Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT
NOMOR 4 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SULAWESI BARAT,
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422);
|
||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
||||
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT
dan
GUBERNUR SULAWESI BARAT
|
|||||
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan |
|||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
|
||||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat.
|
||||
3.
|
Gubernur adalah Gubernur Provinsi Sulawesi Barat.
|
||||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
|
||||
5.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
||||
6.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
||||
7.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Sulawesi Barat.
|
||||
8.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
||||
9.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
10.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
||||
11.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
||||
12.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Gubernur paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
||||
13.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
14.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
||||
15.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas Kepemilikan dan/atau Penguasaan kendaraan bermotor.
|
||||
16.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan kedalam badan usaha.
|
||||
17.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak, penentuan besarnya Pajak yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
|
||||
18.
|
Surat Pemberitahuan Pajak, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
||||
19.
|
Surat Ketetapan Pajak yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
||||
20.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
||||
21.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
|
||||
22.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
||||
23.
|
Kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan alat berat yang namanya tercantum di dalam bukti Kepemilikan atau dokumen yang sah.
|
||||
24.
|
Penguasaan adalah penggunaan dan/atau Penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau badan dengan bukti Penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
|
||||
25.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
||||
26.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
||||
27.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat.
|
||||
28.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
||||
29.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area Parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
||||
30.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||
31.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
||||
32.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
||||
33.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
34.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam yang merupakan mineral yang unsur utamanya terdiri bukan logam, dan batuan merupakan masa padat yang terdiri atas satu jenis mineral atau lebih yang membentuk kerak bumi, baik dalam kedaan terikat maupun lepas.
|
||||
35.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
|
||||
36.
|
Retribusi Jasa Umum adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
|
||||
37.
|
Pelayanan Kesehatan adalah segala kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada seseorang dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan atau pelayanan kesehatan lainnya
|
||||
38.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
||||
39.
|
Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
|
||||
40.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
||||
41.
|
Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
||||
42.
|
Pelataran adalah pelataran di lingkungan pasar yang dapat dimanfaatkan untuk berjualan dalam waktu tertentu setiap hari.
|
||||
43.
|
Los adalah bangunan tetap di lingkungan pasar yang sifatnya terbuka dan tanpa dinding keliling yang dipergunakan untuk berjualan.
|
||||
44.
|
Kios adalah bangunan tetap dalam bentuk petak berdinding keliling dan berpintu yang dipergunakan untuk berjualan.
|
||||
45.
|
Aset Daerah adalah Aset yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang meliputi tanah, rumah dinas, gedung untuk pesta atau resepsi, fasilitas perlengkapan gedung, kendaraan alat-alat berat, kendaraan angkutan dan pemakaian laboratorium.
|
||||
46.
|
Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
|
||||
47.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||
48.
|
Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||
49.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
||||
50.
|
Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
|
||||
51.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
||||
52.
|
Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
|
||||
53.
|
Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan Pajak atau pendapatan daerah. Pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
|||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini terdiri atas:
|
|||||
a.
|
Pajak;
|
||||
b.
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak;
|
||||
c.
|
Retribusi;
|
||||
d.
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||||
e.
|
pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan dan sanksi;
|
||||
f.
|
pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi dalam rangka mendukung kemudahan berusaha dan berinvestasi;
|
||||
g.
|
penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD;
|
||||
h.
|
insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||||
i.
|
optimalisasi penerimaan pendapatan daerah;
|
||||
j.
|
kerahasiaan data Wajib Pajak;
|
||||
k.
|
penyidikan; dan
|
||||
l.
|
ketentuan pidana.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
|||||
(1)
|
Jenis Pajak provinsi yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PKB;
|
|||
|
b.
|
BBNKB;
|
|||
|
c.
|
PAB; dan
|
|||
|
d.
|
PAP.
|
|||
(2)
|
Jenis Pajak provinsi yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PBBKB;
|
|||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PKB
Paragraf 1
Objek Pajak
Pasal 4 |
|||||
(1)
|
Objek PKB yaitu Kepemilikan dan/atau Penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kepemilikan dan/atau Penguasaan atas:
|
||||
|
a.
