Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH
NOMOR 7 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SULAWESI TENGAH,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi dengan menggali dan mengelola potensi sumber pendapatan daerah dari sumber pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara berdasarkan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
|
|||||||
b.
|
bahwa pajak daerah yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan restrukturisasi jenis pajak dan pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||||||
c.
|
bahwa retribusi daerah yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan penyederhanaan jenis retribusi daerah berupa rasionalisasi jumlah retribusi daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||||||
d.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah;
|
|||||||
e.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2022 tentang Provinsi Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6777);
|
|||||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
SULAWESI TENGAH
dan
GUBERNUR SULAWESI TENGAH
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
2.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
3.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||
4.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
5.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||||
6.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
7.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
8.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
9.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||||
10.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||||||
11.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||||||
12.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||||||
13.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||||||
14.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||
15.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||||
16.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
17.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
18.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
19.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
20.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
21.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
22.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
23.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran PBBKB, Pajak Rokok dan Opsen Pajak MBLB kepada Pemerintah Daerah.
|
|||||||
24.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
25.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
26.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
27.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
28.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||||||
29.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
30.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||||||
31.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||||||
32.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu.
|
|||||||
33.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
34.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
35.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
36.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
37.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
38.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
39.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
40.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
41.
|
Tenaga Kerja Asing Selanjutnya disingkat TKA adalah warga Negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia,
|
|||||||
42.
|
Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
|
|||||||
43.
|
Rencana Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
|||||||
44.
|
Pengesahan RPTKA adalah persetujuan penggunaan TKA yang disah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
45.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi daerah.
|
|||||||
46.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||||||
47.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
48.
|
Lembaga pembiayaan adalah Badan usaha yang melakukan kegiatan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
|
|||||||
49.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
|
|||||||
50.
|
Daerah adalah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
|
|||||||
51.
|
Pemerintah Daerah adalah Gubernur Sulawesi Tengah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom provinsi.
|
|||||||
52.
|
Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tengah.
|
|||||||
53.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
|
|||||||
54.
|
Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah.
|
|||||||
55.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur Sulawesi Tengah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah Provinsi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||||||
Ruang lingkup pengaturan Peraturan Daerah ini meliputi:
|
||||||||
a.
|
Pajak;
|
|||||||
b.
|
Retribusi;
|
|||||||
c.
|
tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
d.
|
pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan atas pokok Pajak/Retribusi;
|
|||||||
e.
|
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
f.
|
kerahasiaan data Wajib Pajak; dan
|
|||||||
g.
|
insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
||||||||
Jenis Pajak yang dipungut oleh Daerah meliputi:
|
||||||||
a.
|
PKB;
|
|||||||
b.
|
BBNKB;
|
|||||||
c.
|
PAB;
|
|||||||
d.
|
PBBKB;
|
|||||||
e.
|
PAP;
|
|||||||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||||||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pajak Kendaraan Bermotor
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah; dan
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||||||
|
a.
|
nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
|
||||||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||||||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||||
(6)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||||||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||||||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dihitung berdasarkan faktor:
|
|||||||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||||||
(8)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk Kendaraan Bermotor baru berdasarkan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
|
|||||||
(9)
|
Untuk selain Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||||||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor:
|
|||||||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||||||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||||||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||||||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan mengenai nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Saat Terutang Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 11 |
||||||||
Saat terhutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Tarif PKB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar 1,0% (satu koma nol persen).
|
|||||||
(2)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
|
|||||||
(2)
|
PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(3)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||||||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||||||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||||||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 17 |
||||||||
Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Saat Terutang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 18 |
||||||||
Saat terhutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 19 |
||||||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 8,4% (delapan koma empat persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
|
|||||||
(2)
|
BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(3)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pajak Alat Berat
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak Alat Berat
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||||||
b. | Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah. | |||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||||
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Alat Berat
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Saat Terutang Pajak Alat Berat
Pasal 25 |
||||||||
Saat terhutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Pajak Alat Berat
Pasal 26 |
||||||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
|
|||||||
(2)
|
PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||||||
(3)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pasal 29 |
||||||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||||||
(2)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pasal 33 |
||||||||
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Saat Terutang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pasal 34 |
||||||||
Saat terhutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor,
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan sebesar 5% dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaran Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pajak Air Permukaan
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak Air Permukaan
Pasal 37 |
||||||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||||
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Air Permukaan
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor:
|
|||||||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||||||
|
b.
