Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
QANUN KOTA BANDA ACEH
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK KOTA DAN RETRIBUSI KOTA
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
WALIKOTA BANDA ACEH,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah;
|
|||
b.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b perlu membentuk Qanun tentang Pajak Kota dan Retribusi Kota;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 8 (Drt) Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Kota Besar Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1983 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3247);
|
|||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KOTA BANDA ACEH
dan
WALIKOTA BANDA ACEH
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
QANUN TENTANG PAJAK KOTA DAN RETRIBUSI KOTA.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Kota adalah Kota Banda Aceh.
|
|||
2.
|
Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banda Aceh.
|
|||
3.
|
Walikota adalah Walikota Banda Aceh.
|
|||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Kota yang selanjutnya disingkat DPRK adalah Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh.
|
|||
5.
|
Pajak Kota yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Kota yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Kota bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
6.
|
Retribusi Kota yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Kota sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Kota untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
7.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||
8.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
9.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
10.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
11.
|
Orang adalah orang perseorangan atau kelompok orang.
|
|||
12.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Milik Gampong, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
13.
|
Badan Layanan Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh Satuan Kerja Perangkat Kota atau unit Satuan Kerja Perangkat Kota pada Satuan Kerja Perangkat Kota dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||
14.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunansa yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
15.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
|||
16.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
|||
17.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
18.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||
19.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
20.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||
21.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||
22.
|
Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran yang mencakup juga rumah makan, cafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/catering.
|
|||
23.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||
24.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||
25.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||
26.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||
27.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||
28.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau Badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
|
|||
29.
|
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
30.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||
31.
|
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||
32.
|
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fucliap haga, collolia maxina, collolia esculanta, dan collolia linchi.
|
|||
33.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
34.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh Kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
35.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah opsen yang dikenakan oleh Kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
36.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor pokok yang telah didaftar menjadi identitas bagi setiap wajib pajak.
|
|||
37.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||
38.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
|
|||
39.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau berupa denda administrasi.
|
|||
40.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Daerah atau tempat lain yang ditetapkan oleh Walikota.
|
|||
41.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||
42.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas Keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
43.
|
Zona Nilai Tanah yang selanjutnya disingkat ZNT adalah poligon yang menggambarkan nilai tanah yang relatif sama dari sekumpulan bidang tanah di dalamnya, yang batasannya bisa bersifat imajiner ataupun nyata sesuai dengan penggunaan tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan.
|
|||
44.
|
Penyidikan Tindak Pidana di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari, dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana yang terjadi di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta menemukan tersangkanya.
|
|||
45.
|
Kas Daerah adalah Kas Daerah Kota Banda Aceh.
|
|||
46.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
47.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Kota dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
48.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Kota dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
49.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan daerah yang berlaku.
|
|||
50.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengelola data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan secara profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
|
|||
51.
|
Kawasan Perkotaan adalah kesatuan wilayah terbangun dengan kegiatan utama bukan pertanian, memiliki kerapatan penduduk yang tinggi, fasilitas prasarana jaringan transportasi jalan, dan interaksi kegiatan antar kawasan yang menimbulkan mobilitas penduduk yang tinggi.
|
|||
52.
|
Pejabat pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan daerah yang berlaku.
|
|||
53.
|
Penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil yang selanjutnya disebut penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang Retribusi Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
|||
54.
|
Pengembang atau Pembangun adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan yang menurut hukum sah sebagai pemilik yang akan membangun atau mengembangkan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur.
|
|||
55.
|
FKTP adalah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya disingkat FKTP, adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan dan/atau pelayanan kesehatan lainnya.
|
|||
56.
|
SGPT adalah Serum Glutamic Pyruvic Transaminase atau SGPT merupakan salah satu enzim di dalam tubuh manusia.
|
|||
57.
|
SGOT adalah Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase atau SGOT merupakan suatu enzim yang terdapat di dalam tubuh.
|
|||
58.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang dapat disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||
59.
|
Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD adalah Bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.
|
|||
60.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
|
|||
61.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar dari pada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
62.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKRDKBT, adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah retribusi yang telah ditetapkan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Kota terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
BPHTB;
|
||
|
c.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
e.
|
PAT;
|
||
|
f.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||
|
g.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
h.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan tidak dipungut oleh Pemerintah Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB P2;
|
||
|
b.
|
Pajak reklame;
|
||
|
c.