|
kereta api;
|
|||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
|||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah; dan
|
|||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 5 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PKB yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PKB yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan
Pasal 6 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
||||
|
a.
|
nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
|
|||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
||||
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
||||
(4)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
||||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
||||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
||||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
|||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
|||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
|||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
|||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
|||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
|||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
|||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
|||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
|||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
||||
|
a.
|
Tekanan gandar yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
|||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
|||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
|||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
untuk Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara; dan
|
|||
|
b.
|
untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif dan Cara Penghitungan
Pasal 7 |
|||||
(1)
|
Tarif PKB untuk Kepemilikan dan/atau Penguasaan Kendaraan Bermotor, ditetapkan sebesar 1% (satu persen).
|
||||
(2)
|
Tarif PKB atas Kepemilikan dan/atau Penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
||||
(3)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2).
|
||||
(2)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang, Tahun Pajak dan Wilayah Pemungutan
Pasal 9 |
|||||
Saat terutangnya PKB ditetapkan pada saat terjadinya Kepemilikan dan/atau Penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
|||||
Wilayah pemungutan PKB yang terutang adalah wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BBNKB
Paragraf 1
Objek Pajak
Pasal 11 |
|||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor; dan
|
||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
||||
|
a.
|
kereta api;
|
|||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
|||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah; dan
|
|||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
|||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
|||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
|||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
|||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 12 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB yaitu orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB yaitu orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan
Pasal 13 |
|||||
Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif dan Cara Perhitungan
Pasal 14 |
|||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen)
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||||
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang dan Wilayah Pemungutan
Pasal 16 |
|||||
(1)
|
Saat terutangnya BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
||||
(2)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
||||
(3)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||||
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang adalah wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PAB
Paragraf 1
Objek Pajak
Pasal 18 |
|||||
(1)
|
Objek PAB yaitu Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kepemilikan dan/atau Penguasaan atas:
|
||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
|||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 19 |
|||||
(1)
|
Subjek PAB yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
||||
(2)
|
Wajib PAB yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan
Pasal 20 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.
|
||||
(2)
|
Nilai jual Alat Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
||||
(4)
|
Dasar Pengenaan PAB berpedoman pada peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif dan Cara Penghitungan
Pasal 21 |
|||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||||
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang dan Wilayah Pemungutan
Pasal 23 |
|||||
(1)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat.
|
||||
(2)
|
PAB untuk Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
||||
(3)
|
PAB untuk Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
||||
(4)
|
PAB untuk Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
|
||||
(5)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||||
Wilayah pemungutan PAB yang terutang adalah wilayah daerah tempat Penguasaan Alat Berat.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
PAP
Paragraf 1
Objek Pajak
Pasal 25 |
|||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan Objek PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan yang bertujuan untuk:
|
||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
|||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
|||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
|||
|
d.
|
keperluan keagamaan; dan
|
|||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
|||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 26 |
|||||
(1)
|
Subjek PAP yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||
(2)
|
Wajib PAP yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan
Pasal 27 |
|||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
|
||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
||||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
||||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
||||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
|||
|
b.
