Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     

    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    GUBERNUR SUMATERA UTARA,
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2024 tentang Pemerintahan Daerah, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah;
    b.
    bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah yang menjadi dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 56791;
    3.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    4.
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2023 tentang Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6864);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6622);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
    dan
    GUBERNUR SUMATERA UTARA
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Provinsi Sumatera Utara.
    2.
    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
    4.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara.
    5.
    Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Gubernur adalah Gubernur Sumatera Utara.
    6.
    Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
    7.
    Bupati/Wali Kota adalah Bupati/Wali Kota di Provinsi Sumatera Utara.
    8.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    9.
    Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
    10.
    Peraturan Gubernur adalah Peraturan Gubernur Sumatera Utara.
    11.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    12.
    Badan Pendapatan Daerah yang selanjutnya disingkat Bapenda adalah Badan Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
    13.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
    14.
    Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke Kas Daerah Provinsi Sumatera Utara.
    15.
    Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
    16.
    Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    17.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    18.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    19.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai pajak.
    20.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    21.
    Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
    22.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    23.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    24.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    25.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    26.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar, yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen.
    27.
    Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap kendaraan bermotor yang dipergunakan untuk mengangkut orang atau barang dengan dipungut bayaran dan memiliki izin angkutan dan/atau izin trayek.
    28.
    Kereta Gandengan adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengangkut barang yang seluruh bebannya ditumpu oleh alat itu sendiri dan dirancang untuk ditarik oleh kendaraan bermotor.
    29.
    Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB adalah nilai jual kendaraan bermotor yang diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor sebagaimana tercantum dalam tabel nilai jual kendaraan bermotor yang berlaku.
    30.
    Tahun Pembuatan Kendaraan Bermotor adalah tahun perakitan yang semata-mata digunakan sebagai dasar penghitungan pajak.
    31.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    32.
    Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
    33.
    Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
    34.
    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor dan alat berat.
    35.
    Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor.
    36.
    Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
    37.
    Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
    38.
    Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
    39.
    Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
    40.
    Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut opsen pajak MBLB adalah opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    41.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    42.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    43.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    44.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    45.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    46.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    47.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
    48.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
    49.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
    50.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
    51.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    52.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    53.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, surat keputusan pembetulan atau surat keputusan keberatan.
    54.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak.
    55.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap surat keputusan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
    56.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
    57.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    58.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh juru sita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak.
    59.
    Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    60.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur wajib pajak atau wajib retribusi untuk melunasi utang pajak atau utang retribusi.
    61.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
    62.
    Juru Sita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
    63.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.
    64.
    Gugatan/Sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
    65.
    Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    66.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap surat keputusan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
    67.
    Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
    68.
    Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu.
    69.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    70.
    Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
    71.
    Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
    72.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
    73.
    Retribusi Jasa Umum adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    74.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    75.
    Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal, dan/atau pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
    76.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    77.
    Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    78.
    Pelayanan Kesehatan adalah segala kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis dan pelayanan kesehatan lainnya.
    79.
    Pelayanan Penunjang Medik adalah pelayanan kesehatan untuk penunjang pencegahan diagnosis dan terapi.
    80.
    Jasa medis adalah imbalan yang diterima oleh pelaksana pelayanan atas jasa yang diberikan kepada pasien dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan, konsultasi, visit, rehabilitasi medik dan atau pelayanan medik lainnya.
    81.
    Jasa sarana adalah imbalan yang diterima oleh rumah sakit atas pemakaian sarana, fasilitas rumah sakit, bahan, obat-obatan, bahan kimia dan alat kesehatan habis pakai yang digunakan langsung dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan rehabilitasi.
    82.
    Retribusi pemanfaatan aset daerah adalah pemanfaatan aset yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
    83.
    Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat penginapan, asrama, pesanggrahan, villa yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah termasuk mess.
    84.
    Tanah adalah tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah baik yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat.
    85.
    Rumah Daerah adalah bangunan yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
    86.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan, yang berupa bangunan gedung dan atau bukan gedung yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah.
    87.
    Harga Sewa adalah jumlah ataupun nilai baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain yang dibayarkan oleh penyewa kepada pemilik sebagai imbalan atas pemanfaatan kekayaan daerah untuk jangka waktu tertentu.
    88.
    Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas hasil produksi usaha daerah baik berupa barang maupun jasa, yang dijual oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    89.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Republik Indonesia.
    90.
    Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan tenaga kerja asing pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
    91.
    Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan yang selanjutnya disebut pengesahan RPTKA Perpanjangan adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
    92.
    Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan Daerah.
    93.
    Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah dana kompensasi penggunaan TKA atas pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA.
    94.
    Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
    95.
    Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca-tambang.
    96.
    Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
    97.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
    98.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    99.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    100.
    Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
    101.
    Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
    102.
    Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil, selaku penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang sah, dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan Daerah serta menemukan tersangkanya.
    103.
    Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Gubernur untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran Daerah.
    104.
    Hari adalah hari kalender.
    105.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK Bagian Kesatu Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    Jenis Pajak yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
    a.
    PKB;
    b.
    BBNKB;
    c.
    PAB;
    d.
    PAP;
    e.
    PBBKB;
    f.
    pajak rokok; dan
    g.
    opsen pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri dari:
     
