Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR,
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa sesuai dengan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    b.
    bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    c.
    bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber Penerimaan Provinsi Kalimantan Timur yang harus dioptimalkan guna membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
    3.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
    4.
    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952);
    5.
    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
    6.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    7.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    8.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    9.
    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6781);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Nomor 5161);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
    12.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6322);
    13.
    Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6400);
    14.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6646);
    15.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    16.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1213);
    17.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Tahun 2020 Nomor 1781);
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
    dan
    GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Provinsi Kalimantan Timur.
    2.
    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
    3.
    Gubernur adalah Gubernur Kalimantan Timur.
    4.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Provinsi Kalimantan Timur.
    5.
    Badan Pendapatan Daerah adalah Badan Pendapatan Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
    6.
    Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
    7.
    Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah Kalimantan Timur.
    8.
    Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
    9.
    Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
    10.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau Retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    11.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
    12.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    13.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    14.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    15.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    16.
    Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    17.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    18.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    19.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    20.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    21.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    22.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    23.
    Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
    24.
    Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
    25.
    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
    26.
    Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
    27.
    Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
    28.
    Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
    29.
    Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah.
    30.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    31.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    32.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    33.
    Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    34.
    Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    35.
    Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    36.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    37.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    38.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Perpajakan Daerah.
    39.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
    40.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
    41.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak yang terutang kepada Wajib Pajak.
    42.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
    43.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
    44.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    45.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    46.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    47.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPD Nihil, SKPD Lebih Bayar, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    48.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPD Nihil, SKPD Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    49.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    50.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    51.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    52.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
    53.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    54.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    55.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    56.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
    57.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
    58.
    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
    59.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    60.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    61.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    62.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    63.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    64.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    65.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    66.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    Jenis Pajak yang dipungut Daerah, terdiri atas:
    a.
    PKB;
    b.
    BBNKB;
    c.
    PAB;
    d.
    PBBKB;
    e.
    PAP;
    f.
    Pajak Rokok; dan
    g.
    Opsen Pajak MBLB.
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b, huruf c dan huruf e merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak
     
    Paragraf 1
    PKB
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik (reciprocal principle), dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat;
     
    d.
    Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
     
    e.
    Kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor.
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
     
    a.
    nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
     
    b.
    bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Dasar Pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di Air, ditetapkan hanya berdasarkan Nilai Jual Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
    (4)
    Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
    (5)
    Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
    (6)
    Harga pasaran umum adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
    (7)
    Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
     
    a.
    harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
     
    b.
    penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
     
    c.
    harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
     
    d.
    harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
     
    e.
    harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
     
    f.
    harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
     
    g.
    harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
    (8)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
     
    b.
    koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
    (9)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
     
    a.
    tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu atau as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
     
    b.
    jenis Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
     
    c.
    jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
    (10)
    Dasar pengenaan PKB untuk Kendaraan Bermotor baru berpedoman pada peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
    (11)
    Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    0,8% (nol koma delapan persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama;
     
    b.
    0,9% (nol koma sembilan persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua;
     
    c.
    1,00% (satu koma nol persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor ketiga;
     
    d.
    1,10% (satu koma sepuluh persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor keempat; dan
     
    e.
    1,20% (satu koma dua puluh persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kelima dan seterusnya.
    (2)
    Tarif PKB progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dikenakan atas Kendaraan Bermotor pribadi.
    (3)
    Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
    (4)
    Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah pusat/Tentara Nasional Republik Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4).
    (2)
    Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
    (3)
    PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (2)
    PKB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor dibayar sekaligus di muka.
    (3)
    Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    BBNKB
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik (reciprocal), dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat;
     
    d.
    Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
     
    e.
    Kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor.
    (4)
    Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
     
    a.
    untuk diperdagangkan;
     
    b.
    untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
     
    c.
    digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh (sample), dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
    (5)
    Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri yang mengatur mengenai Nilai Jual Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 8% (delapan persen).
    (2)
    Tarif BBNKB untuk Kendaraan Bermotor pemerintah pusat, Pemerintah Daerah/Tentara Nasional Republik Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia ditetapkan sebesar 3% (tiga persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
    (2)
    Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
    (3)
    BBNKB terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
    (4)
    Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (5)
    Bukti pembayaran BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    PAB
     

