Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA
GUBERNUR SULAWESI SELATAN,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
b.
|
bahwa dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar Pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2022 tentang Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6775);
|
|||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881).
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
dan
GUBERNUR SULAWESI SELATAN
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah adalah Provinsi Sulawesi Selatan.
|
|||
2.
|
Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Selatan.
|
|||
3.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
4.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
5.
|
Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||
6.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
|||
7.
|
Kabupaten/Kota adalah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
|
|||
8.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat Daerah atau unit satuan kerja perangkat Daerah pada satuan kerja perangkat Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||
9.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
10.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||
11.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
12.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
13.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
14.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, organisasi pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
15.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||
16.
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB adalah nilai jual kendaraan bermotor yang diperoleh berdasarkan harga pasaran umum sebagaimana tercantum dalam tabel nilai jual kendaraan bermotor yang berlaku.
|
|||
17.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||
18.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan termasuk kendaraan hybrid.
|
|||
19.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||
20.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||
21.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
22.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
23.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||
24.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||
25.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||
26.
|
Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
|
|||
27.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
28.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
29.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
|
|||
30.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
31.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
32.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
33.
|
Tarif Retribusi adalah nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||
34.
|
Retribusi Jasa Umum adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa umum.
|
|||
35.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
36.
|
Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa usaha.
|
|||
37.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
38.
|
Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pemberian izin.
|
|||
39.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
40.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
41.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||
42.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
43.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
|
|||
44.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||
45.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||
46.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||
47.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
48.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
|
||||
a.
|
Pajak;
|
|||
b.
|
Retribusi;
|
|||
c.
|
pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
d.
|
pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan Pajak dan Retribusi;
|
|||
e.
|
insentif Pajak dan Retribusi;
|
|||
f.
|
kerahasiaan data Wajib Pajak;
|
|||
g.
|
ketentuan penyidikan; dan
|
|||
h.
|
ketentuan pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
||||
Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
|
||||
a.
|
PKB;
|
|||
b.
|
BBNKB;
|
|||
c.
|
PAB;
|
|||
d.
|
PBBKB;
|
|||
e.
|
PAP;
|
|||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah; dan
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||
|
a.
|
NJKB; dan
|
||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan NJKB.
|
|||
(3)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||
(4)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, NJKB dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor:
|
|||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
b.
|
jenis BBKB, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
untuk Kendaraan Bermotor baru ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri; dan
|
||
|
b.
|
untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri dengan memperhatikan penyusutan NJKB dan bobot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.
|
||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Kendaraan Bermotor pribadi/Badan sebesar 1% (satu persen);
|
||
|
b.
|
kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk:
|
||
|
|
1.
|
angkutan umum;
|
|
|
|
2.
|
angkutan karyawan;
|
|
|
|
3.
|
angkutan sekolah;
|
|
|
|
4.
|
ambulans;
|
|
|
|
5.
|
pemadam kebakaran;
|
|
|
|
6.
|
kegiatan sosial dan keagamaan;
|
|
|
|
7.
|
lembaga sosial dan keagamaan;
|
|
|
|
8.
|
Pemerintah;
|
|
|
|
9.
|
Pemerintah Daerah;
|
|
|
|
10.
|
pemerintah Kabupaten/Kota; dan
|
|
|
|
11.
|
pemerintah desa,
|
|
|
|
sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
||
(2)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
Wilayah pemungutan PKB adalah wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Objek BBNKB merupakan penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyerahan atas:
|
|||
|
a.
|
kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah; dan
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
Dasar pengenaan BBNKB adalah NJKB yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Kabupaten/Kota tempat Kendaraan Bermotor didaftar.
|
|||
(2)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pajak Alat Berat
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Objek PAB merupakan kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah/Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah, pemerintah Kabupaten/Kota, dan pemerintah desa; dan
|
||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Subjek PAB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Wajib PAB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pasal 27 |
||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Subjek PBBKB merupakan konsumen BBKB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir BBKB, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
Dasar pengenaan PBBKB merupakan nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
|
|||
(2)
|
Untuk jenis BBKB tertentu, tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penyesuaian tarif PBBKB oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden, dalam rangka stabilisasi harga.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Wajib pajak PBBKB wajib mengisi SPTPD dalam satu masa Pajak.
|
|||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
|
|||
(3)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya berisi rincian jumlah penjualan/penyaluran/penggunaan BBKB per jenis BBKB dalam satuan liter, harga sebelum Pajak, jumlah pembayaran PBBKB, serta nama dan alamat pembeli/penyalur.
|
|||
(4)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melampirkan salinan invoice atau daftar invoice yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
|
|||
(5)
|
Keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk dokumen pelaporan diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pajak Air Permukaan
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Objek PAP merupakan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
keperluan keagamaan;
|
||
|
e.
|
kepentingan sosial;
|
||
|
f.
|
kegiatan badan sosial non komersil;
|
||
|
g.
|
kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik yang disediakan tanpa dipungut biaya;
|
||
|
h.
|
penanggulangan bahaya kebakaran;
|
||
|
i.
|
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik Daerah yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber air tanpa memungut biaya; dan
|
||
|
j.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
||
(3)
|
Pengecualian objek PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e, tidak berlaku apabila disiapkan oleh Badan usaha komersil dan/atau untuk tujuan komersil.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Subjek PAP merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Wajib PAP merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAP merupakan nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor:
|
|||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||
|
b.
|
volume air; dan
|
||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dengan mempedomani peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum, setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
|
|||
(2)
|
Setiap pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan wajib menggunakan alat pengukur debit/volume air (water meter).
