Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
NOMOR 8 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TIMUR,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaan di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
b.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6868);
|
|||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 6322);
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
dan
GUBERNUR JAWA TIMUR
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BUKU KESATU
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
2.
|
Daerah adalah Daerah Provinsi Jawa Timur.
|
|||
3.
|
Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
|
|||
4.
|
Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
|
|||
5.
|
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
|
|||
6.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||
7.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
8.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||
9.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
10.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
11.
|
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
|
|||
12.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
13.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||
14.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, waris, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||
15.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||
16.
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB adalah nilai jual kendaraan bermotor yang diperoleh berdasarkan Harga Pasaran Umum atas suatu kendaraan bermotor, sebagaimana tercantum dalam tabel Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang berlaku.
|
|||
17.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||
18.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||
19.
|
Nilai Jual Alat Berat yang selanjutnya disingkat NJAB adalah Harga Pasaran Umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||
20.
|
Harga Pasaran Umum yang selanjutnya disingkat HPU adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||
21.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
22.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
23.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||
24.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada Permukaan Tanah.
|
|||
25.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||
26.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
27.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
28.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||
29.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||
30.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak Terutang.
|
|||
31.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
|
|||
32.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
33.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||
34.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||
35.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||
36.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak Terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
37.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
38.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak untuk melunasi utang Pajaknya.
|
|||
39.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||
40.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, SKP, atau SKK, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
41.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai dengan kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||
42.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak dan retribusi dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
43.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
|||
44.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
45.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
46.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Provinsi dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
47.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
48.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||
49.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
50.
|
Surat Teguran adalah surat yang ditetapkan oleh Pejabat untuk memberikan peringatan kepada Wajib Retribusi agar melunasi utang Retribusi.
|
|||
51.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
52.
|
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Gubernur untuk menampung seluruh Penerimaan Daerah dan membayar seluruh Pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
|
|||
53.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||
54.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
|||
55.
|
Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau Perangkat Daerah yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
56.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur.
|
|||
57.
|
Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
58.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
|
|||
|
|
|
|
|
BUKU KEDUA
PAJAK DAERAH
BAB I
JENIS DAN MASA PAJAK
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PKB;
|
||
|
b.
|
BBNKB;
|
||
|
c.
|
PAB;
|
||
|
d.
|
PBBKB;
|
||
|
e.
|
PAP;
|
||
|
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
||
|
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur meliputi:
|
|||
|
a.
|
PKB;
|
||
|
b.
|
BBNKB;
|
||
|
c.
|
PAB; dan
|
||
|
d.
|
PAP.
|
||
(3)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak meliputi:
|
|||
|
a.
|
PBBKB;
|
||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
|
|||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak ditetapkan dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK KENDARAAN BERMOTOR
Bagian Kesatu
Objek, Subjek, dan Wajib PKB
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di air.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan PKB
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||
|
a.
|
NJKB; dan
|
||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||
(2)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan HPU atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan HPU pada minggu pertama bulan Desember tahun sebelumnya.
|
|||
(4)
|
Dalam hal HPU suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, NJKB dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor:
|
|||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||
(5)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||
(6)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor:
|
|||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu atau as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||
(7)
|
Dasar pengenaan PKB untuk Kendaraan Bermotor baru berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
|
|||
(8)
|
Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan oleh Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
1,2% (satu koma dua persen) terhadap Kendaraan Bermotor Orang Pribadi atau Badan untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama; dan
|
||
|
b.
|
0,5% (nol koma lima persen) terhadap kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, lembaga sosial dan keagamaan, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria kendaraan angkutan umum, lembaga sosial dan keagamaan, dan sosial keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor pribadi kedua dan seterusnya untuk roda 4 (empat) serta Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) atau roda 3 (tiga) dengan isi silinder 250 cc atau lebih dikenai tarif progresif.
|
|||
(2)
|
Tarif progresif Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar:
|
|||
|
a.