|
volume air; dan
|
||||||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||||||
(5)
|
Besaran nilai perolehan air permukaan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan mempedomani ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dihidang pekerjaan umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Saat Terutang Pajak Air Permukaan
Pasal 41 |
||||||||
Saat terhutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Pajak Air Permukaan
Pasal 42 |
||||||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10%(sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
|||||||
(2)
|
PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Rokok
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Pajak Rokok
Pasal 44 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||||||
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||||||
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||||||
(1)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||||||
(2)
|
Wilayah Pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak Rokok
Pasal 48 |
||||||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Saat Terutang Pajak Rokok
Pasal 49 |
||||||||
Saat terhutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Pajak Rokok
Pasal 50 |
||||||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Paragraf 1
Objek, Subjek dan Wajib Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 52 |
||||||||
Objek Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||||||
Subjek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Subjek Pajak MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Dasar Pengenaan Opsen Pajak MBLB
Pasal 55 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Saat Terutang Opsen Pajak MBLB
Pasal 56 |
||||||||
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 57 |
||||||||
Tarif Opsen Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||||
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 59 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam Bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak dan tahun Pajak diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Bagi Hasil Pajak
Pasal 60 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi Kabupaten/Kota dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||||||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota; atau
|
|||||
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
|
|||||
|
b.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||||||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||||||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar Kabupaten/Kota.
|
|||||||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional minimal berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||||||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Kabupaten/Kota; dan
|
||||||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional minimal berdasarkan variabel jumlah penduduk Kabupaten/Kota.
|
||||||
(4)
|
Alokasi Besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas Daerah Kabupaten/Kota.
|
|||||||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 63 |
||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Pelayanan Kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; dan
|
||||||
(2)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a, pelayanan kebersihan, pelayanan pasar dan pengendalian lalu lintas tidak dipungut.
|
|||||||
(3)
|
Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(5)
|
Detail Rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(6)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(7)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||||
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 64 ayat (1) huruf a yaitu pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
Pelayanan Kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat
|
|||||||
(3)
|
ditetapkan dengan Perkada.
|
|||||||
(5)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 70 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||||||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||||||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
h.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
i.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf b, pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air tidak dipungut.
|
|||||||
(3)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(6)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(7)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||||||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf h merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf i termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
Sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
Kerjasama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
Bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
Kerjasama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat usaha;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
|
||||||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
||||||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga;
|
||||||
|
h.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||
|
i.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(5)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Umum
Pasal 83 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
PTKA; dan
|
||||||
|
b.
|
Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a adalah pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan pengesahan RPTKA Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dikenakan pungutan Retribusi adalah khusus untuk PTKA oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi PTKA adalah Pemberi Kerja TKA yang memperoleh Pengesahan RPTKA perpanjangan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi adalah Pemberi Kerja TKA yang memperoleh pengesahan RPTKA perpanjangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||||||
Tingkat penggunaan jasa Retribusi PTKA diukur berdasarkan:
|
||||||||
a.
|
jumlah izin yang diterbitkan; dan
|
|||||||
b.
|
jangka waktu perpanjangan TKA.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam tarif Pengesahan RPTKA perpanjangan didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian RPTKA perpanjangan bagi TKA.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, biaya dampak negatif dari Pengesahan RPTKA perpanjangan, dan kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||||
(1)
|
Besarnya tarif Retribusi PTKA ditetapkan sebesar US $100 (seratus dollar Amerika) per bulan per orang per jabatan.
