Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
NOMOR 2 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||||||
b.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di daerah;
|
|||||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitun; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4033);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
9.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
dan
GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Provinsi adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
|
|||||||
2.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||||
3.
|
Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
|
|||||||
4.
|
Gubernur adalah Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.
|
|||||||
5.
|
Perangkat Daerah adalah Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan pendapatan Daerah.
|
|||||||
6.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
7.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
8.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
9.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
10.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
11.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
|
|||||||
12.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
13.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
|||||||
14.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
15.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
16.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
17.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, waris, atau pemasukan ke dalam Badan usaha.
|
|||||||
18.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
19.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||||
20.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
21.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
22.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||||||
23.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||||
24.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||||||
25.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||||||
26.
|
Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||||||
27.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
28.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
29.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
30.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh Pemerintah Provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
31.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
32.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
|
|||||||
33.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
34.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
35.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Provinsi dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
36.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||||||
37.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||||||
38.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
39.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
40.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||||||
41.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
|
|||||||
42.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||||
43.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||||
44.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak, terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||||||
45.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
46.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
47.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||||
48.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
49.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
50.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
|
|||||||
51.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
|
|||||||
52.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak daerah atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
53.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||||||
54.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||||||
55.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||||||
56.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
57.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||||||
58.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||||
59.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||||
60.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
|
||||||||
a.
|
Pajak;
|
|||||||
b.
|
Retribusi;
|
|||||||
c.
|
Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
d.
|
Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, penghapusan, atau penundaan atas pokok pajak/Retribusi;
|
|||||||
e.
|
Kerahasian data Wajib Pajak;
|
|||||||
f.
|
Penyidikan;
|
|||||||
g.
|
Sanksi;
|
|||||||
h.
|
Ketentuan peralihan; dan
|
|||||||
i.
|
Ketentuan penutup.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
||||||||
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi meliputi:
|
||||||||
a.
|
PKB;
|
|||||||
b.
|
BBNKB;
|
|||||||
c.
|
PAB;
|
|||||||
d.
|
PBBKB;
|
|||||||
e.
|
PAP;
|
|||||||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||||||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PKB
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di air.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||||||
|
a.
|
nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
|
||||||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||||||
(2)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(4)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||||||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||||||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||||||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||||||
(6)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||||||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||||||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya Selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||||||
(8)
|
Dasar pengenaan PKB untuk Kendaraan Bermotor baru berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
|
|||||||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||||||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama dan seterusnya oleh orang pribadi.
|
|||||||
(2)
|
Tarif PKB ditetapkan sebesar 1,2% (satu koma dua persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama dan seterusnya oleh badan.
|
|||||||
(3)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, social keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||||||
(4)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2) atau ayat (3).
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
PKB yang terutang dipungut di wilayah Provinsi tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(4)
|
Pemungutan Pajak PKB dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
PKB dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Kendaraan Bermotor belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PKB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi/pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BBNKB
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan
|
|||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di air.
|
||||||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||||||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||||||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, dan/atau kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||||||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||||
Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri yang mengatur mengenai nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Provinsi tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(4)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(5)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PAB
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||||||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah Pusat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(3)
|
PAB yang terutang dipungut di wilayah Provinsi tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat secara sah.
|
|||||||
(2)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat tidak sampai 12 (dua belas) bulan, wajib pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
PBBKB
Pasal 22 |
||||||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||||||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||||
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
|
|||||||
(3)
|
PBBKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAP
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
keperluan keagamaan;
|
||||||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau); dan
|
||||||
|
f.
|
perkebunan yang dikelola oleh rakyat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||||||
|
b.
