Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU
NOMOR 2 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR RIAU,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Pasal 23 ayat (4), ayat (5), Pasal 26 ayat (2), Pasal 58 ayat (8), Pasal 70 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2022 tentang Provinsi Riau (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6808);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 244 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH RIAU
dan
GUBERNUR RIAU
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah adalah Provinsi Riau.
|
|||||||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||||||
3.
|
Gubernur adalah Gubernur Riau.
|
|||||||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau.
|
|||||||
5.
|
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah pemerintah daerah kabupaten/kota di Riau.
|
|||||||
6.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||||||
7.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||||||
8.
|
Peraturan Gubernur adalah peraturan yang dibuat oleh Gubernur Riau.
|
|||||||
9.
|
Kas Daerah adalah Kas Daerah Provinsi Riau.
|
|||||||
10.
|
Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Gubernur untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
|
|||||||
11.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
|
|||||||
12.
|
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau dengan persetujuan bersama Gubernur.
|
|||||||
13.
|
Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT adalah unsur pelaksana teknis untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu di Daerah.
|
|||||||
14.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
15.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
16.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak.
|
|||||||
17.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
18.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
19.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
20.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
|
|||||||
21.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
22.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
23.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
24.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
25.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
26.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
27.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
28.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
29.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||||||
30.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||||||
31.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
32.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||||||
33.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
34.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||
35.
|
Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
|
|||||||
36.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||||||
37.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
38.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
39.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
40.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Gubernur paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
|
|||||||
41.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
42.
|
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
43.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
44.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||
45.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||||
46.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
47.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
48.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
49.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||||
50.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||||||
51.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||||||
52.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
53.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||||
54.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
55.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
56.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
57.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
58.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
59.
|
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat pegawai negeri sipil yang diberi tugas melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
60.
|
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||||||
Jenis Pajak yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
PKB;
|
|||||||
b.
|
BBNKB;
|
|||||||
c.
|
PAB;
|
|||||||
d.
|
PBBKB;
|
|||||||
e.
|
PAP;
|
|||||||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||||||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PKB;
|
||||||
|
b.
|
BBNKB;
|
||||||
|
c.
|
PAB; dan
|
||||||
|
d.
|
PAP.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBBKB;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||||||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PKB
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat;
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan;dan
|
||||||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang berfungsi sebagai ambulans, Pemadam Kebakaran dan Pelayanan Kebersihan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||||||
|
a.
|
nilai jual kendaraan bermotor; dan
|
||||||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
|
||||||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan Nilai Jual Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(5)
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipublikasikan secara cetak dan elektronik serta dapat diakses masyarakat secara luas.
|
|||||||
(6)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
harga kendaraan bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||||||
|
b.
|
penggunaan kendaraan bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||||||
|
c.
|
harga kendaraan bermotor dengan merek kendaraan bermotor yang sama;
|
||||||
|
d.
|
harga kendaraan bermotor dengan tahun pembuatan kendaraan bermotor yang sama;
|
||||||
|
e.
|
harga kendaraan bermotor dengan pembuat kendaraan bermotor;
|
||||||
|
f.
|
harga kendaraan bermotor dengan kendaraan bermotor sejenis; dan
|
||||||
|
g.
|
harga kendaraan bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||||||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi;dan
|
||||||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||||||
(9)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan bermotor;
|
||||||
|
b.
|
jenis bahan bakar kendaraan bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||||||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB untuk kendaraan bermotor baru berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
|
|||||||
(11)
|
Dasar pengenaan PKB untuk selain kendaraan bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dengan memperhatikan penyusutan nilai jual kendaraan bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||||||
(12)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, dan angkutan sekolah ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah pusat, dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||||||
(3)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) atau ayat (2) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
PKB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor.
|
|||||||
(2)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran kendaraan bermotor.
|
|||||||
(3)
|
PKB dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BBNKB
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
kendaraan bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat;
|
||||||
|
d.
|
kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
e.
|
kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai ambulans, pemadam kebakaran dan pelayanan kebersihan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
|
||||||
(4)
|
Termasuk penyerahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||||||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||||||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||||||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut kendaraan bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||
Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri yang mengatur mengenai nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama kendaraan bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||||||
(4)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran kendaraan bermotor.