    a.
    PKB;
     
    b.
    BBNKB;
     
    c.
    PAB; dan
     
    d.
    PAP.
    (2)
    Jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh wajib pajak terdiri atas:
     
    a.
    PBBKB;
     
    b.
    pajak rokok; dan
     
    c.
    opsen pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak
     
    Paragraf 1
    PKB
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    (2)
    Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kendaraan bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
     
    d.
    kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PKB adalah orang pribadi, badan, dan instansi pemerintah yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor.
    (2)
    Wajib PKB adalah orang pribadi, badan dan instansi pemerintah yang memiliki kendaraan bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok yaitu:
     
    a.
    NJKB; dan
     
    b.
    bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
    (1a)
    Dasar pengenaan PKB khusus untuk kendaraan bermotor di air ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor.
    (2)
    NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (1a) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor.
    (3)
    NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya.
    (4)
    Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
    (5)
    Dalam hal harga pasaran umum suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, NJKB dapat ditentukan berdasarkan faktor:
     
    a.
    harga kendaraan bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
     
    b.
    penggunaan kendaraan bermotor untuk umum atau pribadi;
     
    c.
    harga kendaraan bermotor dengan merek kendaraan bermotor yang sama;
     
    d.
    harga kendaraan bermotor dengan tahun pembuatan kendaraan bermotor yang sama;
     
    e.
    harga kendaraan bermotor dengan pembuat kendaraan bermotor;
     
    f.
    harga kendaraan bermotor dengan kendaraan bermotor sejenis; dan
     
    g.
    harga kendaraan bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
    (6)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
     
    b.
    koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
    (7)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
     
    a.
    tekanan gardan, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan bermotor;
     
    b.
    jenis bahan bakar kendaraan bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya atau jenis bahan bakar lainnya; dan
     
    c.
    jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.
    (8)
    Dasar pengenaan PKB untuk kendaraan bermotor baru berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
    (9)
    Dasar pengenaan PKB untuk selain kendaraan bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
    (8)
    dengan memperhatikan penyusutan NJKB dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (10)
    Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan ekonomi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    1% (satu persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya;
    b.
    0,5% (nol koma lima persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan dan angkutan sekolah;
    c.
    0,3% (nol koma tiga persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor yang digunakan untuk ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan
    d.
    kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan dan/atau alamat yang sama.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) atau ayat (2) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a atau huruf b atau huruf c.
    (2)
    Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    (3)
    PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran kendaraan bermotor.
    (2)
    PKB dibayar sekaligus di muka.
    (3)
    Untuk PKB yang karena sesuatu hal akibat keadaan kahar (force majeure) masa pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    BBNKB
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas kendaraan bermotor.
    (2)
    Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    kendaraan bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
     
    d.
    kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan.
    (4)
    Termasuk penyerahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di wilayah Republik Indonesia, kecuali:
     
    a.
    untuk diperdagangkan;
     
    b.
    untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Republik Indonesia; dan
     
    c.
    digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
    (5)
    Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut kendaraan bermotor tersebut tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pendaftaran pertama atas kendaraan bermotor termasuk proses rubah bentuk dan ganti mesin ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek pajak BBNKB adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
    (2)
    Wajib pajak BBNKB adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual kendaraan bermotor yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai nilai jual kendaraan bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 dengan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
    (2)
    Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama kendaraan bermotor.
    (3)
    BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
    (4)
    Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran kendaraan bermotor.
    (5)
    Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran kendaraan bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    PAB
     