|
volume air; dan
|
||||||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||||||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
PAP yang terutang dipungut di wilayah Provinsi tempat Air Permukaan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Rokok
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut bersamaan dengan cukai rokok oleh Pemerintah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Pajak Rokok yang terutang dipungut di wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen Pajak MBLB
Pasal 37 |
||||||||
Objek Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak MBLB terutang.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
|
|||||||
(2)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen MBLB yang terutang merupakan wilayah Provinsi tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 42 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
|
|||||||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||||||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 43 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (1) huruf dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (2) huruf b, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Bagi Hasil Pajak
Pasal 44 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kola dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||||||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota; atau
|
|||||
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) kabupaten/kota.
|
|||||
|
b.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||||||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||||||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
|
|||||||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di Provinsi, dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variable panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||||||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional sebesar 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di Provinsi yang bersangkutan; dan
|
||||||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variable jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi yang bersangkutan.
|
||||||
(4)
|
Alokasi besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah provinsi ke kas kabupaten/kota.
|
|||||||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PBBKB dan PAP dilakukan 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya triwulan yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 46 |
||||||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 47 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan pasar; dan
|
||||||
|
c.
|
pengendalian lalu lintas.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi berdasarkan kewenangan Provinsi.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejakPeraluran Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf c merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada/waktu tertentu oleh pengguna kendaraan bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dalam Peraturan Gubernur berdasarkan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis/kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar; dan
|
||||||
|
d.
|
pengendalian lalu lintas diukur berdasarkan lokasi ruas jalan tempat pemberian pelayanan, waktu penggunaan pelayanan, dan/atau jenis Kendaraan Bermotor.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 56 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||||||
|
f.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
g.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||||||
|
h.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi; dan
|
||||||
|
i.
|
pemanfaatan aset Provinsi yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(7)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Provinsi untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||||||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Provinsi dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf c adalah penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d adalah penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf c adalah pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf f adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||||
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf g adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf h adalah penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||||
Pemanfaatan aset Provinsi yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi asset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) huruf i adalah pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dan/atau optimalisasi asset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan;
|
||||||
|
f.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
g.
|
pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
|
||||||
|
h.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||
|
i.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(5)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||||
(6)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 71 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
||||||
|
b.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi berdasarkan kewenangan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf a adalah pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b adalah pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Provinsi dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||||||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||||||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, atau formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||||||
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
|
|||||||
(4)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(6)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||||||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(9)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan dengan nilai rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat penerbitan SKRD oleh Wajib Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan;
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
|
||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak Dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor antara lain:
|
|||||||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||||||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan.
|
||||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||||||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
|
|||||||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
|||||||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru hara, Kerusuhan dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Perangkat daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak Terutang.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau kondisi lain sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pokok pajak yang ditunda disertai bunga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
Kerusuhan missal atau huru-hara; dan/atau
|
||||||
|
d.
|
Wabah penyakit.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Provinsi diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintah daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Pidana
Pasal 89 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan daerah, diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 merupakan pendapatan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||||||
(1)
|
Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap STPD.
|
|||||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan bagi wajib pajak yang mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(4)
|
Besaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
|
|||||||
(5)
|
Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
Kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
Kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
Wabah penyakit.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 95 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan daerah dan retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan kenaikan Pajak.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang sudah melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD tetapi tidak melakukan pembayaran setelah jatuh tempo dikenakan sanksi administratif berupa bunga.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan SPTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
|
|||||||
(5)
|
Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(6)
|
Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Khusus ketentuan mengenai Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan bagi hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam peraturan daerah yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan 5 Januari 2025;
|
|||||||
b.
|
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB mulai berlaku efektif tanggal 5 Januari 2025.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian;
|
|||||||
b.
|
Seluruh penerimaan Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan belum dibagihasilkan, tetap dibagihasilkan berdasarkan Peraturan Daerah mengenai bagi hasil Pajak yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
c.