|
1,7% (satu koma tujuh persen) untuk kepemilikan kedua;
|
||
|
b.
|
2,2% (dua koma dua persen) untuk kepemilikan ketiga;
|
||
|
c.
|
2,7% (dua koma tujuh persen) untuk kepemilikan keempat; dan
|
||
|
d.
|
3,2% (tiga koma dua persen) untuk kepemilikan kelima dan seterusnya;
|
||
(3)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
|
|||
|
a.
|
nama atau nomor induk kependudukan; dan
|
||
|
b.
|
alamat yang sama.
|
||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengenaan tarif progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 atau Pasal 8.
|
|||
(2)
|
Wilayah pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Terutangnya PKB
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Wajib PKB wajib melakukan pendaftaran dan/atau pembayaran atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran dan/atau pembayaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
PKB terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan SKPD atau bentuk lain yang dipersamakan.
|
|||
(3)
|
PKB dibayar sekaligus di muka.
|
|||
(4)
|
PKB dikenakan untuk masa pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||
(5)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR
Bagian Kesatu
Objek, Subjek, dan Wajib Pajak BBNKB
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||
|
a.
|
kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di air.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Daerah, kecuali:
|
|||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia; dan
|
||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||
(2)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-urut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan BBNKB
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan BBNKB adalah NJKB.
|
|||
(2)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri yang mengatur mengenai NJKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 12% (dua belas persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
|
|||
(2)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Terutangnya Pajak
Pasal 18 |
||||
Wajib Pajak BBNKB wajib mendaftarkan Kendaraan Bermotor dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
BBNKB terutang timbul sejak diterbitkannya SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
PAJAK ALAT BERAT
Bagian Kesatu
Objek, Subjek, dan Wajib PAB
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan Tarif dan Cara Penghitungan PAB
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB adalah NJAB.
|
|||
(2)
|
NJAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum alat berat yang bersangkutan.
|
|||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(4)
|
Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan Dalam Negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Terutangnya Pajak
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||
(3)
|
Wajib PAB wajib melakukan pendaftaran dan/atau pembayaran PAB.
|
|||
(4)
|
Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan alat berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai alat berat.
|
|||
(2)
|
PAB dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||
(3)
|
PAB dibayar sekaligus di muka.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan alat berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR
Bagian Kesatu
Objek, Subjek, dan Wajib PBBKB
Pasal 26 |
||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
|||
(2)
|
Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir BBKB, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||
(5)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pungut.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran penyedia BBKB sebagai Wajib Pungut dan pemungutan PBBKB oleh Wajib Pungut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan PBBKB
Pasal 28 |
||||
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||
(2)
|
Dalam hal terjadi perubahan tarif PBBKB yang dilakukan Pemerintah, maka tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyesuaikan dengan tarif PBBKB yang ditetapkan oleh Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Terutang Pajak
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh Penyedia BBKB.
|
|||
(2)
|
Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada lembaga penyalur, konsumen, atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Wajib PBBKB wajib mengisi SPTPD.
|
|||
(2)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Gubernur setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PAJAK AIR PERMUKAAN
Bagian Kesatu
Objek, Subjek, dan Wajib PAP
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan/atau memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau) tanpa diolah menjadi air tawar, dengan tetap memperhatikan kelestarian dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan PAP
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PAP adalah Nilai Perolehan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor:
|
|||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||
|
b.
|
volume air; dan
|
||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||
(5)
|
Besaran Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Volume pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan diukur dengan meter air dan/atau alat ukur lainnya.
|
|||
(2)
|
Pendataan dan Penetapan volume pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dilakukan setiap bulan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air dengan atau tanpa Pejabat yang ditunjuk.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendataan dan penetapan Volume pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Terutangnya Pajak
Pasal 38 |
||||
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan volume pengambilan dan/atau pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||
(2)
|
Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat air permukaan berada.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
PAJAK ROKOK
Bagian Kesatu
Objek, Subjek, dan Wajib Pajak Rokok
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
sigaret;
|
||
|
b.
