Hide
Sumber Peraturan | Tanggal Berlaku | |
---|---|---|
*) | UU 39 Tahun 2007 | 15 Ags 2007 |
**) | UU 7 Tahun 2021 | 29 Okt 2021 |
UU Cukai Konsolidasi setelah UU HPP
Penjelasan Umum
Untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan guna mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan berbagai upaya dari Pemerintah untuk mengambil berbagai langkah kebijakan fiskal yang konsolidatif. Kebijakan fiskal yang konsolidatif tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan langkah strategis yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak (tax ratio) yang antara lain melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pada tataran global, negara-negara di dunia juga menerapkan berbagai kebijakan perpajakan yang diharapkan mampu untuk meningkatkan penerimaan dengan memperluas basis pajak dan melakukan penyesuaian tarif pajak. Dalam rangka peningkatan rasio pajak (tax ratio), Pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui reformasi perpajakan yang berfokus pada organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi berbasis data, proses bisnis, dan regulasi perpajakan. Hal ini dilaksanakan di antaranya dengan peningkatan fungsi pelayanan, implementasi program Pengampunan Pajak, pelaksanaan skema Automatic Exchange of Financial Account Information, penguatan efektifitas fungsi ekstensifikasi, dan penegakan hukum. Namun, hal tersebut belum cukup untuk mengimbangi perubahan pola bisnis dan dinamika globalisasi yang sangat dinamis serta mengatasi praktik aggressive tax planning yang ada. Oleh karena itu, sejalan dengan reformasi perpajakan secara berkesinambungan khususnya pada aspek regulasi dan proses bisnis, diperlukan penyesuaian pengaturan kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis, sehingga perlu membentuk Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penyesuaian pengaturan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis dilakukan melalui pengaturan meliputi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pajak Karbon, dan Cukai. Materi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memuat beberapa ketentuan yang diubah dan/atau ditambah antara lain mengenai kerja sama bantuan penagihan pajak antarnegara, kuasa Wajib Pajak, pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan kerja sama untuk kepentingan negara, dan daluwarsa penuntutan pidana pajak. Dalam materi Pajak Penghasilan terdapat beberapa ketentuan yang diubah dan/atau ditambah antara lain mengenai perubahan pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan, tarif Pajak Penghasilan orang pribadi dan badan, penyusutan dan amortisasi, serta kesepakatan/perjanjian internasional di bidang perpajakan. Perubahan materi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah meliputi antara lain pengurangan pengecualian objek Pajak Pertambahan Nilai, pengaturan kembali fasilitas Pajak Pertambahan Nilai, perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, dan pengenaan tarif pajak Pertambahan Nilai final. Untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak terdapat materi Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak yang memberikan kesempatan kepada wajib Pajak untuk mengungkapkan hartanya yang belum diungkapkan. selanjutnya terdapat pengaturan baru mengenai pajak karbon yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon. Adapun perubahan ketentuan pada materi Cukai antara lain penambahan Barang Kena cukai, kewenangan Pejabat Bea dan cukai, penyidikan, serta pembayaran sanksi administratif.
KETENTUAN UMUM
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
1.
|
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
|
2.
|
Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang dipergunakan untuk menghasilkan barang kena cukai dan/atau untuk mengemas barang kena cukai dalam kemasan untuk penjualan eceran.
|
3.
|
Orang adalah orang pribadi atau badan hukum. *)
|
4.
|
Pengusaha pabrik adalah orang yang mengusahakan pabrik.
|
5.
|
Tempat penyimpanan adalah tempat, bangunan, dan/atau lapangan yang bukan merupakan bagian dari pabrik, yang dipergunakan untuk menyimpan barang kena cukai berupa etil alkohol yang masih terutang cukai dengan tujuan untuk disalurkan, dijual, atau diekspor. *)
|
6.
|
Pengusaha tempat penyimpanan adalah orang yang mengusahakan tempat penyimpanan.
|
7.
|
Tempat penjualan eceran adalah tempat untuk menjual secara eceran barang kena cukai kepada konsumen akhir.
|
8.
|
Pengusaha tempat penjualan eceran adalah orang yang mengusahakan tempat penjualan eceran. *)
|
9.
|
Penyalur adalah orang yang menyalurkan atau menjual barang kena cukai yang sudah dilunasi cukainya yang semata-mata ditujukan bukan kepada konsumen akhir. *)
|
10.
|
Dokumen cukai adalah dokumen yang digunakan dalam rangka pelaksanaan undang-undang ini dalam bentuk formulir atau melalui media elektronik. *)
|
11.
|
Kantor adalah Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. *)
|
12.
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
13.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
14.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
15.
|
Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan undang-undang ini. *)
|
16.
|
Tempat penimbunan sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya. *)
|
17.
|
Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. *)
|
18.
|
Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang di bidang kepabeanan. *)
|
19.
|
Audit cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai. *)
|
20.
|
Surat tagihan adalah surat berupa ketetapan yang digunakan untuk melakukan tagihan utang cukai, kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga. *)
|
Cukup jelas.
(1) | Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik: | |
a. | konsumsinya perlu dikendalikan; | |
b. | peredarannya perlu diawasi; | |
c. | pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau | |
d. | pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, *) | |
(2) | Barang-barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai barang kena cukai. |
(1)
|
Pengenaan cukai mulai berlaku untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia pada saat selesai dibuat dan untuk Barang Kena Cukai yang diimpor pada saat pemasukannya ke dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang Kepabeanan.
|
(2)
|
Tanggung jawab cukai untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia berada pada Pengusaha Pajak atau Pengusaha Tempat Penyimpanan, dan untuk Barang Kena Cukai yang diimpor berada pada Importir atau pihak-pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepabeanan.
|
(3)
|
Pemenuhan ketentuan dalam Undang-undang ini dilakukan dengan menggunakan dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai.
|
(1)
|
Dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik. *)
|
(2)
|
Dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang ini. *)
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
Cukup jelas.
