Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA
NOMOR 2 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SULAWESI TENGGARA,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan;
|
|||||||
b.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah dan menjadi dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah;
|
|||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6778);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Provinsi Sulawesi Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6778);
|
|||||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA
dan
GUBERNUR SULAWESI TENGGARA
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara.
|
|||||||
2.
|
Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara.
|
|||||||
3.
|
Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Otonom.
|
|||||||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.
|
|||||||
5.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
6.
|
Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
|
|||||||
7.
|
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.
|
|||||||
8.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan Daerah yang menjadi kewenangan Provinsi Sulawesi Tenggara.
|
|||||||
9.
|
Instansi Pemerintah adalah kementerian, lembaga non kementerian, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa.
|
|||||||
10.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
11.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah Provinsi sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
12.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
13.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
14.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
15.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
16.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
17.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
18.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
19.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, waris, dan/atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||
20.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
21.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||||
22.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
23.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
24.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||||||
25.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
26.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||||||
27.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||||
28.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
29.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
30.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
31.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
32.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
33.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
34.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
35.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
36.
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB adalah nilai jual kendaraan bermotor yang diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor sebagaimana tercantum dalam tabel nilai jual kendaraan bermotor yang berlaku.
|
|||||||
37.
|
Tahun Pembuatan Kendaraan Bermotor adalah tahun perakitan yang semata-mata digunakan sebagai dasar penghitungan pajak.
|
|||||||
38.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali dalam hal Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
39.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
|
|||||||
40.
|
Pajak yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
41.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
42
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan adalah Surat Ketetapan Pajak yang menetapkan besarnya jumlah pajak.
|
|||||||
43.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
44.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah Surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
45.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||||||
46.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
47.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||||||
Jenis Pajak yang dipungut terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
PKB;
|
|||||||
b.
|
BBNKB;
|
|||||||
C.
|
PAB;
|
|||||||
d.
|
PBBKB;
|
|||||||
e.
|
PAP;
|
|||||||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||||||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PKB;
|
||||||
|
b.
|
BBNKB;
|
||||||
|
c.
|
PAB; dan
|
||||||
|
d.
|
PAP.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBBKB;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||||||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PKB
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
ambulans;
|
||||||
|
c.
|
pemadam kebakaran;
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat;
|
||||||
|
f.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan;
|
||||||
|
g.
|
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai pabrikan atau importir yang semata-mata tersedia untuk dipamerkan; dan
|
||||||
|
h.
|
Kendaraan Bermotor yang tidak digunakan karena disegel, disita oleh negara dan/atau dibekukan oleh negara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian dari:
|
|||||||
|
a.
|
NJKB; dan
|
||||||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||||||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan NJKB.
|
|||||||
(3)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(4)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, NJKB ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor:
|
|||||||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||||||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||||||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||||||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||||||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||||||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||||||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor:
|
|||||||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||||||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB untuk Kendaraan Bermotor baru berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
|
|||||||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dengan memperhatikan penyusutan dan/atau penyesuaian NJKB dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||||||
(11)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (10) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Tarif PKB atas Kendaraan Bermotor ditetapkan secara progresif dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama sebesar 0,9% (nol koma sembilan persen);
|
||||||
|
b.
|
untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua sebesar 1,2% (satu koma dua persen);
|
||||||
|
c.
|
untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor ketiga sebesar 1,5% (satu koma lima persen};
|
||||||
|
d.
|
untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor keempat sebesar 1,75% (satu koma tujuh lima persen); dan
|
||||||
|
e.
|
untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kelima dan seterusnya sebesar 2% (dua persen).
|
||||||
(2)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||||||
(3)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan karyawan, angkutan sekolah, sosial keagamaan, dan Instansi Pemerintah ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
|
|||||||
(4)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengenaan Pajak Progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Wilayah pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(2)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BBNKB
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat;
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai pabrikan atau importir yang semata-mata tersedia untuk dipamerkan.
