Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
    b.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
    3.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    5.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    6.
    Undang-undang Nomor 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6780);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    12.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781).
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
    dan
    GUBERNUR KALIMANTAN BARAT
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    2.
    Daerah adalah Provinsi Kalimantan Barat.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    4.
    Gubernur adalah Gubernur Kalimantan Barat.
    5.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
    6.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
    7.
    Pejabat adalah pegawai yang diberikan tugas tertentu di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    8.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    9.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    10.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    11.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai pajak.
    12.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    13.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    14.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    15.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    16.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    17.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    18.
    Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
    19.
    Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
    20.
    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
    21.
    Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
    22.
    Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
    23.
    Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
    24.
    Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
    25.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    26.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    27.
    Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    28.
    Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi yang dikenakan atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    29.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    30.
    Retribusi Jasa Usaha adalah Retribusi yang dikenakan atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    31.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    32.
    Retribusi Perizinan Tertentu adalah Retribusi yang dikenakan atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    33.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    34.
    Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Gubernur paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan Pajak terutang.
    35.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    36.
    Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    37.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah, yang dapat disingkat NPWPD, adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dan usaha wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan daerah.
    38.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    39.
    Surat Pendaftaran Objek Pajak adalah surat yang digunakan wajib pajak untuk mendaftarkan diri dan melaporkan objek pajak atau usahanya ke Badan Pendapatan Daerah.
    40.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    41.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
    42.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
    43.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    Jenis Pajak terdiri atas:
    a.
    PKB;
    b.
    BBNKB;
    c.
    PAB;
    d.
    PBBKB;
    e.
    PAP;
    f.
    Pajak Rokok; dan
    g.
    Opsen Pajak MBLB.
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
     
    a.
    PKB;
     
    b.
    BBNKB;
     
    c.
    PAB; dan
     
    d.
    PAP.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    PBBKB;
     
    b.
    Pajak Rokok; dan
     
    c.
    Opsen Pajak MBLB.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah SKPD.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah SPTPD.
    (5)
    Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PKB
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di Daerah di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
     
    d.
    Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
     
    a.
    nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
     
    b.
    bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan Nilai Jual Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
    (4)
    Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
    (5)
    Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
    (6)
    Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
     
    a.
    harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
     
    b.
    penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
     
    c.
    harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
     
    d.
    harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
     
    e.
    harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
     
    f.
    harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
     
    g.
    harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
    (7)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
     
    b.
    koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
    (8)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
     
    a.
    tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
     
    b.
    jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
     
    c.
    jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
    (9)
    Dasar pengenaan PKB untuk Kendaraan Bermotor baru berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
    (10)
    Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (11)
    Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Tarif PKB ditetapkan sebesar 1,1% (satu koma satu persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama oleh pribadi serta untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama dan seterusnya oleh Badan.
    (2)
    Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya oleh pribadi khusus yang berupa Kendaraan bermotor beroda dua dan empat, ditetapkan secara progresif sebagai berikut:
     
    a.
    untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua sebesar 2% (dua persen);
     
    b.
    untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor ketiga sebesar 3% (tiga persen);
     
    c.
    untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor keempat sebesar 4% (empat persen);
     
    d.
    untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kelima dan seterusnya sebesar 5% (lima persen).
    (3)
    Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya oleh pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain yang berupa Kendaraan Bermotor beroda dua dan empat ditetapkan sebesar tarif PKB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (4)
    Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan TNI/POLRI, ditetapkan 0,5% (nol koma lima persen).
    (5)
    Kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya oleh pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan tarif PKB secara progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9) atau ayat (10) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4).
    (2)
    Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
    (3)
    PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (4)
    Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Kendaraan Bermotor belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PKB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BBNKB
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
     
    d.
    Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
    (4)
    Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagai Objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
     
    a.
    untuk diperdagangkan;
     
    b.
    untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
     
    c.
    digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
    (5)
    Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri yang mengatur mengenai nilai jual Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
    (2)
    Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran kendaraan bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PAB
     

    Pasal 16

    (1)
    Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
    (2)
    Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
     
    a.
    Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
     
    b.
    Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
    (2)
    Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
    (2)
    Nilai jual Alat Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
    (3)
    Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
    (4)
    Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
    (2)
    Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
    (3)
    PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
    (4)
    PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
    (5)
    Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    PBBKB
     