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 85, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 99 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2011 Nomor 1 Seri B) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017 Nomor 1 Seri B);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2012 Nomor 2 Seri C) sebagaimana telah diubah dengan:
|
|||||||
|
1.
|
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2014 Nomor 1 Seri C);
|
||||||
|
2.
|
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 81);
|
||||||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 10 Tahun 2017 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017 Nomor 1 Seri C) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 10 Tahun 2017 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2021 Nomor 2 Seri C); dan
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 4 Tahun 2018 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2018 Nomor 1 Seri C) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 4 Tahun 2018 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2021 Nomor 1 Seri C).
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Pangkalpinang
pada tanggal 19 Februari 2024
Pj. GUBERNUR
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG,
dto.
SAFRIZAL ZA
Diundangkan di Pangkalpinang
pada tanggal 19 Februari 2024
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG,
dto.
NAZIARTO
LEMBARAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN 2024 NOMOR 1 SERI B
|
||||||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
NOMOR 2 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Indonesia sebagai negara kesatuan yang memilih sistem desentralisasi dalam hal hubungan antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerahnya memiliki konsekuensi adanya otonomi daerah yang dimiliki oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Maka dari itu, daerah-daerah diberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai salah satu daerah provinsi yang memiliki otonomi tersebut tentu membutuhkan biaya dalam pelaksanaannya, sebab tidak mungkin otonomi daerah dapat berjalan apabila Pemerintah Daerah tidak memiliki biaya untuk menyelenggarakan otonomi tersebut.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah membuka peluang yang luas bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kearifan lokal dalam kerangka NKRI. Penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mengakselerasi pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam dua dasawarsa terakhir, sistem desentralisasi fiskal telah menghasilkan berbagai capaian yang cukup membanggkan. Namun, di sisi lain masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan. Menyikapi kondisi tersebut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) dirancang dan ditetapkan untuk mentransformasi sistem desentralisasi fiskal dalam rangka percepatan perbaikan dan pemerataan layanan publik di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui penataan sumber daya nasional yang lebih efisien, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah setiap Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan otonom dalam mengurusi urusan pemerintahannya sendiri diberikan sebuah kewenangan untuk menyelenggarakan desentralisasi fiskal. Dengan memiliki desentralisasi fiskal tersebut, diharapkan pemerintah daerah dapat membangun kemandirian daerah nya sendiri untuk membiayai urusan pemerintahannya baik dalam hal pendapatan daerah maupun kewenangan untuk membelanjakan pendapatan tersebut.
Pajak dan Retribusi Daerah merupakan sumber utama dari pendapatan asli daerah, yang merupakan hal yang sangat penting bagi terselenggaranya otonomi daerah. Tanpa adanya kewenangan untuk memungut Pajak dan Retribusi Daerah, maka penyelenggaraan otonomi daerah dipastikan akan terhambat sehingga akan berdampak terhadap pemenuhan kesejahteraan masyarakat di Daerah.
Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah yang sebelumnya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah saat ini telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah, yang mana dalam Undang-Undang tersebut, cukup banyak mengubah ketentuan-ketentuan mengenai Pajak dan Retribusi Daerah. Maka dari itu, Perda Pajak dan Retribusi sebelumnya perlu dilakukan beberapa penyesuaian dengan Undang-Undang tersebut, atas dasar tersebutlah, Peraturan Daerah ini dibentuk.
Kewajiban bagi Pemerintahan Daerah untuk membentuk satu Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah diatur dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yang memerintahkan bahwa Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.