|
||||||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||||||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||||||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||||||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||
Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(4)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(5)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PAB
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Instansi Pemerintah; dan
|
||||||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual Alat Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
|
|||||||
(2)
|
Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
PAB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
PAB dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||||||
(3)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
(2)
|
Penetapan jangka waktu pembayaran atau penyetoran PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi penunjang pendapatan daerah.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
PBBKB
Pasal 22 |
||||||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||||||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir BBKB, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
Dasar Pengenaan PBBKB merupakan nilai jual bahan bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAP
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan yang bertujuan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAP merupakan nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||||||
(4)
|
Bobot air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||||||
|
b.
|
volume air; dan
|
||||||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||||||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat air permukaan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Rokok
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Pajak Rokok dilakukan Instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen MBLB
Pasal 37 |
||||||||
Objek Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Subjek Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 42 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Bagi Hasil Pajak
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PBBKB, PAP, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi Daerah Kabupaten/Kota dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen);
|
||||||
|
b.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar:
|
||||||
|
|
1)
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota; atau
|
|||||
|
|
2)
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) Kabupaten/Kota; dan
|
|||||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||||||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar Daerah Kabupaten/Kota.
|
|||||||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota di Daerah, dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional sebesar 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di Daerah;
|
||||||
|
b.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air; dan
|
||||||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota di Daerah.
|
||||||
(4)
|
Alokasi bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota ditetapkan dengan keputusan Gubernur berdasarkan Peraturan Daerah mengenai bagi hasil Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas daerah Kabupaten/Kota.
|
|||||||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PBBKB dan PAP dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 45 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis dan Objek Retribusi
Pasal 46 |
||||||||
(1)
|
Jenis Retribusi Daerah terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||
(2)
|
Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta .
|
|||||||
(4)
|
Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
(5)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 47 |
||||||||
Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa bersangkutan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh Menteri untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Umum
Pasal 51 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a yang dipungut meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Gubernur, yang dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan kesehatan, frekuensi, kelas perawatan, dan/atau jarak tempuh.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yaitu pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jumlah, jenis kendaraan, dan jangka waktu pelayanan parkir di tepi jalan umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||||||
Besaran dan struktur tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 57 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b yang dipungut retribusi meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan tempat usaha lainnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan jenis kendaraan dan frekuensi pelayanan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan jenis fasilitas dan frekuensi pemakaian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan jasa kepelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa pelayanan kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhanan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan jenis fasilitas dan frekuensi pelayanan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan jenis dan jumlah produksi yang diserahkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/ atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf g termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum.
|
|||||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(3)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerjasama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerjasama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(4)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||
(6)
|
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, dan frekuensi pemanfaatan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||||||
Besaran dan struktur tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c meliputi penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) adalah pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
(3)
|
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Besaran dan struktur tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 73 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan pajak dan retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 75 |
||||||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi SKPD, surat pemberitahuan pajak terutang, dan dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) meliputi SPTPD dan dokumen yang dipersamakan.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||||||
(1)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
|
|||||||
(3)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(4)
|
Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp100.000,-
|
|||||||
(5)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(6)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara; dan/ atau
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(2)
|
Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan;
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
|
||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(3)
|
Pembayaran dan penyetoran Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dan Retribusi dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN, ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK DAN/ATAU SANKSI PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah;
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional; dan/atau
|
||||||
|
f.
|
untuk mendukung penerapan kebijakan Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Keringanan, Pengurangan, Pembebasan, dan Penundaan
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi, berdasarkan usulan Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang dapat diberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memiliki kemampuan secara ekonomis yang dibuktikan dengan laporan keuangan atau bukti lainnya yang dapat dipersamakan atau operasional kegiatan tidak mendatangkan laba berdasarkan laporan keuangan Wajib Pajak atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
|
||||||
|
c.
|
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan dan setelah dilakukan penjualan harta, hasilnya tidak mencukupi untuk melunasi utang Pajak dan Retribusi; dan
|
||||||
|
d.
|
kekhilafan Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang bukan karena kesalahannya.
|
||||||
(4)
|
Kondisi objek Pajak atau objek Retribusi yang dapat diberikan keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
objek Pajak dan Retribusi terkena bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor;
|
||||||
|
b.
