyidikan pada Direktorat Penindakan dan Penyidikan.
|
|
|
b.
|
Seksi Penyidikan dan Barang Hasil Penindakan pada Kantor wilayah atau Kantor Pelayanan Utama.
|
|
|
c.
|
Seksi Penyidikan dan Seksi Barang Hasil Penindakan pada kantor wilayah khusus.
|
|
|
d.
|
Subseksi Penyidikan dan Subseksi Barang Hasil Penindakan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Cukai.
|
|
|
e.
|
Subseksi Penyidikan dan Barang Hasil Penindakan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A atau Tipe Madya Pabean.
|
|
|
f.
|
Subseksi Penindakan dan Penyidikan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe B.
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penerimaan Perkara Pasal 66 |
|||
(1)
|
Penerimaan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf a dilaksanakan berdasarkan Laporan Pelanggaran (LP) oleh Unit Penindakan atau laporan dugaan pelanggaran pidana lainnya.
|
||
(2)
|
Laporan dugaan pelanggaran pidana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
|
||
|
a.
|
hasil pengembangan penyidikan ditemukan tindak pidana yang tidak terkait dengan tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan;
|
|
|
b.
|
hasil penelitian atau pemeriksaan dari unit lainnya;
|
|
|
c.
|
hasil tertangkap tangan oleh Pejabat;atau
|
|
|
d.
|
penyerahan dari instansi lain.
|
|
(3)
|
Perkara yang diduga merupakan pelanggaran diterima dalam bentuk:
|
||
|
a.
|
Laporan pelanggaran yang berasal dari Unit Penindakan;
|
|
|
b.
|
Laporan dugaan pelanggaran pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b dan c; atau
|
|
|
c.
|
Surat pelimpahan perkara yang berasal dari instansi lain.
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
|||
(1)
|
Atas laporan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dilakukan penerimaan Laporan Pelanggaran (LP) yang dilengkapi dengan Surat Bukti Penindakan (SBP), Laporan Tugas Penindakan (LTP) dan dokumen lain terkait penindakan.
|
||
(2)
|
Atas laporan dugaan pelanggaran pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a, b dan c, dilakukan penerimaan laporan yang dilengkapi sekurang-kurangnya dokumen hasil penelitian atau pemeriksaan yang terkait dengan dugaan pelanggaran pidana.
|
||
(3)
|
Atas penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan:
|
||
|
a.
|
penyampaian tanda terima atau respons elektronis.
|
|
|
b.
|
penuangan dalam Lembar Penerimaan Perkara (LPP) sebagai dasar untuk penelitian pendahuluan.
|
|
(4)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LPP sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 68 |
|||
(1)
|
Atas Surat pelimpahan perkara dari instansi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) huruf c dilaksanakan:
|
||
|
a.
|
Penerimaan surat rencana pelimpahan perkara yang dilengkapi dengan sekurang-kurangnya Laporan Kejadian/Laporan Polisi, hasil pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan awal yang dituangkan dalam Berita Acara, dan Resume Perkara/Resume Hasil Penindakan
|
|
|
b.
|
Penuangan penerimaan perkara dalam Lembar Penerimaan Perkara (LPP) sebagai dasar untuk penelitian pendahuluan.
|
|
(2)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LPP sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penelitian Pendahuluan Pasal 69 |
|||
(1)
|
Atas penerimaan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) segera dilakukan penelitian pendahuluan dalam waktu paling lama 5x24 jam sejak diterimanya laporan pelanggaran untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dan proses penanganan perkara lebih lanjut.
|
||
(2)
|
Penelitian pendahuluan atas perkara yang diterima dilakukan dengan penelitian secara formal, meliputi:
|
||
|
a.
|
kelengkapan berkas penindakan yang diterima dari unit penindakan atau dari instansi lain;
|
|
|
b.
|
pelanggaran yang terjadi meliputi: jenis, waktu, tempat dan pihak yang diduga melakukan pelanggaran;
|
|
|
c.
|
kelengkapan/keberadaan barang hasil penindakan, dokumen/surat terkait, saksi-saksi dan pelaku (jika ada);
|
|
|
d.
|
keterkaitan alat bukti dan barang bukti dengan pelaku;
|
|
(3)
|
Hasil Penelitian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Lembar Penelitian Formal (LPF) yang memuat tentang analisis perkara yang diterima dari unit penindakan atau instansi lain untuk ditentukan dapat tidaknya perkara diterima.
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Lembar Penelitian Formal (LPF) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Lampiran XXXIX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 70 |
|||
(1)
|
Dalam hal hasil Penelitian pendahuluan atas penerimaan perkara yang berasal dari Unit Penindakan ditemukan dugaan pelanggaran, dilakukan:
|
||
|
a.
|
penyidikan dengan menerbitkan Laporan Kejadian (LK), Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP), Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (PDP), apabila diduga pelanggaran pidana
|
|
|
b.
|
penelitian dengan menerbitkan Surat Perintah Penelitian (SPLIT), apabila diduga pelanggaran administrasi atau diperlukan penelitian lebih mendalam atas indikasi pelanggaran,
|
|
|
c.
|
permintaan penyerahan Barang Hasil Penindakan (BHP) dengan berita acara.
|
|
(2)
|
Dalam hal hasil Penelitian pendahuluan atas penerimaan perkara yang berasal dari unit lainnya ditemukan dugaan pelanggaran, dibuatkan Laporan Pelanggaran (LP-1) dan dilakukan:
|
||
a.
|
penyidikan dengan menerbitkan Laporan Kejadian (LK), Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP), Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (PDP), apabila diduga pelanggaran pidana; atau
|
||
b.
|
penelitian dengan menerbitkan Surat Perintah Penelitian (SPLIT), apabila diduga pelanggaran administrasi atau diperlukan penelitian lebih mendalam atas indikasi pelanggaran; dan
|
||
c.
|
pelaksanaan serah terima perkara disertai barang hasil penindakan, alat bukti terkait, dan pelaku yang bertanggung jawab atas pelanggaran (jika ada) dengan berita acara; dan/atau
|
||
d.
|
penegahan dengan penerbitan dan penyampaian Surat Bukti Penindakan (SBP) kepada pemilik atau penguasa barang.
|
||
(3)
|
Dalam hal hasil penelitian pendahuluan atas penerimaan perkara dari Unit Penindakan dan unit lainnya tidak ditemukan dugaan pelanggaran, dilakukan pengembalian perkara dengan pemberitahuan tertulis disertai alasan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||
(1)
|
Atas perkara yang berasal dari instansi lain dilaksanakan Penelitian pendahuluan mengenai pemenuhan persyaratan guna menentukan dapat tidaknya dilakukan proses penanganan perkara lebih lanjut berupa:
|
||
|
a.
|
merupakan hasil penindakan karena tertangkap tangan atas dugaan pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai; dan
|
|
|
b.
|
berdasarkan hasil penelitian/penyelidikan awal disimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup terjadi pelanggaran Kepabeanan dan/atau Cukai dan terdapat pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
|
|
|
c.
|
terdapat kelengkapan/keberadaan barang hasil penindakan, dokumen/surat terkait dan saksi-saksi.
|
|
(2)
|
Dalam hal hasil Penelitian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan dugaan pelanggaran, dilakukan kegiatan:
|
||
|
a.
|
pembuatan Laporan Pelanggaran (LP-1);
|
|
|
b.
|
pelaksanaan serah terima perkara disertai barang hasil penindakan, alat bukti terkait, dan pelaku yang bertanggung jawab atas pelanggaran dengan berita acara;
|
|
|
c.
|
penegahan atas barang hasil penindakan yang diterima dengan Penerbitan dan penyampaian Surat Bukti Penindakan (SBP) kepada pemilik atau penguasa barang.
|
|
|
d.
|
Melaksanakan penelitian/penyidikan lebih lanjut atas perkara yang diterima.
|
|
(3)
|
Dalam hal atas hasil penelitian pendahuluan tidak ditemukan adanya dugaan pelanggaran, disampaikan pemberitahuan tertulis mengenai penolakan pelimpahan perkara disertai alasan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LP-1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf a dan Pasal 71 ayat (2) huruf a diatur dalam Lampiran XL Peraturan Direktur Jenderal ini
|
||
(5)
|
Penegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 59.
|
||
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penentuan Skema Penanganan Perkara Pasal 72 |
|||
(1)
|
Penanganan perkara dilakukan oleh Unit Penyidikan pada Kantor Pelayanan, Kantor Wilayah, atau Kantor Pusat sesuai kewenangan yang ditentukan dengan mempertimbangkan kriteria:
|
||
|
a.
|
kriteria pokok berupa tempat kejadian perkara/pelanggaran dan/atau keberadaan saksi/pelaku; dan
|
|
|
b.
|
kriteria tambahan berupa ketersediaan penyidik dan kompleksitas perkara meliputi kesulitan pembuktian atau adanya sorotan publik.
|
|
(2)
|
Penanganan perkara dilakukan oleh Kantor Pelayanan dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat kejadian perkara/pelanggaran berada pada wilayah kerja Kantor Pelayanan yang merupakan hasil penindakan sendiri atau dari kantor lain; atau
|
|
|
b.
|
keberadaan sebagian besar saksi dan/atau tersangka berada pada wilayah kerja Kantor Pelayanan.
|
|
(3)
|
Penanganan perkara dapat dilakukan oleh Kantor Wilayah dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat kejadian perkara/pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan namun masih dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah; dan/atau
|
|
|
b.
|
terdapatnya pertimbangan kompleksitas perkara.
|
|
(4)
|
Penanganan perkara dapat dilakukan oleh kantor Pusat dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat kejadian perkara/pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan atau Kantor Wilayah; dan/atau
|
|
|
b.
|
terdapatnya pertimbangan kompleksitas perkara.
|
|
(5)
|
Pemenuhan kriteria tambahan berupa kompleksitas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ditentukan oleh Kantor Pusat dengan memperhatikan masukan dari Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan.
|
||
(6)
|
Dalam hal penanganan perkara berupa penelitian, kriteria ketersediaan penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dikecualikan dengan dilakukan oleh peneliti yaitu pegawai pemeriksa berdasarkan surat tugas.
|
||
|
|
|
|
Pasal 73 |
|||
Penanganan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dilaksanakan dengan skema:
|
|||
a.
|
Penanganan perkara mandiri;
|
||
b.
|
Penanganan perkara dengan perbantuan;
|
||
c.
|
Penanganan perkara yang dilimpahkan; atau
|
||
d.
|
Penanganan perkara yang dilimpahkan dengan perbantuan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 74 |
|||
(1)
|
Penanganan perkara mandiri dilakukan oleh unit penyidikan kantor DJBC yang melakukan penindakan dalam hal:
|
||
|
a.
|
merupakan hasil penindakan sendiri atau hasil pelimpahan sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1).
|
|
|
b.
|
terdapatnya minimal 2 (dua) orang penyidik; dan
|
|
|
c.
|
tidak terdapat pertimbangan kompleksitas perkara.
|
|
(2)
|
Penanganan perkara sebagaimana pada ayat (1) dilaksanakan penelitian/penyidikan berdasarkan surat perintah.
|
||
|
|
|
|
Pasal 75 |
|||
(1)
|
Penanganan perkara dengan perbantuan dilaksanakan berdasarkan permintaan dari kantor DJBC yang melaksanakan penindakan/menerima penyerahan perkara yang disampaikan secara hierarkis disertai alasan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan.
|
||
(2)
|
Penanganan perkara dengan perbantuan dilaksanakan oleh unit penyidikan kantor DJBC yang melaksanakan penindakan/menerima penyerahan perkara dengan dibantu penyidik dari kantor DJBC lain dalam hal:
|
||
|
a.
|
merupakan hasil penindakan sendiri atau hasil pelimpahan sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1).
|
|
|
b.
|
jumlah Penyidik kurang dari 2 (dua) orang, dan/atau;
|
|
|
c.
|
terdapatnya pertimbangan kompleksitas perkara dan/atau karena sorotan publik.
|
|
(3)
|
Dalam hal permintaan diterima, penelitian/penyidikan dilaksanakan oleh kantor yang mengajukan permintaan berdasarkan surat perintah dengan mengikutsertakan penyidik yang diperbantukan dari kantor DJBC lain.
|
||
|
|
|
|
Pasal 76 |
|||
(1)
|
Penanganan perkara yang dilimpahkan dilaksanakan dengan pelimpahan perkara dari kantor DJBC yang melakukan penindakan kepada kantor tujuan pelimpahan secara vertical/horizontal dalam bentuk Surat Pelimpahan Perkara yang dilampiri:
|
||
|
a.
|
Dokumen penindakan meliputi Surat Perintah, Surat Bukti Penindakan (SBP), Laporan Pelanggaran (LP) dan dokumen penanganan perkara;
|
|
|
b.
