Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN
NOMOR 3 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SUMATERA SELATAN,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2023 tentang Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6865);
|
|||||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646).
|
|||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI SUMATERA SELATAN
dan
GUBERNUR SUMATERA SELATAN
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
|
|||||||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
3.
|
Provinsi adalah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
4.
|
Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
5.
|
Kabupaten/Kota adalah Kabupaten dan/atau Kota di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
6.
|
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
7.
|
Gubernur adalah Gubernur Sumatera Selatan.
|
|||||||
8.
|
Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota pada Pemerintah Kabupaten di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
9.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
10.
|
Perangkat Daerah Provinsi adalah Unsur Pembantu Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi Kewenangan Provinsi.
|
|||||||
11.
|
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Selatan dengan Persetujuan bersama Gubernur.
|
|||||||
12.
|
Peraturan Gubernur yang selanjutnya disebut Pergub adalah Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
13.
|
Keputusan Gubernur yang selanjutnya disebut Kepgub adalah Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
14.
|
Badan Pendapatan Daerah adalah Badan Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
15.
|
Kepala Badan Pendapatan Daerah adalah Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
16.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
17.
|
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
18.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
19.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
20.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
21.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
22.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
23.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
24.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
25.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||
26.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
27.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||||
28.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
29.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat termasuk didalamnya mesin genset dan mesin industri.
|
|||||||
30.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat termasuk didalamnya mesin genset dan mesin industri.
|
|||||||
31.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||||
32.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||||||
33.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||||||
34.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||
35.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
|
|||||||
36.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
37.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
38.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
39.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh Provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
40.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
41.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
42.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
43.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Provinsi dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
44.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
|
|||||||
45.
|
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah Rekening Kas Umum Daerah.
|
|||||||
46.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
|
|||||||
47.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
48.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||||||
49.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
50.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
|
|||||||
51.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
52.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
53.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
54.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
55.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administrative berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
56.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan retribusi Daerah.
|
|||||||
57.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||||||
(1)
|
Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai kewenangan Pemerintah Provinsi.
|
|||||||
(2)
|
Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi;
|
||||||||
a.
|
Pajak daerah;
|
|||||||
b.
|
Retribusi daerah;
|
|||||||
c.
|
Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
d.
|
Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi, dan/atau Sanksinya;
|
|||||||
e.
|
Kerahasiaan Data Wajib Pajak;
|
|||||||
f.
|
Penyidikan;
|
|||||||
g.
|
Ketentuan Pidana;
|
|||||||
h.
|
Ketentuan Peralihan; dan
|
|||||||
i.
|
Ketentuan Penutup.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Pajak Provinsi
Pasal 4 |
||||||||
Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
PKB;
|
|||||||
b.
|
BBNKB;
|
|||||||
c.
|
PAB;
|
|||||||
d.
|
PBBKB;
|
|||||||
e.
|
PAP;
|
|||||||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||||||
g.
|
Opsen Pajak MBLB
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan oleh Gubernur terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PKB;
|
||||||
|
b.
|
BBNKB;
|
||||||
|
c.
|
PAB; dan
|
||||||
|
d.
|
PAP.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBBKB;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||||||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
|
|||||||
|
a.
|
SKPD; dan
|
||||||
|
b.
|
SPPT.
|
||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Provinsi melalui Badan Pendapatan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Provinsi dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
|
|||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat tidak dipungut, dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
potensinya kurang memadai; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PKB
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Ruang Lingkup PKB sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf a, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
objek PKB;
|
||||||
|
b.
|
subjek PKB;
|
||||||
|
c.
|
dasar pengenaan PKB;
|
||||||
|
d.
|
tarif PKB;
|
||||||
|
e.
|
besaran pokok PKB yang terutang; dan
|
||||||
|
f.
|
partisipasi peningkatan PKB.
|
||||||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Objek PKB
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di Wilayah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan tidak termasuk didalamnya Kendaraan Bermotor berbasis fosil dimodifikasi menjadi berbasis energi terbarukan;
|
||||||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor dalam keadaan rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan dan telah dilaporkan terlebih dahulu pada Badan Pendapatan Daerah;
|
||||||
|
f.