|
cerutu;
|
||
|
c.
|
rokok daun; dan
|
||
|
d.
|
bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 42 |
||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Terutang Pajak
Pasal 45 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
|
|||
(2)
|
Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pemungutan dan Penyetoran
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
|
|||
(2)
|
Pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke RKUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok dilaksanakan sesuai dengan peraturan menteri yang mengatur mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
OPSEN
Bagian Kesatu
Opsen Pajak MBLB
Pasal 47 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak untuk Opsen MBLB merupakan Subjek Pajak MBLB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Opsen Pajak MBLB dipungut oleh instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang berwenang memungut Pajak MBLB bersamaan dengan pemungutan Opsen MBLB.
|
|||
(4)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak MBLB terutang.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
Dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||
(2)
|
Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak Terutang dari Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Besaran pokok opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan tarif Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
|
|||
(4)
|
Wilayah Pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
Tata cara pemungutan Opsen Pajak MBLB dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sinergi Pemungutan Opsen
Pasal 52 |
||||
(1)
|
Pemerintah Provinsi bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka optimalisasi penerimaan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB.
|
|||
(2)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, Opsen BBNKB, atau bentuk sinergi lainnya.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan bentuk sinergi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB, diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Rekonsiliasi Pajak
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Gubernur dan bank tempat pembayaran PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB melakukan rekonsiliasi data penerimaan PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB serta Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB paling lama setiap triwulan.
|
|||
(2)
|
Rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencocokkan:
|
|||
|
a.
|
SKPD atau SPTPD;
|
||
|
b.
|
SSPD;
|
||
|
c.
|
rekening koran bank; dan
|
||
|
d.
|
dokumen penyelesaian kekurangan pembayaran Pajak dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.
|
||
|
|
|
|
|
BAB IX
BAGI HASIL PAJAK DAERAH
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PBBKB, PAP dan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota; atau
|
|
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota.
|
|
|
b.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||
(2)
|
Besaran bagi hasil pajak per Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
PAP dibagi dengan ketentuan:
|
||
|
|
1.
|
secara proporsional paling rendah 50% (lima puluh persen) berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Kabupaten/Kota; atau
|
|
|
|
2.
|
dibagi 50% (lima puluh persen) berdasarkan potensi dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Kabupaten/Kota;
|
|
|
b.
|
PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Kabupaten/Kota;
|
||
|
c.
|
Pajak Rokok dibagi secara proporsional paling rendah 50% (lima puluh persen) berdasarkan jumlah penduduk Kabupaten/Kota dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Kabupaten/Kota.
|
||
(3)
|
Alokasi bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
|
|||
(4)
|
Penyaluran bagi hasil pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah Provinsi ke kas daerah Kabupaten/Kota.
|
|||
(5)
|
Penyaluran bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil pajak.
|
|||
(6)
|
Tata cara pengelolaan bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
(7)
|
Penyaluran bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
PENGGUNAAN HASIL PENERIMAAN PAJAK UNTUK KEGIATAN YANG TELAH DITENTUKAN
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok baik bagian provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
PENERAPAN SISTEM PAJAK DAERAH SECARA ELEKTRONIK
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Pemerintah Provinsi dapat menerapkan sistem Pajak Daerah secara elektronik.
|
|||
(2)
|
Penerapan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
|
|||
|
a.
|
mewujudkan penyelenggaraan administrasi perpajakan Daerah yang efektif dan efisien;
|
||
|
b.
|
meminimalisir kehilangan potensi Pajak;
|
||
|
c.
|
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Pajak; dan
|
||
|
d.
|
memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam pembayaran atau penyetoran Pajak.
|
||
(3)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk berwenang menghubungkan sistem data transaksi usaha yang dimiliki oleh Wajib Pajak dengan sistem yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi secara elektronik.
