Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH
NOMOR 12 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TENGAH,
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TENGAH,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah;
|
||||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH dan GUBERNUR JAWA TENGAH |
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah adalah Provinsi Jawa Tengah.
|
|||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
|
|||
3.
|
Gubernur adalah Gubernur Jawa Tengah.
|
|||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah.
|
|||
5.
|
Daerah Kabupaten/Kota adalah Daerah Kabupaten/Kota di Daerah.
|
|||
6.
|
Perangkat Daerah adalah Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah.
|
|||
7.
|
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Tengah.
|
|||
8.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
9.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
10.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||
11.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
12.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
13.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
14.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
15.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||
16.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||
17.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||
18.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||
19.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||
20.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
21.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
22.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||
23.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||
24.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||
25.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
26.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
27.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
28.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
29.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
30.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
31.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||
32.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||
33.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||
34.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
35.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
36.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
|
|||
37.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||
38.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
39.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||
40.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
41.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||
42.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||
43.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||
44.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
45.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan retribusi Daerah.
|
|||
46.
|
Pelaku Usaha adalah setiap orang perserorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelengarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 2 |
||||
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
|
||||
a.
|
Pajak;
|
|||
b.
|
Retribusi;
|
|||
c.
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
d.
|
Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan Atau Penundaan Pembayaran Atas Pokok Pajak/Retribusi dan/atau Sanksinya;
|
|||
e.
|
Pemeriksaan Pajak dan Retribusi;
|
|||
f.
|
Kerahasiaan Data Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
|
|||
g.
|
Sistem Informasi Pajak dan Retribusi Terintegrasi;
|
|||
h.
|
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
i.
|
Kelembagaan;
|
|||
j.
|
Sinergitas Pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||
k.
|
Pembinaan dan Pengawasan;
|
|||
l.
|
Ketentuan Lain-Lain.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
||||
Jenis Pajak yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
|
||||
a.
|
PKB;
|
|||
b.
|
BBNKB;
|
|||
c.
|
PAB;
|
|||
d.
|
PBBKB;
|
|||
e.
|
PAP;
|
|||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PKB;
|
||
|
b.
|
BBNKB;
|
||
|
c.
|
PAB; dan
|
||
|
d.
|
PAP.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak, terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBBKB;
|
||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PKB
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
Kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di air.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||
|
a.
|
nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
|
||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||
(2)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(4)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||
(5)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||
(6)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||
(8)
|
Dasar pengenaan PKB untuk Kendaraan Bermotor baru berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
|
|||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan oleh Gubernur dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Tarif PKB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama ditetapkan sebesar 1,05% (satu koma nol lima persen).
|
|||
(2)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||
(3)
|
Kepemilikan dan/atau penguasaan kedua dan seterusnya Kendaraan Bermotor orang pribadi roda 2 (dua) dengan kapasitas mesin 200 (dua ratus) cc ke atas, roda 3 (tiga) dan roda 4 (empat) dikenakan tarif secara progresif.
|
|||
(4)
|
Besarnya tarif progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
kepemilikan kedua sebesar 1,40% (satu koma empat puluh persen);
|
||
|
b.
|
kepemilikan ketiga sebesar 1,75% (satu koma tujuh puluh lima persen);
|
||
|
c.
|
kepemilikan keempat sebesar 2,10% (dua koma sepuluh persen); dan
|
||
|
d.
|
kepemilikan kelima dan seterusnya sebesar 2,45% (dua koma empat puluh lima persen).
|
||
(5)
|
Kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||
(6)
|
Tata cara pelaksanaan pengenaan tarif progresif ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8) atau ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor tidak sampai 12 (dua belas) bulan, atas permohonan Wajib Pajak dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BBNKB
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||
|
a.
|
Kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan Lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di air.
|
||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri yang mengatur mengenai nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||
(2)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
(4)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||
(5)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PAB
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah Pusat;
|
||
|
c.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah Kabupaten/Kota.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Nilai jual Alat Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
(2)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||
(3)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat tidak sampai 12 (dua belas) bulan, atas permohonan Wajib Pajak dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
PBBKB
Pasal 22 |
||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
|||
(2)
|
Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||
(4)
|
Penyedia BBKB adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAP
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
keperluan keagamaan;
|
||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau);
|
||
|
f.
|
instansi pemerintah;
|
||
|
g.
|
pemadam kebakaran; dan
|
||
|
h.
|
perkebunan dan kehutanan rakyat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||
|
b.
|
volume air; dan
|
||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak Rokok
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen Pajak MBLB
Pasal 37 |
||||
Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak MBLB terutang.
|
|||
(4)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||
(5)
|
Wilayah Pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari besaran Pajak Terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB dengan tarif Opsen Pajak MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Bagi Hasil Pajak
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah Daerah dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
|
|
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
|
|
|
b.
|
Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||
|
c.