|
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai pabrikan atau importir yang semata-mata untuk dipamerkan atau dijual; dan
|
||||||
|
g.
|
Kendaraan Bermotor yang karena sesuatu dan lain hal dikuasai dan/atau disita oleh Negara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek PKB
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Subjek PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan PKB
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||||||
|
a.
|
nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
|
||||||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||||||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||||||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||||||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||||||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||||||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||||||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||||||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||||||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk Kendaraan Bermotor baru berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri; dan
|
||||||
|
b.
|
untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur berdasarkan peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||||||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif PKB
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, dan sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah/Desa ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||||||
(3)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, Nomor Induk Kependudukan, database kependudukan dan/atau alamat yang sama.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Pokok PKB Terutang
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
|
|||||||
(2)
|
PKB yang terutang dipungut di wilayah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(3)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan PKB diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Partisipasi Peningkatan PKB
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Kabupaten/Kota yang menerima Opsen PKB wajib berpartisipasi dalam peningkatan pelayanan pemungutan Pajak Daerah khususnya sektor PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Opsen PKB yang dipungut sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
|||||||
(3)
|
Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
|||||||
(4)
|
Saat terutangnya Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||||||
(5)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Kabupaten/Kota tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(6)
|
Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sarana dan prasarana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BBNKB
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Ruang Lingkup BBNKB sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf b, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
objek BBNKB;
|
||||||
|
b.
|
subjek pajak BBNKB;
|
||||||
|
c.
|
dasar pengenaan BBNKB;
|
||||||
|
d.
|
tarif BBNKB;
|
||||||
|
e.
|
besaran pokok BBNKB yang terutang; dan
|
||||||
|
f.
|
partisipasi peningkatan pajak BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Objek BBNKB
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Objek BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
kendaraan bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
|
||||||
|
d.
|
kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan, tidak termasuk didalamnya kendaraan bermotor berbasis fosil yang dimodifikasi menjadi berbasis energi terbarukan;
|
||||||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||||||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||||||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian,contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||||||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek Pajak BBNKB
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan BBNKB
Pasal 17 |
||||||||
Dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (9).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif BBNKB
Pasal 18 |
||||||||
Tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Pokok BBNKB Terutang
Pasal 19 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
|
|||||||
(2)
|
BBNKB yang terutang dipungut di wilayah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(3)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan BBNKB diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Partisipasi Peningkatan Pajak BBNKB
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Kabupaten/Kota yang menerima Opsen BBNKB wajib berpartisipasi dalam peningkatan pelayanan pemungutan pajak daerah khususnya sektor BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Opsen BBNKB yang dipungut sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
|||||||
(3)
|
Dasar pengenaan Opsen merupakan BBNKB terutang.
|
|||||||
(4)
|
Saat terutangnya Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||||||
(5)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Kabupaten/Kota tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(6)
|
Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sarana dan prasarana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PAB
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
Ruang Lingkup PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Objek PAB;
|
||||||
|
b.
|
subjek PAB;
|
||||||
|
c.
|
dasar pengenaan PAB;
|
||||||
|
d.
|
tarif PAB; dan
|
||||||
|
e.
|
besaran pokok PAB yang terutang;
|
||||||
(2)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Objek PAB
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Objek PAB sebagaimana diimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||||||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek PAB
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan PAB
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah nilai jual Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(4)
|
Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri.
|
|||||||
(5)
|
Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif PAB
Pasal 25 |
||||||||
Tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Pokok PAB Terutang
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
|
|||||||
(2)
|
PAB yang terutang dipungut di wilayah Provinsi tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan PAB diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||||||
(3)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
PBBKB
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Ruang Lingkup PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
objek PBBKB;
|
||||||
|
b.
|
subjek PBBKB;
|
||||||
|
c.
|
dasar pengenaan PBBKB;
|
||||||
|
d.
|
tarif PBBKB; dan
|
||||||
|
e.
|
besaran pokok PBBKB yang terutang.
|
||||||
(2)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Objek PBBKB
Pasal 29 |
||||||||
Objek PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek PBBKB
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b adalah konsumen BBKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB sebagai wajib pungut yang terdaftar di Provinsi.