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak Rokok
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok merupakan konsumsi Rokok.
|
|||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, Rokok daun, dan bentuk Rokok lainnya yang dikenai cukai Rokok.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Rokok yang tidak dikenai cukai Rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok merupakan konsumen Rokok.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok merupakan pengusaha pabrik Rokok/produsen dan importir Rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai Rokok.
|
|||
(4)
|
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum Daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap Rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai Rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai Rokok terhadap pengusaha pabrik Rokok atau produsen dan importir Rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 49 |
||||
Objek Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Subjek Pajak MBLB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
Dasar Pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan pajak MBLB yang terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Bagi Hasil dan Pemanfaatan Pajak
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi Kabupaten/Kota di wilayah Daerah dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada Kabupaten/Kota;
|
||
|
b.
|
khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen);
|
||
|
c.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||
|
d.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar Kabupaten/Kota.
|
|||
(3)
|
Bagian Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
PAP dibagi secara proporsional berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||
|
b.
|
PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Daerah;
|
||
|
c.
|
Pajak Rokok dibagi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk Kabupaten/Kota sebesar 30% (tiga puluh persen) dan sisanya dibagi rata ke seluruh Kabupaten/Kota di Daerah.
|
||
(4)
|
Alokasi besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas daerah Kabupaten/Kota.
|
|||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan Pajak dimanfaatkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
hasil penerimaan PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum;
|
||
|
b.
|
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari total penerimaan PAP digunakan untuk rehabilitasi dan peningkatan kualitas sumber daya air; dan
|
||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok, yang menjadi bagian provinsi, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
|
||
(2)
|
Pemanfaatan hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis dan Objek Retribusi
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||
(2)
|
Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
(5)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan Tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan Tarif Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan; dan
|
||
|
c.
|
pelayanan pasar.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di balai pengobatan, rumah sakit, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah; dan
|
||
|
b.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
|||
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, kategori layanan, dan volume; dan
|
|||
c.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan jenis layanan, lokasi, dan jangka waktu layanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan Tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan Tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dengan tarif Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||
|
d.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
|
||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/ villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf g termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
(3)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 atas pelayanan Jasa Usaha ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya diukur berdasarkan lokasi, luas, dan jenis fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
|||
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||
c.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, lokasi, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
|||
d.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhanan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
|||
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
|||
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
|||
g.
|
pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf g diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan Tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan Tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dengan Tarif Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran Tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
|
||||
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c, meliputi:
|
||||
a.
|
penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
|||
b.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 huruf a merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 huruf b merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batubara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 atas pelayanan Perizinan Tertentu ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
a.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan; dan
|
|||
b.
|
pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan frekuensi pelayanan pembinaan dan pengawasan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(4)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dengan tarif Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(2)
|
Besaran Tarif Retribusi atas pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan ditetapkan sebesar USD100,00 (seratus United States Dollar) per orang per bulan per jabatan.
|
|||
(3)
|
Retribusi atas pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan dengan mata uang rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku saat diterbitkan SKRD.
|
|||
(4)
|
Retribusi atas pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pembayaran di muka saat mengurus Retribusi atas pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan.
|
|||
(5)
|
Besaran Tarif Retribusi atas pelayanan pemberian Izin pertambangan rakyat ditetapkan berdasarkan biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Peninjauan Tarif Retribusi
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2), Pasal 81 ayat (2), dan Pasal 88 ayat (2) dan ayat (5) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(2)
|
Peninjauan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Peninjauan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
(4)
|
Peninjauan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus layanan penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) digunakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dilaksanakan berdasarkan penetapan Gubernur atau penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Pajak dilaksanakan berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e.
|
|||
(3)
|
Pemungutan Pajak berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, huruf f, dan huruf g.
|
|||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||
(5)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi SPTPD.
|
|||
(6)
|
Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
|
|||
(7)
|
Pembayaran Pajak dilakukan secara non tunai.
|
|||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang yang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||
(3)
|
Pembayaran Retribusi dilakukan secara non tunai.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) wajib mengisi SPTPD.
|
|||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||
(5)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah).
|
|||
(6)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||
Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 meliputi pengaturan mengenai:
|
||||
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
|||
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
|||
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
|||
d.
|
pelaporan;
|
|||
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
|||
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
|||
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
|||
h.
|
keberatan;
|
|||
i.
|
gugatan;
|
|||
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
|
|||
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PEMBERIAN INSENTIF PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemberian Insentif Pajak
Pasal 95 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, pertumbuhan ekonomi dan kelancaran program strategis Daerah, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, antara lain:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak.
|
|||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak dan/atau objek Pajak.