|
Dokumen/surat terkait pelanggaran (alat bukti).
|
|
(2)
|
Penanganan perkara yang dilimpahkan dilaksanakan oleh unit penyidikan kantor DJBC yang menerima pelimpahan perkara dalam hal:
|
||
|
a.
|
merupakan hasil penindakan sendiri atau hasil pelimpahan dari kantor DJBC lain sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1).
|
|
|
b.
|
terdapatnya minimal 2 (dua) orang penyidik pada kantor yang menerima pelimpahan
|
|
(3)
|
Dalam hal pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, dilaksanakan:
|
||
|
a.
|
serah terima Barang Hasil Penindakan (BHP) dan Pelaku (jika ada) dengan berita acara.
|
|
|
b.
|
penelitian/penyidikan oleh kantor tujuan berdasarkan surat perintah.
|
|
(4)
|
Dalam hal pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, diberitahukan secara tertulis disertai alasan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal.
|
||
|
|
|
|
Pasal 77 |
|||
(1)
|
Penanganan perkara yang dilimpahkan dengan perbantuan dilaksanakan dengan pelimpahan perkara dari kantor DJBC yang melakukan penindakan kepada kantor tujuan pelimpahan secara vertical/horizontal dalam bentuk Surat Pelimpahan Perkara yang dilampiri:
|
||
|
a.
|
Dokumen penindakan meliputi Surat Perintah, Surat Bukti Penindakan (SBP), Laporan Pelanggaran (LP) dan dokumen penanganan perkara;
|
|
|
b.
|
Dokumen/surat terkait pelanggaran (alat bukti).
|
|
(2)
|
Penanganan perkara yang dilimpahkan dengan perbantuan dilaksanakan oleh kantor DJBC yang menerima pelimpahan disertai bantuan penyidik berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dalam hal:
|
||
|
a.
|
jumlah penyidik kantor yang menerima pelimpahan kurang dari 2 Orang, dan/atau;
|
|
|
b.
|
terdapatnya pertimbangan kompleksitas perkara.
|
|
(3)
|
Dalam hal pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, dilaksanakan:
|
||
|
a.
|
serah terima Barang Hasil Penindakan (BHP) dan Pelaku (jika ada) dengan berita acara.
|
|
|
b.
|
penelitian/penyidikan oleh kantor tujuan berdasarkan surat perintah yang mengikutsertakan penyidik yang diperbantukan.
|
|
(4)
|
Dalam hal pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, diberitahukan secara tertulis disertai alasan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal.
|
||
|
|
|
|
Pasal 78 |
|||
(1)
|
Dalam keadaan yang sangat mendesak (peka waktu) dan perlu terkait dengan penindakan yang sedang dilakukan, Unit Penindakan kantor DJBC dapat melakukan pelimpahan perkara segera kepada Unit Penyidikan kantor DJBC lain di tempat dilakukan penindakan dengan persetujuan Unit Penyidikan Kantor DJBC yang melakukan penindakan.
|
||
(2)
|
Pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan setelah melakukan koordinasi unit penyidikan kantor setempat dengan hanya meliputi hasil penindakan berupa:
|
||
|
a.
|
Surat Bukti Penindakan (SBP) dan dokumen penindakan lainnya,
|
|
|
b.
|
barang hasil penindakan,
|
|
|
c.
|
dokumen/surat terkait dengan pelanggaran, dan
|
|
|
d.
|
pelaku pelanggaran (jika ada)
|
|
(3)
|
pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 79 |
|||
(1)
|
Surat Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2), 75 ayat (3), 76 ayat (3) dan 77 ayat (3), dalam hal dilakukan:
|
||
|
a.
|
penelitian diterbitkan Surat Perintah Penelitian (SPLIT) atau
|
|
|
b.
|
penyidikan diterbitkan Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP).
|
|
(2)
|
Surat Perintah Penelitian (SPLIT) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan kepada pegawai pemeriksa oleh Direktur Penindakan dan Penyidikan/Kepala Kantor DJBC atau pejabat yang ditunjuk, untuk melakukan penelitian/penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran guna menentukan ada tidaknya pelanggaran dan/atau menentukan pelanggaran pidana/administrasi.
|
||
(3)
|
Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan kepada Penyidik oleh Direktur Penindakan dan Penyidikan/Kepala Kantor DJBC atau pejabat yang ditunjuk dalam kapasitas selaku penyidik, untuk melakukan penyidikan perkara pidana sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
(4)
|
Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan penyidik, penerbitan dilakukan oleh penyidik dengan diketahui oleh Direktur Penindakan dan Penyidikan/Kepala Kantor DJBC.
|
||
(5)
|
Dalam hal telah diterbitkan Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyidik segera menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum yang berisi pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan atas suatu perkara pidana.
|
||
(6)
|
Bentuk atau format SPLIT sebagaimana diatur dalam Lampiran XLI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penelitian dan Penyidikan Pasal 80 |
|||
(1)
|
Penanganan perkara meliputi kegiatan penelitian/penyelidikan dan penyidikan.
|
||
(2)
|
Penanganan perkara dilaksanakan dengan skema sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73.
|
||
|
|
|
|
Pasal 81 |
|||
Pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan:
|
|||
a.
|
penerimaan Laporan Pelanggaran (LP) dari unit penindakan atau dari instansi lain
|
||
b.
|
pemanggilan/permintaan keterangan saksi dan/atau pelaku yang terkait dengan dugaan pelanggaran
|
||
c.
|
pengumpulan dan penelitian surat-surat/dokumen-dokumen yang terkait dengan dugaan pelanggaran.
|
||
d.
|
pencacahan dan pemeriksaan Barang hasil Penindakan meliputi jumlah, jenis, merk, type, dan spesifikasi lainnya.
|
||
e.
|
penelitian dan analisis terhadap pelanggaran.
|
||
f.
|
pelaksanaan gelar perkara untuk memperoleh pendapat secara lebih komprehensif.
|
||
g.
|
pengajuan permintaan audit investigasi dalam rangka mendukung proses penelitian/penyelidikan dalam hal diperlukan.
|
||
h.
|
pembuatan resume penelitian dengan kesimpulan
|
||
i.
|
penyampaian usulan alternatif penyelesaian perkara
|
||
|
|
|
|
Pasal 82 |
|||
Penelitian dan analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf e dilakukan terhadap:
|
|||
a.
|
uraian pelanggaran meliputi Jenis, tempat, dan waktu pelanggaran;
|
||
b.
|
kelengkapan berkas penindakan;
|
||
c.
|
kelengkapan Barang Hasil Penindakan dan alat bukti;
|
||
d.
|
keberadaan pelaku;
|
||
e.
|
pemenuhan unsur-unsur pelanggaran;
|
||
f.
|
keterkaitan keterangan saksi, dokumen dan Barang Hasil Penindakan dengan pelaku; dan
|
||
g.
|
pengungkapan motif/unsur kesengajaan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 83 |
|||
Kesimpulan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf h berupa:
|
|||
a.
|
bukan merupakan pelanggaran;
|
||
b.
|
merupakan pelanggaran administrasi;
|
||
c.
|
merupakan pelanggaran pidana;
|
||
d.
|
merupakan pelanggaran dengan pelaku tidak dikenal; atau
|
||
e.
|
merupakan pelanggaran UU lainnya.
|
||
|
|
|
|
Pasal 84 |
|||
Usulan alternatif penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf i berupa:
|
|||
a.
|
pengenaan denda, dalam hal merupakan pelanggaran administrasi yang dikenakan sanksi berupa denda.
|
||
b.
|
penyidikan, dalam hal merupakan pelanggaran pidana kepabeanan dan/atau cukai
|
||
c.
|
penetapan barang sebagai barang yang dikuasai negara (BDN) atau barang yang menjadi milik negara (BMN).
|
||
d.
|
pemblokiran, dalam hal merupakan pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana yang dikenakan sanksi pemblokiran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
||
e.
|
audit, dalam hal tidak ditemukan pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana namun terdapat indikasi belum terpenuhinya sebagian/seluruh kewajiban kepabeanan dan/ atau cukai.
|
||
f.
|
reekspor, dalam hal tidak terdapat pelanggaran namun tidak dapat memenuhi persyaratan ketentuan impor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
||
g.
|
tidak melayani pemesanan pita cukai, dalam hal terdapat pelanggaran administrasi cukai yang dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
||
h.
|
pelimpahan ke Instansi terkait, dalam hal pelanggaran yang ditemukan bukan merupakan kewenangan DJBC atau terdapat ketentuan lain yang mengatur lebih khusus.
|
||
i.
|
penelitian perkara tidak dilanjutkan, dalam hal bukan pelanggaran atau pelanggaran administrasi yang telah diselesaikan kewajiban pabean dan/atau cukainya.
|
||
|
|
|
|
Pasal 85 |
|||
Pelaksanaan penyidikan meliputi kegiatan:
|
|||
a.
|
pelaksanaan kegiatan sesuai kewenangan yang diatur dalam Pasal 112 ayat (2) Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2006 dan Pasal 63 ayat (2) Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 39 tahun 2007;
|
||
b.
|
penelitian dan analisis terhadap pelanggaran;
|
||
c.
|
pelaksanaan gelar perkara untuk memperoleh pendapat secara lebih komprehensif;
|
||
d.
|
pengajuan permintaan audit investigasi dalam rangka mendukung proses penyidikan dalam hal diperlukan;
|
||
e.
|
pembuatan resume perkara dengan kesimpulan; dan
|
||
f.
|
penyampaian usulan alternatif penyelesaian perkara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 86 |
|||
Penelitian dan analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf b dilakukan terhadap:
|
|||
a.
|
uraian tindak pidana meliputi Jenis, tempat, dan waktu pelanggaran
|
||
b.
|
kelengkapan berkas penyidikan
|
||
c.
|
kelengkapan Barang Bukti dan alat bukti
|
||
d.
|
pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana
|
||
e.
|
pemenuhan unsur-unsur tindak pidana
|
||
f.
|
keterkaitan antara keterangan saksi-saksi, dokumen serta barang bukti dengan tersangka
|
||
g.
|
pengungkapan motif tindak pidana/unsur kesengajaan
|
||
|
|
|
|
Pasal 87 |
|||
Kesimpulan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf e berupa:
|
|||
a.
|
unsur-unsur tindak pidana terpenuhi
|
||
b.
|
unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi .
|
||
|
|
|
|
Pasal 88 |
|||
Usulan alternatif penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf f berupa:
|
|||
a.
|
Pengiriman berkas ke Jaksa Penuntut Umum, dalam hal berkas penyidikan selesai.
|
||
b.
|
Penyidikan lanjutan, dalam hal masih diperlukan untuk lebih memperkuat alat bukti dugaan perkara pidana atau berdasarkan petunjuk JPU.
|
||
c.
|
Penghentian penyidikan/SP3, dalam hal bukan merupakan tindak pidana atau tidak terdapat cukup bukti atau tersangka meninggal dunia.
|
||
d.
|
Penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara (deponer) sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
|
|
|
|
Pasal 89 |
|||
(1)
|
Resume Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf h, dituangkan dalam Lembar Resume Penelitian (LRP-1) yang memuat hasil analisis dan rekomendasi perkara pelanggaran pidana/administrasi yang diterbitkan oleh unit penyidikan.
|
||
(2)
|
Resume Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf e, dituangkan dalam Lembar Resume Pidana (LRP-2) yang memuat hasil analisis dan rekomendasi perkara pelanggaran pidana yang diterbitkan oleh Unit Penyidikan.
|
||
(3)
|
Bentuk atau format Resume sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) sebagaimana Lampiran XLII dan Lampiran XLIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 90 |
|||
(1)
|
Dalam pelaksanaan penelitian atau penyidikan, Unit Penyidikan dapat mengajukan permintaan Nota Profil (NP) kepada Unit Intelijen dengan maksud untuk mendukung pembuktian atas dugaan pelanggaran.
|
||
(2)
|
Pengajuan permintaan Nota Profil (NP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Unit Intelijen dilakukan oleh:
|
||
|
a.
|
Sub Direktorat Penyidikan kepada Sub Direktorat Intelijen;
|
|
|
b.
|
Unit Penyidikan Kantor Wilayah kepada Unit Intelijen Kantor Wilayah; atau
|
|
|
c.
|
Unit Penyidikan Kantor Pelayanan kepada Unit Intelijen Kantor Pelayanan.
|
|
(3)
|
Permintaan Nota Profil oleh Unit Penyidikan Kantor DJBC diajukan kepada Subdirektorat Intelijen melalui Subdirektorat Penyidikan, dalam hal Profil Intelijen tidak tersedia pada Unit Intelijen Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan.