|
PAT;
|
||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
e.
|
Opsen BBNKB
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh wajib pajak terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
BPHTB;
|
||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau minuman;
|
|
|
|
2.
|
Tenaga listrik;
|
|
|
|
3.
|
Jasa perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
Jasa parkir; dan
|
|
|
|
5.
|
Jasa kesenian dan hiburan.
|
|
|
c.
|
Pajak sarang burung walet.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||
|
a.
|
bumi dan/atau bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||
|
c.
|
bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||
|
d.
|
bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh gampong, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||
|
e.
|
bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
f.
|
bumi dan/atau bangunan yang oleh badan atau perwakilan internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||
|
g.
|
bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||
|
h.
|
bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Walikota; dan
|
||
|
i.
|
bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
|||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp135.000.000,00 (seratus tiga puluh lima juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di wilayah Kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Kota.
|
|||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Walikota.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek pajak; dan/atau
|
||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
PBB-P2 terutang dipungut di wilayah Kota.
|
|||
(2)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Kota yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||
(3)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan wilayah Kota tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
|
||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Walikota atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan permohonan wajib pajak dapat memberikan pengurangan, keringanan, dan pembebasan PBB-P2.
|
|||
(2)
|
Pengurangan, keringanan, dan pembebasan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
|
|||
(3)
|
Tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||
(2)
|
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Pemindahan hak karena:
|
||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|
|
|
2.
|
tukar menukar;
|
|
|
|
3.
|
hibah;
|
|
|
|
4.
|
hibah wasiat:
|
|
|
|
5.
|
waris;
|
|
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|
|
|
13.
|
hadiah.
|
|
|
b.
|
Pemberian hak baru karena;
|
||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
hak milik;
|
||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||
|
d.
|
hak pakai;
|
||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||
(4)
|
Dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Walikota.
|
|||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||
(4)
|
Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Kota menetapkan perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
|
|||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) atau ayat (5).
|
|||
(2)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dengan NJOP PBB setelah dikurangi NPOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) atau ayat (5) dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
|
||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
|
||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||
(2)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Kota tempat tanah dan/atau bangunan berada.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(2)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(3)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(4)
|
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Walikota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Walikota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Walikota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 23 |
||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||
a.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|||
b.
|
tenaga listrik;
|
|||
c.
|
jasa perhotelan;
|
|||
d.
|
jasa parkir; dan
|
|||
e.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||
|
a.
|
Restoran, rumah makan, café/cafetarian, kantin, warung, Bar yang menyediakan layanan penjualan, makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.
|
||
|
b.
|
Penyedia jasa boga atau catering yang melakukan:
|
||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya
|
|
(2)
|
Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
pelayanan yang disediakan oleh Restoran, rumah makan, café/cafetarian, kantin, warung, Bar yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) pertahun;
|
||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; dan
|
||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi objek PBJT Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara Negara lainnya;
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
d.
|
Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas di bawah 15 KVA yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||
|
a.
|
hotel;
|
||
|
b.
|
hostel;
|
||
|
c.
|
villa;
|
||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||
|
e.
|
motel;
|
||
|
f.
|
losmen;
|
||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||
|
k.
|
glamping.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan baik yang disediakan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha; dan/atau
|
||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir Valet) atau penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e meliputi:
|
|||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||
|
e.
|
pameran;
|
||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||
|
l.
|
karaoke, dan mandi uap/spa.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan
|
||
|
c.
|
panti pijat yang diselenggarakan sendiri oleh disabilitas.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
(2)
|
Dalam pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Tarif PBJT makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(2)
|
Tarif PBJT atas tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(3)
|
Khusus Tarif PBJT atas tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
||
|
b.
|
konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan 1,5% (satu koma lima persen).
|
||
(4)
|
Tarif PBJT jasa perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(5)
|
Tarif PBJT jasa parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(6)
|
Tarif PBJT jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(7)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada karaoke ditetapkan sebesar 75%, dan tarif mandi uap/spa ditetapkan sebesar 45%.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
Besaran Pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
Saat Terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||
a.
|
pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
b.
|
konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||
c.
|
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||
d.
|
pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||
e.
|
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
reklame kain;
|
||
|
c.
|
reklame melekat/stiker;
|
||
|
d.
|
reklame selebaran;
|
||
|
e.
|
reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||
|
f.
|
reklame udara;
|
||
|
g.