Terhadap barang kena cukai berlaku seluruh ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. *)
|
BARANG KENA CUKAI, TARIF CUKAI, DAN HARGA DASAR
(1)
|
Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri atas:
|
|
|
a.
|
etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;
|
|
b.
|
minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol; dan
|
|
c.
|
hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya. **)
|
(2)
|
Penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. **)
|
(1)
|
Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
|
||
|
a.
|
untuk yang dibuat di Indonesia:
|
|
|
|
1.
|
275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
|
|
|
2.
|
57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
|
|
b.
|
untuk yang diimpor:
|
|
|
|
1.
|
275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
|
|
|
2.
|
57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran. *)
|
(2)
|
Barang kena cukai lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
|
||
|
a.
|
untuk yang dibuat di Indonesia:
|
|
|
|
1.
|
1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
|
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
|
|
b.
|
untuk yang diimpor:
|
|
|
|
1.
|
1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
|
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran. *)
|
(3)
|
Tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
|
||
(4)
|
Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mendapat persetujuan. *)
|
||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri. *)
|
(1)
|
Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai yang dibuat di Indonesia adalah harga jual pabrik atau harga jual eceran.
|
|
(2)
|
Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai yang diimpor adalah nilai pabean ditambah bea masuk atau harga jual eceran.
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan harga dasar diatur dengan peraturan menteri. *)
|
PELUNASAN, PENUNDAAN, DAN FASILITAS *)
(1)
|
Cukai atas barang kena cukai yang dibuat di Indonesia, dilunasi pada saat pengeluaran barang kena cukai dari pabrik atau tempat penyimpanan.
|
|
(2)
|
Cukai atas barang kena cukai yang diimpor dilunasi pada saat barang kena cukai diimpor untuk dipakai.
|
|
(3)
|
Cara pelunasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan:
|
|
|
a.
|
pembayaran;
|
|
b.
|
pelekatan pita cukai; atau
|
|
c.
|
pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya. *)
|
(3a)
|
Pencetakan pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan pengadaan tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan atau lembaga yang ditunjuk oleh Menteri dengan syarat-syarat yang ditetapkan. *)
|
|
(3b)
|
Syarat-syarat yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) paling sedikit memenuhi asas keamanan, kontinuitas, efektivitas, efisiensi, dan memberi kesempatan yang sama. *)
|
|
(4)
|
Pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disediakan oleh Menteri. *)
|
|
(5)
|
Dalam hal pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang cukai, cukai dianggap tidak dilunasi. *)
|
|
(6)
|
Dihapus. *)
|
|
(7)
|
Dihapus. *)
|
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan cukai diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
a.
|
pita cukai yang dilekatkan tidak sesuai dengan tarif cukai dan/atau harga dasar barang kena cukai yang ditetapkan;
|
b.
|
pita cukai yang dilekatkan tidak utuh atau rusak; atau
|
c.
|
pita cukai yang dilekatkan atau tanda pelunasan cukai,
|
lainnya yang dibubuhkan pada barang kena cukai yang bukan haknya dan/atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. |
(1)
|
Pelunasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a pembayarannya dapat diberikan secara berkala kepada pengusaha pabrik dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal pengeluaran barang kena cukai tanpa dikenai bunga. *)
|
|
(2)
|
Penundaan pembayaran cukai dapat diberikan kepada pengusaha pabrik dalam jangka waktu:
|
|
|
a.
|
paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal pemesanan pita cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b;
|
|
b.
|
paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal pengeluaran barang kena cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf c. *)
|
(3)
|
Penundaan pembayaran cukai dapat diberikan kepada importir barang kena cukai dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemesanan pita cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b. *)
|
|
(4)
|
Untuk pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengusaha pabrik wajib menyerahkan jaminan. *)
|
|
(5)
|
Untuk mendapat penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai wajib menyerahkan jaminan. *)
|
|
(6)
|
Jenis dan besaran jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
|
(7)
|
Pengusaha pabrik yang pelunasan cukainya dengan cara pembayaran berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak membayar cukai sampai dengan jangka waktu pembayaran secara berkala berakhir, wajib membayar cukai yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai cukai yang terutang. *)
|
|
(8)
|
Pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai yang mendapat penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang tidak membayar cukai sampai dengan jatuh tempo penundaan, wajib membayar cukai yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai cukai yang terutang. *)
|
|
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
(1)
|
Cukai tidak dipungut atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terhadap:
|
|
a. | tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu; | |
b. | minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran. | |
(2)
|
Cukai juga tidak dipungut atas barang kena cukai apabila:
|
|
a. | diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar daerah pabean; | |
b. | diekspor; | |
c. | dimasukkan ke dalam pabrik atau tempat penyimpanan; | |
d. | digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai; | |
e. | telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik, tempat penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai. | |
(2a)
|
Perubahan barang kena cukai yang tidak dipungut cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan tujuan barang kena cukai yang tidak dipungut cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. *)
|
|
(3)
|
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau setiap orang yang melanggar ketentuan tentang tidak dipungutnya cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
(1)
|
Pembebasan cukai dapat diberikan atas barang kena cukai:
|
|
|
a.