|
||
(4)
|
Berdasarkan permintaan Nota Profil sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Subdirektorat Penyidikan meneruskan permintaan Nota Profil kepada Subdirektorat Intelijen.
|
||
|
|
|
|
Pasal 91 |
|||
(1)
|
Dalam pelaksanaan penelitian dan penyidikan dapat diadakan gelar perkara dengan maksud dan tujuan untuk memperoleh masukan guna penyelarasan atau penyempurnaan dalam pemberkasan dan untuk menyampaikan informasi/laporan guna pemantauan perkembangan penelitian/penyidikan serta pengelolaan proses penanganan perkara.
|
||
(2)
|
Gelar perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan pada tahap pra penyidikan (penelitian), tahap penyidikan dan/atau tahap akhir penyidikan, berdasarkan pengajuan permintaan gelar perkara oleh:
|
||
|
a.
|
Tim Penyidik, dalam hal diperlukan untuk memperoleh masukan guna penyelarasan atau penyempurnaan dalam pemberkasan;
|
|
|
b.
|
Atasan Tim Penyidik, dalam hal diperlukan untuk memperoleh informasi/laporan guna pemantauan perkembangan penyidikan dan pengelolaan proses penanganan perkara;
|
|
|
c.
|
Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam hal diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang perkara yang ditangani dan memberikan petunjuk guna pemenuhan alat bukti atas unsur- unsur pasal yang disangkakan.
|
|
(3)
|
Peserta gelar perkara meliputi:
|
||
|
a.
|
Tim Penyidik yang terdiri dari koordinator sebagai penyaji dan anggota;
|
|
|
b.
|
Atasan Tim Penyidik;
|
|
|
c.
|
Pihak terkait untuk kepentingan penanganan perkara; dan/atau
|
|
|
d.
|
Jaksa Penuntut Umum (dalam hal diperlukan).
|
|
(4)
|
Materi gelar perkara antara lain meliputi:
|
||
|
a.
|
kronologis kasus;
|
|
|
b.
|
anatomi kasus (anatomy of crime);
|
|
|
c.
|
matriks keterkaitan alat bukti;
|
|
|
d.
|
tindakan yang telah dilakukan;
|
|
|
e.
|
hambatan atau kendala;
|
|
|
f.
|
tindakan yang akan dilakukan; dan
|
|
|
g.
|
saran atau pendapat;
|
|
(5)
|
Hasil pelaksanaan gelar perkara dibuat berita acara yang ditandatangani peserta gelar perkara dan dijadikan panduan bagi Tim Penyidik untuk penyelesaian penanganan perkara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 92 |
|||
(1)
|
Ketentuan dan persyaratan formal penyidikan tindak pidana Kepabeanan dan Cukai sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukainomor KEP-57/BC/1997 tanggal 2 Juni 1997 tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.
|
||
(2)
|
Ketentuan dan persyaratan materiil penyidikan tindak pidana Kepabeanan dan Cukai akan diatur tersendiri dengan Peraturan Dirjen.
|
||
|
|
|
|
Pasal 93 |
|||
(1)
|
Dalam hal ditemukan dugaan pelanggaran kepabeanan terkait NPP segera ditindaklanjuti proses penyidikan dengan melaksanakan kegiatan:
|
||
|
a.
|
penerbitan Laporan Kejadian dengan mencantumkan pasal pelanggaran undang-undang kepabeanan dan undang-undang narkotika;
|
|
|
b.
|
penerbitan Surat Perintah Tugas Penyidikan dan/atau Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan;
|
|
|
c.
|
pembuatan Berita Acara Penangkapan dan Berita Acara Pengujian Pendahuluan NPP;
|
|
|
d.
|
pemeriksaan atas tersangka dan saksi yang ada dengan berita acara; dan
|
|
|
e.
|
penyitaan barang bukti berdasarkan surat perintah dan dibuatkan berita acara.
|
|
(2)
|
Hasil pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan resume perkara dan disusun dalam bentuk berkas perkara guna pelimpahan perkara kepada penyidik BNN/Polri dengan ketentuan:
|
||
|
a.
|
penyerahan atas tersangka dilaksanakan dalam waktu paling lama 1×24 jam.
|
|
|
b.
|
Penyerahan atas barang sitaan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3×24 jam atau 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.
|
|
|
c.
|
Penyerahan tersangka dan barang sitaan dilaksanakan dengan berita acara.
|
|
(3)
|
Dalam hal penanganan perkara dilaksanakan oleh PPNS Bea dan Cukai dan tidak dilakukan pelimpahan perkara, pelaksanaan penyidikan berkoordinasi dengan penyidik BNN/Polri.
|
||
|
|
|
|
Bagian keenam
Penanganan Barang Hasil Penindakan Pasal 94 |
|||
(1)
|
Terhadap barang hasil penindakan dilakukan pencacahan oleh Unit Penindakan bersama-sama dengan Unit Penyidikan berdasarkan surat perintah.
|
||
(2)
|
Pencacahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jumlah, jenis, merek, kondisi, tipe, dan spesifikasi serta negara asal barang hasil penindakan dan dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pejabat pencacahan.
|
||
(3)
|
Dalam hal barang hasil penindakan berasal dari pelimpahan instansi lain maka dilakukan pencacahan setelah diterbitkan LP-1 berdasarkan surat perintah dan dituangkan ke dalam berita acara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 95 |
|||
(1)
|
Serah terima barang hasil penindakan dari unit penindakan atau dari instansi lain yang telah dilakukan pencacahan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dilakukan dengan berita acara.
|
||
(2)
|
Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan sekurang-kurangnya meliputi:
|
||
|
a.
|
masing-masing pihak yang melakukan serah terima.
|
|
|
b.
|
barang hasil penindakan yang diserahterimakan.
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
|||
(1)
|
Barang hasil penindakan disimpan di gudang, lapangan, atau tempat milik kantor DJBC yang layak sebagai lokasi penimbunan barang.
|
||
(2)
|
Dalam hal penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan, barang hasil penindakan dapat disimpan di tempat lain selain gudang atau lapangan dan dilakukan penyegelan dengan mempertimbangkan keamanan dan keutuhan barang.
|
||
(3)
|
Terhadap barang hasil penindakan yang disimpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pelekatan label yang mencantumkan:
|
||
|
a.
|
nomor registrasi barang hasil penindakan;
|
|
|
b.
|
jumlah dan jenis barang hasil penindakan;
|
|
|
c.
|
jenis kemasan;
|
|
|
d.
|
ciri-ciri/sifat khas dari barang hasil penindakan;
|
|
|
e.
|
tempat dan tanggal pencacahan atau penyitaan;
|
|
|
f.
|
nomor dan tanggal dokumen asal barang hasil penindakan (LK/LP/LP-1);
|
|
|
g.
|
pihak yang menyerahkan barang hasil penindakan;
|
|
|
h.
|
status barang hasil penindakan; dan
|
|
|
i.
|
uraian singkat perkara.
|
|
(4)
|
Terhadap barang hasil penindakan yang telah mendapatkan penetapan sita dari pengadilan negeri setempat dapat dititipkan ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) dengan berita acara.
|
||
(5)
|
Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai tata cara penyegelan yang berlaku.
|
||
|
|
|
|
Pasal 97 |
|||
(1)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, barang hasil penindakan diselesaikan dengan:
|
||
|
a.
|
pengembalian barang hasil penindakan kepada pemilik/kuasanya dalam hal:
|
|
|
|
1)
|
bukan merupakan pelanggaran.
|
|
|
2)
|
merupakan pelanggaran administrasi yang telah diselesaikan sanksi administrasinya.
|
|
b.
|
penyitaan sebagai barang bukti dalam hal merupakan pelanggaran pidana.
|
|
|
c.
|
penetapan sebagai barang yang dikuasai negara (BDN) atau barang yang menjadi milik negara (BMN) dalam hal merupakan pelanggaran pidana yang pelakunya tidak dikenal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
|
|
d.
|
direekspor, dalam hal bukan merupakan pelanggaran namun tidak memenuhi persyaratan impor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
|
|
e.
|
pelimpahan ke Instansi terkait, dalam hal merupakan pelanggaran yang bukan kewenangan DJBC atau terdapat ketentuan lain yang mengatur lebih khusus.
|
|
(2)
|
Penyelesaian barang hasil penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf d, dan huruf e dilaksanakan dengan berita acara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 98 |
|||
(1)
|
Terhadap barang hasil penindakan dalam proses penelitian/penyelidikan dapat dilakukan penyisihan untuk:
|
||
|
a.
|
kepentingan pengujian dan identifikasi barang.
|
|
|
b.
|
kepentingan penelitian perkara pada Kantor DJBC lain.
|
|
|
c.
|
kepentingan lainnya dalam rangka penelitian.
|
|
(2)
|
Terhadap barang hasil penindakan dalam proses penyidikan dapat dilakukan penyisihan untuk:
|
||
|
a.
|
kepentingan pembuktian termasuk antara lain terhadap barang bukti yang akan dilelang atau dimusnahkan;
|
|
|
b.
|
kepentingan pengujian dan identifikasi barang.
|
|
|
c.
|
penyidikan pada perkara lain.
|
|
(3)
|
Penyisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah penyitaan dan diperoleh penetapan penyitaan sebagai barang bukti dari pengadilan.
|
||
(4)
|
Penyisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan surat perintah dan dibuatkan berita acara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 99 |
|||
(1)
|
Terhadap barang hasil penindakan dilaksanakan pemusnahan, dalam hal:
|
||
|
a.
|
pada tahap penelitian, barang hasil penindakan merupakan barang yang mudah busuk atau barang kena cukai impor berupa minuman mengandung etil alkohol, konsentrat mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau;
|
|
|
b.
|
pada tahap penyidikan, barang hasil penindakan merupakan barang yang mudah busuk, merusak, berbahaya dan/atau memerlukan biaya penyimpanan yang tinggi dan telah diperoleh izin dari ketua pengadilan;
|
|
|
c.
|
atas barang milik negara yang telah mendapat penetapan peruntukan untuk dimusnahkan dari Menteri Keuangan.
|
|
(2)
|
Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, sedapat mungkin dilaksanakan dengan persetujuan pemilik barang.
|
||
(3)
|
Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berita acara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 100 |
|||
(1)
|
Pelelangan terhadap barang hasil penindakan dapat dilakukan, dalam hal:
|
||
|
a.
|
pada tahap penyidikan, atas barang yang mudah rusak, berbahaya dan/atau memerlukan biaya penyimpanan yang tinggi dengan izin ketua pengadilan dan sedapat mungkin dengan persetujuan pemilik barang; atau
|
|
|
b.
|
atas barang milik negara yang telah mendapat penetapan peruntukan untuk dilelang dari Menteri Keuangan.
|
|
(2)
|
Pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan berita acara dan hasil pelelangan berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
|
||
|
|
|
|
Pasal 101 |
|||
(1)
|
Tata cara penatausahaan barang hasil penindakan dilaksanakan sesuai Lampiran XLIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(2)
|
Tata cara pemusnahan dan pelelangan barang hasil penindakan dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Penanganan Pelaku/Tersangka Pasal 102 |
|||
Penanganan pelaku yang diduga melakukan pelanggaran dilaksanakan meliputi:
|
|||
a.
|
Pemeriksaan/permintaan keterangan;
|
||
b.
|
Penangkapan dan penahanan; dan
|
||
c.
|
Pengelolaan tahanan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 103 |
|||
(1)
|
Pelaku yang diduga melakukan pelanggaran diterima dengan berita acara, berasal dari:
|
||
|
a.
|
hasil tertangkap tangan, atau
|
|
|
b.
|
hasil penyerahan dari instansi lain.
|
|
(2)
|
Pelaku yang diduga melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilakukan pemeriksaan/dimintai keterangan dan dituangkan dalam berita acara untuk menentukan jenis pelanggaran yang terjadi.
|
||
|
|
|
|
Pasal 104 |
|||
(1)
|
Pelaku yang diduga melakukan pelanggaran dapat dilakukan penangkapan oleh Penyidik dalam hal:
|
||
|
a.
|
hasil pemeriksaan terhadap pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) diperoleh bukti permulaan yang cukup pelaku diduga melakukan pelanggaran pidana.
|
|
|
b.
|
hasil pengembangan penyidikan ditemukan adanya orang yang diduga melakukan pelanggaran pidana.
|
|
(2)
|
Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) merupakan pelanggaran administrasi, pelaku tidak dapat dilakukan penangkapan/penahanan.
|
||
(3)
|
Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat perintah dengan dibuatkan berita acara dan segera diberitahukan kepada keluarga tersangka.
|
||
|
|
|
|
Pasal 105 |
|||
(1)
|
Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap pelaku diperoleh bukti permulaan yang cukup diduga melakukan pelanggaran pidana, pelaku ditetapkan sebagai tersangka dengan:
|
||
|
a.