|
|||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
|
|||
(2)
|
adalah kemampuan Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain, objek Pajak rusak berat, hilang, tertimpa bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Insentif Retribusi
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Retribusi.
|
|||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Retribusi dan/atau objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Retribusi; atau
|
||
|
b.
|
tingkat likuiditas Wajib Retribusi.
|
||
(4)
|
Kondisi objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain, objek Retribusi rusak berat, hilang, tertimpa bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Retribusi dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Retribusi.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang Pajak.
|
||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 99 |
||||
(1)
|
Instansi/Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi diberi insentif pemungutan atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui anggaran pendapatan dan belanja Daerah.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 100 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||
|
a.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 101 |
||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 102 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (6), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (6), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (5) sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 104, dan Pasal 105 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 107 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
|
|||
b.
|
semua Peraturan Gubernur yang merupakan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari:
|
|||
|
1.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 256) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 8 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2017 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 296);
|
||
|
2.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 261) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 297);
|
||
|
3.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 262);
|
||
|
4.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 263) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2019 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 310);
|
||
|
5.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pajak Rokok (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 273); dan
|
||
|
6.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 2015 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2015 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 285),
|
||
|
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah ini, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||
(1)
|
Ketentuan mengenai Pajak PKB, BBNKB, dan Opsen MBLB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini, mulai berlaku pada tanggal 5 bulan Januari tahun 2025.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
|
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 256) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 8 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2017 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 296);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 261) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 297);
|
|||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 262);
|
|||
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 263) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2019 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 310);
|
|||
e.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pajak Rokok (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 273); dan
|
|||
f.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 2015 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2015 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 285),
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 4 (empat) bulan sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Makassar
pada tanggal 5 Januari 2024 Pj. GUBERNUR SULAWESI SELATAN,
ttd.
BAHTIAR BAHARUDDIN
Diundangkan di Makassar
pada tanggal 5 Januari 2024 Pj. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN,
ttd.
ANDI MUHAMMAD ARSJAD
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||
|
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Pemerintah Daerah dapat melakukan pemungutan Pajak dan Retribusi untuk menutup sebagian atau keseluruhan biaya penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
Selama ini kebijakan Daerah terkait pemungutan Pajak dan Retribusi berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengamanahkan kepada Pemerintah Daerah untuk seluruh jenis pemungutan Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah. Berdasarkan amanah tersebut, Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam Peraturan Daerah ini, terdapat penambahan pungutan Pajak Daerah yaitu PAB dan Opsen Pajak MBLB. Dengan adanya Opsen Pajak MBLB sebagai sumber penerimaan baru Daerah diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Sedangkan pada Retribusi, terdapat beberapa objek yang dihilangkan yaitu pelayanan pendidikan pada Retribusi Jasa Umum, Retribusi terminal pada Retribusi Jasa Usaha, serta Retribusi izin trayek, dan Retribusi izin usaha perikanan pada Retribusi Perizinan Tertentu. Selain itu terdapat penambahan objek pada:
|
||||||||||||
|
|||||||||||||
|
|||||||||||||
|
1.
|
Retribusi Jasa Umum yaitu pelayanan kebersihan dan pelayanan pasar;
|
|||||||||||
|
2.
|
Retribusi Jasa Usaha yaitu penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya, penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan, penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa dan pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan;
|
|||||||||||
|
3.
|
Retribusi Perizinan Tertentu yaitu penggunaan tenaga kerja asing dan pengelolaan pertambangan rakyat.
|
|||||||||||
|
|
|
|
||||||||||
|
Dengan Peraturan Daerah ini, diharapkan dapat mendorong secara maksimal terciptanya efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan, meningkatnya mutu pelayanan, dan pada saat yang sama juga mampu mendorong upaya peningkatan penerimaan Retribusi sebagai salah satu komponen pendapatan asli Daerah.
|
||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
Contoh:
Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2021. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2021 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Contoh:
Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2021 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2022 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, saat terutang PKB tetap pada tanggal 5 November setiap tahunnya mengingat PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut. PT Z baru akan membayarkan PKB untuk pertama kalinya atas hasil perjanjian sewa tersebut pada 5 November 2022.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contoh:
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
BBNKB hanya dikenakan terhadap penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor (kendaraan bekas) tidak dikenakan BBNKB.
Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2023 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2024, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2025. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2025 tersebut, terutang BBNKB.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Alat Berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah, meliputi invoice/faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan.
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Alat Berat oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan, meliputi kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan tempat penguasaan adalah wilayah daerah tempat Alat Berat dioperasionalkan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wilayah daerah tempat Air Permukaan berada” adalah wilayah dimana Air Permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
Contoh:
Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan dari hulu sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Contoh Penghitungan:
Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500.000.000,00. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 25%. Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp125.000.000,00. Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan Rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan Rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dan dapat disinergikan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan Rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Termasuk pelayanan administrasi meliputi pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan. Pelayanan administrasi tidak dikenakan Retribusi.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 74
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan aset daerah” adalah pendayagunaan aset daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi OPD dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “izin pertambangan rakyat” adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Ayat (1)
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
|
||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 335
|