    Pasal 15

    (1)
    Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
     
    a.
    Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
     
    b.
    Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat.
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
    (2)
    Wajib PAB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
    (2)
    Nilai jual Alat Berat ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
    (3)
    Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
    (4)
    Dasar pengenaan PAB berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam Negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
    (5)
    Dalam hal belum ditetapkannya NJAB oleh Menteri Dalam Negeri sebagai dasar penghitungan pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur dapat menetapkan NJAB sebagai dasar penghitungan pengenaan PAB berdasarkan usulan pengajuan penetapan NJAB.
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
    (2)
    Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
    (3)
    PAB yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penguasaan Alat Berat.
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat secara sah.
    (2)
    PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
    (3)
    Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    PBBKB
     

    Pasal 21

    Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
    (2)
    Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
    (3)
    Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
    (4)
    Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir BBKB baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
    (2)
    Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
    (2)
    Saat terutang PBBKB ditetapkan, pada saat terjadinya penyerahan bahan Bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
    (3)
    PBBKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
    (4)
    PBBKB dikenakan untuk setiap jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    PAP
     

    Pasal 26

    (1)
    Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    keperluan keagamaan; dan
     
    e.
    kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (2)
    Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Dasar pengenaan PAP merupakan nilai perolehan Air Permukaan.
    (2)
    Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
    (3)
    Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
    (4)
    Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
     
    a.
    lokasi pengambilan air;
     
    b.
    volume air; dan
     
    c.
    kewenangan pengelolaan sumber daya air.
    (5)
    Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
    (2)
    Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (3)
    PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
    (4)
    PAP dikenakan untuk setiap jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pajak Rokok
     

    Pasal 31

    (1)
    Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
    (2)
    Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
    (2)
    Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Pajak Rokok dipungut oleh instansi pemerintah pusat yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah pusat terhadap rokok.
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
    (2)
    Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Pajak Rokok yang terutang dipungut di wilayah kepabeanan Indonesia.
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Opsen Pajak MBLB
     

    Pasal 36

    Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak terutang dari Pajak MBLB.
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
    (2)
    Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) yang dihitung dari besaran Pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
    (2)
    Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
    (4)
    Opsen Pajak MBLB disetor ke rekening kas umum Daerah oleh Bank persepsi tempat Pajak MBLB dibayar.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 41

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan Penetapan Gubernur.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Bagi Hasil Pajak
     

    Pasal 42

    (1)
    Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah Daerah dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
     
     
    1.
    50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
     
     
    2.
    80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
     
    b.
    hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
     
    c.
    hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
    (2)
    Besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
    (3)
    Besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah Daerah, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling sedikit berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air dan jumlah penerimaan PAP di Kabupaten/Kota;
     
    b.
    bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di Daerah atau berdasarkan jumlah penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan alat berat di Kabupaten/Kota; dan
     
    c.
    bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling sedikit berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota di Daerah.
    (4)
    Alokasi besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas daerah kabupaten/kota.
    (2)
    Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
    (3)
    Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 44

    (1)
    Hasil penerimaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 45

    Jenis Retribusi yang dipungut, terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 46

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a merupakan pelayanan kesehatan.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (5)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (8)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) merupakan pelayanan kesehatan di balai pengobatan, rumah sakit daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (5)
    Objek dan rincian objek Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 49

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    e.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
     
    h.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    i.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tercantum dalam Lampiran III, IV, V, VII, IX dan X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (5)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (8)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (9)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    (1)
    Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf h merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf i termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (2)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan Barang Milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas area dan fasilitas pendukung lainnya;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    e.
    pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
     
    h.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    i.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
    (4)
    Objek, rincian objek dan detail rincian objek Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 61

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c meliputi penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
    (4)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian perizinan tertentu.
    (5)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian perizinan tertentu.
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (4)
    Struktur dan Besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Tarif Retribusi ditinjau Kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (4)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (5)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang energi dan sumber daya mineral.
    (7)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 66

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN
     
    Bagian Kesatu
    Penetapan Besaran Pajak dan Retribusi Terutang
     

    Pasal 67

    (1)
    Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan berdasarkan surat pendaftaran objek pajak.
    (2)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
    (3)
    Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (4)
    Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
    (5)
    Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif, kecuali PKB.
    (6)
    Penetapan PKB dan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (7)
    Penetapan besarnya PAB terutang dalam SKPD dihitung untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat secara sah.
    (8)
    Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
    (9)
    Untuk PKB, Opsen PKB, dan PAB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (4)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan.
    (5)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (6)
    Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (7)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
    (8)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (9)
    Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (10)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (11)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (8), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Tata Cara Pemungutan Pajak Dan Retribusi
     