|
volume air; dan
|
|||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
|||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif dan Cara Penghitungan
Pasal 28 |
|||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
|||||
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang dan Wilayah Pemungutan
Pasal 30 |
|||||
Saat terutangnya PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
|||||
Wilayah Pemungutan PAP yang terutang adalah wilayah daerah tempat Air Permukaan berada.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PBBKB
Paragraf 1
Objek Pajak
Pasal 32 |
|||||
Objek PBBKB yaitu penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 33 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
||||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
||||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan
Pasal 34 |
|||||
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan Pajak pertambahan nilai.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif dan Cara Penghitungan
Pasal 35 |
|||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
|
||||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
|||||
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang, Masa Pajak dan Wilayah Pemungutan
Pasal 37 |
|||||
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
|||||
Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang adalah wilayah daerah tempat penyerahan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak Rokok
Paragraf 1
Objek Pajak
Pasal 39 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
||||
(3)
|
yang dikecualikan Objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 40 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
||||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
||||
(4)
|
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk, sesuai peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan
Pasal 41 |
|||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||||
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang dan Wilayah Pemungutan
Pasal 44 |
|||||
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||||
Pajak Rokok yang terutang dipungut di wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen Pajak MBLB
Paragraf 1
Objek Pajak
Pasal 46 |
|||||
Objek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB yaitu Pajak MBLB terutang
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Pasal 47 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB adalah subjek Pajak MBLB.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB adalah Wajib Pajak MBLB.
|
||||
(3)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan
Pasal 48 |
|||||
Dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
|||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||||
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan tarif Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Saat Terutang dan Wilayah Pemungutan
Pasal 51 |
|||||
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||||
Masa Pajak untuk Opsen Pajak MBLB yaitu 1 (satu) bulan kalender.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
|||||
Wilayah Pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang adalah wilayah daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB III
MASA PAJAK DAN TAHUN PAJAK
Pasal 54 |
|||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
|
||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi kepala daerah untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IV
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Umum
Paragraf 1
Jenis Retribusi dan Tata Cara Perhitungan Retribusi
Pasal 55 |
|||||
(1)
|
Jenis Retribusi yang dipungut Pemerintah Daerah terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(2)
|
Objek Retribusi yaitu penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
|
||||
(4)
|
Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
||||
(5)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
|||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
|
||||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
|
||||
(3)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Peninjauan Tarif Retribusi
Pasal 58 |
|||||
(1)
|
Tarif Retribusi dapat ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
||||
(3)
|
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Jenis Pelayanan, Subyek dan Wajib Retribusi, Penetapan dan Sasaran Penetapan Tarif
Pasal 59 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dipungut Pemerintah Daerah yaitu Pelayanan Kesehatan.
|
||||
(2)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a yang tidak dipungut Pemerintah Daerah yaitu:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kebersihan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan Parkir di tepi jalan umum; dan
|
|||
|
c.
|
pelayanan pasar.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
||||
(4)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(5)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(6)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(7)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang membidangi urusan keuangan, menteri yang membidangi urusan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak peraturan Gubernur ditetapkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
|||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
biaya operasi dan pemeliharaan;
|
|||
|
b.
|
biaya bunga; dan
|
|||
|
c.
|
biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan
Pasal 62 |
|||||
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) yaitu Pelayanan Kesehatan di balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat Pelayanan Kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Umum Pelayanan Kesehatan diukur berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
jumlah;
|
|||
|
b.
|
jenis tindakan;
|
|||
|
c.
|
pemberi tindakan;
|
|||
|
d.
|
pemakaian alat; dan
|
|||
|
e.
|
frekuensi;
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Jenis Pelayanan, Subyek dan Wajib Retribusi, Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif
Pasal 64 |
|||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
|||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan;
|
|||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
|||
|
e.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
|||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
|||
|
g.
|
pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status Kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang membidangi urusan keuangan, menteri yang membidangi urusan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak peraturan Gubernur ditetapkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
|||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
Pasal 67 |
|||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a adalah penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya diukur berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
jenis fasilitas;
|
|||
|
b.
|
volume fasilitas; dan
|
|||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian fasilitas.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan,Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya Dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
Pasal 69 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan diukur berdasarkan penggunaan fasilitas yang disediakan di tempat pelelangan dan nilai transaksi jual beli.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
Pasal 70 |
|||||
Penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam 64 ayat (1) huruf c adalah penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha Penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
jenis kendaraan; dan
|
|||
|
b.
