Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG
NOMOR 4 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR LAMPUNG,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||||
a.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||||||||
b.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b maka perlu menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Lampung dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 8) menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2688);
|
|||||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
|||||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
|
|||||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||||||||
6.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||||
11.
|
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
|
|||||||||
12.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);
|
|||||||||
13.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI LAMPUNG
DAN
GUBERNUR LAMPUNG
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||||
Menetapkan |
||||||||||
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
1.
|
Daerah adalah Provinsi Lampung.
|
|||||||||
2.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||||
3.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Provinsi Lampung.
|
|||||||||
4.
|
Gubernur adalah Gubernur Lampung.
|
|||||||||
5.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Lampung.
|
|||||||||
6.
|
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung.
|
|||||||||
7.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.
|
|||||||||
8.
|
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
9.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||||
10.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||||
11.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||||
12.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
13.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, Jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||||
14.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||||||
15.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||||
16.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||||
17.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||||
18.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||||
19.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||||||
20.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||||||||
21.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||||
22.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||||
23.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||||||
24.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||||||||
25.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||||||||
26.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||||
27.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
28.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||||
29.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||||
30.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||||
31.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||||
32.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||||||||
(1)
|
Jenis Pajak yang dipungut terdiri atas:
|
|||||||||
|
a.
|
PKB;
|
||||||||
|
b.
|
BBNKB;
|
||||||||
|
C.
|
PAB;
|
||||||||
|
d.
|
PBBKB;
|
||||||||
|
e.
|
PAP;
|
||||||||
|
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
||||||||
|
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
|||||||||
|
a.
|
PKB;
|
||||||||
|
b.
|
BBNKB;
|
||||||||
|
c.
|
PAB; dan
|
||||||||
|
d.
|
PAP.
|
||||||||
(3)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||||||
|
a.
|
PBBKB;
|
||||||||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||||||||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PKB
Pasal 3 |
||||||||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||||
|
a.
|
Kereta Api;
|
||||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat; dan
|
||||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||||||||
|
a.
|
nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
|
||||||||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(4)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||||||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||||||||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||||||||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||||||||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||||||||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||||||||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||||||||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||||||||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||||||||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
|||||||||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu atau as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||||||||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder;
|
||||||||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB untuk kendaraan bermotor baru berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
|
|||||||||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dengan memperhatikan nilai penyusutan, nilai jual kendaraan bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||||||||
(11)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||||
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||||
|
a.
|
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan sebesar 1% (satu persen);
|
||||||||
|
b.
|
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor progresif kedua, ditetapkan sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen);
|
||||||||
|
c.
|
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor progresif ketiga, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen);
|
||||||||
|
d.
|
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor progresif keempat, ditetapkan sebesar 1,75% (satu koma tujuh puluh lima persen);
|
||||||||
|
e.
|
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor progresif kelima dan seterusnya, ditetapkan sebesar 2% (dua persen);
|
||||||||
|
f.
|
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
||||||||
(2)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9) dan ayat (10) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
|
|||||||||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(3)
|
PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||||
(1)
|
PKB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(2)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(3)
|
PKB sebagaimana dimaksud ayat (1) dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BBNKB
Pasal 9 |
||||||||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||||||||
|
a.
|
Kereta api;
|
||||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat; dan
|
||||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||||||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagai Objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||||||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||||||||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||||||||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||||||||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||||||||
Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan Peraturan Gubernur.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||||
Tarif BBNKB atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) atau lebih, roda 3 (tiga) dan roda 2 (dua) ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||||
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||||
Saat terutangnya BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||||
(1)
|
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||||
(2)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PAB
Pasal 16 |
||||||||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||||||||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan Lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.
|
|||||||||
(2)
|
Nilai jual Alat Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||||||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||||
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||||
Saat terutangnya PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||||||||
Wilayah pemungutan PAB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||||
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||||
(2)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||||||||
(3)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
PBBKB
Pasal 24 |
||||||||||
Objek PBBKB adalah penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor yang menyerahkan bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||||||
(4)
|
Penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||||||
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual bahan bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||||||||
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||||
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||||
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||||
Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAP
Pasal 31 |
||||||||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||||
|
d.