|
yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai;
|
|
b.
|
untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
|
|
c.
|
untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
|
|
d.
|
untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada badan atau organisasi internasional di Indonesia;
|
|
e.
|
yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau kiriman dari luar negeri dalam jumlah yang ditentukan;
|
|
f.
|
yang dipergunakan untuk tujuan sosial;
|
|
g.
|
yang dimasukkan ke dalam tempat penimbunan berikat.
|
(1a)
|
Perubahan tujuan barang kena cukai yang diberikan pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. *)
|
|
(2)
|
Pembebasan cukai dapat juga diberikan atas barang kena cukai tertentu yaitu:
|
|
|
a.
|
etil alkohol yang dirusak sehingga tidak baik untuk diminum;
|
|
b.
|
minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau, yang dikonsumsi oleh penumpang dan awak sarana pengangkut yang berangkat langsung ke luar daerah pabean.
|
(3)
|
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau setiap orang yang melanggar ketentuan tentang pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
1.
|
Yang dimaksud dengan "penumpang" adalah setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas.
|
2.
|
Yang dimaksud dengan "awak sarana pengangkut" adalah setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkutnya.
|
3.
|
Yang dimaksud dengan "pelintas batas" adalah penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui pos pengawas lintas batas.
|
PENAGIHAN, PENGEMBALIAN, DAN KEDALUWARSA
(1)
|
Penagihan dilakukan atas:
|
|
|
a.
|
utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya;
|
|
b.
|
kekurangan cukai; dan/atau
|
|
c.
|
sanksi administrasi berupa denda. *)
|
(2)
|
Utang cukai, kekurangan cukai, dan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayar paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima surat tagihan. *)
|
|
(2a)
|
Pembayaran utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari nilai utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang tidak dibayar. *)
|
|
(2b)
|
Dalam hal tertentu, atas permintaan pengusaha pabrik, Direktur Jenderal dapat memberikan kemudahan untuk mengangsur pembayaran tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan. *)
|
|
(2c)
|
Pembayaran utang cukai, kekurangan cukai, dan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) jumlahnya dibulatkan dalam ribuan rupiah. *)
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penagihan dan pengangsuran diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
a.
|
utang cukai yang timbul akibat cukai yang pembayarannya secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) tidak dibayar sampai dengan jangka waktu pembayaran berkala berakhir; dan
|
b.
|
utang cukai yang timbul akibat cukai yang pembayarannya mendapat penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2) dan ayat (3) tidak dibayar sampai dengan jatuh tempo penundaan berakhir.
|
a.
|
kekurangan cukai akibat kesalahan hitung dalam dokumen pemberitahuan atau pemesanan pita cukai; dan
|
b.
|
kekurangan cukai akibat hasil pencacahan.
|
(1)
|
Tagihan negara berdasarkan undang-undang ini mempunyai hak mendahulu atas segala tagihan terhadap harta yang berutang.
|
|
(2)
|
Hal mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap:
|
|
|
a.
|
biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak ataupun tidak bergerak;
|
|
b.
|
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
|
|
c.
|
biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
|
(3)
|
Hak mendahului sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hilang setelah lampau waktu dua tahun sejak dikeluarkannya Surat Tagihan, kecuali apabila dalam jangka waktu tersebut diberikan penundaan pembayaran.
|
|
(4)
|
Apabila diberikan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jangka waktu dua tahun itu harus ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.
|
(1)
|
Pengembalian cukai yang telah dibayar diberikan dalam hal:
|
|
|
a.
|
terdapat kelebihan pembayaran karena kesalahan penghitungan;
|
|
b.
|
barang kena cukai diekspor;
|
|
c.
|
barang kena cukai diolah kembali di pabrik atau dimusnahkan;
|
|
d.
|
barang kena cukai mendapat pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
|
|
e.
|
pita cukai dikembalikan karena rusak atau tidak dipakai; atau
|
|
f.
|
terdapat kelebihan pembayaran sebagai akibat putusan Pengadilan Pajak. *)
|
(2)
|
Pengembalian cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya kelebihan pembayaran. *)
|
|
(3)
|
Apabila pengembalian cukai dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah memberikan bunga 2% (dua persen) perbulan, dihitung setelah jangka waktu tersebut berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian. *)
|
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian cukai diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
a.
|
adanya perubahan desain pita cukai;
|
b.
|
perubahan tarif cukai atau harga eceran;
|
c.
|
pita cukai rusak sebelum dilekatkan; atau
|
d.
|
pabrik yang bersangkutan tidak lagi berproduksi.
|
(1)
|
Hak menagih utang berdasarkan undang-undang ini menjadi kedaluwarsa setelah sepuluh tahun sejak timbulnya kewajiban membayar.
|
(2)
|
Masa kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal ada pengakuan utang.
|
Cukup jelas.