|
jangka waktu kendaraan menggunakan tempat Parkir.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
Pasal 72 |
|||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf e adalah pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha Pelayanan Jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan jangka waktu pemakaian tempat tambat kapal, bongkar muat barang dan orang di pelabuhan atau dermaga.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha Pelayanan Jasa Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Penyediaan Tempat Penginapan atau pesanggrahan atau vila
Pasal 74 |
|||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf d adalah penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha penyediaan tempat penginapan, pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
jenis fasilitas; dan
|
|||
|
b.
|
jangka waktu pemakaian fasilitas.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
Pasal 76 |
|||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam 64 ayat (1) huruf f adalah penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah diukur berdasarkan pada jumlah penjualan hasil produksi usaha daerah.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Pemanfaatan Aset Daerah
Pasal 78 |
|||||
(1)
|
Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam 64 ayat (1) huruf g termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan Barang Milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan Barang Milik Daerah berupa:
|
||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||
|
b.
|
kerjasama pemanfaatan;
|
|||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||
|
d.
|
kerjasama penyediaan infrastruktur.
|
|||
(3)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan Barang Milik Daerah.
|
||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan Barang Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan Barang Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan Barang Milik Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha pemanfaatan Aset Daerah diukur berdasarkan jenis dan volume serta jangka waktu pemanfaatan Aset Daerah.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Jenis Pelayanan, Subyek dan Wajib Retribusi, Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif
Pasal 80 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (1) huruf c, meliputi:
|
||||
|
a.
|
penggunaan TKA; dan
|
|||
|
b.
|
pengelolaan Pertambangan Rakyat.
|
|||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
|||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penggunaan TKA
Pasal 83 |
|||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a adalah pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dikenakan pungutan Retribusi adalah khusus untuk penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Perizinan Tertentu penggunaan TKA diukur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
(2)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu Penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Pasal 85 |
|||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b adalah pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
||||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
|||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya yang merupakan penduduk setempat.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa Retribusi Perizinan Tertentu Pengelolaan Pertambangan Rakyat diukur berdasarkan diukur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pertambangan mineral dan batubara.
|
||||
(2)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu Pengelolaan Pertambangan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada biaya pengelolaan pertambangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 87 |
|||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) antara lain surat ketetapan Pajak Daerah.
|
||||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain surat pemberitahuan Pajak Daerah.
|
||||
(3)
|
Dokumen surat pemberitahuan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(4)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan surat ketetapan Retribusi atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
||||
(5)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).
|
||||
(2)
|
Pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
||||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
|
||||
(4)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) dalam satuan rupiah untuk setiap Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).
|
||||
(5)
|
Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung dari sejak saat terutangnya pajak.
|
||||
(6)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
||||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
||||
|
a.
|
terdampak bencana alam;
|
|||
|
b.
|
terdampak bencana non alam;
|
|||
|
c.
|
mengalami kecelakaan yang menyebabkan cacat seumur hidup; dan/atau
|
|||
|
d.
|
meninggal dunia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
|||||
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
||||
(2)
|
Tata cara pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peraturan mengenai:
|
||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendapatan;
|
|||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
|||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
|||
|
d.
|
pelaporan;
|
|||
|
e.
|
penguran, pembetulan dan pembatalan ketetapan;
|
|||
|
f.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
g.
|
pemeriksaan Pajak;
|
|||
|
h.
|
keberatan;
|
|||
|
i.
|
gugatan;
|
|||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
|
|||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(3)
|
Pembayaran dan penyetoran Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
||||
(4)
|
Dalam sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak daerah dan Retribusi daerah dapat dilakukan dengan pembayaran tunai.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, PEMBEBASAN DAN SANKSI
Pasal 90 |
|||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
|
||||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
||||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang dapat diberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran, meliputi:
|
||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak dan Wajib Retribusi merupakan pelaku usaha mikro dan ultra mikro; dan/atau
|
|||
|
c.
|
Wajib Pajak dan Wajib Retribusi mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas daerah dan/atau program prioritas nasional.
|
|||
(4)
|
Kondisi objek Pajak atau objek Retribusi yang dapat diberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran, meliputi:
|
||||
|
a.
|
objek Pajak atau objek Retribusi terkena bencana alam;
|
|||
|
b.
|
digunakan untuk melaksanakan kegiatan keagamaan; dan/atau
|
|||
|
c.
|
tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
|||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada wajib Pajak berupa:
|
||||
|
a.