|
|||||||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan PBBKB
Pasal 31 |
||||||||
Dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif PBBKB
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf d ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||||||
(3)
|
Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dalam rangka stabilisasi harga.
|
|||||||
(4)
|
Penyesuaian tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran pokok PBBKB Terutang
Pasal 33 |
||||||||
Besaran pokok PBBKB yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAP
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Ruang Lingkup PAP sebagaimana dimaksud dalam
|
|||||||
|
Pasal 5 ayat (1) huruf d, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
objek PAP;
|
||||||
|
b.
|
subjek PAP;
|
||||||
|
c.
|
dasar pengenaan PAP;
|
||||||
|
d.
|
tarif PAP; dan
|
||||||
|
e.
|
besaran pokok PAP yang terutang.
|
||||||
(2)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Penetapan besarnya nilai perolehan Air Permukaan yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot air permukaan berdasarkan penetapan oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Objek PAP
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Objek PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek PAP
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan PAP
Pasal 37 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c adalah nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||||||
|
b.
|
volume air; dan
|
||||||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||||||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif PAP
Pasal 38 |
||||||||
Tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Pokok PAP Terutang
Pasal 39 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf e dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
|
|||||||
(2)
|
PAP yang terutang dipungut di wilayah tempat Air Permukaan berada.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan PAP diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak Rokok
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Ruang Lingkup Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
objek pajak rokok;
|
||||||
|
b.
|
subjek pajak rokok;
|
||||||
|
c.
|
dasar pengenaan pajak rokok;
|
||||||
|
d.
|
tarif pajak rokok; dan
|
||||||
|
e.
|
besaran pokok pajak rokok yang terutang.
|
||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Objek Pajak Rokok
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a adalah konsumsi rokok.
|
|||||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek Pajak Rokok
Pasal 42 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b adalah konsumen rokok.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||||||
(4)
|
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke RKUD Provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan Pajak Rokok
Pasal 43 |
||||||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Pajak Rokok
Pasal 44 |
||||||||
Tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Pokok Pajak Rokok Terutang
Pasal 45 |
||||||||
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf e dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 46 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Pasal 47 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) sebagian diperuntukkan bagi Kabupaten/Kota di wilayah provinsi dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar:
|
||||||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota; atau
|
|||||
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota.
|
|||||
|
b.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||||||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||||||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar Kabupaten/Kota.
|
|||||||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi yang bersangkutan, dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||||||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan; dan
|
||||||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi.
|
||||||
(4)
|
Penggunaan variabel lainnya selain variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c dalam menghitung besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota diatur berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi.
|
|||||||
(5)
|
Alokasi bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi mengenai bagi hasil Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari RKUD Provinsi ke RKUD Kabupaten/Kota.
|
|||||||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Bagian Kesepuluh Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan Kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Opsen Pajak MBLB
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c merupakan Pajak MBLB terutang.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Provinsi tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Pemungutan
Pasal 51 |
||||||||
(1)
|
Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1).
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan pemungutan Pajak MBLB terutang.
|
|||||||
(4)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan wajib Pajak MBLB.
|
|||||||
(5)
|
Opsen Pajak MBLB dipungut oleh instansi Kabupaten atau Kota di wilayah Provinsi yang berwenang memungut Pajak MBLB bersamaan dengan Pemungutan Opsen MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penghitungan, Pembayaran dan Pelaporan Opsen Pajak MBLB
Pasal 52 |
||||||||
(1)
|
Penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dilakukan bersamaan dengan penghitungan, pembayaran dan pelaporan Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Pembayaran Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke RKUD Provinsi dilakukan bersamaan dengan pembayaran Pajak MBLB ke RKUD Kabupaten/Kota dalam SSPD Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, Bupati/Walikota melakukan Penagihan.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal Bupati/Walikota telah menerima pembayaran atas Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati/Walikota menyetorkan bagian Opsen Pajak MBLB ke RKUD Provinsi paling lama 3 (tiga) hari kerja.