|
|||||||
(2)
|
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dengan rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat penerbitan SKRD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Pelayanan Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Pasal 90 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan Pengelolaan Pertambangan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||||||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||||||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||||||
Prinsip dan sasaran dalam tarif pelayanan Pengelolaan Pertambangan Rakyat didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pelayanan Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||||||
Tingkat penggunaan jasa pelayanan Pengelolaan Pertambangan Rakyat diukur berdasarkan frekuensi pelayanan pembinaan dan pengawasan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||||||
Biaya Pengelolaan Pertambangan Rakyat memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada Kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||||||
Struktur tarif pelayanan Pengelolaan Pertambangan Rakyat ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(4)
|
Khusus untuk pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 96 |
||||||||
Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||||||
Tingkat Penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Penggunaan Hasil Penerimaan Retribusi
Pasal 100 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(4)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan Pajak Dan Retribusi
Pasal 101 |
||||||||
(1)
|
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran pajak terutang untuk Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD.
|
|||||||
(2)
|
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran pajak terutang untuk Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhir masa pajak.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan Pajak Daerah dan surat pemberitahuan Pajak terhutang.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan Pajak Daerah.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen surat pemberitahuan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(6)
|
Besaran Pajak/retribusi terutang ditetapkan dengan SKPD/SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(7)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
|
|||||||
(4)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp200.000 (dua ratus ribu rupiah).
|
|||||||
(6)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(7)
|
Kriteria keadan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
Kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
Kerusuhan massal atau huru hara;
|
||||||
|
d.
|
Wabah Penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
Keadan lain berdasarkan pertimbangan kepala Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d dilakukan oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Penyedia BBKB adalah produsen dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||||||
Tata cara pemungutan Pajak Daerah dan retribusi daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Pasal 105 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
lahan pertanian yang sangat terbatas;
|
||||||
|
b.
|
tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu;
|
||||||
|
c.
|
nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu; dan
|
||||||
|
d.
|
objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian, keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 107 |
||||||||
Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Gubernur memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 108 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 109 |
||||||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 110 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan Retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan, untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan Retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana yang dimaksud pada huruf e;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan di bawah koordinasi Kepolisian Republik Indonesia dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 111 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 dan Pasal 113 merupakan penerimaan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116 |
||||||||
Pajak dan/atau Retribusi terutang atau kurang bayar menurut:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 21, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 21);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 Nomor 29, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 15);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 Nomor 30, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 16);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 17);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 76, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 62);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2016 Nomor 89, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 75);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 9 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2017 Nomor 99, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 85);
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018 Nomor 104, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 90);
|
|||||||
i.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 123, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 109);
|
|||||||
j.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 124, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 110);
|
|||||||
k.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 111);
|
|||||||
l.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 138, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 124),
|
|||||||
m.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 349);
|
|||||||
n.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2016 Nomor 458);
|
|||||||
o.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 6 Tahun 2017 tentang Sewa Barang Milik Daerah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2017 Nomor 539);
|
|||||||
p.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2016 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018 Nomor 630);
|
|||||||
q.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 50 tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018 Nomor 627);
|
|||||||
r.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 6 Tahun 2017 Sewa Barang Milik Daerah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018 Nomor 618);
|
|||||||
s.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 748);
|
|||||||
t.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 6 Tahun 2017 tentang Sewa Barang Milik Daerah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 750); dan
|
|||||||
u.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 60 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 15 tahun 2016 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2022 Nomor 863),
|
|||||||
tetap ditagih terhitung sejak tanggal saat terutang atau kurang bayar sampai dengan terbitnya utang Pajak, Retribusi dan/atau tarif yang baru menurut Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
||||||||
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 118 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan PKB dan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 21, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 21);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 123, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 109),
|
|||||||
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berlakunya ketentuan PKB dan BBNKB menurut Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 21, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 21);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 Nomor 27, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 13)
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 Nomor 29, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 15);
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 Nomor 30, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 16);
|
|||||||
e.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 17);
|
|||||||
f.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 76, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 62);
|
|||||||
g.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2016 Nomor 89, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 75);
|
|||||||
h.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 9 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2017 Nomor 99, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 85);
|
|||||||
i.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018 Nomor 104, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 90);
|
|||||||
j.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 123, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 109);
|
|||||||
k.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 124, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 110); L Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 111);
|
|||||||
m.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 138, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 124);
|
|||||||
n.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011 Nomor 349);
|
|||||||
o.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2016 Nomor 458);
|
|||||||
p.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 6 Tahun 2017 tentang Sewa Barang Milik Daerah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2017 Nomor 539);
|
|||||||
q.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2016 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018 Nomor 630);
|
|||||||
r.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 50 tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018 Nomor 627);
|
|||||||
s.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 6 Tahun 2017 Sewa Barang Milik Daerah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018 Nomor 618);
|
|||||||
t.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 748);
|
|||||||
u.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 6 Tahun 2017 tentang Sewa Barang Milik Daerah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2020 Nomor 750); dan
|
|||||||
v.