|
reklame apung;
|
||
|
h.
|
reklame suara;
|
||
|
i.
|
reklame film/slide; dan
|
||
|
j.
|
reklame peragaan.
|
||
(3)
|
Tidak termasuk objek Pajak Reklame adalah:
|
|||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan reklamenya ditetapkan oleh Walikota;
|
||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kota, dan Pemerintah Gampong; dan
|
||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Subjek pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan reklame.
|
|||
(2)
|
Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame.
|
|||
(3)
|
Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau badan, wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan tersebut.
|
|||
(4)
|
Dalam hal reklame yang diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi wajib pajak reklame.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame.
|
|||
(2)
|
Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
|
|||
(3)
|
Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor nilai strategis, jenis, bahan yang digunakan lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan jumlah dan ukuran media reklame.
|
|||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor –faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Cara perhitungan sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan penjumlahan nilai jual objek pajak reklame (NJOPR) dan nilai strategis penyelenggaraan reklame (NSPR).
|
|||
(6)
|
Perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
|||
(2)
|
Untuk reklame rokok dikenakan tambahan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari ketetapan pajak.
|
|||
(3)
|
Setiap penempatan reklame pada ketinggian di atas 15 meter dikenakan tambahan pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari nilai sewa reklame yang seharusnya.
|
|||
(4)
|
Apabila satu objek pajak reklame terletak pada 2 (dua) atau lebih kelas jalan yang berbeda maka nilai pajaknya ditetapkan menurut kelas jalan yang tarifnya paling tinggi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
Besarnya pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan dasar pengenaan pajak reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
Masa Pajak reklame adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
Saat Pajak terutang adalah pada saat penyelenggaraan reklame.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Pajak yang terutang dipungut di wilayah Kota.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Kota tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
||
|
e.
|
keperluan keagamaan dan sosial lainnya;
|
||
|
f.
|
keperluan pemerintah pusat, pemerintah Aceh, Pemerintah Kota dan Pemerintah Gampong;
|
||
|
g.
|
kepentingan, penanggulangan bahaya kebakaran; dan
|
||
|
h.
|
Keperluan penelitian dan penyelidikan yang tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air dan lingkungannya atau bangunan pengairan beserta tanah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||
(4)
|
Bobot air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Jenis sumber air tanah;
|
||
|
b.
|
Lokasi sumber air tanah;
|
||
|
c.
|
Tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah;
|
||
|
d.
|
Volume air tanah yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||
|
e.
|
Kualitas air tanah; dan
|
||
|
f.
|
Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
Masa Pajak Air Tanah adalah jangka waktu 1 bulan kalender.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
Pajak Air Tanah terutang sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
Pajak yang terutang dipungut di wilayah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Kota dengan volume sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||
Pajak yang terutang dipungut di wilayah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen
Pasal 58 |
||||
Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
|
||||
a.
|
PKB;
|
|||
b.
|
BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Subjek pajak untuk Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen PKB sebagaimana dimaksud Pasal 58 huruf a adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki kendaraan bermotor.
|
|||
(3)
|
Subjek Pajak untuk Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
|
|||
(4)
|
Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang menerima kendaraan bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
Tarif Opsen PKB dan BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dari besaran pajak terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
|||
(2)
|
Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Kota tempat Kendaraan Bermotor terdaftar
|
|||
(2)
|
Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Kota tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
|||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 65 |
||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||
a.
|
retribusi jasa umum;
|
|||
b.
|
retribusi jasa usaha; dan
|
|||
c.
|
retribusi perizinan tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 66 |
||||
(1)
|
Jenis Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf a terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Walikota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Kota; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang Keuangan Negara, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRK paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Aceh, Badan Usaha Milik Kota, dan pihak swasta.
|
|||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
Objek Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
(1)
|
Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota.
|
|||
(2)
|
Objek Retribusi Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
d.
|
penyedotan dan/atau pembuangan kakus; dan
|
||
|
e.
|
pembuangan sampah spesifik.
|
||
(3)
|
Dikecualikan dari objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial dan tempat umum lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
Objek retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d adalah pelayanan penyediaan tempat berjualan yang dimiliki dan/atau dikelola Pemerintah Kota.
|
|||
(2)
|
Objek Retribusi Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
tempat berjualan; dan
|
||
|
b.
|
layanan operasional pasar.