    Pasal 70

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 71

    (1)
    Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (6) ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
    (2)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke Kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
    (5)
    Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
    (6)
    Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
    (7)
    Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 72

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 73

    (1)
    Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur berbeda dengan saat penetapan SKPD, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD.
    (3)
    Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
     
    a.
    diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (4)
    Dalam hal diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
    (5)
    Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (6)
    Pengakuan utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (7)
    Dalam hal ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan surat teguran; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat teguran tersebut.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 75

    (1)
    Gubernur melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas penagihan Pajak.
    (2)
    Gubernur atau pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (4)
    Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
    (5)
    Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) atau ayat (2), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan penagihan.
    (6)
    Penetapan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
    (7)
    Penghapusan besaran piutang pajak ditetapkan oleh Gubernur sampai dengan Rp1.000.000.000,- per penanggung utang.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Keberatan dan Banding
     
    Paragraf 1
    Keberatan Pajak
     

    Pasal 77

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
    (2)
    Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau Pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
    (5)
    Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
    (6)
    Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
    (7)
    Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
    (8)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
    (9)
    Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak.
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1).
    (2)
    Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
    (3)
    Keputusan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (7).
    (4)
    Keputusan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
     
    a.
    menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
     
    b.
    menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
     
    c.
    menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
     
    d.
    menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (5)
    Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan Pajak diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    (1)
    Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
    (3)
    Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Keberatan Retribusi
     

    Pasal 80

    (1)
    Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
     
    d.
    wabah penyakit.
    (5)
    Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan keberatan.
    (2)
    Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
    (3)
    Keputusan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
    (4)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    (1)
    Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Banding
     

    Pasal 83

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
    (2)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
    (4)
    Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    (1)
    Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
    (3)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) tidak dikenakan.
    (4)
    Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 85

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi; dan/atau
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 88

    (1)
    Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.
    (2)
    Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (3)
    Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (4)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (5)
    Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya.
    (6)
    Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
    (7)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah Lewat 2 (dua) bulan, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 89

    (1)
    Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 90

    (1)
    Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
     
    d.
    wabah penyakit.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 91

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PENDATAAN DAN PENGAWASAN
     

    Pasal 92

    (1)
    Gubernur melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
    (2)
    Gubernur melaksanakan Pengawasan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan terhadap seluruh jenis pajak yang dimaksud dalam pasal 2.
    (4)
    Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Gubernur dapat membentuk Tim Terpadu.
    (5)
    Dalam hal pendataan wajib pajak agar dapat berjalan efektif, setiap kendaraan bermotor dengan nomor polisi luar daerah diharapkan melakukan balik nama kendaraan bermotor apabila digunakan secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan sejak memasuki daerah.
    (6)
    Pembentukan Tim Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KERJA SAMA OPTIMALISASI PEMUNGUTAN PAJAK DAN PEMANFAATAN DATA
     

    Pasal 93

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    pemerintah;
     
    b.
    pemerintah daerah lain; dan/atau
     
    c.
    pihak ketiga.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    Pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    Pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    d.
    Pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    Peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    Penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    Kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
    (4)
    Kerja sama optimalisasi pemungutan pajak dan pemanfaatan data dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    BAB IX
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 94

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
    BAB X
    PEMERIKSAAN
     

    Pasal 95

    (1)
    Gubernur atau pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
     
    a.
    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasamyan dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
     
    b.
    memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
     
    c.
    memberikan keterangan yang diperlukan;
    (3)
    Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    (1)
    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dalam bentuk:
     
    a.
    pemeriksaan lengkap:
     
    b.
    pemeriksaan sederhana;
    (2)
    Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan di tempat domisili atau di lokasi usaha Wajib Pajak, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya yang dilakukan dengan menerapkan teknis pemeriksaan yang pada umumnya lazim digunakan dalam pemeriksaan.
    (3)
    Pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan:
     
    a.
    di lapangan, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan atau tahun-tahun pajak sebelumnya dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot yang sederhana;
     
    b.
    di kantor, meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun pajak berjalan.
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    (1)
    Pemeriksaaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada norma pemeriksaan yang memuat batasan terhadap pemeriksa, pemeriksaan, dan Wajib Pajak.
    (2)
    Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan ke dalam laporan pemeriksaan.
    (3)
    Terhadap temuan pemeriksaan yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak atau Wajib Pajak dan Penanggung Pajak, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
    (4)
    Temuan hasil pemeriksaan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh petugas pemeriksa dan Wajib Pajak yang bersangkutan.
    (5)
    Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diterbitkan atau SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau STPD.
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    (1)
    Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, apabila:
     
    a.
    Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2); dan
     
    b.
    Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan.
     