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
|||
|
b.
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
|||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas tau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
||||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
|||
|
b.
|
menyetujui Sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
|||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
||||
|
a.
|
bencana alam;
|
|||
|
b.
|
kebakaran;
|
|||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
|||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
|||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
|||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VII
PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERINVESTASI
Pasal 92 |
|||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerah.
|
||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksi.
|
||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, antara lain:
|
||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
|
|||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
|||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
|||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas daerah; dan/atau
|
|||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
|||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM APBD
Pasal 93 |
|||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
||||
|
a.
|
kebijakan makro ekonomi daerah; dan
|
|||
|
b.
|
potensi Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing daerah.
|
||||
(3)
|
Kebijakan makro ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan APBN.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IX
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 94 |
|||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB X
OPTIMALISASI PENERIMAAN PENDAPATAN DAERAH
Pasal 95 |
|||||
(1)
|
Optimalisasi Penerimaan Pendapatan Daerah dilakukan melalui:
|
||||
|
a.
|
intensifikasi
|
|||
|
b.
|
ekstensifikasi
|
|||
(2)
|
Optimalisasi penerimaan pendapatan daerah melalui intensifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara:
|
||||
|
a.
|
melakukan pendataan objek Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
b.
|
melakukan pemungutan Pajak dan penagihan pembayaran iuran Retribusi;
|
|||
|
c.
|
menambah objek dan subyek Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
d.
|
meningkatkan besarnya penetapan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
e.
|
meminimalisir potensi tunggakan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
f.
|
menetapkan kebijakan baru untuk meningkatkan penerimaan Pajak dan Retribusi dari data yang sudah dimiliki;
|
|||
|
g.
|
meningkatkan kinerja Aparatur Sipil Negara yang ditugaskan untuk menagih Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
h.
|
melakukan kerja sama dengan swasta, Bank Pembangunan Daerah dan Bank-bank BUMN lainnya untuk pengelolaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
i.
|
melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi penerimaan pendapatan daerah; dan
|
|||
|
j.
|
menyelenggarakan sistem komputerisasi penerimaan daerah.
|
|||
(3)
|
Optimalisasi penerimaan pendapatan daerah melalui ekstensifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara:
|
||||
|
a.
|
menambah jumlah Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
|
|||
|
b.
|
menggali potensi Pajak dan Retribusi yang bisa didapatkan dari Wajib Pajak daerah dan Wajib Retribusi daerah;
|
|||
|
c.
|
menetapkan target peningkatan jumlah Wajib Pajak dan subjek Pajak serta objek Pajak dan menghasilkan tambahan Wajib Pajak yang dapat turut berpartisipasi dalam membayarkan Pajak;
|
|||
|
d.
|
perluasan cakupan Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban membayar Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
e.
|
meningkatkan kinerja Perangkat Daerah untuk melakukan kegiatan proaktif mencari Wajib Pajak dan Wajib Retribusi agar melaksanakan kewajiban perpajakan; dan
|
|||
|
f.
|
melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kewajiban yang dimilikinya.
|
|||
(4)
|
Untuk kelancaran optimalisasi penerimaan pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) perlu dibentuk Tim Optimalisasi Penerimaan Pendapatan Daerah, yang anggotanya terdiri atas unsur-unsur;
|
||||
|
a.
|
Perangkat Daerah yang terkait dengan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
|
b.
|
Inspektorat Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
Satpol PP; dan
|
|||
|
d.
|
Unsur lain yang dianggap perlu.