PERIZINAN
(1)
|
Setiap orang yang akan menjalankan kegiatan sebagai:
|
|
|
a.
|
pengusaha pabrik;
|
|
b.
|
pengusaha tempat penyimpanan;
|
|
c.
|
importir barang kena cukai;
|
|
d.
|
penyalur; atau
|
|
e.
|
pengusaha tempat penjualan eceran,
|
|
wajib memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dari Menteri. *)
|
|
(1a)
|
Kewajiban memiliki izin untuk menjalankan kegiatan sebagai penyalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau pengusaha tempat penjualan eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berlaku untuk etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol. *)
|
|
(1b)
|
Kewajiban memiliki izin untuk menjalankan kegiatan sebagai penyalur atau pengusaha tempat penjualan eceran selain etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) ditetapkan dengan peraturan menteri. *)
|
|
(1c)
|
Importir barang kena cukai yang telah memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat melaksanakan impor barang kena cukai. *)
|
|
(2)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|
|
a.
|
orang yang berkedudukan di Indonesia; atau
|
|
b.
|
orang yang secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia. *)
|
(3)
|
Dalam hal pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah orang pribadi, apabila yang bersangkutan meninggal dunia, izin dapat dipergunakan selama dua belas bulan sejak tanggal meninggal yang bersangkutan oleh ahli waris atau yang dikuasakan dan setelah lewat jangka waktu tersebut, izin wajib diperbaharui.
|
|
(3a)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibekukan, dalam hal:
|
|
|
a.
|
adanya bukti permulaan yang cukup bahwa pemegang izin melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai;
|
|
b.
|
adanya bukti yang cukup sehingga persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi; atau
|
|
c.
|
pemegang izin berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan utangnya. *)
|
(4)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicabut dalam hal:
|
|
|
a.
|
atas permohonan pemegang izin yang bersangkutan;
|
|
b.
|
tidak dilakukan kegiatan selama 1 (satu) tahun;
|
|
c.
|
persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi;
|
|
d.
|
pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia;
|
|
e.
|
pemegang izin dinyatakan pailit;
|
|
f.
|
tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
|
|
g.
|
pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar ketentuan undang-undang ini;
|
|
h.
|
pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30; atau
|
|
i.
|
izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dipindahtangankan, dikuasakan, dan/atau dikerjasamakan dengan orang/pihak lain tanpa persetujuan Menteri. *)
|
(5)
|
Dalam hal izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut, terhadap barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya yang masih berada di dalam pabrik atau tempat penyimpanan harus dilunasi cukainya dan dikeluarkan dari pabrik atau tempat penyimpanan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat keputusan pencabutan izin. *)
|
|
(5a)
|
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dimusnahkan. *)
|
|
(5b)
|
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. *)
|
|
(6)
|
Ketentuan mengenai pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku bagi importir barang kena cukai, penyalur, dan pengusaha tempat penjualan eceran. *)
|
|
(7)
|
Setiap orang yang menjalankan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa memiliki izin dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). *)
|
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. *)
|
(1)
|
Pembuatan Barang Kena Cukai berupa hasil tembakau dapat diizinkan dilakukan di luar Pabrik dan merupakan tanggung jawab Pengusaha Pabrik yang bersangkutan.
|
(2)
|
Ketentuan tentang pelaksanaan ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
|
PEMBUKUAN DAN PENCACAHAN *)
(1)
|
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d wajib menyelenggarakan pembukuan. *)
|
(2)
|
Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil yang wajib memiliki izin, dan pengusaha tempat penjualan eceran yang wajib memiliki izin. *)
|
(3)
|
Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat. *)
|
(4)
|
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib memiliki izin, yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). *)
|
(5)
|
Pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil yang wajib memiliki izin, dan pengusaha tempat penjualan eceran yang wajib memiliki izin, yang tidak melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). *)
|
(6)
|
Pengusaha pabrik yang tidak memberitahukan barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali nilai cukai dari barang kena cukai yang tidak diberitahukan. *)
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberitahuan mengenai barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
a.
|
pemasukan, produksi, dan pengeluaran barang kena cukai; dan
|
b.
|
penerimaan, pemakaian, dan pengembalian pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya.
|
a.
|
untuk etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol, pengusaha pabrik memberitahukan barang kena cukai yang selesai dibuat kepada pejabat bea dan cukai setiap hari;
|
b.
|
untuk hasil tembakau, pengusaha pabrik memberitahukan barang kena cukai yang selesai dibuat kepada pejabat bea dan cukai setiap bulan.
|
(1)
|
Pembukuan wajib diselenggarakan dengan baik yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, biaya, dan arus keluar masuknya barang kena cukai. *)
|
(2)
|
Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, mata uang rupiah, serta bahasa Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa lain yang diizinkan oleh Menteri. *)
|
(3)
|
Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia. *)
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelenggaraan pembukuan diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib memiliki izin, yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). *)
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai wajib menyelenggarakan buku rekening barang kena cukai untuk setiap pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan mengenai barang kena cukai tertentu yang masih terutang cukai dan berada di pabrik atau tempat penyimpanan. |
(2) | Pejabat bea dan cukai mencatat barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1) atau ayat (3) yang masih terutang cukai ke dalam buku rekening barang kena cukai. *) |
(3) | Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan bertanggung jawab atas utang cukai dari barang kena cukai yang ada menurut buku rekening barang kena cukai. |
(1)
|
Buku rekening barang kena cukai ditutup pada setiap akhir tahun kalender. *)
|
(2)
|
Buku rekening barang kena cukai juga ditutup setelah dilakukan pencacahan atau atas permintaan pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan.
|
(3)
|
Ketentuan tentang buku rekening barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai wajib menyelenggarakan buku rekening kredit untuk setiap pengusaha pabrik yang mendapatkan kemudahan pembayaran berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1). *)
|
(1a)
|
Pejabat bea dan cukai wajib menyelenggarakan buku rekening kredit untuk setiap pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai mengenai cukai yang mendapatkan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2) dan ayat (3). *)
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai buku rekening kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
(1)
|
Barang Kena Cukai tertentu yang ada dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan setiap waktu dapat dicacah oleh Pejabat Bea dan Cukai.