     
     
     
     
    BAB XI
    SANKSI
     
    Bagian Kesatu
    Sanksi Pidana
     

    Pasal 99

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai Pasal 181 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai Pasal 181 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak dan Objek Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, Pasal 101 dan Pasal 102 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 104

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman Peraturan Pemerintah mengenai Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp1.000.000,00,- (satu juta rupiah) untuk setiap SPTPD.
    (3)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (4)
    Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
     
    a.
    kebakaran;
     
    b.
    bencana alam;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
     
    d.
    wabah penyakit.
     
     
     
     
     
    BAB XII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 106

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 107

    (1)
    Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB berlaku mulai tanggal 5 Januari 2025.
    (2)
    Pada saat Perda ini mulai berlaku, seluruh penerimaan Pajak yang dipungut berdasarkan Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan belum dibagihasilkan, tetap dibagihasilkan berdasarkan Perda mengenai bagi hasil Pajak yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, khusus ketentuan mengenai PKB dan BBNKB dalam Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 48) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1, masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025.
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 106, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan Aparatur Sipil Negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 111

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 51) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Provinsi Daerah Kalimantan Timur Tahun Kalimantan Timur Tahun 2021 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3);
    b.
    Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 52) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Provinsi Daerah Kalimantan Timur Tahun Tahun 2021 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 4);
    c.
    Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 53) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Provinsi Daerah Kalimantan Timur Tahun 2021, Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 5);
    d.
    Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 14 Tahun 2014 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014 Nomor 14);
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    Pada saat Peraturan Daerah mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Samarinda
    pada tanggal 4 Januari 2024
    Pj. GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR,
    ttd.
    AKMAL MALIK
     
    Diundangkan di Samarinda
    pada tanggal 4 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR,
    ttd.
    SRI WAHYUNI
     
    LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2024 NOMOR 1.
     
     
     
     
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah Provinsi, dan Daerah Provinsi dibagi atas Daerah Kabupaten dan Kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota dan pembagian urusan pemerintahan antar-pemerintahan tersebut menimbulkan hubungan wewenang dan hubungan keuangan (money follows function).
     
    Dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan Daerah, kepada Daerah diberikan sumber pendapatan, baik melalui transfer ke Daerah (expenditure assignment) maupun melalui pemberian kewenangan untuk memungut Pajak dan Retribusi (revenue assignment). Berkenaan dengan pemberian kewenangan untuk memungut Pajak dan Retribusi tersebut, Pemerintah senantiasa berupaya untuk melakukan penyempurnaan kebijakan mengenai Pajak dan Retribusi. Kebijakan mengenai Pajak dan Retribusi Daerah tersebut telah beberapa kali mengalami penggantian atau perubahan, mulai dari Undang-Undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan terakhir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
    Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, maka Pemerintah Daerah perlu menindaklanjutinya dengan menata ulang kebijakan Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sesuai dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tersebut.
     
    Sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, pengaturan mengenai Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dengan sekurang-kurangnya memuat ketentuan mengenai jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, Objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan Jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi.
     
    Jenis Pajak dan Retribusi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    a.
    Jenis Pajak:
     
     
    (1)
    PKB;
     
     
    (2)
    BBNKB;
     
     
    (3)
    PAB;
     
     
    (4)
    PBBKB;
     
     
    (5)
    PAP;
     
     
    (6)
    Pajak Rokok; dan
     
     
    (7)
    Opsen Pajak MBLB.
     
    b.
    Jenis Retribusi:
     
     
    (1)
    Retribusi Jasa Umum;
     
     
    (2)
    Retribusi Jasa Usaha;
     
     
    (3)
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
    Penetapan jenis Pajak dan Retribusi tersebut dilakukan dengan mengacu pada jenis Pajak dan Retribusi yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dan memperhatikan potensi penerimaan dari masing-masing jenis Pajak dan Retribusi atau dengan kata lain, jenis Pajak dan Retribusi yang dipungut hanya yang potensial. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar Pemerintah Daerah tidak dibebani dengan biaya pemungutan (collection cost) yang lebih tinggi dari pendapatan yang diterima.
     