|
|||
(5)
|
Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 96 |
|||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
|||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
|||
(4)
|
Untuk kepentingan daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2),untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 97 |
|||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
|||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
|
|||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
|
|||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
|
|||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
|||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
|
|||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
|||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
|
|||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
|||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
|||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
||||
(5)
|
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik Pegawai Negeri Sipil bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Kepala Satpol PP.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 98 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
|||||
Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau Masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
|||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
|||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
|||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 100 dan Pasal 101 merupakan pendapatan negara.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
Pasal 103 |
|||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
||||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok, yang menjadi bagian provinsi, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 104 |
|||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
||||
(4)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
|||||
(1)
|
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB dan Opsen Pajak MBLB, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||
(2)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
||||
(3)
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 107 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
|
|||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 8 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Provinsi Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 54);
|
||||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak (Lembaran Daerah Provinsi Tahun 2011 Nomor 01, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 56) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2018 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 90);
|
||||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 01 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2012 Nomor 01, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 60); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2020 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 100);
|
||||
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 02 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Tahun 2012 Nomor 02, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 61); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2020 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 101);
|
||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
|||||
Peraturan Pelaksana dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
|||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 6 Januari 2024.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Mamuju
pada tanggal 18 April 2024
Pj. GUBERNUR SULAWESI BARAT,
ttd.
ZUDAN ARIF FAKRULLOH
Diundangkan di Mamuju
pada tanggal 18 April 2024
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT,
ttd.
MUHAMMAD IDRIS
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT TAHUN 2024 NOMOR 4
|
|||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT
NOMOR 4 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Untuk mewujudkan Provinsi Sulawesi Barat yang maju dan malaqbiq, kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) tentu sangat diharapkan terutama dalam membangun sumber daya manusia berkualitas, berkepribadian dan berbudaya; mewujudkan pemerintah bersih, modern, dan terpercaya; membangun dan menguatkan konektivitas antar wilayah berbasis unggulan strategis; meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inovatif dan berdaya saing tinggi; dan mendorong pengarusutamaan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan.
PAD memiliki peran yang sangat strategis bagi setiap pemerintah daerah. PAD tidak saja sekedar penerimaan pemerintah daerah yang bersumber dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PAD menjadi tolak ukur untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian Daerah serta memperkuat struktur penerimaan Daerah. Oleh karena itu, kontribusi PAD dalam struktur APBD harus senantiasa ditingkatkan karena merupakan salah satu tolak ukur kemampuan dan cermin kemandirian Daerah. Rendahnya kontribusi PAD dianggap sebagai hambatan dalam penyelenggaraan pembangunan dan ini harus segera dievaluasi secara sungguh-sungguh oleh masing-masing Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan pelayanan dan fasilitasi kepada masyarakat.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) ini merupakan momentum untuk mengevaluasi secara komprehensif pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia yang dapat meningkatkan urgensi untuk melakukan penyesuaian desain regulasi dan tata kelembagaan bagi Pemerintah Daerah, harapannya kontribusi Pajak terhadap Pendapatan Asli Daerah dapat meningkat. Untuk itu dalam menyelenggarakan urusan yang diserahkan kepada Daerah, maka Daerah memerlukan sumber daya keuangan, baik berupa sumber daya yang dimobilisasi dari daerah itu sendiri maupun subsidi dari pemerintah pusat. Karena pada prinsipnya, daerah menjalankan sejumlah kewajiban yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Sesuai dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, jenis-jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi, yaitu: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Alat Berat (PAB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan (PAP), Pajak Rokok dan Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Selanjutnya dalam Pasal 87, diatur jenis-jenis Retribusi, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dipandang sangat urgen untuk dapat menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat tentang Pajak dan Retribusi (PDRD) yang akan dijadikan dasar dalam peningkatan kualitas pelayanan publik yang memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi peningkatan PAD di sektor Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Perkada dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda. Contoh: Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi.
Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
Perkada:
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Yang dimaksud dengan “tempat khusus Parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus Parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus Parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah:
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “izin pertambangan rakyat” adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek Pajak.
Intensifikasi Pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan Pajak terhadap objek serta subjek Pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi penerimaan, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 120
|