|
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 60 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 15 tahun 2016 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah (Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2022 Nomor 863),
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. | ||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 120 |
||||||||
Semua Peraturan Gubernur pelaksanaan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru menurut Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
||||||||
Peraturan Gubernur pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Palu
pada tanggal 8 Desember 2023
GUBERNUR SULAWESI TENGAH,
ttd.
RUSDY MASTURA
Diundangkan di Palu
pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH,
ttd.
NOVALINA
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH TAHUN 2023 NOMOR 164
|
||||||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH
NOMOR 7 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||
|
Otonomi daerah merupakan salah satu hal penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kesatuan. Otonomi daerah merupakan dasar untuk memperlancar pelaksanaan demokrasi dan wahana untuk mewujudkan kesejahteraan umum (bestuur zorq), disamping untuk menjaga keutuhan negara kesatuan. Daerah otonom dapat mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan usaha untuk memperbaiki sistem pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyat dengan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan pembangunan ekonomi berdasarkan basis ekonomi yang dimiliki wilayah yang dipimpin.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi merupakan salah satu lingkup hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di dalam Penjelasan Umum angka 2 Undang-Undang ini dijelaskan bahwa dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, di Daerah telah berlaku 2 (dua) Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan 10 (sepuluh) Peraturan Daerah mengenai Retribusi Daerah, masing-masing untuk golongan Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mencabut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka jenis Pajak dan Retribusi dilakukan penyesuaian.
Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menentukan bahwa seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas perlu menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Materi muatan Pajak dalam Peraturan Daerah meliputi Objek Pajak, Subjek dan Wajib Pajak, dasar pengenaan Pajak, saat terutang Pajak, dan tarif Pajak terhadap 7 (tujuh) jenis Pajak, yaitu PKB, BBNKB, PAB, PBBKB, PAP, Pajak Rokok, dan Opsen Pajak MBLB. Sedangkan pengaturan Retribusi meliputi jenis Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Khusus Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Jasa Usaha mengatur jenis pelayanan sebagai objek pungutan Retribusi tersebut sesuai yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dengan ketentuan memperhatikan kewenangan Daerah.
Selain pengaturan di atas, Peraturan Daerah ini juga mengatur mengenai Masa Pajak dan Tahun Pajak; Bagi Hasil Pajak; penggunaan hasil penerimaan Pajak untuk kegiatan yang telah ditentukan; tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi; pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan atas pokok Pajak/Retribusi; pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dan Retribusi; kerahasiaan data Wajib Pajak; pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi dalam rangka mendukung kemudahan berinvestasi; dan insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Alat Berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Alat Berat oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 21.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 21.
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 21.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Contoh perhitungan:
Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Daerah melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500.000.000,-Tarif Pajak MBLB dalam Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 25%, maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp125.000.000,-.
Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan Daerah.
Pasal 59
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek Pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya Pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai Subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai Objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kegiatan "penegakan hukum" minimal berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah dan dapat disinergikan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Tepi Jalan Umum” adalah bagian tepi jalan di dalam ruang milik jalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 65
Yang termasuk pelayanan administrasi meliputi pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan.
Pasal 66
Lihat penjelasan Pasal 64 ayat (1) huruf c.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah:
Huruf d
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Lihat penjelasan Pasal 70 ayat (1) huruf c.
Pasal 74
Lihat penjelasan Pasal 70 ayat (1) huruf d.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik Daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi barang milik Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “izin pertambangan rakyat” adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR 150
|