    Terkait dengan jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi, terdapat kebijakan baru yang diatur dalam Peraturan Daerah ini, yaitu Opsen atas Pajak MBLB yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Opsen atas Pajak MBLB merupakan pungutan Pajak Provinsi yang ditumpangkan pada Pajak Kabupaten/Kota. Tarif efektif Opsen atas Pajak MBLB tersebut telah ditetapkan secara definitif (fix) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak MBLB terutang. Dengan ditetapkannya kebijakan Opsen atas Pajak MBLB dalam Peraturan Daerah ini, maka seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang melaksanakan pemungutan atas Pajak MBLB wajib melakukan pemungutan Opsen atas Pajak MBLB.
     
    Kebijakan Opsen tidak hanya diterapkan pada Pajak Kabupaten/Kota, tetapi juga pada jenis Pajak Provinsi, yaitu Opsen atas PKB dan BBNKB. Besaran tarif Opsen atas PKB dan BBNKB juga ditetapkan secara definitif (fix) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yaitu sebesar 66% (enam puluh enam persen) dari PKB dan BBNKB terutang. Kebijakan Opsen atas PKB dan BBNKB tersebut merupakan pengganti dari kebijakan bagi hasil PKB dan BBNKB kepada Kabupaten/Kota yang dilaksanakan sebelumnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Kebijakan mengenai Opsen atas PKB dan BBNKB tidak diatur dalam Peraturan Daerah ini, tetapi diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi hanya melakukan pemungutan Opsen atas PKB dan BBNKB sepanjang Pemerintah Kabupaten/Kota telah mengaturnya dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak dan Retribusi.
     
    Mengingat kebijakan Opsen tersebut merupakan kebijakan baru dan memerlukan waktu persiapan yang cukup, maka pelaksanaan kebijakan tersebut secara efektif baru akan dimulai pada tanggal 6 Januari 2025 sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dan selama kebijakan Opsen atas PKB dan BBNKB belum dilaksanakan, maka kebijakan bagi hasil PKB dan BBNKB tetap dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak yang disusun dan ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
     
    Melalui kebijakan Opsen tersebut, diharapkan dapat meningkatkan peran serta Pemerintah Provinsi dalam meningkatkan penerimaan Pajak MBLB dan peran serta Pemerintah Kabupaten/Kota dalam meningkatkan penerimaan Pajak Provinsi, khususnya PKB dan BBNKB.
     
    Untuk meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan dan kepastian hukum Peraturan Daerah ini dengan berpedoman terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga mengatur bahwa Penerimaan atas Pelayanan Objek Retribusi sesuai Undang-Undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai Retribusi, meskipun demikian penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai Peraturan Perundang-Undangan, Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur bahwa seluruh pungutan atas Pemanfaatan Barang Milik Daerah menjadi bagian dari Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah.
     
    Selain itu, dalam Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi ini juga diatur mengenai beberapa hal pokok lainnya, yaitu sistem pemungutan Pajak, bagi hasil Pajak Provinsi kepada Kabupaten/Kota untuk PBBKB, PAP, dan Pajak Rokok, pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan Pajak dan Retribusi, pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi, penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD, kerahasiaan Wajib Pajak, dan insentif pemungutan Pajak dan Retribusi, sedangkan ketentuan dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi dan hal-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.
     
    Contoh:
    Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.
     
    Orang pribadi yang memiliki 2 (dua) Kendaraan Bermotor roda 4 (empat), 2 (dua) Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), dan 1 (satu) Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), maka terhadap kepemilikan Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) yang kedua dan kepemilikan Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) yang kedua masing-masing dikenakan pajak progresif atas kepemilikan Kendaraan Bermotor yang kedua.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    “Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum” sekurang-kurangnya dibuktikan dengan adanya Izin Usaha Angkutan dan/atau Izin Trayek.
    Pasal 8
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "kepemilikan" adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
     
    Contoh: Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2025. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2025 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.
     