|
(2)
|
Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan wajib menunjukkan semua Barang Kena Cukai yang ada di dalam tempat yang dimaksud pada ayat (1), serta menyediakan tenaga dan peralatan untuk keperluan pencacahan.
|
(3)
|
Ketentuan tentang pencacahan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
|
(1)
|
Dalam hal jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kedapatan lebih kecil daripada jumlah yang tercantum dalam Buku Rekening Barang Kena Cukai, kepada Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan diberikan potongan setinggi-tingginya sepuluh persen dari jumlah Barang Kena Cukai yang dihasilkan atau dimasukkan sejak pencacahan terakhir. |
(2) | Potongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikurangkan dari selisih antara hasil pencacahan dengan Buku Rekening Barang Kena Cukai, dan sisanya merupakan kekurangan yang cukainya harus dilunasi oleh Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan dalam waktu tiga puluh hari setelah tanggal penutupan Buku Rekening Barang Kena Cukai. |
(3) | Ketentuan tentang jenis Barang Kena Cukai yang dapat diberikan potongan dan besarnya potongan diatur lebih lanjut oleh Menteri. |
-
|
Tanggal 30 November 1995 Pejabat Bea dan Cukai melakukan pencacahan atas suatu Pabrik.
|
-
|
Data-data yang ada sebagai berikut:
|
Potongan tidak diberikan apabila jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kedapatan sama atau lebih besar daripada jumlah sediaan yang tercantum dalam Buku Rekening Barang Kena Cukai.
|
(1)
|
Kekurangan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) diberikan kelonggaran yang besarnya tidak melebihi tiga kali jumlah potongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
|
(2)
|
Kelebihan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, diberikan kelonggaran yang besarnya tidak melebihi satu persen dari jumlah Barang Kena Cukai yang seharusnya ada menurut Buku Rekening Barang Kena Cukai. |
(3) | Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang di dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan kedapatan kekurangan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) atau kelebihan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang melebihi kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai cukai dari Barang Kena Cukai yang kedapatan kurang atau lebih. |
PENIMBUNAN
(1)
|
Barang Kena Cukai yang belum dilunasi cukainya dapat ditimbun dalam Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Kepabeanan.
|
(2)
|
Barang Kena Cukai yang belum dilunasi cukainya yang dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dapat ditimbun dalam Pabrik.
|
(3)
|
Ketentuan tentang penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
|
PEMASUKAN, PENGELUARAN, PENGANGKUTAN, DAN PERDAGANGAN
(1)
|
Pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai ke atau dari pabrik atau tempat penyimpanan, wajib diberitahukan kepada Kepala Kantor dan dilindungi dengan dokumen cukai.
|
(2)
|
Pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai.
|
(3) | Dalam hal pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai, yang menjadi dasar untuk membukukan dalam buku rekening barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 adalah yang didapati oleh pejabat bea dan cukai yang bersangkutan. |
(4) | Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan yang mengeluarkan barang kena cukai dari pabrik atau tempat penyimpanan, yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali nilai cukai dari barang kena cukai yang dikeluarkan. *) |
(4a) | Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan, yang memasukkan barang kena cukai ke pabrik atau tempat penyimpanan tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). *) |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *) |
(1)
|
Dalam keadaan darurat, barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya dapat dipindahkan ke luar pabrik atau tempat penyimpanan tanpa dilindungi dokumen cukai.
|
(2)
|
Pemindahan barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilaporkan kepada Kepala Kantor dalam jangka waktu yang ditetapkan.
|
(3)
|
Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan yang tidak melaporkan pemindahan barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya karena keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). *)
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
(1)
|
Pengangkutan barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya harus dilindungi dengan dokumen cukai.
|
(2)
|
Pengangkutan barang kena cukai tertentu, walaupun sudah dilunasi cukainya, harus dilindungi dengan dokumen cukai.
|
(3)
|
Setiap orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pengangkutan barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
(4)
|
Setiap orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pengangkutan barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). *)
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
Jangka waktu yang telah ditentukan dalam dokumen cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) atau ayat (2), sebelum dilampaui dapat diperpanjang masa berlakunya oleh Kepala Kantor yang mengawasi tempat Barang Kena Cukai bersangkutan berada.
|
(1)
|
Barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya hanya boleh ditawarkan, diserahkan, dijual, atau disediakan untuk dijual, setelah dikemas untuk penjualan eceran dan dilekati pita cukai atau dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya yang diwajibkan. *)
|
(2)
|
Barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya yang berada dalam tempat penjualan eceran atau tempat lain yang kegiatannya adalah untuk menjual dianggap disediakan untuk dijual. *)
|
(2a)
|
Pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai yang melekatkan pita cukai atau membubuhkan tanda pelunasan cukai lainnya pada barang kena cukai yang tidak sesuai dengan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang diwajibkan, yang menyebabkan kekurangan pembayaran cukai, wajib melunasi cukainya dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai dari nilai cukai yang seharusnya dilunasi. *)
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
LARANGAN
(1)
|
Di dalam Pabrik dilarang menghasilkan barang selain Barang Kena Cukai yang ditetapkan dalam surat izin yang bersangkutan.
|
|
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap:
|
|
|
a.
|
Pabrik etil alkohol yang memproduksi secara terpadu barang lain yang bukan merupakan Barang Kena Cukai dengan menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penolong;
|
|
b.
|
Pabrik Barang Kena Cukai selain etil alkohol yang menghasilkan barang lainnya yang bukan Barang Kena Cukai, sepanjang di dalam Pabrik tersebut dilakukan pemisahan secara fisik antara Barang Kena Cukai dan bukan Barang Kena Cukai, baik dalam produksinya maupun tempat penimbunan bahan baku atau bahan penolong dan hasil produksi akhirnya.