    Pasal 15

    (1)
    Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
     
    a.
    alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan TNI/POLRI; dan
     
    b.
    alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Subjek PAB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai alat berat.
    (2)
    Wajib PAB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai alat berat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual alat berat.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum alat berat yang bersangkutan.
    (3)
    Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya.
    (4)
    Dasar pengenaan PAB berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
    (2)
    Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
    (3)
    PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan alat berat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat secara sah.
    (2)
    PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat dibayar sekaligus di muka.
    (3)
    Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan alat berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (4)
    Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    PBBKB
     

    Pasal 21

    Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna kendaraan bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB.
    (2)
    Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau badan penyedia yang menyerahkan BBKB.
    (3)
    Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
    (4)
    Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pengenaan tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau ayat (2).
    (2)
    Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
    (3)
    PBBKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna kendaraan bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    PAP
     

    Pasal 26

    (1)
    Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    keperluan keagamaan; dan
     
    e.
    kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Subjek PAP adalah orang pribadi atau badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
    (2)
    Wajib PAP adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Dasar pengenaan PAP adalah nilai perolehan air permukaan.
    (2)
    Nilai perolehan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar air permukaan dengan bobot air permukaan.
    (3)
    Harga dasar air permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air permukaan.
    (4)
    Bobot air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
     
    a.
    lokasi pengambilan air;
     
    b.
    volume air; dan
     
    c.
    kewenangan pengelolaan sumber daya air.
    (5)
    Besaran nilai perolehan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
    (2)
    Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
    (3)
    Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat air permukaan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pajak Rokok
     

    Pasal 31

    (1)
    Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok.
    (2)
    Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
    (3)
    Dikecualikan dari objek pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenakan cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai cukai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Subjek pajak rokok adalah konsumen rokok.
    (2)
    Wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Pajak rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    Tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Besaran pokok pajak rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dengan tarif pajak rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
    (2)
    Saat terutang pajak rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Pajak rokok yang terutang dipungut di wilayah kepabeanan Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Opsen Pajak MBLB
     

    Pasal 36

    Objek opsen pajak MBLB adalah pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Opsen pajak MBLB dikenakan atas pajak terutang dari pajak MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak untuk opsen pajak MBLB merupakan wajib pajak MBLB.
    (3)
    Opsen pajak MBLB dipungut oleh instansi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang berwenang memungut Pajak MBLB bersamaan dengan pemungutan opsen MBLB.
    (4)
    Pemungutan opsen pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan pajak terutang dari pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Dasar pengenaan untuk opsen pajak MBLB adalah pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Tarif opsen pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari besaran pajak terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Besaran opsen pajak MBLB terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan opsen pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan tarif opsen pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
    (2)
    Saat terutang opsen pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya pajak MBLB.
    (3)
    Wilayah pemungutan opsen pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Bagi Hasil Pajak
     

    Pasal 41

    (1)
    Hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah Daerah dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
     
     
    1.
    50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
     
     
    2.
    80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
     
    b.
    hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
     
    c.
    hasil penerimaan pajak rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
    (2)
    Besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
    (3)
    Besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota di wilayah Daerah, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
     
    b.
    bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota; dan
     
    c.
    bagi hasil pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota.
    (4)
    Variabel lain yang dipergunakan dalam menghitung besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota, adalah panjang jalan, jumlah desa/kelurahan dan jumlah penduduk miskin serta PDRB pada masing-masing kabupaten/kota di wilayah Daerah.
    (5)
    Alokasi bagi hasil pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Penyaluran bagi hasil pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas daerah kabupaten/kota.
    (2)
    Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
    (3)
    Penyaluran bagi hasil pajak rokok dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran pajak rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 43