|
Surat Panggilan sebagai tersangka.
|
|
|
b.
|
Surat Perintah Penangkapan tersangka.
|
|
|
c.
|
Berita acara pengalihan status dari saksi menjadi tersangka.
|
|
(2)
|
Dalam hal ancaman hukuman terhadap tersangka 5 (lima) tahun atau lebih, penyidik memberitahukan hak tersangka untuk didampingi Penasehat Hukum.
|
||
(3)
|
Dalam hal tersangka tidak didampingi penasihat hukum, penyidik wajib menyediakan penasihat hukum atas biaya negara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 106 |
|||
(1)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan, penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka.
|
||
(2)
|
Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat perintah dengan dibuatkan berita acara dan segera diberitahukan kepada keluarga tersangka.
|
||
|
|
|
|
Pasal 107 |
|||
(1)
|
Penahanan tersangka dilakukan dengan menempatkan tersangka pada Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau Cabang Rutan dengan surat pengantar dan dibuatkan berita acara dengan dilampirkan:
|
||
|
a.
|
Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP),
|
|
|
b.
|
Surat Perintah Penangkapan,
|
|
|
c.
|
Berita Acara Penangkapan,
|
|
|
d.
|
Surat Perintah Penahanan,
|
|
|
e.
|
Berita Acara Penahanan,
|
|
(2)
|
Penahanan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di Cabang RUTAN DJBC.
|
||
|
|
|
|
Pasal 108 |
|||
(1)
|
Terhadap tahanan yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2), dilaksanakan penerimaan oleh Pejabat dengan berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan saksi.
|
||
(2)
|
Penanganan tahanan pada saat penerimaan meliputi:
|
||
|
a.
|
penelitian kelengkapan administrasi penitipan tahanan.
|
|
|
b.
|
penelitian identitas tahanan.
|
|
|
c.
|
penempatan tahanan pada ruang tahanan.
|
|
|
d.
|
penatausahaan tahanan pada register Buku Daftar Tahanan.
|
|
|
e.
|
pengambilan foto dan sidik jari tahanan.
|
|
(3)
|
Penanganan tahanan selama dan saat mutasi keluar Cabang Rutan DJBC meliputi:
|
||
|
a.
|
pemenuhan kebutuhan makanan, minum dan kesehatan.
|
|
|
b.
|
pengamanan tahanan.
|
|
|
c.
|
penatausahaan perpanjangan penahanan dan peminjaman tahanan oleh penyidik dengan berita acara.
|
|
|
d.
|
penatausahaan pengunjung tahanan dalam Buku Daftar Kunjungan.
|
|
|
e.
|
pengeluaran tahanan atas permintaan penyidik atau berakhirnya masa tahanan dengan berita acara.
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
|||
Ketentuan dan tata cara yang berkenaan dengan pemeriksaan, penangkapan dan penahanan tersangka dilaksanakan sesuai ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
Bagian kedelapan
Pengelolaan Cabang Rumah Tahanan DJBC Pasal 110 |
|||
(1)
|
Cabang rumah tahanan yang berkedudukan di Kantor Pusat DJBC atau kantor DJBC lain dikelola oleh Unit Penyidikan.
|
||
(2)
|
Unit Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab dalam pengelolaan tahanan.
|
||
(3)
|
Tanggung jawab pengelolaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) meliputi penatausahaan tahanan, pelayanan tahanan, dan keamanan tahanan.
|
||
(4)
|
Tata cara pengelolaan cabang rumah tahanan DJBC diatur sesuai Lampiran XLV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
BAB VII
TATA LAKSANA INTELIJEN DAN PENINDAKAN NPP Bagian Pertama Kegiatan Pengawasan NPP Pasal 111 |
|||
(1)
|
Kegiatan pengawasan NPP dilaksanakan oleh Unit Narkotika dengan melakukan kegiatan intelijen dalam rangka pendeteksian dini dan penindakan terhadap pelanggaran kepabeanan terkait NPP.
|
||
(2)
|
Kegiatan pengawasan NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
pengumpulan data atau informasi NPP;
|
|
|
b.
|
penilaian dan analisis data atau informasi NPP;
|
|
|
c.
|
pendistribusian data atau informasi NPP;
|
|
|
d.
|
penelitian pra-penindakan NPP;
|
|
|
e.
|
penentuan skema penindakan NPP;
|
|
|
f.
|
patroli dan operasi penindakan NPP;
|
|
|
g.
|
penentuan hasil penindakan NPP;
|
|
|
h.
|
kerjasama penanganan NPP;
|
|
|
i.
|
pemanfaatan dan pemeliharaan sarana operasi NPP; dan
|
|
|
j.
|
evaluasi kegiatan pengawasan NPP.
|
|
(3)
|
Unit Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Subdirektorat Narkotika.
|
||
(4)
|
Pengawasan NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kantor DJBC dilaksanakan oleh:
|
||
|
a.
|
Unit Intelijen dalam pengelolaan informasi NPP; dan
|
|
|
b.
|
Unit Penindakan dalam penindakan NPP.
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengumpulan Data atau informasi NPP Pasal 112 |
|||
(1)
|
Pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf a bersumber dari:
|
||
|
a.
|
internal DJBC berupa data atau informasi yang diperoleh melalui kegiatan surveillance, monitoring, atau penerimaan informasi dari unit internal lainnya; dan/atau
|
|
|
b.
|
eksternal DJBC berupa data atau informasi yang diperoleh dari laporan masyarakat atau institusi/sumber eksternal lainnya.
|
|
(2)
|
Surveillance sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan kegiatan pengamatan terhadap orang, tempat, sarana pengangkut dan/atau obyek tertentu secara berkesinambungan pada periode tertentu yang dilakukan secara tertutup dalam rangka pengumpulan atau pendalaman data atau informasi yang dapat menunjukkan adanya indikasi pelanggaran di bidang kepabeanan terkait NPP.
|
||
(3)
|
Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan kegiatan pengamatan terhadap data-data transaksi pelayanan dan pengawasan kepabeanan terkait NPP.
|
||
(4)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang bersifat kegiatan lapangan dilakukan dengan surat tugas sebagaimana diatur dalam Lampiran XLVI dan dibuat laporan sebagaimana diatur dalam Lampiran XLVII.
|
||
|
|
|
|
Pasal 113 |
|||
(1)
|
Hasil pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dilakukan penyeleksian data atau informasi dengan penelitian terhadap lingkup informasi yang berkenaan dengan kepabeanan terkait NPP dalam rangka menentukan kelayakan data atau informasi untuk dilakukan klasifikasi.
|
||
(2)
|
Hasil pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Lembar Informasi NPP (LI-N).
|
||
(3)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LI-N sebagaimana diatur dalam Lampiran XLVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penilaian dan Analisis Data atau informasi NPP Pasal 114 |
|||
(1)
|
Penilaian dilakukan dengan pengklasifikasian data atau informasi berdasarkan LI-N sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) dalam rangka menentukan kelayakan data atau informasi untuk dilakukan analisis.
|
||
(2)
|
Pengklasifikasian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria tertentu berupa kehandalan sumber dan validitas informasi yang diperoleh.
|
||
(3)
|
Hasil penilaian data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Lembar Klasifikasi Informasi NPP (LKI- N).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LKI-N sebagaimana diatur dalam Lampiran XLIX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 115 |
|||
(1)
|
Analisis data atau informasi NPP dilakukan dengan mencocokkan, membandingkan, menguji dan meneliti data atau informasi berkaitan dengan indikasi pelanggaran di bidang kepabeanan terkait NPP.
|
||
(2)
|
Hasil analisis data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Lembar Kerja Analisis Intelijen NPP (LKAI-N).
|
||
(3)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LKAI-N sebagaimana diatur dalam Lampiran L Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
Untuk pendalaman atau pematangan dalam analisis data/atau informasi NPP dapat dilakukan pengumpulan data atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) huruf a.
|
||
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pendistribusian Informasi NPP Pasal 116 |
|||
(1)
|
Lembar Kerja Analisis Intelijen NPP (LKAI-N) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan produk intelijen NPP berupa:
|
||
|
a.
|
Nota Hasil Intelijen NPP (NHI-N) yang memuat informasi mengenai indikasi kuat adanya pelanggaran kepabeanan terkait NPP yang bersifat spesifik dan mendesak untuk segera dilakukan penindakan oleh Kantor Pelayanan;
|
|
|
b.
|
Nota Informasi Penindakan NPP (NIP-N) yang memuat informasi mengenai indikasi adanya pelanggaran kepabeanan terkait NPP yang bersifat spesifik dari Unit Intelijen ke Unit Penindakan pada Kantor Wilayah;
|
|
|
c.
|
Nota Informasi NPP (NI-N) yang memuat informasi mengenai indikasi adanya pelanggaran kepabeanan terkait NPP yang bersifat umum atau spesifik untuk dapat dilakukan penelitian mendalam oleh Unit Intelijen di Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan;
|
|
|
d.
|
rekomendasi untuk audit, perbaikan sistem dan prosedur atau lainnya; atau
|
|
|
e.
|
informasi lainnya, antara lain meliputi kecenderungan pelanggaran yang bersifat umum atau peta kerawanan yang dapat digunakan sebagai salah satu dasar pelaksanaan patroli.
|
|
(2)
|
Produk intelijen NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas pada Unit Pengawasan atau pihak terkait.
|
||
|
|
|
|
Pasal 117 |
|||
(1)
|
Pendistribusian produk intelijen NPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dilaksanakan:
|
||
|
a.
|
secara elektronik melalui hubungan langsung antar komputer atau melalui sistem Pertukaran Data Elektronik; atau
|
|
|
b.
|
secara manual, dalam hal distribusi secara elektronik tidak dapat dilakukan.
|
|
(2)
|
Untuk kecepatan dan kerahasiaan, NHI-N atau NI-N dapat disampaikan lebih awal melalui faksimili, radiogram, telepon, atau surat elektronik mendahului penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan NHI-N, NIP-N dan NI-N sebagaimana diatur dalam Lampiran LI, LII dan LIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kelima
Kegiatan Penindakan NPP Pasal 118 |
|||
(1)
|
Kegiatan penindakan NPP dilaksanakan oleh Subdit Narkotika atau Unit Penindakan Kantor DJBC untuk melakukan tugas dan fungsi penindakan terkait pelanggaran Kepabeanan di Bidang NPP.
|
||
(2)
|
Kegiatan penindakan NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
|
||
|
a.
|
penelitian pra-penindakan;
|
|
|
b.
|
penentuan skema penindakan;
|
|
|
c.
|
patroli dan operasi penindakan;
|
|
|
d.
|
penentuan hasil penindakan.
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Penelitian Pra-Penindakan NPP Pasal 119 |
|||
(1)
|
Penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) pada Kantor DJBC dilaksanakan berdasarkan informasi tentang indikasi pelanggaran kepabeanan terkait NPP yang diperoleh dari Sub Direktorat Narkotika, unit intelijen kantor DJBC atau sumber lain.
|
||
(2)
|
Informasi dari sumber lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas diperoleh dari sumber lain yang bersifat mendesak terkait dengan penindakan NPP yang sedang atau perlu segera dilakukan oleh Unit Penindakan Kantor DJBC.
|
||
|
|
|
|
Pasal 120 |
|||
(1)
|
Penelitian pra-penindakan NPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan analisis terhadap informasi untuk dapat ditentukan kelayakan operasional penindakan.
|
||
(2)
|
Atas informasi dari sumber lain yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud dalam pasal 119 ayat (2) dilakukan analisis untuk menentukan kelayakan operasional meliputi:
|
||
|
a.
|
Substansi pelanggaran yang meliputi jenis, tempat, waktu dan pelaku pelanggaran;
|
|
|
b.
|
Kewenangan penindakan;
|
|
|
c.
|
Ketersediaan personil dan sarana penindakan.
|
|
(3)
|
Dalam hal hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
||
|
a.
|
memenuhi kelayakan operasional, ditindaklanjuti dengan operasi penindakan; atau
|
|
|
b.
|
tidak memenuhi kelayakan operasional, diberitahukan kepada Unit Intelijen untuk pengolahan informasi lebih lanjut melalui Nota Pengembalian Informasi NPP (NPI-N)
|
|
(4)
|
Hasil analisis sebagaimana dimaksud ayat (3) dituangkan dalam Lembar Analisis Pra-penindakan NPP (LAP-N).
|
||
(5)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan Lembar Analisis Pra- penindakan NPP (LAP-N) sebagaimana diatur dalam Lampiran LIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(6)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan Nota Pengembalian Informasi NPP (NPI-N) sebagaimana diatur dalam Lampiran LV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 121 |
|||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan operasi penindakan NPP oleh Kantor Pusat atau Kantor DJBC, dilaksanakan penentuan skema penindakan dengan mempertimbangkan:
|
||
|
a.