|
|||||||
(5)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran kendaraan bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PAB
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
||||||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
PAB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
PAB dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||||||
(3)
|
PAB dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
PBBKB
Pasal 21 |
||||||||
Objek PBBKB adalah penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar kendaraan bermotor kepada konsumen atau pengguna kendaraan bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||||
(1)
|
Subjek PBBKB adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia bahan bakar kendaraan bermotor yang menyerahkan bahan bakar kendaraan bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia bahan bakar kendaraan bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Penyedia bahan bakar kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 adalah produsen dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
Dasar Pengenaan PBBKB merupakan nilai jual bahan bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
untuk jenis BBKB yang disubsidi oleh Pemerintah sebesar 5% (lima persen); dan
|
||||||
|
b.
|
untuk jenis BBKB non subsidi ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50 % (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar kendaraan bermotor oleh penyedia bahan bakar kendaraan bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar kendaraan bermotor kepada konsumen atau pengguna kendaraan bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAP
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Tata cara pemungutan Pajak Air Permukaan diatur melalui peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAP merupakan nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||||||
|
b.
|
volume air; dan
|
||||||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||||||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat air permukaan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Rokok
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi pemerintah pusat yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh pemerintah pusat terhadap rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen MBLB
Pasal 36 |
||||||||
Objek Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Opsen Pajak MBLB dipungut oleh instansi kabupaten atau kota di wilayah provinsi yang berwenang memungut Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak MBLB terutang.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah Pemungutan Opsen MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
(5)
|
Bagian tahun pajak merupakan bagian jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender sebagai dasar penghitungan PAP.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Pasal 42 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah Provinsi dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||||||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
|
|||||
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
|
|||||
|
b.
|
Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||||||
|
c.
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||||||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
|
|||||||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah Provinsi, dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||||||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di Provinsi; dan
|
||||||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi.
|
||||||
(4)
|
Alokasi Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari Kas Daerah ke kas daerah kabupaten/kota.
|
|||||||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 44 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis pajaknya.
|
|||||||
(3)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 45 |
||||||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||
(2)
|
Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Jenis Pelayanan Retribusi Jasa Umum
Pasal 46 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a yaitu pelayanan kesehatan.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan Jasa Umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan
Pasal 47 |
||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) merupakan pelayanan kesehatan di puskesma, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 48 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 49 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(5)
|
Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Jenis Pelayanan Retribusi Jasa Usaha
Pasal 51 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan Dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
Pasal 52 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
Pasal 53 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Penyediaan Tempat Penginapan atau Pesanggrahan atau Vila
Pasal 54 |
||||||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
Pasal 55 |
||||||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
Pasal 56 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
Pasal 57 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah
Pasal 58 |
||||||||
Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf g adalah pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||
(1)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungannya dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(2)
|
Penetapan Peraturan Gubernur untuk pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(3)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi Daerah;
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(4)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 60 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhanan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
e.
|
penjualan produksi usaha daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha daerah; dan
|
||||||
|
f.
|
pemanfaatan aset daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 61 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Jenis Pelayanan Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 63 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
||||||
|
b.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(4)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Penggunaan Tenaga Kerja Asing bagi:
|
|||||||
|
a.
|
instansi pemerintah;
|
||||||
|
b.
|
perwakilan negara asing;
|
||||||
|
c.
|
badan internasional;
|
||||||
|
d.
|
lembaga sosial;
|
||||||
|
e.
|
lembaga keagamaan; dan
|
||||||
|
f.
|
jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Pasal 65 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan pemerintah pusat di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||||||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||||||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 66 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu pelayanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan atau formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 67 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan pemberian izin pengelolaan Pertambangan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran retribusi terutang.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(4)
|
Struktur dan besaran tarif retribusi perizinan tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(5)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(6)
|
Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi perizinan tertentu.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang ketenagakerjaan.
|
|||||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 69 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Paragraf 1
Umum
Pasal 70 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(2)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek pajak untuk memperoleh, melengkapi dan menatausahakan data objek pajak dan/atau wajib pajak termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||||||
(6)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, dan putusan banding merupakan dasar penagihan Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan pajak diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penetapan Besaran Pajak
Pasal 71 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||||
(4)
|
Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
|
|||||||
(5)
|
Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif, kecuali PKB.
|
|||||||
(6)
|
Penetapan PKB dan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(7)
|
Penetapan besarnya PAB terutang dalam SKPD dihitung untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat secara sah.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||||||
(9)
|
Untuk PKB, Opsen PKB, dan PAB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
|
|||||||
(3)
|
Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||
(5)
|
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).
|
|||||||
(6)
|
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) huruf b sampai dengan huruf d paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal terjadi perubahan besaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) besaran sanksi administratif disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan besaran sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan tata cara pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pelaporan
Pasal 73 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(2)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu Masa Pajak.