Selain muatan-muatan yang diwajibkan dalam Pasal 94 tersebut, Peraturan Daerah ini juga akan memuat pengaturan terkait tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah sebagai landasan bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah. Maka dari itu, ruang lingkup dari Peraturan Daerah ini meliputi Ketentuan Umum, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah, Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
Pasal Demi Pasal
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan" adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contoh:
huruf c
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB, sehingga tidak terutang BBNKB
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau 91 badan dengan alat berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah meliputi invoice/faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan. Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan meliputi bukti kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya
ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
ayat (1)
Contoh:
Misal, berdasarkan pendataan oleh Provinsi A didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, Tuan X yang berlokasi di Provinsi A, memiliki 100 Alat Berat sejak 15 Januari 2025. Dari jumlah tersebut:
1. sebanyak 20 Alat Berat disewakan kepada Tuan Y dan dipergunakan di Provinsi B mulai tanggal 1 Februari 2025 sampai dengan 1 Desember 2025; 2. sebanyak 70 Alat Berat disewakan kepada Tuan Z dan dipergunakan di Provinsi A mulai tanggal 1 Maret 2025 sampai dengan 1 Februari 2026; dan 3. 92 sisanya sebanyak 10 Alat Berat belum disewakan dan berada di Provinsi A. Berdasarkan kondisi tersebut, Gubernur Provinsi A dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 80 Alat Berat untuk Tuan X yaitu 70 Alat Berat yang disewakan kepada Tuan Z dan 10 Alat Berat yang belum disewakan, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 15 Januari 2025. Di sisi lain, Provinsi B melakukan pendataan dan didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, terdapat 20 Alat Berat yang disewa oleh Tuan Y tersebut di atas. Untuk itu, Gubernur Provinsi B dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 20 Alat Berat yang disewa Tuan Y sebagai Wajib Pajak untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 1 Februari 2025.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Contoh:
Atas suatu Alat Berat yang dikuasai oleh PT Z di wilayah Provinsi A, Gubernur Provinsi A menerbitkan SKPD atas PAB terutang sejak tanggal 1 April tahun 2025 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut hingga 31 Maret 2026. Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat ke wilayah Provinsi B sebelum tanggal 1 93 April 2025, maka Alat Berat dimaksud tidak dikenakan PAB oleh Provinsi B. Selanjutnya, atas Alat Berat dimaksud baru dapat dikenakan PAB pada tanggal 1 April 2026 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berikutnya oleh provinsi tempat penguasaan Alat Berat dimaksud.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Objek dari PBBKB termasuk juga Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor termasuk genset, mesin industri serta mesin kapal, dan Alat Berat.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:
Ketentuan ini tidak mengecualikan produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor untuk digunakan sendiri, dari kewajiban membayar PBBKB.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.
ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Contoh:
Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari hulu sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
ayat (1)
Contoh Penghitungan:
Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan 100 pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500 juta. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25%. Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut: a. Pajak MBLB terutang = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000. b. Opsen Pajak MBLB terutang = 25% x Rp100.000.000 = Rp25.000.000. Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp125.000.000. Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada: a. suatu saat tertentu, misalnya untuk BBNKB; b. akhir masa Pajak, misalnya untuk PBBKB; atau c. suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PKB.
Yang dimaksud dengan "syarat subjektif" adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan "syarat objektif" adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 43
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi 103 ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah dan dapat disinergikan dengan instansi pemerintah pusat yang melaksanakan pemungutan cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Gubernur dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh: Pada tahun 2025, RSUD X pada Provinsi Y menyediakan pelayanan Kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Provinsi Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Provinsi Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Gubernur sebagai berikut:
Peraturan Gubernur:
ayat (5)
Cukup jelas.
ayat (6)
Cukup jelas.
ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Yang dimaksud “kendaraan bermotor” merupakan kendaraan bermotor angkutan penumpang dan kendaraan bermotor angkutan barang. Kendaraan bermotor angkutan penumpang meliputi: 1. mobil penumpang; dan 2. mobil bus. Kendaraan bermotor angkutan barang meliputi semua kendaraan umum angkutan barang.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. 115 Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
ayat (1)
penerimaan retribusi diutamakan untuk mendanai operasional dari pelayanan yang diberikan, misalnya biaya honor, konsumsi, peralatan, dan lain-lain.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan:
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
ayat (6)
Cukup jelas.
ayat (7)
Cukup jelas.
ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
ayat (1)
Yang dimaksud dengan "izin pertambangan rakyat" adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN 2024 NOMOR 103
|