    (1)
    Saat terutang pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    (2)
    Masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
    (3)
    Masa pajak yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa pajak, tahun pajak, dan bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 44

    (1)
    Hasil penerimaan PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan pajak rokok dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 45

    (1)
    Jenis retribusi Daerah terdiri atas:
     
    a.
    retribusi jasa umum;
     
    b.
    retribusi jasa usaha; dan
     
    c.
    retribusi perizinan tertentu.
    (2)
    Objek retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau badan oleh Pemerintah Daerah.
    (3)
    Wajib retribusi meliputi orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (4)
    Wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
    (5)
    Dikecualikan dari objek dari setiap retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 46

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek retribusi jasa umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a yang dipungut oleh Pemerintah Daerah adalah pelayanan kesehatan.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek retribusi jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah Peraturan Gubernur ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek retribusi jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Subjek retribusi jasa umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan jasa umum.
    (2)
    Wajib retribusi jasa umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pelayanan jasa umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) merupakan pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum yang diberikan BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Besaran retribusi jasa umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dengan tarif retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Struktur dan besaran tarif retribusi jasa umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (3)
    Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi jasa umum.
    (4)
    Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 53

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek retribusi jasa usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    d.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek retribusi jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah Peraturan Gubernur ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek retribusi jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa usaha yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Subjek retribusi jasa usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan jasa usaha.
    (2)
    Wajib retribusi jasa usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas jenis pelayanan jasa usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf g termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    d.
    pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian, fasilitas kepelabuhanan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga;
     
    f.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi jasa usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1)
    adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa usaha yang diberikan BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    (1)
    Besaran retribusi jasa usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan tarif retribusi.
    (2)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1)
    dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Struktur dan besaran tarif retribusi jasa usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (3)
    Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian tanpa melakukan penambahan objek retribusi jasa usaha.
    (4)
    Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 66

    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek retribusi perizinan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c adalah penggunaan TKA.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan TKA oleh instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Subjek retribusi perizinan tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pemberian perizinan tertentu.
    (2)
    Wajib retribusi perizinan tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pemberian perizinan tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin.
    (3)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Besaran retribusi perizinan tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dengan tarif retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Tarif retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif retribusi perizinan tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (5)
    Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
    (3)
    dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi perizinan tertentu.
    (6)
    Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 73

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Dokumen
     

    Pasal 74

    (1)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
    (2)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
    (3)
    Dokumen pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh wajib pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (5)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pelaporan SPTPD
     

    Pasal 75

    (1)
    Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
     
    a.
    sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk wajib pajak pribadi/perorangan; dan
     
    b.
    sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk wajib pajak badan usaha atau perusahaan.
    (3)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeure).
    (4)
    Force majeure sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan
     
    d.
    wabah penyakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Pemungutan pajak dan retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran pajak dan retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan pajak;
     
    g.
    penagihan pajak dan retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh Gubernur; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak dan retribusi.
    (3)
    Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (4)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
    (5)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Pengajuan gugatan pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau Sanksinya
     
    Paragraf 1
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 78

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan wajib pajak dan/atau wajib retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar wajib pajak dan/atau wajib retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek pajak, seperti objek pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat
    (3)
    merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada wajib pajak dan/atau wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak oleh wajib pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha wajib pajak dan/atau wajib retribusi; dan/atau
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal wajib pajak dan/atau wajib retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada wajib pajak dan/atau wajib retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada wajib pajak dan/atau wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) merupakan permohonan wajib pajak dan/atau wajib retribusi, apabila diperlukan, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pemeriksaan pajak dan/atau retribusi untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan pajak dan/atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa wajib pajak dan/atau wajib retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pemberian Keringanan, Pengurangan dan Pembebasan
     