|
|||||||
(4)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Gubernur setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Berdasarkan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeure).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
|
|||||||
(4)
|
Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(5)
|
Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pembetulan dan Pembatalan ketetapan
Pasal 77 |
||||||||
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan STPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan Penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam rangka Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
|
|||||||
(6)
|
Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
|
|||||||
|
a.
|
mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
|
||||||
|
b.
|
membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pemungutan Opsen MBLB
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) dilakukan bersamaan dengan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Pembayaran Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke kas Daerah dilakukan bersamaan dengan pembayaran Pajak MBLB ke kas daerah kabupaten/kota dalam SSPD Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, bupati/wali kota melakukan Penagihan.
|
|||||||
(4)
|
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), termasuk Penagihan sanksi administratif atas Opsen Pajak MBLB.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal bupati/wali kota telah menerima pembayaran atas Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bupati/wali kota menyetorkan bagian Opsen Pajak MBLB ke kas Daerah paling lama 3 (tiga) hari kerja.
|
|||||||
(6)
|
Pelaporan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam SPTPD Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran Pajak MBLB kepada bupati/wali kota, pengembalian kelebihan pembayaran Pajak MBLB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, bupati/wali kota menerbitkan SKPDLB Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernur, paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan.
|
|||||||
(4)
|
Gubernur menerbitkan SKPDLB Opsen Pajak MBLB berdasarkan SKPDLB Pajak MBLB, pada hari penerbitan atau paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima.
|
|||||||
(5)
|
Gubernur dan bupati/wali kota mengembalikan kelebihan pembayaran Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB kepada Wajib Pajak berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
|
|||||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB; dan
|
||||||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB,
|
||||||
|
Pemerintah Daerah bersinergi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Daerah kabupaten/kota bersinergi dengan Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, Opsen BBNKB, Pajak MBLB, dan Opsen Pajak MBLB, atau bentuk sinergi lainnya.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara Daerah dan kabupaten/kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB, diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Rekonsiliasi
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Gubernur, dan bank tempat pembayaran PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB melakukan rekonsiliasi data penerimaan PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB serta Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB setiap triwulan.
|
|||||||
(2)
|
Rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencocokkan:
|
|||||||
|
a.
|
SKPD atau SPTPD;
|
||||||
|
b.
|
SSPD;
|
||||||
|
c.
|
rekening koran bank; dan
|
||||||
|
d.
|
dokumen penyelesaian kekurangan pembayaran Pajak dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dengan dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
Pasal 83 |
||||||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
|
|||||||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||||||
|
b.
|
Pemerintah Daerah lain; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
pihak ketiga.
|
||||||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
b.
|
pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
c.
|
pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
|
||||||
|
d.
|
pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
|
||||||
|
e.
|
peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
|
||||||
|
f.
|
penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
|
||||||
|
g.
|
kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
|
||||||
(3)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
|
|||||||
(4)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, sampai dengan huruf g.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat:
|
|||||||
|
a.
|
mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1); dan
|
||||||
|
b.
|
menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1).
|
||||||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
|
|||||||
(3)
|
Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Gubernur bersama mitra kerja sama.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
subjek kerja sama;
|
||||||
|
b.
|
maksud dan tujuan;
|
||||||
|
c.
|
ruang lingkup;
|
||||||
|
d.
|
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
|
||||||
|
e.
|
jangka waktu perjanjian;
|
||||||
|
f.
|
sumber pembiayaan;
|
||||||
|
g.
|
penyelesaian perselisihan;
|
||||||
|
h.
|
sanksi;
|
||||||
|
i.
|
korespondensi; dan
|
||||||
|
j.
|
perubahan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
|||||||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Paragraf 1
Umum
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke Kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||||||
(2)
|
Pembayaran atau penyetoran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia atau terjadi kendala pada sistem pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembayaran atau penyetoran Retribusi dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||
(5)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke Kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(7)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
|||||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Pemungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
|
|||||||
(4)
|
Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
|
|||||||
(6)
|
ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan dan Pembebasan
Pasal 89 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak atau objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak atau objek Retribusi sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak atau objek Retribusi yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 90 |
||||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pokok Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bukan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu).
|
|||||||
(10)
|
Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 91 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan;
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
Pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur untuk menandatangani perjanjian Kerjasama.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
SISTEM INFORMASI PENGELOLAAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Pasal 92 |
||||||||
(1)
|
Gubernur membangun sistem informasi pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berbasis elektronik.