|
kriteria pokok berupa tempat pelanggaran;
|
|
|
b.
|
kriteria tambahan berupa ketersediaan personil, sarana operasi, waktu dan/atau kompleksitas penindakan.
|
|
(2)
|
Operasi Penindakan NPP dilakukan oleh Kantor Pelayanan dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat pelanggaran berada pada wilayah kerja Kantor Pelayanan, atau
|
|
|
b.
|
ketersediaan personil dan sarana operasi.
|
|
(3)
|
Operasi penindakan NPP dapat dilakukan oleh Kantor Wilayah dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan namun masih dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah; dan
|
|
|
b.
|
ketersediaan personil, sarana operasi, waktu dan/atau kompleksitas penindakan.
|
|
(4)
|
Operasi penindakan NPP dapat dilakukan oleh Kantor Pusat dalam hal:
|
||
|
a.
|
tempat pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan atau Kantor Wilayah; dan
|
|
|
b.
|
ketersediaan personil, sarana operasi, waktu dan/atau kompleksitas penindakan.
|
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
|||
(1)
|
Operasi penindakan NPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf b dilaksanakan dengan skema:
|
||
|
a.
|
Penindakan NPP mandiri;
|
|
|
b.
|
Penindakan NPP dengan perbantuan;
|
|
|
c.
|
Penindakan NPP yang dilimpahkan;atau
|
|
|
d.
|
Penindakan NPP yang dilimpahkan dengan perbantuan.
|
|
(2)
|
Penindakan NPP mandiri dilakukan oleh Subdit Narkotika atau Unit Penindakan Kantor DJBC yang menerima informasi tanpa bantuan Subdit Narkotika atau Unit Penindakan Kantor DJBC lain.
|
||
(3)
|
Penindakan NPP dengan perbantuan dilakukan oleh Subdit Narkotika atau Unit Penindakan Kantor DJBC yang menerima informasi dengan bantuan Subdit Narkotika atau Unit Penindakan Kantor DJBC lain.
|
||
(4)
|
Penindakan NPP yang dilimpahkan dilakukan dengan melimpahkan penindakan NPP ke Unit Penindakan Kantor DJBC lain secara vertikal atau horizontal.
|
||
(5)
|
Penindakan NPP yang dilimpahkan dengan perbantuan dilakukan dengan melimpahkan penindakan NPP ke Unit Penindakan kantor DJBC lain secara vertikal/horizontal disertai bantuan.
|
||
(6)
|
Penindakan NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat perintah dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121.
|
||
|
|
|
|
Pasal 123 |
|||
Penindakan NPP mandiri dilaksanakan oleh Kantor DJBC setempat dengan dibuatkan Surat Bukti Penindakan (SBP-N) dan berita acara terkait atas pelaksanaan penindakan NPP.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 124 |
|||
(1)
|
Penindakan NPP dengan perbantuan dilaksanakan oleh Subdit Narkotika atau Unit Penindakan Kantor DJBC dengan bantuan Subdit Narkotika atau Unit Penindakan Kantor DJBC lain berdasarkan permintaan tertulis sebelum penindakan, yang disampaikan secara hierarkis disertai alasan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan.
|
||
(2)
|
Penindakan NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Subdit Narkotika atau Unit Penindakan kantor DJBC yang mengikutsertakan Unit Penindakan Kantor DJBC lain dan dibuatkan Surat Bukti Penindakan (SBP-N) serta berita acara terkait atas pelaksanaan penindakan NPP.
|
||
(3)
|
Dalam keadaan mendesak yang tidak memungkinkan permintaan bantuan disampaikan sebelum penindakan NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberitahuan disampaikan segera setelah penindakan NPP dilakukan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 125 |
|||
(1)
|
Penindakan NPP yang dilimpahkan dilaksanakan berdasarkan Memo Pelimpahan Penindakan NPP (MPP-N) yang berisi instruksi pelimpahan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan:
|
||
|
a.
|
dari Subdit Narkotika Kantor Pusat ke Unit Penindakan Kantor DJBC; atau
|
|
|
b.
|
dari Unit Penindakan Kantor Wilayah ke Unit Penindakan Kantor Pelayanan.
|
|
(2)
|
Penindakan yang dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membuat Surat Bukti Penindakan (SBP-N) dan berita acara terkait oleh Kantor DJBC yang menerima pelimpahan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 126 |
|||
(1)
|
Penindakan NPP yang dilimpahkan dengan perbantuan dilaksanakan berdasarkan Memo Pelimpahan Penindakan NPP (MPP-N) yang berisi instruksi pelimpahan dengan bantuan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan:
|
||
|
a.
|
dari Subdit Narkotika Kantor Pusat ke Unit Penindakan Kantor DJBC; atau
|
|
|
b.
|
dari Unit Penindakan Kantor Wilayah ke Unit Penindakan Kantor Pelayanan.
|
|
(2)
|
Penindakan NPP yang dilimpahkan dengan perbantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membuat Surat Bukti Penindakan (SBP-N) dan berita acara terkait oleh Kantor DJBC yang menerima pelimpahan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 127 |
|||
Bentuk dan tata cara penatausahaan MPP-N sebagaimana diatur dalam Lampiran LVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Patroli dan Operasi Penindakan NPP Pasal 128 |
|||
(1)
|
Kegiatan Unit Penindakan NPP dilaksanakan dengan patroli dan/atau operasi penindakan NPP.
|
||
(2)
|
Kegiatan penindakan berupa patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan informasi yang bersifat umum atau dalam rangka pencegahan pelanggaran kepabeanan terkait NPP dalam bentuk:
|
||
|
a.
|
patroli laut;
|
|
|
b.
|
patroli darat.
|
|
(3)
|
Operasi penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan informasi pelanggaran kepabeanan terkait NPP yang bersifat spesifik meliputi kegiatan:
|
||
|
a.
|
penghentian;
|
|
|
b.
|
pemeriksaan;
|
|
|
c.
|
penegahan;
|
|
|
d.
|
penyegelan.
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Patroli Laut NPP Pasal 129 |
|||
(1)
|
Patroli laut NPP dilaksanakan sewaktu-waktu dalam rangka pencegahan pelanggaran kepabeanan terkait NPP termasuk untuk mencari dan menemukan dugaan pelanggaran kepabeanan terkait NPP.
|
||
(2)
|
Patroli laut NPP dilaksanakan di seluruh wilayah perairan Indonesia serta tempat tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepabeanan;
|
||
(3)
|
Selain patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1), patroli laut dapat dilaksanakan untuk:
|
||
|
a.
|
koordinasi dengan Administrasi Pabean negara lainnya terkait NPP; atau
|
|
|
b.
|
koordinasi dalam kegiatan pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap NPP (P4GN) sesuai permintaan Badan Narkotika Nasional (BNN).
|
|
|
|
|
|
Pasal 130 |
|||
(1)
|
Kegiatan Patroli laut NPP dilaksanakan oleh Satuan Tugas Patroli NPP yang sekurang-kurangnya terdiri dari Komandan Patroli, Nakhoda, dan anggota patroli.
|
||
(2)
|
Kewenangan, tanggung jawab dan persyaratan Satuan Tugas Patroli NPP diatur sebagaimana ketentuan dalam Pasal 32.
|
||
|
|
|
|
Pasal 131 |
|||
(1)
|
Persiapan patroli NPP dilaksanakan dengan kegiatan pemenuhan persyaratan meliputi:
|
||
|
a.
|
kelengkapan administrasi patroli berupa surat perintah dan dokumen patroli.
|
|
|
b.
|
sarana patroli berupa kapal patroli berikut perlengkapannya, dan
|
|
|
c.
|
personil Satuan Tugas Patroli terdiri dari Komandan Patroli, Nakhoda, awak kapal patroli dan anggota patroli.
|
|
|
d.
|
Kelengkapan alat pendeteksi NPP dan Anjing Pelacak.
|
|
(2)
|
Persiapan patroli laut NPP dilaksanakan dengan pemenuhan kelengkapan administrasi diatur sebagaimana ketentuan dalam Pasal 34.
|
||
(3)
|
Patroli laut NPP dilaksanakan dengan menggunakan sarana operasi berupa Kapal patroli dan/atau senjata api dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 36.
|
||
|
|
|
|
Pasal 132 |
|||
(1)
|
Sebelum keberangkatan patroli laut NPP, komandan patroli wajib melakukan pemeriksaan/pengecekan atas persiapan patroli dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37.
|
||
(2)
|
Patroli laut NPP dilaksanakan dengan kegiatan meliputi:
|
||
|
a.
|
pelaporan keberangkatan dan selama berlayar;
|
|
|
b.
|
penentuan sasaran pelaksanaan patroli;
|
|
|
c.
|
penghentian sarana pengangkut;
|
|
|
d.
|
pemeriksaan sarana pengangkut;
|
|
|
e.
|
pengamanan patroli; dan
|
|
|
f.
|
pengakhiran patroli;
|
|
(3)
|
Kegiatan dalam pelaksanaan patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, c, e dan f diatur sebagaimana diatur dalam Pasal 39, 40, 41, 44 dan 45.
|
||
(4)
|
Kegiatan pemeriksaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilaksanakan dengan memeriksa bagian-bagian pada sarana pengangkut, meneliti manifes dan drugs list untuk mencari serta menemukan dugaan pelanggaran kepabeanan terkait NPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 2
Patroli Darat NPP Pasal 133 |
|||
(1)
|
Patroli darat NPP dilaksanakan secara rutin atau sewaktu-waktu dalam rangka pencegahan pelanggaran kepabeanan terkait NPP termasuk untuk mencari dan menemukan dugaan pelanggaran kepabeanan terkait NPP.
|
||
(2)
|
Patroli darat NPP dilaksanakan di:
|
||
|
a.
|
pelabuhan laut/udara;
|
|
|
b.
|
kawasan pabean;
|
|
|
c.
|
tempat lain dalam daerah pabean (TLDDP);
|
|
|
d.
|
perbatasan darat;
|
|
|
|
|
|
Pasal 134 |
|||
(1)
|
Patroli darat NPP dilaksanakan oleh Satuan Tugas Patroli NPP yang terdiri dari Komandan Patroli dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota patroli.
|
||
(2)
|
Kewenangan, tanggung jawab dan persyaratan Satuan Tugas Patroli NPP diatur sebagaimana ketentuan dalam Pasal 47.
|
||
|
|
|
|
Pasal 135 |
|||
(1)
|
Persiapan patroli darat dilaksanakan dengan kegiatan mempersiapkan pemenuhan persyaratan patroli meliputi:
|
||
|
a.
|
kelengkapan administrasi berupa surat perintah dan administrasi patroli.
|
|
|
b.
|
sarana patroli berupa kendaraan berikut perlengkapannya dalam hal diperlukan, dan
|
|
|
c.
|
personil satuan tugas patroli yaitu komandan dan anggota patroli.
|
|
|
d.
|
Kelengkapan alat pendeteksi NPP dan Anjing Pelacak.
|
|
(2)
|
Persiapan patroli darat NPP dilaksanakan dengan pemenuhan kelengkapan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 49.
|
||
(3)
|
Patroli darat NPP dilaksanakan dengan menggunakan sarana operasi berupa kendaraan patroli, Anjing Pelacak dan/atau senjata api dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 50.
|
||
|
|
|
|
Pasal 136 |
|||
(1)
|
Sebelum keberangkatan patroli darat NPP, komandan patroli wajib melakukan pemeriksaan/pengecekan atas persiapan patroli sebagaimana diatur dalam Pasal 51.
|
||
(2)
|
Kegiatan patroli darat NPP dilaksanakan dengan pengamatan terhadap sasaran patroli berupa sarana pengangkut, barang, penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau tempat yang diduga terkait dengan pelanggaran NPP atas:
|
||
|
a.
|
kedatangan atau keberangkatan sarana pengangkut di pelabuhan laut/udara.
|
|
|
b.
|
pembongkaran, pemuatan, penimbunan, pemeriksaan dan pengeluaran barang impor/ekspor pada kawasan pabean di dalam maupun luar pelabuhan laut/udara,
|
|
|
c.
|
pemasukan/pengeluaran barang impor/ekspor di perbatasan darat,
|
|
(3)
|
Dalam hal kegiatan patroli darat NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, komandan patroli membuat pelaporan pelaksanaan patroli secara tertulis kepada pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Patroli atau pejabat yang ditunjuk dan mengembalikan perlengkapan patroli.
|
||
(4)
|
Dalam hal hasil pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditemukan adanya dugaan pelanggaran dilakukan kegiatan penindakan NPP lebih lanjut.