    Yang dimaksud dengan "penguasaan" adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
     
    Contoh: Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2025 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2026 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), Pl Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada tanggal 5 November 2026 sesuai kesepakatan dalam kontrak.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “keadaan kahar (force majeure)” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Pajak, Kriteria keadaan kahar:
    1.
    bencana Alam
    2.
    kebakaran
    3.
    kerusuhan massal atau huru-hara
    4.
    wabah penyakit
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Ayat (1)
    BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contoh:
    1.
    kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
    2.
    kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
    3.
    kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Misal, berdasarkan pendataan oleh Provinsi A didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, Tuan X yang berlokasi di Provinsi A, memiliki 100 Alat Berat sejak 15 Januari 2025. Dari jumlah tersebut:
    1.
    sebanyak 20 Alat Berat disewakan kepada Tuan Y dan dipergunakan di Provinsi B mulai tanggal 1 Februari 2025 sampai dengan 1 Desember 2025;
    2.
    sebanyak 70 Alat Berat disewakan kepada Tuan Z dan dipergunakan di Provinsi A mulai tanggal 1 Maret 2025 sampai dengan 1 Februari 2026; dan
    3.
    sisanya sebanyak 10 Alat Berat belum disewakan dan berada di Provinsi A.
     
    Berdasarkan kondisi tersebut, Gubernur Provinsi A dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 80 Alat Berat untuk Tuan X yaitu 70 Alat Berat yang disewakan kepada Tuan Z dan 10 Alat Berat yang belum disewakan, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 15 Januari 2025.
     
    Di sisi lain, Provinsi B melakukan pendataan dan didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, terdapat 20 Alat Berat yang disewa oleh Tuan Y tersebut di atas. Untuk itu, Gubernur Provinsi B dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 20 Alat Berat yang disewa Tuan Y sebagai Wajib Pajak untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 1 Februari 2025.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Atas suatu Alat Berat yang dikuasai oleh W Z di wilayah Provinsi A, Gubernur Provinsi A menerbitkan SKPD atas PAB terutang sejak tanggal 1 April tahun 2025 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut hingga 31 Maret 2026. Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat ke wilayah Provinsi B sebelum tanggal 1 April 2025, maka Alat Berat dimaksud tidak dikenakan PAB oleh Provinsi B. Selanjutnya, atas Alat Berat dimaksud baru dapat dikenakan PAB pada tanggal 1 April 2026 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berikutnya oleh provinsi tempat penguasaan Alat Berat dimaksud.
     
    Yang dimaksud dengan “keadaan kahar (force majeure)” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Pajak, Kriteria keadaan kahar:
    1.
    bencana Alam
    2.
    kebakaran
    3.
    kerusuhan massal atau huru-hara
    4.
    wabah penyakit
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “wilayah daerah tempat air permukaan berada” adalah wilayah dimana air permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
     
    Contoh:
    Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari hulu sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Ayat (1)
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp 500 juta. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25%. Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
    a. Pajak MBLB terutang = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000.
    b. Opsen Pajak MBLB terutang = 25% x Rp100.000.000 = Rp25.000.000.
     
    Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp125.000.000. Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Ayat (1)
    - Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
      a. suatu saat tertentu, misalnya untuk BBNKB;
      b. akhir masa Pajak, misalnya untuk PBBKB; atau
      c. suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PKB.
    - Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    - Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi. Ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah dan dapat disinergikan dengan instansi pemerintah pusat yang melaksanakan pemungutan cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Gubernur dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Dengan ketentuan ini, penetapan tarif untuk Objek Retribusi yang ditambahkan kemudian, ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Pihak Swasta yang dimaksud adalah Pelayanan Perizinan yang dilakukan oleh swasta.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan. Contoh: Pada 2025, Wajib Pajak X melaporkan Pajak terutang sebesar Rp10.000.000,00. Kemudian, Pemerintah Daerah Y melaksanakan Pemeriksaan atas Pajak terutang yang dilaporkan oleh Wajib Pajak X. Atas hasil Pemeriksaan tersebut, Pemerintah Daerah Y menerbitkan SKPDKB dengan jumlah Pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak X senilai Rp1.500.000.000,00. Dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak X menyetujui Pajak yang masih harus dibayar senilai Rp500.000.000,00. Wajib Pajak X dapat mengajukan keberatan apabila telah melunasi sebagian SKPDKB yang telah disetujui dalam pembahasan akhir Pemeriksaan tersebut senilai Rp500.000.000,00.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, antara lain, adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak, antara lain, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 1

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024