|
(1)
|
Di dalam tempat penyimpanan dilarang:
|
|
|
a.
|
menyimpan barang kena cukai yang telah dilunasi cukainya atau yang mendapatkan pembebasan cukai;
|
|
b.
|
menyimpan barang selain barang kena cukai yang ditetapkan dalam surat izin bersangkutan.
|
(2)
|
Barang kena cukai yang telah dilunasi cukainya atau yang mendapatkan pembebasan cukai yang kedapatan berada di dalam tempat penyimpanan dianggap belum dilunasi cukainya atau tidak mendapatkan pembebasan cukai.
|
|
(3)
|
Pengusaha tempat penyimpanan yang melanggar ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). *)
|
(1)
|
Di dalam pabrik, tempat usaha importir barang kena cukai, tempat usaha penyalur, dan tempat penjualan eceran, yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya dilarang:
|
|
|
a.
|
menyimpan atau menyediakan pita cukai dan/atau tanda pelunasan cukai lainnya yang telah dipakai; dan/atau
|
|
b.
|
menyimpan atau menyediakan pengemas barang kena cukai yang telah dipakai dengan pita cukai dan/atau tanda pelunasan cukai lainnya yang masih utuh. *)
|
(2)
|
Pengusaha pabrik, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran, yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya, yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai dari pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang didapati telah dipakai. *)
|
Cukup jelas.
KEWENANGAN DI BIDANG CUKAI
(1)
|
Pejabat bea dan cukai berwenang:
|
|
|
a.
|
mengambil tindakan yang diperlukan atas barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai berupa penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan untuk melaksanakan undang-undang ini;
|
|
b.
|
mengambil tindakan yang diperlukan berupa tidak melayani pemesanan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya; dan
|
|
c.
|
menegah barang kena cukai, barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai, dan/atau sarana pengangkut. *)
|
(2)
|
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pejabat bea dan cukai dapat dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan syarat-syarat penggunaannya diatur dengan peraturan pemerintah. *)
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta penegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. *)
|
(1)
|
Dalam melaksanakan tugas berdasarkan undang-undang ini pejabat bea dan cukai dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya. *)
|
(2)
|
Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya wajib untuk memenuhinya. *)
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan terhadap:
|
|
|
a.
|
pabrik, tempat penyimpanan, atau tempat lain yang digunakan untuk menyimpan barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai, yang belum dilunasi cukainya atau memperoleh pembebasan cukai;
|
|
b.
|
bangunan atau tempat lain yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada huruf a;
|
|
c.
|
tempat usaha penyalur, tempat penjualan eceran, atau tempat lain yang bukan rumah tinggal, yang di dalamnya terdapat barang kena cukai; dan
|
|
d.
|
barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai yang berada di tempat sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c. *)
|
(2)
|
Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang mengambil contoh barang kena cukai. *)
|
|
(3)
|
Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pejabat bea dan cukai berwenang meminta catatan sediaan barang, dokumen cukai, dan/atau dokumen pelengkap cukai, yang wajib diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini. *)
|
|
(4)
|
Setiap orang yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). *)
|
(1)
|
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan, wajib menyediakan tenaga, peralatan, dan menyerahkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang wajib diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini. *)
|
(1a)
|
Dalam hal pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan, tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada yang mewakilinya. *)
|
(2)
|
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan, catatan, dan/atau dokumen pada waktu dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). *)
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai yang berada di sarana pengangkut. *)
|
(2)
|
Pengangkut wajib menunjukkan dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai yang diwajibkan menurut undang-undang ini.
|
(3)
|
Sarana pengangkut yang disegel oleh dinas pos atau penegak hukum lain, dikecualikan dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(4)
|
Setiap orang yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengangkut yang tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). *)
|
(1)
|
Pemeriksaan atas bangunan atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 harus dengan surat perintah dari Direktur Jenderal.
|
|
(2)
|
Surat Perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan untuk melakukan:
|
|
|
a.
|
pengejaran orang dan/atau Barang Kena Cukai yang memasuki bangunan;
|
|
b.
|
pemeriksaan bangunan atau tempat lain oleh Pejabat Bea dan Cukai yang secara tetap ditunjuk untuk melakukan pengawasan atas bangunan atau tempat lain.
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit cukai terhadap pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. *)
|
|
(1a)
|
Dalam melaksanakan audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang:
|
|
|
a.
|
meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai;
|
|
b.
|
meminta keterangan lisan dan/atau tertulis kepada pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dan/atau pihak lain yang terkait;
|
|
c.
|
memasuki bangunan atau ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, sediaan barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting, serta melakukan pemeriksaan di tempat tersebut; atau
|
|
d.
|
melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap bangunan atau ruangan sebagaimana dimaksud dalam huruf c. *)
|
(1b)
|
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan audit cukai, wajib memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis, menyediakan tenaga, peralatan, dan menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai. *)
|
|
(1c)
|
Dalam hal pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan audit cukai, tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) beralih kepada yang mewakilinya. *)
|
|
(2)
|
Setiap orang yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan kewenangan audit cukai dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). *)
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan terhadap bagian-bagian dari pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir barang kena cukai, tempat usaha penyalur, tempat penjualan eceran, tempat lain, atau sarana pengangkut yang di dalamnya terdapat barang kena cukai guna pengamanan cukai. *)
|
(1)
|
Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat:
|
|
|
a.