|
||
(5)
|
Bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Lampiran XXI.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 3
Penghentian Sarana Pengangkut Pasal 137 |
|||
(1)
|
Penghentian sarana pengangkut serta barang impor, ekspor, dan/atau barang lainnya yang terkait pelanggaran NPP yang berada di atasnya, dilaksanakan oleh Pejabat secara selektif berdasarkan informasi adanya dugaan pelanggaran.
|
||
(2)
|
Sarana pengangkut sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
alat yang digunakan untuk mengangkut barang impor, ekspor, dan/atau barang lainnya yang terkait pelanggaran NPP di darat, di air, atau di udara; dan
|
|
|
b.
|
orang pribadi yang mengangkut barang impor, ekspor,
|
|
|
dan/atau barang lainnya yang terkait pelanggaran NPP tanpa menggunakan alat angkut.
|
||
(3)
|
Penghentian terhadap sarana pengangkut dilakukan dengan cara memberikan isyarat berupa isyarat tangan, isyarat bunyi, isyarat lampu, radio dan sebagainya yang lazim digunakan sebagai isyarat untuk menghentikan sarana pengangkut.
|
||
(4)
|
Dalam melakukan penghentian, Pejabat harus menunjukkan surat perintah kepada Pengangkut atau orang pribadi yang dihentikan.
|
||
(5)
|
Terhadap sarana pengangkut yang tidak mengindahkan perintah penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pengejaran.
|
||
(6)
|
Dalam hal pengejaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara terus menerus (hot pursuit) hingga keluar wilayah kerja, pada kesempatan pertama harus dilaporkan kepada pejabat yang mengeluarkan surat perintah.
|
||
(7)
|
Atas perintah atau permintaan dari Pejabat, Pengangkut wajib:
|
||
|
a.
|
menghentikan sarana pengangkut atau kegiatan mengangkutnya; dan
|
|
|
b.
|
menunjukkan dokumen impor, ekspor, barang kena cukai dan/atau dokumen pelengkap lainnya yang diwajibkan menurut peraturan yang berlaku.
|
|
(8)
|
Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera dilanjutkan dengan pemeriksaan.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 4
Pemeriksaan sarana pengangkut, barang, bangunan/tempat penumpang, awak sarana pengangkut atau pelintas batas Pasal 138 |
|||
Pemeriksaan sarana pengangkut, barang, bangunan/tempat penumpang, awak sarana pengangkut atau pelintas batas Pasal 138 Pemeriksaan dilakukan terhadap sarana pengangkut, barang, bangunan/tempat atau orang pribadi yang diduga melakukan pelanggaran kepabeanan terkait NPP.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 139 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dilaksanakan:
|
||
|
a.
|
terhadap sarana pengangkut laut/darat pada saat pengangkutan; atau
|
|
|
b.
|
terhadap sarana pengangkut laut/udara pada saat kedatangan atau keberangkatan di pelabuhan laut/udara.
|
|
(2)
|
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memeriksa dokumen, sarana pengangkut termasuk ruangan/bagian yang diduga dapat digunakan sebagai tempat untuk menyimpan atau menyembunyikan NPP dan fisik barang.
|
||
(3)
|
tata cara pemeriksaan sarana pengangkut laut sebagaimana diatur dalam Lampiran XVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(4)
|
tata cara pemeriksaan sarana pengangkut darat sebagaimana diatur dalam Lampiran XXIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 140 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 berupa barang impor atau ekspor di dalam/luar kawasan pabean atau di perbatasan darat dilaksanakan dengan memeriksa fisik barang secara keseluruhan berdasarkan dokumen pabean atau dokumen barang lainnya yang meliputi:
|
||
|
a.
|
jumlah dan jenis barang;
|
|
|
b.
|
merek/tipe barang;
|
|
|
c.
|
negara asal barang; dan
|
|
|
d.
|
spesifikasi lainnya.
|
|
(2)
|
tata cara pemeriksaan barang dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan barang.
|
||
|
|
|
|
Pasal 141 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan bangunan/tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 yang pendiriannya berdasarkan ketentuan kepabeanan, dilaksanakan dengan meminta kepada pihak yang menguasai bangunan/tempat untuk menunjukkan ruangan/tempat untuk penyimpanan/penimbunan barang yang berada di:
|
||
|
a.
|
tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, tempat penimbunan pabean.
|
|
|
b.
|
pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha penyalur atau tempat penjualan eceran.
|
|
(2)
|
Pemeriksaan bangunan/tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 yang pendiriannya tidak berdasarkan ketentuan kepabeanan, dilaksanakan berdasarkan izin Direktur Jenderal dengan meminta kepada pihak yang menguasai bangunan/tempat untuk menunjukkan ruangan/tempat untuk penyimpanan/penimbunan barang.
|
||
(3)
|
tata cara pemeriksaan bangunan/tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dalam Lampiran XXIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 142 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dilakukan terhadap orang pribadi yang:
|
||
|
a.
|
berada di atas atau baru saja turun dari sarana pengangkut yang masuk ke dalam daerah pabean.
|
|
|
b.
|
berada di atas atau siap naik ke sarana pengangkut dengan tujuan keluar daerah pabean.
|
|
|
c.
|
sedang berada di atau baru saja meninggalkan Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat, atau
|
|
|
d.
|
sedang berada di atau baru saja meninggalkan kawasan pabean
|
|
(2)
|
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedapat mungkin dilaksanakan di tempat tertutup oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) Pejabat yang sama jenis kelaminnya dengan yang diperiksa sesuai tata cara pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Lampiran XXIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 143 |
|||
(1)
|
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 139, 140, 141 dan 142 terhadap barang yang diduga NPP dilakukan pengujian pendahuluan dan dibuatkan Berita Acara Pengujian Pendahuluan.
|
||
(2)
|
Pengujian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengetahui secara dini adanya indikasi pelanggaran kepabeanan terkait NPP.
|
||
(3)
|
Dalam hal diperlukan pengujian barang yang lebih akurat mengenai jenis barang, jenis NPP dan komposisinya dapat dilaksanakan pengujian lebih lanjut ke Balai Pengujian dan Identifikasi Barang DJBC.
|
||
(4)
|
Berita Acara Pengujian Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran LVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 5
Penegahan Pasal 144 |
|||
(1)
|
Penegahan dilaksanakan terhadap sarana pengangkut dan/atau barang yang diduga terkait dengan pelanggaran.
|
||
(2)
|
Penegahan sarana pengangkut laut, udara dan darat dilakukan dengan mencegah keberangkatan atau mencegah untuk melanjutkan perjalanan sarana pengangkut yang memuat barang yang diduga melakukan pelanggaran kepabeanan terkait NPP.
|
||
(3)
|
Penegahan barang yang diduga melakukan pelanggaran NPP, dilakukan dengan menunda pengeluaran, pemuatan, pembongkaran dan pengangkutan barang impor atau ekspor.
|
||
(4)
|
Penegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) dilaksanakan berdasarkan surat perintah.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 6
Penyegelan Pasal 145 |
|||
(1)
|
Penyegelan dilaksanakan dengan mengunci, menyegel dan/atau meletakkan tanda pengaman yang diperlukan, berdasarkan dugaan pelanggaran kepabeanan terkait NPP.
|
||
(2)
|
tata cara penyegelan dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Pasal 60
|
||
|
|
|
|
Paragraf 7
Surat Bukti Penindakan Pasal 146 |
|||
(1)
|
Atas pelaksanaan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, 138, 144 dan 145 diterbitkan Surat Bukti Penindakan (SBP) dan diserahkan kepada pemilik atau pihak yang menguasai sarana pengangkut, bangunan/tempat/ruang atau barang.
|
||
(2)
|
Surat Bukti Penindakan ditandatangani oleh Pejabat yang melakukan penindakan dan pemilik atau pihak yang dilakukan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Dalam hal pemilik atau pihak yang dilakukan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak menandatangani Surat Bukti Penindakan, dibuat Berita Acara Penolakan Tanda tangan Surat Bukti Penindakan, disertai alasan penolakan yang ditandatangani oleh pejabat yang melakukan penindakan dan pemilik atau pihak yang dilakukan penindakan.
|
||
(4)
|
Dalam hal pemilik atau pihak yang dilakukan penindakan menolak menandatangani Berita Acara Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat yang melakukan penindakan membuat dan menandatangani Berita Acara Penolakan.
|
||
(5)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Surat Bukti Penindakan dan Berita Acara Penolakan Tanda tangan sebagaimana diatur dalam Lampiran XXV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Paragraf 8
Penyebaran Segera Informasi Hasil Penindakan NPP Pasal 147 |
|||
(1)
|
Penyampaian informasi hasil penindakan terkait NPP dilaksanakan segera oleh Kantor DJBC kepada Subdirektorat Narkotika dengan menggunakan Informasi Penindakan (IP).
|
||
(2)
|
Subdirektorat Narkotika melakukan penelitian terhadap informasi hasil penindakan terkait NPP dalam IP.
|
||
(3)
|
Dalam hal informasi hasil penindakan terkait NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) layak untuk disebarkan, Subdirektorat Narkotika menyampaikan IP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Subdirektorat Intelijen.
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan IP sebagaimana diatur dalam Lampiran XXVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Tindak Lanjut Hasil Penindakan Pasal 148 |
|||
(1)
|
Segera setelah seluruh tahapan penindakan NPP selesai, dilaksanakan pembuatan Laporan Tugas Penindakan NPP (LTP-N) dan dilakukan Analisa Hasil Penindakan NPP.
|
||
(2)
|
Analisa Hasil Penindakan NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan adanya dugaan pelanggaran dan/atau tindak lanjut hasil penindakan NPP.
|
||
(3)
|
Dalam hal berdasarkan Analisa Hasil Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diduga terdapat pelanggaran, dibuat Laporan Pelanggaran NPP (LP-N) dan diserahkan kepada Unit Penyidikan dengan dilampirkan Laporan Tugas Penindakan NPP (LTP-N), berkas penindakan beserta barang hasil penindakan.
|
||
(4)
|
Dalam hal berdasarkan Analisa Hasil Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diduga tidak terdapat pelanggaran, petugas yang melakukan penindakan membuat laporan pelaksanaan penindakan dan mengembalikan barang yang dilakukan penindakan kepada yang menguasai barang tersebut.
|
||
(5)
|
Analisis hasil penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam Lembar Penentuan Hasil Penindakan NPP (LPHP-N).
|
||
(6)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LTP-N sebagaimana diatur dalam Lampiran LVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(7)
|
Bentuk dan tata cara pengisian LPHP-N sebagaimana diatur dalam Lampiran LIX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(8)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan LP-N sebagaimana diatur dalam Lampiran XXXI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 149 |
|||
(1)
|
Terhadap barang hasil penindakan dan pelaku pelanggaran kepabeanan terkait NPP dilaksanakan penanganan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 94.
|
||
(2)
|
Dalam rangka pengembangan proses penelitian/penyelidikan kasus selanjutnya, dalam hal ditemukan dugaan pelanggaran kepabeanan terkait dengan NPP Pejabat dapat melakukan perbantuan dalam penyerahan yang diawasi (Controlled Delivery) berdasarkan surat permintaan dari instansi terkait.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Kerjasama Penanganan NPP Pasal 150 |
|||
(1)
|
Dalam rangka peningkatan pengawasan NPP pada Kantor DJBC yang rawan terhadap pelanggaran kepabeanan terkait NPP dilaksanakan kerjasama dalam bentuk:
|
||
|
1.
|
pertukaran informasi dalam penindakan antar Kantor DJBC dan/atau instansi terkait;
|
|
|
2.
|
peningkatan kompetensi petugas dalam pengolahan informasi, penindakan dan pemanfaatan sarana operasi.
|
|
(2)
|
Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam wadah Customs Narcotics Team (CNT) pada Kantor Pusat dan Kantor DJBC, yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.
|
||
(3)
|
Untuk pelaksanaan penindakan NPP, Kepala Kantor DJBC dapat membentuk satuan tugas penindakan NPP yang beranggotakan unsur CNT sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||
(4)
|
Pengaturan lebih lanjut tentang operasional Customs Narcotics Team (CNT) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Pemanfaatan dan Pemeliharaan Sarana Operasi NPP Pasal 151 |
|||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pengawasan NPP digunakan sarana operasi berupa:
|
||
|
a.
|
alat deteksi NPP antara lain narcotest, itemizer, Scanner dan alat deteksi lainnya;
|
|
|
b.
|
Anjing Pelacak dan kelengkapannya;
|
|
(2)
|
Pengadaan sarana operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Subdirektorat Sarana Operasi dan pemanfaatannya dilaksanakan oleh Subdit Narkotika.