|
keperluan keagamaan;
|
||||||||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau), dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||||||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||||||||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||||||||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
|||||||||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||||||||
|
b.
|
volume air; dan
|
||||||||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||||||||
(5)
|
Volume air sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (4) huruf b dihitung menggunakan alat ukur volume air (Water meter) atau sejenisnya.
|
|||||||||
(6)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dengan berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||||
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||||
Saat terutangnya PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||||||||
PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Rokok
Pasal 38 |
||||||||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||||||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||||||||
(4)
|
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk, sesuai peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||||
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||||||||
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||||||
Wilayah pemungutan Pajak Rokok adalah wilayah kepabeanan Indonesia.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen MBLB
Pasal 45 |
||||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB adalah Wajib Pajak MBLB.
|
|||||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak MBLB terutang.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||||||||
Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||||
Tarif Opsen MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||||
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dengan tarif Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||||
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||||
Wilayah pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Sinergi Pemungutan Opsen PKB dan BBNKB
Pasal 52 |
||||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
|
|||||||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
||||||||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB,
|
||||||||
|
Pemerintah Daerah provinsi melibatkan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Daerah kabupaten/kota bersinergi dengan Pemerintah Daerah provinsi.
|
|||||||||
(3)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, Opsen BBNKB, Pajak MBLB, dan Opsen Pajak MBLB, atau bentuk sinergi lainnya.
|
|||||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara provinsi dan kabupaten/kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB, diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Pasal 53 |
||||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diperuntukkan bagi kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||||||||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
|
|||||||
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
|
|||||||
|
b.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||||||||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||||||||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
|
|||||||||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||||||||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
|
||||||||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
|
||||||||
(4)
|
Penggunaan variabel lainnya selain variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c dalam menghitung besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
(5)
|
Alokasi bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah provinsi ke kas Daerah kabupaten/kota.
|
|||||||||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||||||||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 55 |
||||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan, peningkatan moda dan sarana transportasi umum serta optimalisasi pengelolaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3).
|
|||||||||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis dan Objek Retribusi
Pasal 56 |
||||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 57 |
||||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a yang dipungut retribusi meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||||
|
b.
|
pengendalian lalu lintas.
|
||||||||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
|
|||||||||
(5)
|
Detail Rincian Pelayanan Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan Negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, BUMN, BUMD dan Pihak Swasta.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||||
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a yaitu pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||||||
(1)
|
Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna kendaraan bermotor.
|
|||||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dalam Peraturan Gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
Pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
|
||||||||
|
b.
|
Pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian pelayanan, waktu penggunaan pelayanan, dan/atau jenis Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||||
Besaran Retribusi jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||||
(3)
|
Peninjauan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi jasa Umum.
|
|||||||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 65 |
||||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, temak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||||
|
c.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||||||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||||
|
e.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
|
|||||||||
(5)
|
Detail rincian objek retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
|||||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat BUMN, BUMD dan pihak swasta.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||||||||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||||||||
Pasal 67 |
||||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b adalah penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c adalah pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf d adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||||
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||||||||
Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf g merupakan pemanfaatan aset yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan Jasa yang bersangkutan.
|
|||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||||
|
c.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan;
|
||||||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga;
|
||||||||
|
e.
|
pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
|
||||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur
|
||||||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Gubernur dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi;
|
||||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||||
(6)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||||
(8)
|
Tarif Retribusi basil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 77 |
||||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi penggunaan tenaga kerja asing
|
|||||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
(3)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||||
(4)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||||
(5)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, BUMN, BUMD dan pihak swasta.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai ketentuan peraturan perundang undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||||
(3)
|
Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian iz1n mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||||||||
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dengan tarif Retribusi.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||||
(4)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||||
(6)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||||
(7)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 83 |
||||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai BLUD.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 84 |
||||||||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
|
|||||||||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
|
|||||||||
(3)
|
Dokumen pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh wajib pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
|
|||||||||
(4)
|
Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||||
(5)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||||||||
(1)
|
Wajib pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh wajib pajak wajib mengisi SPTPD.
|
|||||||||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak.
|
|||||||||
(3)
|
Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
|
|||||||||
(4)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah setiap STPD.
|
|||||||||
(5)
|
Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah).
|
|||||||||
(6)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||||
|
c.
|
kerusuhan masal atau huru hara;
|
||||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||||
|
f.
|
pemeriksaan pajak;
|
||||||||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||||
|
i.
|
gugatan;
|
||||||||
|
j.
|
penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh Gubernur; dan
|
||||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak dan retribusi.
|
||||||||
(3)
|
Pembayaran dan penyetoran pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronifikasi.