|
|||||||
(5)
|
Pelaporan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam SPTPD Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen Pajak MBLB
Pasal 53 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran Pajak MBLB kepada Bupati/Walikota, pengembalian kelebihan pembayaran Pajak MBLB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Bupati/Walikota menerbitkan SKPDLB Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan.
|
|||||||
(4)
|
Gubernur menerbitkan SKPDLB Opsen Pajak MBLB berdasarkan SKPDLB Pajak MBLB, pada hari penerbitan atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima.
|
|||||||
(5)
|
Gubernur dan Bupati/Walikota mengembalikan kelebihan pembayaran Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB kepada Wajib Pajak berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Sinergi Pemungutan Opsen
Pasal 54 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Kabupaten/Kota bersinergi dengan Pemerintah Provinsi.
|
|||||||
(2)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB atau bentuk sinergi lainnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen Pajak MBLB dan bentuk sinergi antara Kabupaten/Kota dan Provinsi dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, diatur dalam Peraturan Bupati dan/atau Peraturan Walikota Kabupaten/Kota.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB dan Opsen BBNKB, diatur dalam Peraturan Gubernur di wilayah Kabupaten/Kota tersebut berada.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Rekonsiliasi Pajak
Pasal 57 |
||||||||
(1)
|
Gubernur, Bupati/Walikota pada Provinsi, dan bank tempat pembayaran PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB melakukan rekonsiliasi data penerimaan PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB beserta Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB setiap triwulan.
|
|||||||
(2)
|
Rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit membandingkan:
|
|||||||
|
a.
|
SKPD atau SPTPD;
|
||||||
|
b.
|
SSPD;
|
||||||
|
c.
|
rekening koran bank; dan
|
||||||
|
d.
|
dokumen penyelesaian kekurangan pembayaran Pajak dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.
|
||||||
|
||||||||
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 58 |
||||||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||
(2)
|
Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Provinsi.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
(4)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||
Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Pihak swasta.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 60 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a yaitu pelayanan kesehatan;
|
|||||||
(2)
|
Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Provinsi berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(6)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(7)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan Perundang-Undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan Kesehatan di balai pengobatan, rumah sakit umum daerah dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||
Struktur dan Besarnya tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi;
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
||||||
|
h.
|
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Provinsi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(8)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf c merupakan Pelayanan kepelabuhanan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf d merupakan Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf f merupakan Penjualan hasil produksi usaha oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf h merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakan, serta tempat pelelangan ikan dan/atau tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||||
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Keempat Retribusi Perizinan Tertentu
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c yaitu penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Provinsi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Provinsi, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||
Struktur dan besarnya tarif Jenis Pelayanan Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
Penambahan Jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 77 |
||||||||
Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Provinsi untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan 7 yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Pendataan Pajak
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek pajaknya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(3)
|
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak yang diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(4)
|
Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
|
|||||||
(5)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
|
|||||||
(6)
|
NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak PBBKB, termasuk pemungut PBBKB, yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Provinsi.
|
|||||||
|
||||||||
Pasal 83 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk PKB, dan PAB, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
seluruh Kendaraan Bermotor, untuk PKB; dan
|
||||||
|
b.
|
seluruh Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai dalam wilayah Provinsi, untuk PAB.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
|
|||||||
(4)
|
Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
|
|||||||
|
a.
|
tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 84 diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penetapan Besaran Pajak dan Retribusi Terutang
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(4)
|
Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif, kecuali PKB.
|
|||||||
(6)
|
Penetapan PKB dan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(7)
|
Penetapan besarnya PAB terutang dalam SKPD dihitung untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat secara sah.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
|
|||||||
(9)
|
Untuk PKB, Opsen PKB, dan PAB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal tarif Retribusi dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh Menteri untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(2)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf g, bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif diatur dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(6)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(7)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(8)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya pelanggaran pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaran pemberian izin sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pembayaran dan Penyetoran
Pasal 89 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
|
|||||||
(3)
|
Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||
(5)
|
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1);
|
|||||||
(6)
|
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pemungutan Retribusi
Pasal 90 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
|||||||
(6)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
|
|||||||
(7)
|
Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
Pasal 91 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Provinsi dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kerjasama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
|
|||||||
(4)
|
Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerjasama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pembukuan
Pasal 92 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
|
||||||
|
b.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
|
||||||
(2)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
|||||||
(3)
|
Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
|
|||||||
(4)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
|
|||||||
(5)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pelaporan
Paragraf 1
Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD
Pasal 93 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(2)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak.