    Pasal 22

    (1)
    Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB.
    (2)
    Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
    (3)
    Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
    (4)
    Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
    (3)
    Dalam hal terjadi perubahan tarif yang dilakukan oleh Pemerintah, maka tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menyesuaikan dengan tarif yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 26

    Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    PBBKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAP
     

    Pasal 28

    (1)
    Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (2)
    Saat Terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    keperluan keagamaan;
     
    e.
    kegiatan sosial; dan
     
    f.
    kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (2)
    Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
    (2)
    Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
    (3)
    Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
    (4)
    Bobot Air Permukaan dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
     
    a.
    lokasi pengambilan air;
     
    b.
    volume air; dan
     
    c.
    kewenangan pengelolaan sumber daya air.
    (5)
    Besaran nilai perolehan Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Rokok
     

    Pasal 34

    (1)
    Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
    (2)
    Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
    (3)
    Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
    (2)
    Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    Pajak Rokok yang terutang dipungut di wilayah kepabeanan Indonesia.
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen Pajak MBLB
     

    Pasal 40

    Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak terutang dari Pajak MBLB.
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
    (2)
    Opsen Pajak MBLB dipungut oleh instansi kabupaten atau kota di wilayah Daerah yang berwenang memungut Pajak MBLB bersamaan dengan pemungutan Opsen Pajak MBLB.
    (3)
    Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari besaran pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
    (2)
    Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Wilayah pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 46

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Bagi Hasil Pajak dan Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
     
    Paragraf 1
    Bagi Hasil Pajak
     

    Pasal 47

    (1)
    Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.
    (2)
    Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota.
    (3)
    Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen).
    (4)
    Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.
    (5)
    Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    PBBKB dengan pembagian sebagai berikut:
     
     
    1.
    70% (tujuh puluh persen) dari bagi hasil penerimaan berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan; dan
     
     
    2.
    30% (tiga puluh persen) dari bagi hasil penerimaan dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota;
     
    b.
    PAP dibagi dengan pembagian sebagai berikut:
     
     
    1.
    80% (delapan puluh persen) berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air dan 20% (dua puluh persen) dibagi rata ke seluruh kabupaten/kota; dan
     
     
    2.
    penerimaan PAP dari sumber yang berada pada 1 (satu) kabupaten/kota seluruhnya menjadi penerimaan kabupaten/kota yang bersangkutan;
     
    c.
    Pajak Rokok dibagi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap jumlah penduduk Daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
     

    Pasal 48

    (1)
    Hasil penerimaan atas jenis Pajak berikut:
     
    a.
    PKB; dan
     
    b.
    Pajak Rokok
     
    dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
    (2)
    Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis dan Objek Retribusi Daerah
     

    Pasal 49

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 50

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, dan sosial.
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair.
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 58

    (1)
    Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b yang dipungut meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    d.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
    (7)
    Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    Penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Pelayanan Jasa Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    Pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf g merupakan pemanfaatan atas aset milik dan/atau dalam penguasaan Pemerintah Daerah oleh orang pribadi atau Badan yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya diukur berdasarkan jenis fasilitas, luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat grosir, pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    d.
    pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhanan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    e.
    penjualan hasil produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    f.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II dan III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara perhitungan besaran tarifnya dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 71

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf c yang dipungut Retribusi meliputi:
     
    a.
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing; dan
     
    b.
    Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Pelayanan penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    (1)
    Pelayanan Pengelolaan Pertambangan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
     
    a.
    orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
     
    b.
    koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, atau formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (4)
    Pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada pasal 75 ayat (2) dengan tarif retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Peninjauan Tarif Retribusi
     

    Pasal 79

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
    (4)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus pelayanan penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (5)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang energi dan sumber daya mineral.
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 80

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 81

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    BAB V
    PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, PEMBEBASAN DAN PENUNDAAN
     

    Pasal 82

    (1)
    Gubernur dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak dan/atau objek retribusi.
    (3)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    kemampuan membayar;
     
    b.
    tingkat likuiditas;
     
    c.
    jasa terhadap negara atau Daerah;
     
    d.
    penghargaan kepada wajib pajak atau wajib retribusi;
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan
     
    f.
    kondisi lainnya yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
    (4)
    Kondisi Objek Pajak atau Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    terdampak bencana alam;
     
    b.
    terdampak kebakaran;
     
    c.
    terdampak huru-hara dan/atau kerusuhan;
     
    d.
    rusak berat sehingga tidak dapat dioperasionalkan lagi; dan
     
    e.
    kondisi lainnya yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 83

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
    BAB VII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 84