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal system pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Gubernur berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 87 |
||||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya yaitu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang bayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Besaran sanksi administratif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
|||||||||
(3)
|
Besaran sanksi administratif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
|||||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, DAN PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK, POKOK RETRIBUSI DAN/ATAU SANKSINYA
Pasal 88 |
||||||||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Keputusan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||||
|
a.
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak; dan/atau
|
||||||||
|
b.
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang atau utang pajak.
|
||||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
|
|||||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang atau utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan pajak pada waktunya.
|
|||||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus bayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi;
|
|||||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru hara;
|
||||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau.
|
||||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah diatur dengan Keputusan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERINVESTASI
Pasal 90 |
||||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
|
||||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
|
|||||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 91 |
||||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||||
(5)
|
Untuk kcpcntingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 92 |
||||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
SANKSI Sanksi Pidana
Pasal 93 |
||||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
|||||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan, menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||||||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, dan Pasal 95 merupakan pendapatan negara.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 98 |
||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||||
a.
|
khusus ketentuan mengenai Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan bagi hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Perda Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025.
|
|||||||||
b.
|
Ketentuan mengenai opsen PKB, Opsen BBNKB dan Opsen MBLB sebagaimana yang diatur dalam peraturan daerah ini, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||||||||
c.
|
Ketentuan mengenai insentif pungutan Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 92, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||||
d.
|
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah yang ditetapkan sebelumnya.
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 100 |
||||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2011 Nomor 349, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2011 Nomor 349) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung tahun 2014 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2014 Nomor 429);
|
|||||||||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2011 Nomor 350) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 32 Tahun 2014 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2014 Nomor 32) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2019 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung tahun 2019 Nomor 14).
|
|||||||||
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||||||||
Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Lampung.
|
||||||||||
|
||||||||||
Ditetapkan di Bandar Lampung
pada tanggal 10 Januari 2024 GUBERNUR LAMPUNG, ttd. ARINAL DJUNAIDI Diundangkan di Bandar Lampung pada tanggal 10 Januari 2024 SEKRETARIS DAERAH PROVINSI LAMPUNG. ttd. FAHRIZAL DARMlNTO LEMBARAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2024 NOMOR 4 |
||||||||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG
NOMOR 4 TAHUN 2024
NOMOR 4 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||
|
Provinsi memiliki kewenangan pengalokasian/pemungutan Opsen Pajak yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasaan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2O23 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
|
||||||||
|
|||||||||
|
|
||||||||
II.
|
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
|
||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.
Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
Contoh:
Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2021. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2021 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y.
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Contoh:
Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2021 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2022 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, saat terutang PKB tetap pada tanggal 5 November setiap tahunnya mengingat PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut. PT Z baru akan membayarkan PKB untuk pertama kalinya atas hasil perjanjian sewa tersebut pada 5 November 2022.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB, sehingga tidak terutang BBNKB.
Contoh:
Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2023 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2024, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2025. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2025 tersebut, terutang BBNKB.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan alat berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah meliputi invoice/faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan.
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan meliputi bukti kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “volume air” adalah jumlah air secara keseluruhan yang dihitung saat pengambilan air permukaan pada sumber air.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “water meter” adalah alat ukur untuk menentukan banyaknya aliran air yang mengalir pada suatu pipa.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “wilayah daerah tempat air permukaan berada” adalah wilayah dimana air permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
Contoh:
Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari hulu sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Contoh Penghitungan:
Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500 juta. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25%. Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp 125 juta. Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud “kendaraan bermotor” merupakan kendaraan bermotor angkutan penumpang dan kendaraan bermotor angkutan barang. Kendaraan bermotor angkutan penumpang meliputi:
Kendaraan bermotor angkutan barang meliputi semua kendaraan umum angkutan barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
|
||||||||
|
|
||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 546
|