|
||
(3)
|
Tempat berjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
kios;
|
||
|
b.
|
los;
|
||
|
c.
|
lapak/meja;
|
||
|
d.
|
pelataran; dan
|
||
|
e.
|
area terbuka.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tingkat penggunaan jasa pelayanan kesehatan dihitung berdasarkan frekuensi pelayanan kesehatan dan jenis pelayanan;
|
||
|
b.
|
tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan dihitung berdasarkan jenis sampah, volume sampah dan lokasi;
|
||
|
c.
|
tingkat penggunaan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum dihitung berdasarkan jenis kendaraan yang menggunakan tempat parkir dan jangka waktu lamanya parkir; dan
|
||
|
d.
|
tingkat penggunaan atau pemanfaatan jasa pelayanan pasar diukur berdasarkan jenis, klasifikasi tempat berjualan, lamanya penggunaan tempat berjualan, dan layanan operasional.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf b terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat pelelangan hewan ternak;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
c.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan;
|
||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi; dan
|
||
|
e.
|
pemanfaatan aset Kota.
|
||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Walikota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Kota; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang Keuangan Negara, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRK paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Aceh, Badan Usaha Milik Kota, dan pihak swasta.
|
|||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||
Objek retribusi tempat pelelangan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Kota yang dijadikan sebagai tempat pelelangan hewan ternak termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||
Objek retribusi tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b adalah penyediaan pelayanan parkir di tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||
(1)
|
Objek retribusi pelayanan rumah pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c adalah pelayanan penyediaan fasilitas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota meliputi:
|
|||
|
a.
|
pemakaian kandang (karantina);
|
||
|
b.
|
pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong;
|
||
|
c.
|
pemeriksaan hewan ternak yang dipotong khusus pada hari-hari besar islam di dalam dan di luar RPH.
|
||
(2)
|
Pemeriksaan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk juga hewan yang dipotong di luar RPH Kota.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rumah Pemotongan Hewan Ternak yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola BUMN, BUMD, dan pihak Swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Objek retribusi tempat rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf d adalah pelayanan tempat rekreasi yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola Pemerintah Kota.
|
|||
(2)
|
Objek retribusi tempat rekreasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
tempat rekreasi pantai;
|
||
|
b.
|
tempat rekreasi taman;
|
||
|
c.
|
tempat rekreasi situs/heritage;
|
||
|
d.
|
tempat rekreasi lokasi tsunami; dan
|
||
|
e.
|
tempat rekreasi permainan atau usaha pariwisata.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Objek retribusi pemanfaatan aset Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf e adalah penyediaan/pelayanan pemanfaatan aset Kota.
|
|||
(2)
|
Objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pemanfaatan aset Kota yang terdiri dari:
|
|||
|
a.
|
pemanfaatan tanah;
|
||
|
b.
|
pemanfaatan Fasilitas Gedung Wanita;
|
||
|
c.
|
pemanfaatan Ruang Pertemuan;
|
||
|
d.
|
pemanfaatan Kendaraan;
|
||
|
e.
|
pelayanan Alat Laboratorium Pekerjaan Umum;
|
||
|
f.
|
fasilitas Taman;
|
||
|
g.
|
pemanfaatan media reklame;
|
||
|
h.
|
pelayanan ambulance;
|
||
|
i.
|
pemanfaatan stadion olah raga;
|
||
|
j.
|
pemanfaatan gedung olah raga; dan
|
||
|
k.
|
pemanfaatan lapangan olah raga.
|
||
(3)
|
Pemanfaatan aset Kota berupa barang milik daerah dan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur,
|
||
|
beserta besaran tarifnya ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
|
|||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Kota; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat pelelangan hewan ternak dihitung berdasarkan atas lama penggunaan tempat dan jenis hewan ternak;
|
||
|
b.
|
tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan dihitung berdasarkan jenis kendaraan yang menggunakan tempat khusus parkir dan berdasarkan jangka waktu lamanya parkir;
|
||
|
c.
|
tingkat penggunaan jasa atas pelayanan rumah pemotongan hewan diukur berdasarkan jenis pelayanan, pemeriksaan, jenis hewan ternak dan jumlah hewan ternak yang dipotong;
|
||
|
d.
|
tingkat penggunaan atau pemanfaatan jasa atas pelayanan tempat rekreasi dan olahraga diukur berdasarkan tingkat pemakaian atau frekuensi, subjek yang menerima jasa, hari, dan jenis kegiatan;
|
||
|
e.