|
|||
(4)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menunjuk Bank Umum dan/atau e-commerce yang bertindak sebagai pelaksana operasional sistem Pajak Daerah secara elektronik.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan sistem Pajak Daerah secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XII
KERJA SAMA OPTIMALISASI PEMUNGUTAN PAJAK DAN PEMANFAATAN DATA
Bagian Kesatu
Optimalisasi Pemungutan Pajak
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Provinsi dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
|
|||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||
|
b.
|
pemerintah daerah lain; dan/atau
|
||
|
c.
|
pihak ketiga.
|
||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
c.
|
pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
|
||
|
d.
|
pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
|
||
|
e.
|
peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
|
||
|
f.
|
penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
|
||
|
g.
|
kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
|
||
(3)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
|
|||
(4)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Pemerintah Provinsi dapat:
|
|||
|
a.
|
mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1); dan
|
||
|
b.
|
menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
|
||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
|
|||
(3)
|
Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Gubernur bersama mitra kerja sama.
|
|||
(4)
|
Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek kerja sama;
|
||
|
b.
|
maksud dan tujuan;
|
||
|
c.
|
ruang lingkup;
|
||
|
d.
|
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
|
||
|
e.
|
jangka waktu perjanjian;
|
||
|
f.
|
sumber pembiayaan;
|
||
|
g.
|
penyelesaian perselisihan;
|
||
|
h.
|
sanksi;
|
||
|
i.
|
korespondensi; dan
|
||
|
j.
|
perubahan.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Provinsi dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
|||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
IDENTITAS WAJIB PAJAK
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Setiap Wajib Pajak yang telah dan akan melakukan pendaftaran wajib memiliki Identitas Wajib Pajak.
|
|||
(2)
|
Identitas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan daerah.
|
|||
(3)
|
Identitas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
NPWPD untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan; dan
|
||
|
b.
|
NPWPD untuk badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
|
||
|
|
|
|
|
BAB XIV
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||
|
a.
|
Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
|
||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat Lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan daerah, Gubernur berwenang memberi izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Gubernur dapat memberi izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BUKU KETIGA
RETRIBUSI DAERAH
BAB I
JENIS RETRIBUSI
Pasal 62 |
||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
RETRIBUSI JASA UMUM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi adalah pelayanan kesehatan.
|
|||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(3)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(5)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||
(6)
|
Dalam hal BLUD menyediakan atau memberikan pelayanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan tarif layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang BLUD.
|
|||
(7)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(8)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) merupakan pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Cara mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 65 |
||||
Tingkat penggunaan jasa diukur dengan berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan yang diberikan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif
Pasal 66 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 67 |
||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI JASA USAHA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 68 |
||||
(1)
|
Objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
f.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||
|
g.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi; dan
|
||
|
h.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 69
|
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang ditanggung oleh Pemerintah Provinsi untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
Paragraf 1
Umum
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Provinsi untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Provinsi dari pihak lain untuk dijadikan tempat pelelangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 72 |
||||
Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
Paragraf 1
Umum
Pasal 73 |
||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 74 |
||||
Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
Paragraf 1
Umum
Pasal 75 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 76 |
||||
Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
Paragraf 1
Umum
Pasal 77 |
||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 78 |
||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
Paragraf 1
Umum
Pasal 79 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 80 |
||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diukur berdasarkan pelayanan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan Menggunakan Kendaraan di Air
Paragraf 1
Umum
Pasal 81 |
||||
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 82 |
||||
Tingkat penggunaan jasa diukur atas pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Provinsi
Paragraf 1
Umum
Pasal 83 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf g merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 84 |
||||
Tingkat penggunaan jasa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diukur berdasarkan pelayanan jenis dan/atau volume produksi usaha daerah yang disediakan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Pemanfaatan Aset Daerah
Paragraf 1
Umum
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf h dipungut atas pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan, termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
(2)
|
Aset daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aset yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(3)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
(4)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||
(5)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 86 |
||||
Tingkat penggunaan jasa pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) diukur berdasarkan luas tempat, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 87 |
||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB IV
RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf c yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
|
|||
|
a.