|
membetulkan surat tagihan atau surat keputusan keberatan, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan undang-undang ini; atau
|
|
b.
|
mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya. *)
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan, pembetulan, pengurangan, atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai. **) | |
(2) | Dalam hal hasil penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, diselesaikan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. **) | |
(3) | Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dilakukan penyidikan dalam hal: | |
|
a.
|
terdapat dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58; dan
|
|
b.
|
yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. **)
|
(4) | Barang kena cukai terkait dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan menjadi barang milik negara. **) | |
(5) | Barang-barang lain terkait dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditetapkan menjadi barang milik negara. **) | |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. **) |
KEBERATAN, BANDING, DAN GUGATAN *)
(1)
|
Dihapus. *)
|
(2)
|
Orang yang berkeberatan atas penetapan pejabat bea dan cukai dalam penegakan undang-undang ini, yang mengakibatkan kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda, dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan dengan menyerahkan jaminan sebesar kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. *)
|
(3)
|
Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. *)
|
(4)
|
Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. *)
|
(5)
|
Apabila Direktur Jenderal memutuskan mengabulkan keberatan yang diajukan, jaminan wajib dikembalikan. *)
|
(6)
|
Dalam hal jaminan berupa uang tunai, apabila pengembalian jaminan dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Pemerintah memberikan bunga 2% (dua persen) perbulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. *)
|
(7)
|
Apabila Direktur Jenderal memutuskan menolak keberatan yang diajukan, jaminan dicairkan untuk membayar cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. *)
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai keberatan diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri. *)
|
Dihapus. *)
|
Dihapus. *)
|
Orang yang berkeberatan atas keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat mengajukan banding dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau keputusan. *)
|
Orang yang berkeberatan atas pencabutan izin bukan atas permohonan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, atau huruf i dapat mengajukan gugatan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau keputusan. *)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A atau gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43B diajukan kepada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang pengadilan pajak. *)
|
Dihapus. *)
|
Dihapus. *)
|
Dihapus. *)
|
Dihapus. *)
|
Dihapus. *)
|
Dihapus. *)
|
KETENTUAN PIDANA
Setiap orang yang tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 menjalankan kegiatan pabrik, tempat penyimpanan, atau mengimpor barang kena cukai dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
Dihapus. *)
|
Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan yang mengeluarkan barang kena cukai dari pabrik atau tempat penyimpanan tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
Setiap orang yang dengan sengaja memperlihatkan atau menyerahkan buku, catatan, dan/atau dokumen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) atau laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1b) yang palsu atau dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). *)
|
Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
Setiap orang yang:
|
|
a.
|
membuat secara melawan hukum, meniru, atau memalsukan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya;
|
b.
|
membeli, menyimpan, mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang palsu atau dipalsukan; atau
|
c.
|
mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang sudah dipakai,
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit 10 (sepuluh) kali nilai cukai dan paling banyak 20 (dua puluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
Setiap orang yang menimbun, menyimpan, memiliki, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang kena cukai yang diketahuinya atau patut harus diduganya berasal dari tindak pidana berdasarkan undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). *)
|
Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. *)
|
(1)
|
Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). *)
|
(2)
|
Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). *)
|
(1)
|
Dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh yang bersangkutan, diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan yang bersangkutan sebagai gantinya.
|
(2)
|
Dalam hal penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.
|
Tindak pidana dalam Undang-undang ini tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak terjadinya tindak pidana.
|
(1)
|
Jika suatu tindak pidana menurut Undang-undang ini dilakukan atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
|
|
|
a.
|
badan hukum, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi tersebut; dan/atau
|
|
b.
|
mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya.
|
(2)
|
Tindak pidana menurut Undang-undang ini dianggap dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi tersebut, tanpa memperhatikan apakah orang-orang itu masing-masing telah melakukan tindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
|
|
(3)
|
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, perseroan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi pada waktu penuntutan diwakili oleh seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka itu dan wakil tersebut dapat diwakili oleh seorang lain.
|
|
(4)
|
Terhadap badan hukum, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi yang dipidana berdasarkan Undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) jika tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.
|
(1)
|
Barang kena cukai yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dirampas negara.
|
(2)
|
Barang-barang lain yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dapat dirampas untuk negara.
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian atas barang yang dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri. *)
|
PENYIDIKAN
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktur Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang cukai.
|
|
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kewajibannya berwenang:
|
|
|
a.
|
menerima laporan atau keterangan dari seorang tentang adanya tindak pidana di bidang cukai;
|
|
b.
|
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
|
c.
|
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang cukai;
|
|
d.
|
memotret dan/atau merekam melalui media audio visual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang cukai;
|
|
e.
|
memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-undang ini dan pembukuan lainnya;
|
|
f.
|
mengambil sidik jari orang;
|
|
g.
|
menggeledah rumah tinggal, pakaian dan badan;
|
|
h.
|
menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang cukai;
|
|
i.
|
menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang cukai;
|
|
j.
|
memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dipakai sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang cukai;
|
|
k.
|
mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
|
|
l.
|
menyuruh berhenti seorang tersangka pelaku tindak pidana di bidang cukai serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
|
|
m.
|
menghentikan penyidikan;
|
|
n.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang cukai menurut hukum yang bertanggung jawab.