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KEBIJAKAN EKONOMI DAN PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 85

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (3)
    Kebijakan makro ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan APBN.
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan mempunyai tugas menghitung potensi pendapatan Pajak dan Retribusi bersama-sama dengan Perangkat Daerah penghasil.
    (2)
    Perangkat Daerah penghasil wajib melaporkan potensi dan perubahan potensi pendapatan Pajak dan Retribusi kepada Gubernur melalui Kepala Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan.
    (3)
    Penetapan target Pajak dan Retribusi dilakukan dan dihitung bersama-sama antara Perangkat Daerah penghasil dengan Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan.
    (4)
    Gubernur dapat menunjuk Pejabat di Lingkungan Perangkat Daerah untuk melaksanakan Pemungutan Pajak dan/atau Retribusi.
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PENGENDALIAN, PENGAWASAN, DAN SISTEM INFORMASI
     

    Pasal 87

    (1)
    Gubernur melakukan pengendalian dan pengawasan dalam rangka efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah dapat membentuk dan mengembangkan sistem informasi Pajak dan Retribusi secara elektronik.
    (2)
    Pemerintah Daerah dapat melakukan pemungutan Pajak dan Retribusi secara elektronik dalam rangka efisiensi dan efektifitas pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan sistem informasi dan pemungutan Pajak dan Retribusi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN LAIN-LAIN
     

    Pasal 89

    Dalam hal terjadi perubahan nomenklatur Perangkat Daerah yang menyebabkan beralihnya kewenangan, tugas pokok, fungsi dan/atau aset, maka pemungutan Retribusi dilakukan oleh Pejabat di lingkungan Perangkat Daerah yang menerima kewenangan, tugas pokok, fungsi dan/atau aset.
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 90

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi Daerah;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen Iain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen Iain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
    BAB XII
    SANKSI
     
    Bagian Kesatu
    Sanksi Pidana
     

    Pasal 91

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar, atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Tindak pidana di bidang Pajak tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 95

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak.
    (3)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (4)
    Sanksi administratif berupa denda ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
    (5)
    Besaran sanksi administratif berupa denda ditetapkan sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
    (6)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (7)
    Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 97

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 84, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    (1)
    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, bagi hasil PKB, dan bagi hasil BBNKB dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 2) masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025.
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Gubernur yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 2); dan
    b.
    Peraturan Gubernur yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2021 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6),
    dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 102

    (1)
    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
     
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 2) kecuali ketentuan mengenai PKB, BBNKB, bagi hasil PKB, dan bagi hasil BBNKB; dan
     
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2021 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6),
     
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
    (2)
    Semua Produk Hukum Daerah yang berkaitan dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal 5 Januari 2024.
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat.
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Pontianak
    pada tanggal 5 Januari 2024
    Pj. GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,
    ttd.
    HARISSON
     
    Diundangkan di Pontianak
    pada tanggal 5 Januari 2024
    Pj SEKRETARIS DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT,
    ttd.
    MOHAMMAD BARI
     
    LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.
     
    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan dengan undang-undang yang pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Peraturan Daerah sebagai dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah Daerah diberikan hak dan kewenangan yang lebih luas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang diikuti dengan adanya pengaturan mengenai desentralisasi fiskal yang diatur dalam Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Lebih lanjut, dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap pajak dan pungutan lain yang memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.
     
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Secara yuridis pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus dengan dasar hukum berupa peraturan daerah, di mana peraturan daerah merupakan instrumen hukum bagi Pemerintah Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang memiliki peranan yang sangat strategis dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
     
    Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengatur bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar dalam pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan ini dan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta memberikan jaminan kepastian hukum dalam melakukan pungutan, maka dibentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah dalam pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Provinsi Kalimantan Barat, perlu dilakukan peningkatan pendapatan asli daerah yang bersumber dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, agar dapat berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Daerah untuk kesejahteraan masyarakat.
     
    Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bagi masyarakat. Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini, diharapkan kemampuan Pemerintah Daerah untuk membiayai sebagian kebutuhan pengeluarannya semakin besar, di sisi lain akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajibannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
     
    Contoh: Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2021. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2021 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.
     
    Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
     
    Contoh: Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2021 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2022 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), PT Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada 5 November 2022 sesuai kesepakatan dalam kontrak.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.
    Contoh: Orang pribadi yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Ayat (1)
    BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
     
    Contoh: Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2020 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2021, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2022. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2022 tersebut, terutang BBNKB.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contoh:
    1.
    kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
    2.
    kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
    3.
    kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Contoh: Misal, berdasarkan pendataan oleh Provinsi A didapati bahwa pada tanggal I April 2025, Tuan X yang berlokasi di Provinsi A, memiliki 100 Alat Berat sejak 15 Januari 2025. Dari jumlah tersebut:
    1.
    sebanyak 20 Alat Berat disewakan kepada Tuan Y dan dipergunakan di Provinsi B mulai tanggal 1 Februari 2025 sampai dengan 1 Desember 2025;
    2.
    sebanyak 70 Alat Berat disewakan kepada Tuan Z dan dipergunakan di Provinsi A mulai tanggal 1 Maret 2025 sampai dengan 1 Februari 2026; dan
    3.
    sisanya sebanyak 10 Alat Berat belum disewakan dan berada di Provinsi A.
     
    Berdasarkan kondisi tersebut, Gubernur Provinsi A dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 80 Alat Berat untuk Tuan X yaitu 70 Alat Berat yang disewakan kepada Tuan Z dan 10 Alat Berat yang belum disewakan, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 15 Januari 2025.
     
    Di sisi lain, Provinsi B melakukan pendataan dan didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, terdapat 20 Alat Berat yang disewa oleh Tuan Y tersebut di atas. Untuk itu, Gubernur Provinsi B dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 20 Alat Berat yang disewa Tuan Y sebagai Wajib Pajak untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 1 Februari 2025.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan kegiatan sosial adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air untuk keperluan penanggulangan bahaya kebakaran, peribadatan, dan badan sosial tertentu.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Yang dimaksud dengan “wilayah daerah tempat air permukaan berada” adalah wilayah dimana air permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
     
    Contoh: Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Penyesuaian detail rincian objek sepanjang perubahan detail rincian objek tersebut berada dalam satu rincian objek.
     
    Contoh perubahan detail rincian objek, misal: RSUD Soedarso menyediakan pelayanan penyakit mulut dan konservasi gigi kepada masyarakat. Beberapa tahun kemudian, RSUD Soedarso menyediakan pelayanan baru berupa kemoterapi, farmasi dan bedah mulut. Maka, untuk memungut Retribusi atas pelayanan kemoterapi, farmasi dan bedah mulut, Pemerintah Daerah dapat menambahkan pelayanan kemoterapi dalam Peraturan Gubernur sebagai berikut:
     
    No Perda Peraturan Gubernur Keterangan
    1 Pelayanan Kesehatan Pelayanan Kesehatan Objek Retribusi
    1.1 Pel. Penyakit Mulut Pel. Penyakit Mulut Rincian objek Retribusi
    1.2 Pel. Konservasi Gigi Pel. Konservasi Gigi Rincian objek Retribusi
    1.2.1   Pel. Kemoterapi Detail Rincian Objek Retribusi
    1.2.2   Pel. Farmasi Detail Rincian Objek Retribusi
    1.2.3   Pel. Bedah Mulut Detail Rincian Objek Retribusi
     
    Penyesuaian detail rincian objek dari setiap retribusi antara lain berdasarkan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang dimaksud antara lain rincian objek layanan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau hasil kajian pemerintah.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
     
    Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Tata cara penghitungan besaran tarif ditetapkan dengan ketentuan:
    a) besaran tarif sewa barang milik daerah berupa hasil perkalian dari tarif pokok sewa dan faktor penyesuai sewa;
    b) hasil KSP berupa pendapatan daerah yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Tim berdasarkan hasil perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    c) hasil BGS/BSG berupa kontribusi tahunan yang merupakan pendapatan daerah dihitung oleh Tim yang dibentuk oleh Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    d) besaran pendapatan daerah dari kerjasama penyediaan infrastruktur berupa pembagian kelebihan keuntungan (clawback) dihitung berdasarkan hasil kajian oleh Tim KSPI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah Jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada Peraturan Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 73
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “izin pertambangan rakyat” adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Dalam hal besarnya tarif Retribusi perlu disesuaikan karena biaya penyediaan layanan cukup besar dan/atau besarnya tarif tidak efektif lagi untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat, Gubernur melakukan peninjauan tarif Retribusi
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
     
    Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak atau Retribusi” adalah Perangkat Daerah yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan Pajak atau Retribusi.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas,
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 1

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024