|
objek Pajak dan Retribusi terkena bencana nonalam merupakan bencana nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah seperti virus pandemik yang menyerang manusia; dan
|
||||||
|
c.
|
sebab tertentu yang luar biasa lainnya, seperti kebakaran dan wabah.
|
||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Gubernur dapat menetapkan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dan/atau Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan persyaratan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
melaksanakan kebijakan Pemerintah;
|
||||||
|
b.
|
adanya prakiraan potensi ekonomi Daerah;
|
||||||
|
c.
|
upaya peningkatan investasi Daerah;
|
||||||
|
d.
|
dukungan pemeliharaan lingkungan; dan/
|
||||||
|
e.
|
upaya percepatan penerimaan pendapatan Daerah.
|
||||||
(3)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, 81 dan Pasal 82 diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
SISTEM INFORMASI PENGELOLAAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Gubernur membangun sistem informasi pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi pengelolaan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pajak Daerah, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
|||||||
|
a.
|
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
|
||||||
|
b.
|
melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
|
||||||
|
c.
|
menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
|
||||||
|
d.
|
melakukan penyitaan benda dan/atau surat;
|
||||||
|
e.
|
mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
|
||||||
|
f.
|
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
g.
|
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;
|
||||||
|
h.
|
mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Polri bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, dan selanjutnya melalui Penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum tersangka dan/atau keluarganya; dan
|
||||||
|
i.
|
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
||||||
(3)
|
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
|
|||||||
(4)
|
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, dan Pasal 89 merupakan pendapatan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 92 |
||||||||
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi yang diundangkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, seluruh penerimaan Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dibagihasilkan berdasarkan Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur mengenai bagi hasil Pajak yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Ketentuan mengenai Pajak PKB, BBNKB dan Opsen MBLB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari tahun 2025.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 95 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 4 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan Tangkap (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2010 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2010 Nomor 4);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011 Nomor 5);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 Nomor 1);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 Nomor 2);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 Nomor 6);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor 7);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012 Retribusi Izin Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor 8);
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 Retribusi Izin Usaha Perikanan Tangkap (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017 Nomor 4);
|
|||||||
i.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017 Nomor 6);
|
|||||||
j.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017 Nomor 7);
|
|||||||
k.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 3 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2019 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2019 Nomor 3);
|
|||||||
l.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2019 Nomor 4);
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Kendari
pada tanggal 19 Februari 2024
Pj. GUBERNUR SULAWESI TENGGARA,
ttd.
KOMJEN POL (P) Dr. (H.C.) ANDAP BUDHI REVIANTO, S.I.K., M.H.
Diundangkan di Kendari
pada tanggal 19 Februari 2024
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA,
ttd.
ASRUN LIO
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2024 NOMOR 2
|
||||||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR 2 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
1.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Secara operasional penyelenggaraan otonomi daerah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah juga sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengaturan ini berimbas pada penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah yaitu Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Melalui Undang Nomor 1 Tahun 2022 terjadi restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan nasional di bidang perpajakan daerah.
Penerimaan atas PKB dan BBNKB yang selama ini dibagi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, sekarang sepenuhnya menjadi penerimaan Daerah. Selanjutnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk memungut Opsen PKB dan BBNKB. Oleh karena itu, Daerah perlu melakukan penyesuain tarif PKB dan BBNKB agar tidak memberatkan Wajib Pajak. Daerah juga melakukan pemungutan Opsen Pajak MBLB sebagai sumber penerimaan baru yang diharapkan dapat memperkuat penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Agar Retribusi dapat dipungut dengan efektif dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah, Daerah tidak melakukan pemungutan semua jenis Retribusi. Dari 5 (lima) obyek Retribusi Jasa Umum, Daerah memungut 2 (dua), yaitu pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum. Sedangkan dari 10 (sepuluh) obyek Retribusi Jasa Usaha, Daerah hanya memungut 7 (tujuh) diantaranya.
Materi muatan Peraturan Daerah ini merupakan penyempurnaan dari beberapa Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara terkait pajak daerah dan retribusi daerah yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Melalui Peraturan Daerah ini, pengaturan seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam 1 (satu) Peraturan Daerah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
2.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.
Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contoh:
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR 2
|