|
penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
||
|
b.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
||
(2)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Paragraf 1
Umum
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 90 |
||||
Tingkat penggunaan Jasa oleh pemberi kerja diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu atau masa berlakunya penggunaan TKA bagi TKA dan jumlah pengesahan RPTKA perpanjangan yang diterbitkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Prinsip dan Sasaran Penetapan Besaran Tarif Retribusi
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan Besaran Tarif Retribusi penggunaan TKA didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pengesahan RPTKA perpanjangan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pengesahan RPTKA perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen pengesahan rencana perpanjangan, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan dan biaya dampak negatif dari pengesahan RPTKA perpanjangan dan kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Paragraf 1
Umum
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang IPR oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Prinsip dan Sasaran Penetapan Besaran Tarif Retribusi
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besaran tarif retribusi pengelolaan pertambangan rakyat didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||
Khusus untuk biaya penyelenggaraan pemberian izin pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2), mengacu pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||
Tingkat penggunaan jasa pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan frekuensi pelayanan pembinaan dan pengawasan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 96 |
||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB V
KERJA SAMA DAERAH DALAM PEMUNGUTAN RETRIBUSI
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan pemungutan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan dan pemeriksaan.
|
|||
(3)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian kerja sama daerah.
|
|||
(4)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas pemungutan Retribusi.
|
|||
(5)
|
Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke RKUD secara bruto.
|
|||
(6)
|
Pemberian imbalan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Belanja APBD.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Pemerintah Provinsi dapat melaksanakan kerja sama Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pemungutan Retribusi daerah Kabupaten/Kota.
|
|||
(2)
|
Kerja sama daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian kerja sama daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMANFAATAN PENERIMAAN RETRIBUSI
Pasal 99 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
PENINJAUAN TARIF RETRIBUSI
Pasal 100 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(2)
|
Peninjauan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Dalam penyusunan tarif Retribusi, Perangkat Daerah dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan penilaian, analisis perhitungan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
(4)
|
Perangkat Daerah dalam melaksanakan penyesuaian tarif harus mengusulkan kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BUKU KEEMPAT
LAIN-LAIN
BAB I
TATA CARA PEMUNGUTAN
Pasal 101 |
||||
(1)
|
Gubernur berwenang melakukan pemungutan Pajak meliputi pendataan, pendaftaran, penetapan, pemeriksaan, pembatalan surat ketetapan, pembayaran, penyetoran, pembukuan, pelaporan, serta pengawasan dan penagihan dengan atau tanpa Surat Paksa.
|
|||
(2)
|
Pelaksanaan pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pejabat yang ditunjuk.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa surat ketetapan pajak daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) berupa surat pemberitahuan pajak daerah atau dokumen yang dipersamakan.
|
|||
(3)
|
Dokumen pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||
Retribusi yang terutang dipungut di wilayah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||
(1)
|
Besarnya Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Besarnya Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke RKUD atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke RKUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||
(7)
|
Petugas Pemungut Retribusi wajib menyetor hasil pungutannya ke RKUD dalam jangka waktu 1 (satu) kali dalam 24 (dua puluh empat) jam.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
(2)
|
Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||
|
d.
|
pelaporan;
|
||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||
|
f.
|
pemeriksaaan Pajak;
|
||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
h.
|
keberatan;
|
||
|
i.
|
gugatan;
|
||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
|
||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||
(1)
|
Pembayaran dan penyetoran Pajak dan Retribusi dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||
(2)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, PEMBEBASAN, DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN
Pasal 107 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan Daerah.
|
|||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di Daerah; dan/atau
|
||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Gubernur.