    Pasal 81

    (1)
    Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dan/atau retribusi dengan memperhatikan kondisi wajib pajak atau wajib retribusi dan/atau objek pajak atau objek retribusi.
    (2)
    Kondisi wajib pajak atau wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    ketidakmampuan membayar;
     
    b.
    kebijakan Pemerintah Pusat/Daerah; dan
     
    c.
    force majeure.
    (3)
    Kondisi objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kerusakan;
     
    b.
    hasil sitaan yang dilelang; dan
     
    c.
    force majeure.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok pajak atau pokok retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Kemudahan Pajak Daerah
     

    Pasal 82

    (1)
    Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada wajib pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang atau utang pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada wajib pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga wajib pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan wajib pajak.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal wajib pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar, sehingga wajib pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang atau utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan wajib pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Gubernur atas permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan wajib pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan wajib pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan wajib pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
     
    d.
    wabah penyakit.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Opsen
     
    Paragraf 1
    Pemungutan
     

    Pasal 83

    (1)
    Opsen dikenakan atas pokok pajak terutang dari pajak MBLB.
    (2)
    Besaran pokok opsen pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
    (3)
    Pemungutan opsen pajak MBLB yang dikenakan atas pokok pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan pemungutan pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Sinergi Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB
     

    Pasal 84

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
     
    a.
    PKB dan Opsen PKB; dan
     
    b.
    BBNKB dan Opsen BBNKB
     
    Pemerintah Daerah bersinergi dengan pemerintah kabupaten/kota.
    (2)
    Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam pemungutan PKB, opsen PKB, BBNKB dan Opsen BBNKB atau bentuk sinergi lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemungutan opsen PKB dan opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan opsen BBNKB, diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Rekonsiliasi Pajak
     

    Pasal 86

    (1)
    Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dan bank tempat pembayaran PKB dan BBNKB melakukan rekonsiliasi data penerimaan PKB dan BBNKB setiap triwulan.
    (2)
    Rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencocokkan:
     
    a.
    SKPD atau SPTPD;
     
    b.
    SSPD;
     
    c.
    rekening koran bank; dan
     
    d.
    dokumen penyelesaian kekurangan pembayaran pajak dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
     
    Paragraf 1
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
     

    Pasal 87

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Kabupaten/Kota; dan/atau
     
    c.
    pihak ketiga.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan wajib pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
    (4)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Gubernur bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama;
     
    b.
    maksud dan tujuan;
     
    c.
    ruang lingkup;
     
    d.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    e.
    jangka waktu perjanjian;
     
    f.
    sumber pembiayaan;
     
    g.
    penyelesaian perselisihan;
     
    h.
    sanksi;
     
    i.
    korespondensi; dan
     
    j.
    perubahan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
     

    Pasal 89

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1)
    berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 90

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan wajib pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 91

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 92

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan retribusi daerah;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 93

    (1)
    Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak melaksanakan kewajiban mengisi SPTPD dengan benar dan lengkap, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    (2)
    Wajib pajak yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban mengisi SPTPD dengan benar dan lengkap sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat pajak terutang atau masa pajak berakhir atau bagian tahun pajak berakhir atau tahun pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 95 dan Pasal 96 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 98

    (1)
    Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB berlaku mulai tanggal 5 Januari 2025.
    (2)
    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, seluruh penerimaan pajak yang dipungut berdasarkan peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan belum dibagihasilkan, tetap dibagihasilkan berdasarkan peraturan daerah yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    (3)
    Ketentuan mengenai insentif pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 91, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan pajak dan retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 100

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2013 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 13);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 35);
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2018 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 44); dan
    d.
    Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2013 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2018 Nomor 7);
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Medan
    pada tanggal 4 Januari 2024
    Pj. GUBERNUR SUMATERA UTARA,
    ttd.
    HASSANUDIN

    Diundangkan di Medan
    pada tanggal 5 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA,
    ttd.
    ARIEF S. TRINUGROHO

    LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.

    Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada undang-undang.

    Selama ini pungutan Daerah yang berupa pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan setelah dua dasawarsa, pemerintah melakukan perubahan besar melalui pengundangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

    Pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur mengenai pokok-pokok kebijakan pajak dan retribusi sebagai bagian dari ruang lingkup hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, pengaturan pelaksanaan dalam rangka pemungutan pajak dan retribusi diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah.