|
tingkat penggunaan jasa atas pemanfaatan aset Kota diukur berdasarkan jenis kekayaan daerah, klasifikasi kekayaan daerah, dan jangka waktu pemanfaatan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf c terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBG; dan
|
||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota berdasarkan kewenangan Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Aceh, Badan Usaha Milik Kota, dan pihak swasta.
|
|||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Objek retribusi PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a adalah layanan penerbitan PBG.
|
|||
(2)
|
Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis penerbitan PBG.
|
|||
(3)
|
Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG;
|
||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|
(4)
|
Tidak termasuk objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerbitan PBG untuk bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Objek retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b adalah layanan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) Perpanjangan oleh Pemerintah Kota.
|
|||
(2)
|
Tidak termasuk objek retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pengesahan RPTKA Perpanjangan bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu lembaga pendidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan;
|
||
|
b.
|
tingkat penggunaan jasa atas penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan jumlah Pengesahan RPTKA Perpanjangan yang diterbitkan.
|
||
(3)
|
Besarnya retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan retribusi PBG.
|
|||
(4)
|
Harga satuan retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
indeks lokalitas dan Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan Gedung;
|
||
|
b.
|
Harga satuan retribusi Prasarana Bangunan Gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung; atau
|
||
|
c.
|
Pengenaan biaya tambahan dari Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ).
|
||
(5)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas formula untuk:
|
|||
|
a.
|
Bangunan Gedung; dan
|
||
|
b.
|
Prasarana Bangunan Gedung.
|
||
(6)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Luas Total Lantai (LLt);
|
||
|
b.
|
Indeks Terintegrasi (lt); dan
|
||
|
c.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg).
|
||
(7)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Volume (V);
|
||
|
b.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I); dan
|
||
|
c.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen PBG dan dokumen izin pengesahan RPTKA perpanjangan, inspeksi pemilik bangunan, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, biaya dampak negatif dari penerbitan PBG dan pengesahan RPTKA perpanjangan, dan kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
(4)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(6)
|
Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel HSBGN/SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||
|
d.
|
pelaporan;
|
||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||
|
f.
|
pemeriksaan pajak;
|
||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
h.
|
keberatan;
|
||
|
i.
|
gugatan;
|
||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Walikota; dan
|
||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||
(3)
|
Pembayaran dan Penyetoran Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(2)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SPTPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||
(3)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeure).
|
|||
(4)
|
Besaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) bagi wajib pajak perorangan dan sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) bagi wajib pajak badan.
|
|||
(5)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam atau bencana non alam yang dinyatakan sebagai bencana nasional oleh Presiden atau sebagai bencana daerah oleh Gubernur;
|
||
|
b.
|
peperangan atau huru-hara; dan
|
||
|
c.
|
dampak yang timbul karena penetapan dan/atau perubahan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Kota.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Walikota berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Kota dalam mencapai program prioritas Kota;
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Aceh dalam mencapai program prioritas Provinsi; dan/atau
|
||
|
f.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota dan diberitahukan kepada DPRK.
|
|||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Walikota dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Walikota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota.
|
|||
(3)
|
Pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||
(1)
|
Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 96 |
||||
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||
(2)
|
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
|
|||
(3)
|
Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan Negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 101 |
||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota diberikan wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan, laporan berkenaan dengan pelanggaran pidana atas Qanun ini, agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan adanya pelanggaran;
|
||
|
c.
|
melakukan tindakan pertama pada saat itu, di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
|
||
|
d.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan pelanggaran;
|
||
|
e.
|
memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan adanya tindakan pelanggaran;
|
||
|
f.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
g.
|
mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
|
||
|
h.
|
menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakan pidana dan selanjutnya melalui penyidikan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 102 |
||||
(1)
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 94 hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||
(3)
|
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Qanun ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Qanun di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Qanun ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 103 |
||||
(1)
|
Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku sejak tanggal 5 Januari 2025.
|
|||
(2)
|
Pada saat Qanun ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksana di bidang Pajak Kota dan Retribusi Kota tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Qanun ini dan belum diatur dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Qanun ini.
|
|||
(3)
|
Peraturan pelaksanaan dari Qanun ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Qanun ini berlaku.