|
||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi objek Pajak dan objek Retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) paling sedikit berupa:
|
|||
|
a.
|
lahan pertanian yang sangat terbatas;
|
||
|
b.
|
tanah dan Bangunan yang ditempati;
|
||
|
c.
|
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu;
|
||
|
d.
|
nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu; dan
|
||
|
e.
|
objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 109 |
||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 110 |
||||
(1)
|
Setiap Wajib PKB yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Wajib Pajak BBNKB yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), dan Wajib PAB yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak.
|
|||
(2)
|
Setiap Wajib PBBKB yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap SPTPD.
|
|||
(3)
|
Setiap Wajib Retribusi yang tidak memenuhi kewajibannya dikenai sanksi administratif berupa bunga.
|
|||
(4)
|
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3), Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dikenai sanksi administratif lainnya berupa:
|
|||
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
||
|
b.
|
penutupan sementara kegiatan usaha;
|
||
|
c.
|
pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
|
||
|
d.
|
pencabutan perizinan berusaha.
|
||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran sanksi administratif dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Gubernur berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||
(1)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak dikenakan bagi Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang mengalami keadaan kahar.
|
|||
(2)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||
|
|
|
|
|
BAB V
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 112 |
||||
(1)
|
Pemerintah Provinsi memberikan kewenangan khusus kepada pejabat pegawai negeri khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 113 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang secara sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 116 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 115 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BUKU KELIMA
PENUTUP
BAB I
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 118 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
|
|||
b.
|
Retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah tentang Retribusi sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Daerah ini masih dapat ditagih selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutang;
|
|||
c.
|
ketentuan terkait pungutan atas pelayanan yang merupakan objek Retribusi oleh BLUD dalam Perda atau Perkada mengenai pengelolaan BLUD dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah ini;
|
|||
d.
|
ketentuan terkait penerimaan atas pemanfaatan asset daerah berupa barang milik daerah yang diatur dalam Perda atau Perkada mengenai pengelolaan barang milik daerah dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah ini; dan
|
|||
e.
|
ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 119 |
||||
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB II
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 120 |
||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Nomor 1 Tahun 2010);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penagihan Pajak Daerah dengan Surat Paksa (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2011 Nomor 1 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1);
|
|||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 Nomor 1), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2019 Nomor 1 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 99),
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan atas:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Nomor 1 Tahun 2010);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penagihan Pajak Daerah Dengan Surat Paksa (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2011 Nomor 1 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1); dan
|
|||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 Nomor 1), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2019 Nomor 1 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 99),
|
|||
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 123 |
||||
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 124 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2024.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Surabaya
pada tanggal 29 Desember 2023
GUBERNUR JAWA TIMUR,
ttd.
KHOFIFAH INDAR PARAWANSA
Diundangkan di Surabaya
pada tanggal 29 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR,
ttd.
ADHY KARYONO, A.K.S., M.A.P.
LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2023 NOMOR 1 SERI B
|
||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
NOMOR 8 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||
|
Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, atas dasar ketentuan konstitusi tersebut, setiap pungutan pajak dan retribusi daerah yang dilakukan oleh daerah harus diatur dan ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut sebelumnya diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dalam implementasinya di daerah diatur dengan peraturan daerah, oleh karena itu, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur mengatur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah.
Pada tanggal 5 Januari 2022 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah merupakan undang-undang baru yang menjadi dasar pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah bagi pemerintahan daerah.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah juga mengatur tentang transfer ke daerah, pengelolaan pembiayaan daerah, serta pembiayaan daerah dan sinergi fiskal. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah bukan hanya mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, melainkan juga mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah membawa implikasi besar terhadap sistem keuangan daerah khususnya sistem perpajakan dan retribusi daerah yang secara normatif menurut ketentuan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Daerah sudah harus menetapkan Peraturan Daerah baru untuk menggantikan Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diundangkan.