    Untuk itu, Peraturan Daerah ini dimaksudkan guna memberikan pengaturan pelaksanaan yang melengkapi berbagai pokok-pokok kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah ini juga menjadi dasar dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pajak dan retribusi, termasuk sistem dan prosedur pemungutan dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan Daerah.

    Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini mencakup berbagai aspek pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah, khususnya pelaksanaan pemungutan antara lain pendaftaran dan pendataan, penetapan besaran pajak dan retribusi terutang, pembayaran dan penyetoran, pelaporan, pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan pajak, pemeriksaan pajak, penagihan pajak dan retribusi, keberatan, gugatan, penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh Gubernur, dan pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

    Dasar pengenaan, saat terutang, dan wilayah pemungutan pajak merupakan beberapa komponen utama dalam penghitungan pajak terutang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa penetapan besaran dasar pengenaan pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

    Selain ketentuan mengenai pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, Peraturan Daerah ini juga mengatur mengenai pelaksanaan bagi hasil pajak dan penerimaan pajak yang diarahkan penggunaannya. restrukturisasi pajak yang dilakukan melalui pengaturan opsen pajak diharapkan akan menjadi solusi dalam pelaksanaan bagi hasil pajak. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur lebih teknis mengenai besaran dan kegiatan yang harus didanai dari penerimaan PKB dan pajak rokok.

    Untuk meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, dan kepastian hukum, Peraturan Daerah ini mengatur bahwa penerimaan atas pelayanan objek retribusi sesuai undang-undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai retribusi. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur bahwa seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik Daerah menjadi bagian dari retribusi jasa usaha atas pemanfaatan aset daerah.

    Pendaftaran wajib pajak merupakan salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pemungutan pajak, utamanya apabila dilakukan secara sederhana sebagai salah satu langkah simplifikasi administrasi perpajakan. Untuk itu, Pemerintah Daerah hanya dapat menerbitkan 1 (satu) NPWPD untuk seluruh jenis pajak yang dihubungkan dengan nomor induk kependudukan untuk wajib pajak orang pribadi dan nomor induk berusaha untuk wajib pajak badan. Hal ini sebagai langkah integrasi data perpajakan guna memberikan kemudahan administrasi perpajakan.

    Sejalan dengan kebijakan pajak dan retribusi dalam undang-undang, Peraturan Daerah ini juga memuat pengaturan pelaksanaan dalam rangka sinergi antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pemungutan opsen PKB dan opsen BBNKB. Selain itu, Pemerintah Daerah tetap didorong agar terus mengedepankan penggalian potensi pajak secara optimal, salah satunya melalui kerja sama optimalisasi pemungutan pajak dan pemanfaatan data dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, maupun pihak ketiga dengan tetap menjaga kerahasiaan data sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama tersebut merupakan langkah optimalisasi pemanfaatan data-data yang semakin memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan kinerja fiskal Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Huruf a
    Standar nilai kendaraan bermotor yang diwujudkan dalam bentuk angka dan dipergunakan sebagai dasar penetapan pajak kendaraan bermotor.
    Huruf b
    Bobot koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih dari satu berarti kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
    Ayat (1a)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Tarif diberlakukan seragam untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.
    Pasal 8
     
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah. Contoh: Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2025. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2025 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya. Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik kendaraan bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Contoh: Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2025 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2026 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), PT Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada 5 November 2026 sesuai kesepakatan dalam kontrak.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan keadaan kahar (force majeure) adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan wajib pajak, misalnya kendaraan bermotor tidak dapat digunakan lagi karena bencana alam.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Ayat (1)
    BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama kendaraan bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas kendaraan bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
    Ayat (2)
    Penyerahan kedua dan seterusnya atas kendaraan bermotor (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB, sehingga tidak terutang BBNKB. Contoh: Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2025 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2026, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2027. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2027 tersebut, terutang BBNKB.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan alat berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah meliputi invoice/faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan.
     
    Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan meliputi bukti kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
     
     
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Contoh: Berdasarkan pendataan oleh Provinsi A didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, Tuan X yang berlokasi di Provinsi A, memiliki 100 Alat Berat sejak 15 Januari 2025. Dari jumlah tersebut:
    1.
    sebanyak 20 Alat Berat disewakan kepada Tuan Y dan dipergunakan di Provinsi B mulai tanggal 1 Februari 2025 sampai dengan 1 Desember 2025;
    2.
    sebanyak 70 Alat Berat disewakan kepada Tuan Z dan dipergunakan di Provinsi A mulai tanggal 1 Maret 2025 sampai dengan 1 Februari 2026; dan
    3.
    sisanya sebanyak 10 Alat Berat belum disewakan dan berada di Provinsi A.
     
    Berdasarkan kondisi tersebut, Gubernur Provinsi A dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 80 alat berat untuk Tuan X yaitu 70 alat berat yang disewakan kepada Tuan Z dan 10 alat berat yang belum disewakan, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 15 Januari 2025. Di sisi lain, Provinsi B melakukan pendataan dan didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, terdapat 20 alat berat yang disewa oleh Tuan Y tersebut di atas.
     
    Untuk itu, Gubernur Provinsi B dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 20 alat berat yang disewa Tuan Y sebagai Wajib Pajak untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 1 Februari 2025.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Contoh: Atas suatu alat berat yang dikuasai oleh PT Z di wilayah Provinsi A, Gubernur Provinsi A menerbitkan SKPD atas PAB terutang sejak tanggal 1 April tahun 2025 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut hingga 31 Maret 2026. Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan alat berat ke wilayah Provinsi B sebelum tanggal 1 93 April 2025, maka alat berat dimaksud tidak dikenakan PAB oleh Provinsi B. Selanjutnya, atas alat berat dimaksud baru dapat dikenakan PAB pada tanggal 1 April 2026 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berikutnya oleh provinsi tempat penguasaan alat berat dimaksud.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “wilayah Daerah tempat air permukaan berada” adalah wilayah di mana air permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan. Contoh: Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari hulu sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B.
    Pasal 31
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.
     
    Yang dimaksud dengan sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan. Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin.
     
    Yang dimaksud dengan "sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin" adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin.
     
    Yang dimaksud dengan "sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin" adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
     
    Yang dimaksud dengan cerutu" adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
     
    Yang dimaksud dengan "rokok daun" adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti.
    Ayat (3)
    Pajak rokok Daerah hanya dikenakan atas rokok yang dikenai cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai cukai.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Ayat (1)
    Contoh Penghitungan: Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500 juta. Tarif pajak MBLB dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif opsen pajak MBLB dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Provinsi S sebesar 25%. Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
    a.
    Pajak MBLB terutang = 25% x Rp500.000.000 = Rp125.000.000.
    b.
    Opsen Pajak MBLB terutang = 25% x Rp125.000.000 = Rp31.250.000.
    c.
    Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp156.250.000.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Ayat (1)
    Pada prinsipnya saat terutangnya pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
    a.
    suatu saat tertentu, misalnya untuk BBNKB;
    b.
    akhir masa pajak, misalnya untuk PBBKB; atau
    c.
    suatu tahun pajak, misalnya untuk PKB.
     
    Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
    Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dan dapat disinergikan dengan Instansi Pemerintah Pusat yang melaksanakan pemungutan cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Gubernur dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam peraturan daerah. Contoh: Pada tahun 2025, RSUD X pada Provinsi Y menyediakan pelayanan Kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi:
    1.
    Objek Retribusi: Retribusi pelayanan Kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Termasuk pelayanan administrasi pelayanan pendaftaran, medical meliputi record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan. Pelayanan administrasi tidak dikenakan Retribusi.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 57
    Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “bersamaan” adalah pembayaran opsen pajak MBLB dilakukan sekaligus dengan pembayaran pajak MBLB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Contoh kerja sama optimalisasi pemungutan pajak yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama misalnya, kerja sama antara Pemerintah Pusat (Kementerian) dan Pemerintah Daerah dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 72

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024