|
(3)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
|
(1)
|
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. **)
|
(2)
|
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58, setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. **)
|
(3)
|
Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat membayar sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2). **)
|
(4)
|
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara. **)
|
(5)
|
Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa. **)
|
(6)
|
Barang kena cukai yang terkait dengan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan menjadi barang milik negara. **)
|
(7)
|
Barang-barang lain yang terkait dengan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan menjadi barang milik negara. **)
|
(8)
|
Menteri dan Jaksa Agung dapat melimpahkan kewenangan lebih lanjut kepada pejabat yang ditunjuk, terkait permintaan dan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). **)
|
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. **)
|
PEMBINAAN PEGAWAI *)
(1)
|
Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terikat pada kode etik yang menjadi pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. *)
|
(2)
|
Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh komisi kode etik. *)
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik diatur dengan peraturan menteri. *)
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja komisi kode etik diatur dengan peraturan menteri. *)
|
Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau menetapkan cukai tidak sesuai dengan undang-undang ini sehingga menyebabkan belum terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan cukai dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. *)
|
(1)
|
Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang cukai yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan bukti permulaan. *)
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri. *)
|
(1)
|
Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran di bidang cukai berhak memperoleh premi. *)
|
(2)
|
Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau dari hasil lelang barang hasil pelanggaran di bidang cukai. *)
|
(3)
|
Dalam hal barang hasil tangkapan merupakan barang yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh dilelang, besarnya nilai barang sebagai dasar perhitungan premi ditetapkan oleh Menteri. *)
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri. *)
|
a.
|
pelanggaran administrasi meliputi memberikan informasi, menemukan baik secara administrasi maupun secara fisik, dan/atau sampai dengan penyelesaian penagihan oleh pejabat bea dan cukai; atau
|
b.
|
pelanggaran pidana di bidang cukai meliputi memberikan informasi, melakukan penangkapan, penyidikan, dan/atau sampai dengan penuntutan.
|
(1)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja di bidang cukai. *)
|
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. *)
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri. *)
|
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, atau pengguna barang kena cukai yang mendapat fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, bertanggung jawab atas perbuatan orang yang dipekerjakan atau yang ditunjuk sebagai wakil atau sebagai kuasa yang berhubungan dengan pekerjaan mereka dalam rangka pelaksanaan undang-undang ini. *)
|
(1)
|
Barang kena cukai dan barang lain yang berasal dari pelanggar tidak dikenal dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan apabila dalam jangka waktu empat belas hari sejak dikuasai negara pelanggarnya tetap tidak diketahui, barang kena cukai dan barang lain tersebut menjadi milik negara.
|
(2)
|
Barang kena cukai yang pemiliknya tidak diketahui, dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan serta wajib diumumkan secara resmi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk diselesaikan oleh yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari terhitung sejak dikuasai negara, dan apabila dalam jangka waktu dimaksud yang bersangkutan tidak menyelesaikan kewajibannya, barang kena cukai tersebut menjadi milik negara.
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri. *)
|
(1)
|
Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. *)
|
(2)
|
Alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun berjalan. *)
|
(3)
|
Gubernur mengelola dan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan mengatur pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya. *)
|
(4)
|
Pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan persetujuan Menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya. *)
|
Penyaluran dana bagi hasil cukai hasil tembakau dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah provinsi dan rekening kas umum daerah kabupaten/kota. *)
|
(1)
|
Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal yang berasal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia. *)
|
(2)
|
Apabila hasil pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal yang berasal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau mengindikasikan adanya penyimpangan pelaksanaan akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. *)
|
(1)
|
Atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dapat diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyaluran dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia. *)
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri. *)
|
Persyaratan dan tata cara impor Barang Kena Cukai dari suatu kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas serta Pemberitahuan Pabean di instalasi dan alat-alat yang berada di Landas Kontinen Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berlaku Undang-undang tentang Kepabeanan.
|
Ketentuan tentang tata cara pengenaan sanksi administrasi dan penyesuaian besarnya sanksi administrasi serta penyesuaian besarnya bunga menurut Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
KETENTUAN PERALIHAN
(1)
|
Dengan berlakunya Undang-undang ini, semua izin yang telah ada dan ditentukan batas waktunya dinyatakan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya, sedangkan bagi izin yang tidak ditentukan masa berlakunya dinyatakan tetap berlaku selama satu tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.
|
(2)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila telah berakhir masa berlakunya, harus diperbaharui berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
|
(3)
|
Terhadap Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang sebelum berlakunya Undang-undang ini telah menjalankan usahanya yang karena peraturan perundang-undangan cukai yang lama tidak diwajibkan memiliki izin sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dalam jangka waktu tiga bulan sejak berlakunya Undang-undang ini harus sudah memiliki izin.
|
Terhadap urusan cukai yang pada saat berlakunya Undang-undang ini belum dapat diselesaikan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai yang meringankan setiap orang.
|
KETENTUAN PENUTUP
Dengan berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi:
|
|
1.
|
Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Ordonnantie Van 27 Desember 1886 Stbl. 1886 No. 249 dan Ordonnantie Van 11 Mai 1908 Stbl. 1908 No. 361), sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 121);
|
2.
|
Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (Ordonnantie Van 27 Februari 1898 Stbl. 1898 No. 90 en 92 dan Ordonnantie Van 10 Juli 1923 Stbl. 1923 No. 344), sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 121);
|
3.
|
Ordonansi Cukai Bir (Bieraccijns Ordonnantie Stbl. 1931 No. 488 en 489), sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 121);
|
4.
|
Ordonansi Cukai Tembakau (Tabacsaccijn Ordonnantie Stbl. 1932 No. 517) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 121);
|
5.
|
Ordonansi Cukai Gula (Suikeraccijns Ordonnantie Stbl. 1933 No. 351) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 121).
|
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1966.
|
|