|
|||||||
(2)
|
Pembangunan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi pengelolaan pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 93 |
||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal wajib pajak atau wajib retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah, daerah dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda dan atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(5)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang belum atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(6)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6), meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 96 |
||||||||
(1)
|
Pejabat PPNS di lingkungan Pemerintah Daerah dapat diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran dalam ketentuan Peraturan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Dalam melaksanakan tugas penyidikan para pejabat PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
|||||||
|
a.
|
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
|
||||||
|
b.
|
melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
|
||||||
|
c.
|
menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
|
||||||
|
d.
|
melakukan pemeriksaan dan penyitaan benda atau surat;
|
||||||
|
e.
|
mengambil sidik jari dan memotret orang lain/seseorang;
|
||||||
|
f.
|
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
g.
|
mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
|
||||||
|
h.
|
mengadakan penghentian penyidikan; dan
|
||||||
|
i.
|
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
||||||
(3)
|
Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam pidana kurungan atau pidana denda sesuai Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam pidana kurungan atau pidana denda sesuai Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam pidana kurungan atau pidana denda sesuai Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dan Pasal 99 merupakan pendapatan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 102 |
||||||||
(1)
|
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||||||
(2)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, seluruh penerimaan Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dibagihasilkan berdasarkan Peraturan Daerah mengenai bagi hasil Pajak yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 93, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan Aparatur Sipil Negara yang telah memertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 103 |
||||||||
(1)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku,
|
|||||||
|
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Riau Tahun 2011 Nomor 8);
|
||||||
|
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Riau Tahun 2015 Nomor 4);
|
||||||
|
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 15 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Riau Tahun 2018 Nomor 15);
|
||||||
|
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 19 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Riau Tahun 2018 Nomor 19); dan
|
||||||
|
e.
|
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan daerah Nomor 19 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Riau Tahun 2023 Nomor 4),
|
||||||
|
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||||
(2)
|
Semua Peraturan Gubernur yang berkaitan dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan setelah Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||||||
Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Riau.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Pekanbaru
pada tanggal 5 Januari 2024
GUBERNUR RIAU
ttd.
EDY NASUTION
Diundangkan di Pekanbaru
pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI RIAU,
ttd.
S. F. HARIYANTO
LEMBARAN DAERAH PROVINSI RIAU TAHUN 2024 NOMOR: 2
|
||||||||
|
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU
NOMOR 2 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur mengenai penguatan sistem Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) melalui restrukturisasi dan konsolidasi jenis PDRD, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru, dan penyederhanaan jenis retribusi daerah. Penguatan PDRD juga dilakukan dalam rangka mendorong kemudahan berusaha dan penciptaan lapangan kerja serta memberikan dukungan terhadap usaha kecil berupa skema insentif bagi usaha mikro serta ultra mikro. Rangkaian kebijakan baru tersebut yang dibarengi dengan komitmen daerah untuk meningkatkan kualitas pemungutan, diyakini akan mampu meningkatkan kemampuan fiskal daerah. Amanat dari Undang-Undang ini pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah diatur dalam satu peraturan daerah.
Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 hanya ada 5 jenis Pajak Daerah yaitu: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk di dalamnya kendaraan bermotor alat berat), Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor,pajak air permukaan dan pajak rokok. Sedangkan berdasarkan UU No. 1 tahun 2022 ada 7 jenis pajak daerah: PKB, BBNKB, PAB,PBBKB, PAP, Pajak Rokok dan Opsen Pajak MBLB. Disamping itu besaran tarif pajak daerah juga mengalami perubahan jika merujuk UU No. 1 Tahun 2022.
Upaya mewujudkan kemandirian daerah melalui UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan penyempurnaan regulasi daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah.
Dengan kebijakan yang diatur melalui peraturan daerah ini, diharapkan terdapat legalitas dan kepastian dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha serta mewujudkan kemandirian daerah dalam pengelolaan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah menuju arah kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan kendaraan bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
Contoh:
Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2021. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil y pada tanggal 5 November 2021 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.
Yang dimaksud dengan penguasaan adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik kendaraan bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Contoh:
Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2021 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT.Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2022 untuk masa sewa selam 3 (tiga) tahun, dimana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT.Z menanggung beban pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, saat terutang PKB tetap pada tanggal 5 November setiap tahunnya mengingat PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut. PT. Z baru akan membayarkan PKB untuk pertama kalinya atas hasil perjanjian sewa tersebut pada 5 November 2022.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Keadaan kahar meliputi:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada prinsipnya saat terutangnya pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan syarat subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak mengenai UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan syarat objektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek pajak mengenai UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan alat berat yang namanya tercantum dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah meliputi invoice/faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan.