|
|||||||
(4)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Gubernur setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), penentuan masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
|
|||||||
(4)
|
Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penelitian SPTPD
Pasal 97 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk melakukan Penelitian atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1).
|
|||||||
(2)
|
Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
|
||||||
|
b.
|
kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
|
||||||
|
c.
|
kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.
|
||||||
(3)
|
Apabila berdasarkan hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD.
|
|||||||
(4)
|
STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
Pasal 98 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
||||||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
||||||
(3)
|
Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit untuk:
|
|||||||
|
a.
|
pemberian NPWPD secara jabatan;
|
||||||
|
b.
|
penghapusan NPWPD;
|
||||||
|
c.
|
penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
|
||||||
|
d.
|
pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak
|
||||||
(4)
|
Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||
(1)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang diperiksa meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak dan objek Retribusi yang terutang;
|
||||||
|
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
memberikan keterangan yang diperlukan.
|
||||||
(2)
|
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, hak Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang diperiksa paling sedikit:
|
|||||||
|
a.
|
meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
|
||||||
|
b.
|
meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
|
||||||
|
c.
|
menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak dan Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
Paragraf 1
Surat Ketetapan Pajak
Pasal 100 |
||||||||
(1)
|
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
|
|||||||
|
a.
|
hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98; atau
|
||||||
|
b.
|
penghitungan secara jabatan karena:
|
||||||
|
|
1.
|
Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis namun tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
|
|||||
|
|
2.
|
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) atau Pasal 99 ayat (3).
|
|||||
(3)
|
SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan Pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT.
|
|||||||
(4)
|
SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||||||
Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 terdapat kelebihan pembayaran Pajak, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan SKPDLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
|
|||||||
|
a.
|
kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a; atau
|
||||||
|
b.
|
kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.
|
||||||
(3)
|
Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT.
|
|||||||
(4)
|
SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Surat Tagihan Pajak
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD.
|
|||||||
(2)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
|
||||||
|
b.
|
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||||
(3)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dalam hal:
|
|||||||
|
a.
|
Pajak terutang tidak atau kurang dibayar;
|
||||||
|
b.
|
hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
|
||||||
|
c.
|
SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
|
||||||
|
d.
|
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
||||||
(4)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Penagihan Pajak
Pasal 104 |
||||||||
(1)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) Gubernur berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
|
|||||||
(2)
|
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
|||||||
|
a.
|
mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
|
||||||
|
b.
|
menerbitkan:
|
||||||
|
|
1.
|
Surat Teguran;
|
|||||
|
|
2.
|
surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
|
|||||
|
|
3.
|
Surat Paksa;
|
|||||
|
|
4.
|
surat perintah melaksanakan penyitaan;
|
|||||
|
|
5.
|
surat perintah penyanderaan;
|
|||||
|
|
6.
|
surat pencabutan sita;
|
|||||
|
|
7.
|
pengumuman lelang;
|
|||||
|
|
8.
|
surat penentuan harga limit;
|
|||||
|
|
9.
|
pembatalan lelang; dan
|
|||||
|
|
10.
|
surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
|
|||||
(3)
|
Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||||||
(1)
|
Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) diawali dengan penerbitan Surat Teguran.
|
|||||||
(2)
|
Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa.
|
|||||||
(4)
|
Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran.
|
|||||||
(6)
|
Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita.
|
|||||||
(9)
|
Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
|
|||||||
(10)
|
Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dilakukan penyitaan.
|
|||||||
(11)
|
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||||||
Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus apabila:
|
||||||||
a.
|
penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
|
|||||||
b.
|
penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
|
|||||||
c.
|
terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
|
|||||||
d.
|
badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
|
|||||||
e.
|
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan itikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan.