Selaras dengan hal tersebut, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka tidak ada lagi pengaturan secara terpisah antara pajak daerah dengan retribusi daerah. Hal tersebut tercermin dari ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa “Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.” Dengan dasar itu, Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Timur harus menetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang baru dengan memuat pengaturan mengenai:
|
||||||||
|
|||||||||
|
|||||||||
|
|||||||||
|
|||||||||
|
1.
|
Pajak Kendaraan Bermotor;
|
|||||||
|
2.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
|
|||||||
|
3.
|
Pajak Alat Berat;
|
|||||||
|
4.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
|
|||||||
|
5.
|
Pajak Air Permukaan;
|
|||||||
|
6.
|
Pajak Rokok;
|
|||||||
|
7.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
|
|||||||
|
8.
|
Retribusi Pelayanan Kesehatan;
|
|||||||
|
9.
|
Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan;
|
|||||||
|
10.
|
Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
|
|||||||
|
11.
|
Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di luar badan jalan;
|
|||||||
|
12.
|
Retribusi Pelayanan Jasa Kepelabuhanan;
|
|||||||
|
13.
|
Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga;
|
|||||||
|
14.
|
Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan Menggunakan Kendaraan di Air;
|
|||||||
|
15.
|
Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah;
|
|||||||
|
16.
|
Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah;
|
|||||||
|
17.
|
Retribusi Izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing; dan
|
|||||||
|
18.
|
Retribusi Izin Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
|
|||||||
|
|
|
|
||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “NJKB” adalah standar nilai kendaraan bermotor yang diwujudkan dalam bentuk angka dan dipergunakan sebagai dasar penetapan Pajak Kendaraan bermotor.
Huruf b
Bobot koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih dari satu berarti kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta Pemerintah Desa di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya adalah kendaraan roda 4 (empat) atau lebih dan kendaraan roda 2 (dua) dengan isi silinder 250 cc atau lebih.
Contoh:
Si A memiliki 2 (dua) buah kendaraan bermotor roda 4 (empat) yaitu 1 (satu) buah jenis Sedan dan 1 (satu) buah jenis Station wagon, 2 (dua) buah sepeda motor matic 115 cc dan 2 (dua) buah sepeda motor dengan isi silinder masing-masing 600 cc dan 1200 cc, maka yang dikenakan PKB tarif progresif adalah mobil kepemilikan kedua dan sepeda motor kepemilikan kedua yang memiliki isi silinder 250 cc atau lebih.
Ayat (2)
Tarif Progresif hanya dikenakan apabila 1 (satu) nama atau nomor induk kependudukan dalam 1 (satu) alamat yang sama memiliki kendaraan bermotor lebih dari 1 (satu). Hal tersebut bertujuan mendukung keakuratan data kendaraan bermotor.
Contoh:
Si A memiliki 2 (dua) buah kendaraan bermotor roda 4 (empat) yaitu 1 (satu) buah jenis Sedan dan 1 (satu) buah jenis station wagon, 2 (dua) buah sepeda motor matic 115 cc, dan 2 (dua) buah sepeda motor dengan isi silinder masing-masing 600 cc dan 1200 cc, maka yang dikenakan PKB tarif progresif adalah mobil kepemilikan kedua dan sepeda motor kepemilikan kedua yang memiliki isi silinder 250 cc atau lebih. Si B memiliki 1 (satu) buah kendaraan bermotor roda 4 (empat). Si A dan Si B dalam 1 Kartu Keluarga (KK) maka si B tidak dikenakan tarif progresif. Penetapan tarif progresif:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Yang dimaksud dengan “nilai jual BBKB” adalah harga jual BBKB dikalikan dengan volume penjualan.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen lain yang dipersamakan” antara lain: karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dari aplikasi pelayanan atau perizinan berbasis elektronik.
Ayat (2)
Lihat penjelasan ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
|
||||||||
|
|
|
|
||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 122
|