Yang dimaksud dengan penguasaan adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan meliputi bukti kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan wilayah daerah tempat air permukaan berada adalah wilayah dimana air permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
Contoh:
Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari hulu sungai x. Hulu sungai x sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai x, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah Provinsi B.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Contoh penghitungan:
Pada tanggal 13 Desember 2025, wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500 juta. Tarif pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif opsen pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25%. Maka dalam SPTPD anak MBLB yang dilaporkan oleh wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
Total Pajak MBLB dan opsen Pajak MBLB terutang = Rp125 juta
Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X, sedangkan opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi X.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk optimalisasi pemungutan pajak dan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis pajaknya seperti dukungan sarana dan prasarana dan program optimalisasi pemungutan pajak lainnya.
Ayat (3)
Kegiatan penegakan hukum paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah dan dapat disinergikan dengan direktorat jenderal bea dan cukai. Penggunaan hasil penerimaan pajak rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi membiayai kegiatan dimaksud.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek sepanjang perubahan detail rincian objek tersebut berada dalam satu rincian objek. Contoh perubahan detail rincian objek, misal: RSUD X pada Provinsi Riau menyediakan pelayanan penyakit mulut dan konservasi gigi kepada masyarakat. Beberapa tahun kemudian, RSUD X menyediakan pelayanan baru berupa kemoterapi, farmasi dan bedah mulut. Maka, untuk memungut Retribusi atas pelayanan kemoterapi, farmasi dan bedah mulut, Pemda Provinsi Riau dapat menambahkan pelayanan kemoterapi dalam Perkada sebagai berikut:
Penyesuaian detail rincian objek dari setiap retribusi antara lain berdasarkan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang dimaksud antara lain rincian objek layanan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau hasil kajian pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 47
Termasuk pelayanan administrasi meliputi pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan. Pelayanan administrasi tidak dikenakan Retribusi.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 53
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perangkat Daerah (PD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f
Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah Jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada Peraturan Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “izin pertambangan rakyat” adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Pemanfaatan penerimaan retribusi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan menjamin atau memprioritaskan pengadaan, pemeliharaan dan pengembangan sarana dan prasarana dalam mendukung pelayanan secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Contoh
Misal, berdasarkan pendataan oleh Provinsi A didapati bahwa pada tanggal 1 April 2022, Tuan X yang berlokasi di Provinsi A, memiliki 100 Alat Berat sejak 15 Januari 2022. Dari jumlah tersebut:
Berdasarkan kondisi tersebut, Gubernur Provinsi A dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 80 Alat Berat untuk Tuan X yaitu 70 Alat Berat yang disewakan kepada Tuan Z dan 10 Alat Berat yang belum disewakan, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 15 Januari 2022.
Di sisi lain, Provinsi B melakukan pendataan dan didapati bahwa pada tanggal 1 April 2022, terdapat 20 Alat Berat yang disewa oleh Tuan Y tersebut di atas. Untuk itu, Gubernur Provinsi B dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 20 Alat Berat yang disewa Tuan Y sebagai Wajib Pajak untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 1 Februari 2022.
Ayat (8)
Contoh
Atas suatu Alat Berat yang dikuasai oleh PT. Z di wilayah Provinsi A, Gubernur Provinsi A menerbitkan SKPD atas PAB terutang sejak tanggal 1 April tahun 2023 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut hingga 31 Maret 2024. Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat ke wilayah Provinsi B sebelum tanggal 1 April 2024, maka Alat Berat dimaksud tidak dikenakan PAB oleh Provinsi B. Selanjutnya, atas Alat Berat dimaksud baru dapat dikenakan PAB pada tanggal 1 April 2024 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berikutnya oleh provinsi tempat penguasaan Alat Berat dimaksud.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dilarang diborongkan” adalah bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “tanggal pengiriman SKPD” adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud sinergi pendanaan adalah alokasi Opsen PKB digunakan untuk mendukung kegiatan pemungutan PKB dan peningkatan sarana dan prasarana yang bertujuan untuk optimalisasi penerimaan PKB.
Yang dimaksud sinergi pendanaan adalah alokasi Opsen BBNKB digunakan untuk mendukung kegiatan pemungutan BBNKB dan peningkatan sarana dan prasarana yang bertujuan untuk optimalisasi penerimaan BBNKB.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan Pajak.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “pengawasan Wajib Pajak bersama” merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Contoh: Fiscus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh Penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik/PPMSE.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan 'pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi' adalah pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemda, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Contoh:
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR: 2
|