|
|||
(4)
|
Pada saat Qanun ini mulai berlaku:
|
|||
|
a.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2010 Seri B Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Nomor 7);
|
||
|
b.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 6 Seri B Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 6);
|
||
|
c.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 7 Seri B Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 7);
|
||
|
d.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 8 Seri B Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 8);
|
||
|
e.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 9 Seri B Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 9);
|
||
|
f.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 10 Seri B Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 10);
|
||
|
g.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 11 Seri B Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 11);
|
||
|
h.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 12 Seri B Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Nomor 12);
|
||
|
i.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 13 Seri C Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 13);
|
||
|
j.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 14 Seri C Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 14);
|
||
|
k.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 15 Seri C Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 15);
|
||
|
l.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 16 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 16 Seri C Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2011 Nomor 16);
|
||
|
m.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2012 Nomor 5 Seri C Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2012 Nomor 5);
|
||
|
n.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2014 tentang Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Jamban (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2014 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2014 Nomor 1);
|
||
|
o.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2014 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2014 Nomor 2);
|
||
|
p.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Retribusi Rumah Pemotongan Hewan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2016 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2016 Nomor 6);
|
||
|
q.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelelangan Hewan Ternak (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2016 Nomor 7);
|
||
|
r.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2017 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2017 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2017 Nomor 5);
|
||
|
s.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2020 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2020 Nomor 1); dan
|
||
|
t.
|
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2021 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Banda Aceh Nomor 3),
|
||
|
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Banda Aceh.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Banda Aceh
pada tanggal 8 Januari 2024 M (26 Jumadil Akhir 1445 H)
Pj. WALIKOTA BANDA ACEH,
ttd.
AMIRUDDIN
Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal 8 Januari 2024 M (26 Jumadil Akhir 1445 H)
Pj. SEKRETARIS DAERAH KOTA BANDA ACEH,
ttd.
WAHYUDI
LEMBARAN DAERAH KOTA BANDA ACEH TAHUN 2024
|
||||
PENJELASAN
ATAS
QANUN KOTA BANDA ACEH
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK KOTA DAN RETRIBUSI KOTA
|
|
|
I.
|
UMUM
|
|
|
Berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam satu Perda yang menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi daerah.
Dalam mendukung perkembangan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, pembiayaan pemerintahan, khususnya yang berasal dari retribusi daerah pengaturannya perlu ditingkatkan lagi. Sejalan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah diperlukan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah yang hasilnya semakin meningkat pula.
Untuk memberikan landasan hukum yang kuat terhadap pemungutan pajak dan retribusi daerah perlu membentuk Qanun tentang Pajak dan Retribusi.
|
|
|
||
|
||
|
|
|
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketika pendaftaran sertifikat PTSL/prona BPHTB terutang dihitung berdasarkan NJOP PBB ketika akan dilakukan peralihan ataupun pemecahan sertifikat.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko atau ATM di dalam hotel.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kalau dikelola parkir dengan dipungut biaya dikenakan pajak parkir.
Pasal 28
Ayat (1)
Terhadap pengertian tempat olahraga yang dapat dikutip pajak.
Ayat (2)
Panti pijat yang bukan diusahakan oleh badan usaha.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
yang dimaksudkan penempatan pada ketinggian di atas 15 meter adalah penempatan media reklame pada ketinggian 16 meter atau lebih dari permukaan tanah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Dalam hal penyelenggaraan kurang dari 1 bulan maka masa pajak tetap dihitung 1 bulan.
Dalam hal masa penyelenggaraan reklame melebihi masa pajak 1 bulan maka masa pajak dihitung masa penyelenggaraan reklame.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Objek retribusi pelayanan pasar terdiri dari 2 komponen/pembagian objek retribusi pelayanan pasar dalam 2 macam karena pelayanan yang diberikan terdiri dari penyediaan tempat berjualan dan layanan pendukung untuk operasional pasar seperti; kebersihan, air bersih, penerangan, keamanan dan pengaturan kendaraan bermotor, dan layanan pendukung lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup Jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemakaian tanah dengan pola retribusi adalah pemakaian di bawah satu tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Huruf e
Klasifikasi dimaksudkan adalah pengelompokkan kekayaan daerah menurut luas, besar, standar dan fasilitas pendukungnya.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Klasifikasi dimaksudkan adalah pengelompokkan kekayaan daerah menurut luas, besar, standar dan fasilitas pendukungnya.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
|
|
|
|
|
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BANDA ACEH NOMOR 1
|