|
||
(3)
|
Penempatan sarana operasi dilaksanakan berdasarkan permintaan Kantor Wilayah/Kantor Pelayanan atau hasil penilaian kelayakan oleh Subdirektorat Narkotika dengan pertimbangan:
|
||
|
a.
|
tingkat kerawanan pelanggaran kepabeanan terkait NPP;
|
|
|
b.
|
kesiapan pawang (dog handler) dan sarana penunjang untuk Anjing Pelacak;
|
|
(4)
|
Penentuan spesifikasi Anjing Pelacak dan kualifikasi dog handler ditetapkan oleh Subdirektorat Narkotika sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
(5)
|
tata cara pemanfaatan dan pemeliharaan Anjing Pelacak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang Anjing Pelacak.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Pemutakhiran Data NPP Pasal 152 |
|||
(1)
|
Subdirektorat Narkotika melakukan pemutakhiran data dalam profil intelijen NPP yang meliputi profil penumpang, profil perusahaan, dan profil komoditi terkait NPP berdasarkan Profil Penyidikan terkait NPP yang berasal dari Unit Penyidikan, BNN dan/atau Polri.
|
||
(2)
|
Subdirektorat Narkotika menerima Profil Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari:
|
||
|
a.
|
Sub Direktorat Penyidikan;
|
|
|
b.
|
Unit Intelijen Kantor Wilayah yang berasal dari Unit Penyidikan Kantor Wilayah; atau
|
|
|
c.
|
Unit Intelijen Kantor Pelayanan yang berasal dari Unit Penyidikan Kantor Pelayanan;
|
|
(3)
|
Subdirektorat Narkotika menyampaikan hasil pemutakhiran data dalam profil intelijen NPP kepada Subdirektorat Intelijen.
|
||
|
|
|
|
BAB VIII
TATA LAKSANA PENGELOLAAN SARANA OPERASI Bagian Pertama Kegiatan Pengelolaan Sarana Operasi Pasal 153 |
|||
(1)
|
Kegiatan pengelolaan sarana operasi dilaksanakan oleh Unit Sarana Operasi guna mendukung Unit Intelijen, Penindakan, Penyidikan dan Narkotika dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan kepabeanan dan cukai.
|
||
(2)
|
Unit Sarana Operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
Subdirektorat Sarana Operasi;
|
|
|
b.
|
Pangkalan Sarana Operasi; dan
|
|
|
c.
|
Unit sarana operasi di kantor
|
|
(3)
|
Kegiatan pengelolaan sarana operasi oleh Unit Sarana Operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
penyediaan sarana operasi;
|
|
|
b.
|
penempatan dan pemanfaatan sarana operasi;
|
|
|
c.
|
pemeliharaan sarana operasi;
|
|
|
d.
|
pengoperasian sarana operasi kecuali alat pemindai; dan
|
|
|
e.
|
evaluasi pengelolaan sarana operasi.
|
|
(4)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b hanya dilaksanakan oleh Subdirektorat Sarana Operasi.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penyediaan Sarana Operasi Pasal 154 |
|||
Permintaan untuk penyediaan sarana operasi oleh Kantor dan Pangkalan Sarana Operasi berupa:
|
|||
a.
|
pengadaan sarana operasi diperuntukan bagi yang belum memiliki sarana operasi;
|
||
b.
|
penggantian sarana operasi diperuntukan bagi yang membutuhkan penggantian sarana operasi karena kondisinya rusak berat; atau
|
||
c.
|
penambahan sarana operasi diperuntukan bagi yang membutuhkan penambahan sarana operasi yang ada.
|
||
|
|
|
|
Pasal 155 |
|||
(1)
|
Penyediaan sarana operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (3) huruf a diperoleh dari:
|
||
|
a.
|
pembelian;
|
|
|
b.
|
hibah; dan/atau
|
|
|
c.
|
peminjaman.
|
|
(2)
|
Penyediaan sarana operasi dilaksanakan berdasarkan permintaan tertulis dari Kantor atau Pangkalan Sarana Operasi setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal.
|
||
(3)
|
Atas perencanaan untuk penyediaan sarana operasi dituangkan ke dalam Daftar Rencana Penyediaan Sarana Operasi (DRPS).
|
||
(4)
|
tata cara penyediaan sarana operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
|
||
(5)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Daftar Rencana Penyediaan Sarana Operasi (DRPS) sebagaimana diatur dalam Lampiran LX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penempatan dan Pemanfaatan Sarana Operasi Pasal 156 |
|||
(1)
|
penempatan sarana operasi yang diperoleh dari penyediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 dan/atau pemindahan (relokasi) dari Kantor lainnya dilaksanakan berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk setelah mendapatkan pertimbangan dari Subdirektorat Sarana Operasi.
|
||
(2)
|
Penempatan sarana operasi yang diperoleh dari penyediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat 3 huruf b dan/atau pemindahan (relokasi) dari Kantor lainnya dilaksanakan berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk setelah mendapatkan pertimbangan dari Subdirektorat Sarana Operasi
|
||
(3)
|
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan masukan dari Unit Intelijen, Unit Penindakan, Unit Penyidikan atau Unit Narkotika.
|
||
(4)
|
Penempatan sarana operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dituangkan ke dalam Daftar Penempatan Sarana Operasi (DPSO).
|
||
(5)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Daftar Penempatan Sarana Operasi (DPSO) sebagaimana diatur dalam Lampiran LXI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 157 |
|||
(1)
|
Pemanfaatan sarana operasi oleh Unit Pengawasan dilaksanakan sesuai standar penggunaan sarana operasi dengan memperhitungkan kemampuan teknis sarana operasi dan kecakapan operator.
|
||
(2)
|
Pemanfaatan sarana operasi oleh unit pengawasan dilaksanakan sesuai standar penggunaan sarana operasi dengan memperhitungkan kemampuan teknis sarana operasi dan kecakapan operator.
|
||
(3)
|
Kegiatan pemanfaatan sarana operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan ke dalam Laporan Pemanfaatan Sarana Operasi (LPS).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Laporan Pemanfaatan Sarana Operasi (LPS) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Lampiran LXII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pemeliharaan Sarana Operasi Pasal 158 |
|||
(1)
|
Pemeliharaan sarana operasi dilaksanakan oleh:
|
||
|
a.
|
Kantor dan Pangkalan Sarana Operasi meliputi kegiatan perawatan rutin dan penggantian suku cadang sesuai jangka waktu yang telah ditentukan dalam spesifikasi teknis.
|
|
|
b.
|
Subdirektorat Sarana Operasi berdasarkan permintaan tertulis untuk penggantian komponen utama sarana operasi sesuai jangka waktu yang telah ditentukan dalam spesifikasi teknis.
|
|
(2)
|
Pemeliharaan sarana operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan berupa:
|
||
|
a.
|
Lembar Pemeliharaan Kapal Patroli (LPKP); dan/atau
|
|
|
b.
|
Lembar Pemeliharaan Sarana Operasi lainnya (LPSL).
|
|
(3)
|
Bentuk dan tata cara pengisian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Lampiran LXIII dan Lampiran LXIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pengoperasian Sarana Operasi Pasal 159 |
|||
(1)
|
Pengoperasian sarana operasi berupa kapal patroli meliputi kegiatan:
|
||
|
a.
|
sebelum pelayaran;
|
|
|
b.
|
saat pelayaran; dan
|
|
|
c.
|
setelah pelayaran.
|
|
(2)
|
Kegiatan sebelum pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh Kepala Pangkalan atau Kantor yang mengelola kapal patroli dengan melaksanakan kegiatan:
|
||
|
a.
|
menentukan laik laut kapal patroli;
|
|
|
b.
|
menentukan personil ABK yang akan bertugas;
|
|
|
c.
|
mempersiapkan logistik, senjata dan amunisi beserta perlengkapan lainnya.
|
|
(3)
|
Kelaiklautan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dinyatakan oleh Kepala Pangkalan Sarana Operasi setelah mendapat laporan dari Pejabat yang bertanggung jawab mengenai nautika, teknik kapal, penginderaan dan telekomunikasi.
|
||
(4)
|
Pejabat yang bertanggung jawab mengenai nautika, teknik kapal, penginderaan, dan telekomunikasi sebelum menyampaikan laporan kepada Kepala Pangkalan Sarana Operasi terlebih dahulu wajib melakukan persiapan dan pengujian fungsi peralatan/perlengkapan kapal patroli.
|
||
(5)
|
Persiapan dan pengujian fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
|
||
|
a.
|
Pemenuhan ketentuan yang ditetapkan dalam SOLAS (Save of Live at Sea) sebagaimana yang diatur dalam Protokol SOLAS 1978 yang dikeluarkan oleh IMO (International Maritime Organisation).
|
|
|
b.
|
alat/perlengkapan keselamatan di laut;
|
|
|
c.
|
mesin induk, mesin bantu dan listrik kapal;
|
|
|
d.
|
alat radar, Global Position System (GPS), dan Echo Sounder;
|
|
|
e.
|
sarana radio komunikasi.
|
|
(6)
|
Selama kegiatan pelayaran, Nakhoda wajib menjaga keselamatan kapal patroli beserta awaknya, serta memperhatikan dan memelihara kondisi kapal patroli agar tetap laik laut
|
||
(7)
|
Kegiatan setelah pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa:
|
||
|
a.
|
melakukan uji coba (sea trial) untuk mengetahui kondisi peralatan dan perlengkapan kapal yang dilakukan oleh Pejabat yang bertanggung jawab mengenai nautika, teknik kapal, penginderaan, dan telekomunikasi;
|
|
|
b.
|
membuat laporan secara tertulis tentang pelaksanaan pelayaran, kondisi peralatan dan perlengkapan kapal kepada Kepala Pangkalan, Kepala Kantor, atau Pejabat yang ditunjuk dengan menyerahkan jurnal kapal;
|
|
|
c.
|
melakukan perbaikan dalam hal diperlukan;
|
|
|
d.
|
melakukan pembersihan kapal patroli; dan
|
|
|
e.
|
melakukan pemeliharaan rutin dan penjagaan/pengamanan kapal selama di pangkalan/pelabuhan.
|
|
(8)
|
Kelaiklautan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan ke dalam Pernyataan Siap berlayar.
|
||
(9)
|
Setelah kegiatan pelayaran laporan kondisi peralatan dan perlengkapan kapal patroli dituangkan ke dalam Laporan Tiba.
|
||
(10)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Pernyataan Siap Berlayar dan Laporan Tiba sebagaimana diatur dalam Lampiran LXV.
|
||
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pelatihan Keselamatan Kapal Patroli Pasal 160 |
|||
(1)
|
Pelatihan keselamatan kapal patroli meliputi pelatihan keselamatan awak kapal dan pengujian peralatan keselamatan kapal untuk memastikan kesiapan patroli.
|
||
(2)
|
Pelatihan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan di bawah pengawasan Kepala pangkalan.
|
||
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Tugas dan Fungsi Awak Kapal Patroli Pasal 161 |
|||
(1)
|
Awak kapal patroli terdiri dari:
|
||
|
a.
|
Nakhoda yang memiliki tugas dan fungsi mengoperasikan kapal patroli, menjaga keselamatan kapal dan personil serta tugas lainnya;
|
|
|
b.
|
Kepala Kamar Mesin yang memiliki tugas dan fungsi membantu Nakhoda dalam mengoperasikan mesin kapal patroli; dan
|
|
|
c.
|
Awak Kapal Patroli lainnya yang memiliki tugas dan fungsi membantu Nakhoda dalam mengoperasikan kapal patroli dan keselamatan kapal/personil serta tugas lainnya.
|
|
(2)
|
Awak kapal patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kualifikasi sesuai tugas dan fungsinya.
|
||
(3)
|
Ketentuan tentang kualifikasi, kewajiban dan larangan awak kapal patroli sebagaimana diatur dalam Lampiran LXVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Perbantuan Kapal Patroli Pasal 162 |
|||
(1)
|
Kantor dapat meminta bantuan kapal dan awak kapal patroli dari Pangkalan Sarana Operasi yang pengoperasiannya dalam bentuk Bawah Kendali Operasi (BKO).
|
||
(2)
|
Bantuan kapal dan awak kapal patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan persetujuan tertulis Direktur Penindakan dan Penyidikan dengan pertimbangan Kepala Kantor yang secara administratif membawahi Pangkalan Sarana Operasi.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Ketentuan Pelayaran Kapal Patroli Pasal 163 |
|||
Pelayaran kapal patroli dilaksanakan sesuai ketentuan:
|
|||
a.
|
melakukan penghormatan bendera terhadap Kapal Perang Republik Indonesia saat melintas atau berpapasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
|
||
b.