|
|||||||
(2)
|
Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penagihan diatur dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai pedoman Penagihan Pajak.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 110 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 14 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 28 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||||||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Provinsi.
|
|||||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||||||
|
b.
|
terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||||||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran.
|
|||||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadaran menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasi kepada Pemerintah Provinsi.
|
|||||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua Belas
Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
Pasal 112 |
||||||||
(1)
|
Gubernur melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (3).
|
|||||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||||
(5)
|
Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
|||||||
|
a.
|
pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (3) sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1); dan
|
||||||
|
b.
|
hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah.
|
||||||
(6)
|
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||||||
(2)
|
Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga Belas
Keberatan dan Banding
Paragraf 1
Keberatan Pajak
Pasal 114 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
|
|||||||
(2)
|
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
|
|||||||
(3)
|
Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau Pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
|
|||||||
(4)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara; dan
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit.
|
||||||
(5)
|
Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
|
|||||||
(6)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
|
|||||||
(7)
|
Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
(9)
|
Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1).
|
|||||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Keputusan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (7).
|
|||||||
(4)
|
Keputusan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
|
||||||
|
c.
|
menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
d.
|
menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
||||||
(5)
|
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 116 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Keberatan Retribusi
Pasal 117 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
|
|||||||
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
|
|||||||
(4)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan;
|
||||||
|
d.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
e.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
f.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||||
(5)
|
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 118 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan keberatan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Keputusan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 119 |
||||||||
(1)
|
Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Banding
Pasal 120 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
(2)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas.
|
|||||||
(3)
|
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
|
|||||||
(4)
|
Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (3) tidak dikenakan.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat Belas
Gugatan Pajak
Pasal 122 |
||||||||
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
|
||||||||
a.
|
pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
|
|||||||
b.
|
keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
|
|||||||
c.
|
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 115; dan
|
|||||||
d.
|
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
|
|||||||
hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 123 |
||||||||
Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima Belas
Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
Pasal 124 |
||||||||
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah Provinsi.
|
|||||||
(2)
|
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam rangka penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
|
|||||||
(6)
|
Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
|
|||||||
|
a.
|
mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
|
||||||
|
b.
|
membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam Belas
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak atau Retribusi
Pasal 125 |
||||||||
(1)
|
Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(2)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
|||||||
(3)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
|||||||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya.
|
|||||||
(6)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
|
|||||||
(7)
|
Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah Lewat 2 (dua) bulan, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
|
|||||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN ATAS POKOK PAJAK, POKOK RETRIBUSI, DAN/ATAU SANKSINYA
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 126 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi dalam mencapai program prioritas Daerah Provinsi; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||||||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||||||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Gubernur.
|
||||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||||||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||||||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 127 |
||||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 128 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1).
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 129 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 130 |
||||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi
Pasal 131 |
||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 132 |
||||||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 131, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 133 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 134 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Provinsi diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Provinsi yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 135 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal wajib pajak atau wajib retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan daerah atau wajib retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda dan/atau kenaikan pajak atau retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 136 |
||||||||
(1)
|
Wajib pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitung sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
|
|||||||
(6)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeuf sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam
|
||||||
|
b.
|
kebakaran
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 137 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 138 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 139 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 140 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 141 |
||||||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 139 merupakan pendapatan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 142 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
|
|||||||
b.
|
khusus ketentuan mengenai Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan bagi hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan 5 Januari 2025; dan
|
|||||||
c.
|
dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c tidak dapat dipenuhi, ketentuan mengenai Pajak dan Retribusi mengikuti ketentuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 143 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 144 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2011 Nomor 1 Seri B) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2021 Nomor 11);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2012 Nomor 3) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2020 Nomor 9);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2012 Nomor 4) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2020 Nomor 8);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2012 Nomor 5); dan
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2022 Nomor 6),
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 145 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2024.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Palembang
pada tanggal 22 Desember 2023
Pj. GUBERNUR SUMATERA SELATAN
dto.
A. FATONI
Diundangkan di Palembang
pada tanggal 22 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI SUMATERA SELATAN,
dto.
S.A. SUPRIONO
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2023 NOMOR 3
|