|
mengurangi kecepatan sehingga tidak menimbulkan gelombang besar pada saat melewati pangkalan/dermaga Instansi Pemerintah maupun swasta;
|
||
c.
|
memperhatikan ketentuan atau prosedur yang berlaku di pelabuhan yang akan disinggahi, dalam hal memasuki suatu pelabuhan di Indonesia;
|
||
d.
|
memperhatikan gelombang atau alun yang ditimbulkan oleh baling-baling kapal, dengan menyesuaikan kecepatan kapal serta menjaga jarak aman antara satu kapal dengan kapal dan berhati-hati dengan keadaan sekitarnya, dalam hal memasuki alur pelayaran sempit atau sungai;
|
||
e.
|
memberikan pertolongan apabila mendengar atau melihat dan mengetahui adanya semboyan/isyarat bahaya dari kapal lain, pesawat terbang atau terlihat alat penolong yang terapung, pertolongan harus dilaksanakan secepat mungkin kepada orang- orang yang membutuhkan. Apabila pertolongan sedemikian tidak dapat diberikan, karena keadaan yang tidak memungkinkan atau dianggap tidak perlu diberi pertolongan, semua kejadian harus ditulis dalam buku harian (jurnal) dengan memberikan alasannya dan melaporkan kejadian tersebut kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Perintah.
|
||
|
|
|
|
BAB IX
DOKUMENTASI DAN EVALUASI Pasal 164 |
|||
(1)
|
Atas kegiatan pengawasan oleh Unit Pengawasan dilakukan pendokumentasian, pelaporan, dan pertukaran data atau informasi secara manual dan/atau elektronik untuk kepentingan pendataan dan evaluasi.
|
||
(2)
|
Pendokumentasian kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai format dan elemen data yang baku dan berdasarkan Pedoman Administrasi Umum yang berlaku.
|
||
(3)
|
Pelaporan kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktorat Penindakan dan Penyidikan secara berjenjang, dalam periode, jenis dan bentuk yang telah ditentukan.
|
||
(4)
|
Pertukaran data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai otoritas akses data atau informasi dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi dalam Pengawasan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 165 |
|||
(1)
|
Atas kegiatan pengawasan oleh Unit Intelijen dilakukan evaluasi dan pelaporan.
|
||
(2)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan monitoring terhadap:
|
||
|
a.
|
pengumpulan data atau informasi berdasarkan Lembar Informasi (LI);
|
|
|
b.
|
penilaian data atau informasi berdasarkan Lembar Klasifikasi Informasi (LKI);
|
|
|
c.
|
analisis data atau informasi berdasarkan Lembar Kerja Analisis Intelijen (LKAI);
|
|
|
d.
|
pendistribusian informasi berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI), Nota Informasi Penindakan (NIP), Nota Informasi (NI), rekomendasi lainnya, dan informasi lainnya; dan
|
|
|
e.
|
tindak lanjut Nota Hasil Intelijen (NHI) berdasarkan Laporan Tugas Penindakan (LTP).
|
|
(3)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Lembar Monitoring Informasi (LMI).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Lembar Monitoring Informasi (LMI) sebagaimana diatur dalam Lampiran LXVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk Profil Intelijen, antara lain berupa:
|
||
|
a.
|
profil penumpang yang memuat rekapitulasi penumpang berikut tingkat risikonya.
|
|
|
b.
|
profil perusahaan yang memuat rekapitulasi perusahaan berikut tingkat risikonya.
|
|
|
c.
|
profil komoditi yang memuat rekapitulasi komoditi berikut tingkat risikonya.
|
|
|
d.
|
profil pengusaha barang kena cukai yang memuat rekapitulasi pengusaha barang kena cukai berikut tingkat risikonya.
|
|
(6)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Profil Intelijen berupa profil penumpang, profil perusahaan, profil komoditi, profil pengusaha barang kena cukai sebagaimana diatur dalam Lampiran LXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 166 |
|||
(1)
|
Atas kegiatan pengawasan oleh Unit Penindakan dilakukan evaluasi dan pelaporan.
|
||
(2)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan monitoring terhadap:
|
||
|
a.
|
Penelitian pra-penindakan berdasarkan Lembar Analisis Pra-penindakan (LAP);
|
|
|
b.
|
penentuan skema penindakan berdasarkan Lembar Penentuan Skema Penindakan (LPSP);
|
|
|
c.
|
patroli dan operasi penindakan berdasarkan Jurnal Monitoring Patroli (JMP) dan Daftar Monitoring Penindakan (DMP);
|
|
|
d.
|
penentuan hasil penindakan berdasarkan Lembar Penentuan Hasil Penindakan (LPHP);
|
|
(3)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Lembar Monitoring Penindakan (LMP).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Lembar Monitoring Penindakan (LMP) diatur dalam Lampiran LXIX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk Laporan Hasil Penindakan (LHP) yang memuat laporan rekapitulasi hasil penindakan yang telah dilaksanakan dalam periode tertentu.
|
||
(6)
|
Bentuk dan tata cara penatausahaan Laporan Hasil Penindakan (LHP) sebagaimana diatur dalam Lampiran LXX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 167 |
|||
(1)
|
Atas kegiatan pengawasan oleh Unit Penyidikan dilakukan evaluasi dan pelaporan.
|
||
(2)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan monitoring terhadap:
|
||
|
a.
|
penerimaan perkara berdasarkan Lembar Penerimaan Perkara (LPP);
|
|
|
b.
|
penelitian pendahuluan dan penentuan skema penanganan perkara berdasarkan Lembar Penelitian Formal (LPF);
|
|
|
c.
|
penelitian atau penyidikan berdasarkan Lembar Resume Penelitian (LRP-1) atau Lembar Resume Pidana (LRP-2);
|
|
|
d.
|
penanganan barang berdasarkan Lembar Monitoring Barang (LMB) sebagaimana diatur dalam Lampiran LXXI Peraturan Direktur Jenderal ini;
|
|
|
e.
|
penanganan pelaku pelanggaran berdasarkan Lembar Monitoring Pelaku (LMP) sebagaimana diatur dalam Lampiran LXII Peraturan Direktur Jenderal ini;
|
|
|
f.
|
pengelolaan tahanan penyidik berdasarkan Lembar Monitoring Tahanan (LMT) sebagaimana diatur dalam Lampiran LXIII Peraturan Direktur Jenderal ini;
|
|
(3)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Lembar Monitoring Penanganan Perkara (LMPP), Lembar Monitoring Penelitian (LMPP-1), dan Lembar Monitoring Penyidikan (LMPP-2).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Lembar Monitoring Penanganan Perkara (LMPP) diatur dalam Lampiran LXIV, Lampiran LXV dan Lampiran LXVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk:
|
||
|
a.
|
Profil penyidikan yang berupa profil kasus, profil pelaku, profil barang (BHP/BB), dan profil PPNS berdasarkan hasil penanganan perkara.
|
|
|
b.
|
Rekapitulasi Penanganan Perkara (RPP) yang memuat laporan rekapitulasi proses penanganan perkara pelanggaran pidana dan pelanggaran administrasi dalam periode tertentu.
|
|
|
c.
|
Rekapitulasi Penelitian Perkara (RPP-1) yang memuat laporan rekapitulasi penelitian terhadap pelanggaran yang sedang/telah dilaksanakan dalam periode tertentu.
|
|
|
d.
|
Rekapitulasi Penyidikan Pidana (RPP-2) yang memuat laporan rekapitulasi penyidikan terhadap pelanggaran pidana yang sedang/telah dilaksanakan dalam periode tertentu.
|
|
(6)
|
Bentuk dan tata cara pengisian profil kasus, profil pelaku, profil BHP/BB, dan profil PPNS diatur dalam Lampiran LXVII, Lampiran LXVIII, Lampiran LXXIX, dan Lampiran LXXX Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(7)
|
Bentuk dan tata cara pengisian RPP diatur dalam Lampiran LXXXI, Lampiran LXXXII, dan Lampiran LXXXIII Peraturan Direktur Jenderal ini
|
||
|
|
|
|
Pasal 168 |
|||
(1)
|
Atas kegiatan pengawasan oleh Unit Narkotika dilakukan evaluasi dan pelaporan.
|
||
(2)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan monitoring terhadap:
|
||
|
a.
|
pengumpulan data atau informasi berdasarkan Lembar Informasi NPP (LI-N);
|
|
|
b.
|
penilaian data atau informasi berdasarkan Lembar Klasifikasi Informasi NPP (LKI-N);
|
|
|
c.
|
analisis data atau informasi berdasarkan Lembar Kerja Analisis Intelijen NPP (LKAI-N);
|
|
|
d.
|
pendistribusian informasi berdasarkan Nota Hasil Intelijen NPP (NHI-N), Nota Informasi NPP (NI-N), rekomendasi lainnya, dan informasi lainnya;
|
|
|
e.
|
patroli dan operasi penindakan berdasarkan Jurnal Monitoring Patroli NPP (JMP-N) dan Daftar Monitoring Penindakan NPP (DMP-N); dan
|
|
|
f.
|
tindak lanjut Nota Hasil Intelijen NPP (NHI-N) berdasarkan Laporan Tugas Penindakan NPP (LTP-N).
|
|
(3)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Lembar Monitoring Intelijen dan Penindakan NPP (LMIP-N).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Lembar Monitoring Intelijen dan Penindakan NPP (LMIP-N) sebagaimana diatur dalam Lampiran LXXXIV Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk:
|
||
|
a.
|
Profil Anjing Pelacak yang memuat laporan profil Anjing Pelacak.
|
|
|
b.
|
Laporan Hasil Penindakan NPP (LHP-N) yang memuat laporan rekapitulasi hasil penindakan NPP yang telah dilaksanakan dalam periode tertentu.
|
|
(6)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Profil Anjing Pelacak dan Laporan Hasil Penindakan NPP sebagaimana diatur dalam Lampiran LXXXV dan Lampiran LXXXVI Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 169 |
|||
(1)
|
Atas kegiatan pengawasan oleh Unit Sarana Operasi dilakukan evaluasi dan pelaporan.
|
||
(2)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan monitoring terhadap:
|
||
|
a.
|
penyediaan sarana operasi berdasarkan Daftar Rencana Penyediaan Sarana Operasi (DRPS);
|
|
|
b.
|
penempatan sarana operasi berdasarkan Daftar Penempatan Sarana Operasi (DPSO);
|
|
|
c.
|
pemanfaatan sarana operasi berdasarkan Laporan Pemanfaatan Sarana Operasi (LPSO); dan
|
|
|
d.
|
pemeliharaan sarana operasi berdasarkan Lembar Pemeliharaan Kapal Patroli (LPK) dan Lembar Pemeliharaan Sarana Operasi Lainnya (LPSL).
|
|
(3)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Lembar Monitoring Sarana Operasi (LMS).
|
||
(4)
|
Bentuk dan tata cara pengisian LMS sebagaimana diatur dalam Lampiran LXXXVII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(5)
|
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk Profil Sarana Operasi yang memuat rekapitulasi sarana operasi meliputi jenis, tipe/merk, spesifikasi teknis dan kondisi.
|
||
(6)
|
Bentuk dan tata cara pengisian Profil Sarana Operasi sebagaimana diatur dalam Lampiran LXXXVIII Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 170 |
|||
Dalam rangka pengukuran kinerja pengawasan pada Kantor Pusat, Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan, dilakukan monitoring atas kegiatan pengawasan berdasarkan:
|
|||
a.
|
Laporan Monitoring Kinerja Pengawasan (LMKP) yang memuat laporan monitoring kegiatan Unit Pengawasan meliputi intelijen, penindakan, penanganan perkara, intelijen dan penindakan NPP dan pengelolaan sarana operasi.
|
||
b.
|
Laporan Monitoring Kinerja Pengawasan-1 (LMKP-1) yang memuat laporan monitoring kegiatan Unit Intelijen.
|
||
c.
|
Laporan Monitoring Kinerja Pengawasan-2 (LMKP-2) yang memuat laporan monitoring kegiatan Unit Penindakan.
|
||
d.
|
Laporan Monitoring Kinerja Pengawasan-3 (LMKP-3) yang memuat laporan monitoring kegiatan Unit Penyidikan.
|
||
e.
|
Laporan Monitoring Kinerja Pengawasan-4 (LMKP-4) yang memuat laporan monitoring kegiatan Unit Narkotika.
|
||
f.
|
Laporan Monitoring Kinerja Pengawasan-5 (LMKP-5) yang memuat laporan monitoring kegiatan Unit Sarana Operasi.
|
||
|
|
|
|
Pasal 171 |
|||
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang pengawasan kepabeanan dan cukai tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur di dalam peraturan ini.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 172 |
|||
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.
|
|||
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2010 DIREKTUR JENDERAL ttd. THOMAS SUGIJATA |