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
|
|||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah Daerah, dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota di Daerah.
|
||
(4)
|
Alokasi Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas Daerah kabupaten/kota.
|
|||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf a, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf b, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 45 |
||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
|||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Paragraf 1
Umum
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
|
|||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Pelayanan Kesehatan
Pasal 47 |
||||
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan pada Rumah Sakit Daerah, Unit Pelaksana Teknis pada Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang kesehatan dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Pelayanan Kebersihan
Pasal 48 |
||||
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
||||
a.
|
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah; dan
|
|||
b.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan meliputi pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 50 |
||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
|||
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 52 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Umum
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
|
||
|
e.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||
|
f.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
g.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
h.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
|
|||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha
Pasal 55 |
||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Tempat Pelelangan
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Penyediaan tempat pelelangan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
|
|||
(2)
|
Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Retribusi Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
Pasal 57 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
Pasal 58 |
||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Retribusi Jasa Kepelabuhanan
Pasal 59 |
||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga
Pasal 60 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha
Pasal 61 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf g merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah
Pasal 62 |
||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf h termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
|
||
|
e.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
||
|
f.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
g.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||
|
h.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 11
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 12
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 65 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 62 dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna;
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
(3)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
(6)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(7)
|
Obyek Retribusi yang belum tercantum di dalam Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (6), besarnya tarif Retribusi dikenakan sesuai klasifikasi obyek Retribusi yang sejenis.
|
|||
(8)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(10)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Umum
Pasal 66 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
||
|
b.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 67 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Pasal 68 |
||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan frekuensi pelayanan pembinaan dan pengawasan.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(4)
|
Pelayanan pengelolaan Pertambangan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
(4)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(6)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan Perpanjangan Tenaga Kerja Asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
(8)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||
(2)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
|||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
|||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
|||
(5)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||
(5)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah).
|
|||
(6)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yaitu:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 75 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, surat perjanjian, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 77 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
|||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||
|
b.
|
terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penghapusan Piutang Pajak Dan Retribusi
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Gubernur melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
|||
(2)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||
(5)
|
Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
|||
|
a.
|
pelaksanaan Penagihan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1); dan
|
||
|
b.
|
hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal Daerah.
|
||
(6)
|
Penetapan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(2)
|
Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN ATAS POKOK PAJAK, POKOK RETRIBUSI DAN/ATAU SANKSINYA
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah dalam mendukung kemudahan berinvestasi dikoordinasikan oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMERIKSAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
|
||
|
b.
|
terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
|
||
|
c.
|
Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK DAN WAJIB RETRIBUSI
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
SISTEM INFORMASI PAJAK DAN RETRIBUSI TERINTEGRASI
Bagian Kesatu
Penetapan Target Penerimaan Pajak Dan Retribusi Dalam APBD
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
|||
|
a.
|
kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
|
||
|
b.
|
potensi Pajak dan Retribusi.
|
||
(2)
|
Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
|
|||
(3)
|
Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
|
|||
(3)
|
Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi dapat diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 89 |
||||
Kelembagaan Pajak dan Retribusi terdiri atas unsur meliputi:
|
||||
a.
|
Tata Kelola;
|
|||
b.
|
Organisasi;
|
|||
c.
|
Sarana Prasarana; dan
|
|||
d.
|
Sumber Daya Manusia.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Tata Kelola
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 huruf a dilaksanakan dalam bentuk kebijakan strategis dan operasional.
|
|||
(2)
|
Kebijakan strategis dan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kebijakan berupa:
|
|||
|
a.
|
penyusunan Roadmap Pajak dan Retribusi;
|
||
|
b.
|
penyusunan produk hukum maupun kebijakan bukan produk hukum yang berlaku di lingkungan Pemerintah Daerah maupun pelaksanaan kebijakan Pemerintah Pusat;
|
||
|
c.
|
sinergitas pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
d.
|
kebijakan strategis dan operasional lainnya sesuai dengan kewenangan dan kebutuhan Pemerintah Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Organisasi
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Pengelolaan Pajak oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah.
|
|||
(2)
|
Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah melaksanakan dan/atau mengkoordinasikan pengelolaan Pajak dan Retribusi dengan Perangkat Daerah dan instansi terkait.
|
|||
(3)
|
Pembentukan struktur organisasi dan tata kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kelembagaan perangkat daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan klasifikasi Unit Kerja pada Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah berdasarkan parameter antara lain:
|
|||
|
a.
|
jumlah objek Pajak dan Retribusi pada wilayah kerjanya; dan
|
||
|
b.
|
capaian kinerja.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan klasifikasi Unit Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Dalam rangka mendukung penyelenggaraan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah melaksanakan pemenuhan sarana dan prasarana.
|
|||
(2)
|
Pemenuhan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa melengkapi sarana dan prasarana yang sudah ada dan/atau pengadaan sarana dan prasarana baru.
|
|||
(3)
|
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai pengungkit dalam rangka memaksimalkan pelayanan kepada Masyarakat dan penerimaan Pajak dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Sumber Daya Manusia
Pasal 94 |
||||
(1)
|
Pengembangan sumber daya manusia dalam rangka penyelenggaraan Pajak dan Retribusi dilakukan melalui:
|
|||
|
a.
|
peningkatan kompetensi aparatur pemerintahan;
|
||
|
b.
|
penetapan kelas jabatan.
|
||
(2)
|
Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui berbagai kegiatan antara lain:
|
|||
|
a.
|
pelatihan dan/atau bimbingan teknis;
|
||
|
b.
|
studi banding;
|
||
|
c.
|
pengembangan laboratorium lapangan;
|
||
|
d.
|
pendampingan;
|
||
|
e.
|
peningkatan kompetensi bentuk lainnya.
|
||
(3)
|
Penetapan kelas jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memperhatikan beban kerja penyelenggaraan Pajak dan Retribusi pada Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 95 |
||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
|
|||
(3)
|
Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
|||
|
a.
|
pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
b.
|
penanganan piutang Pajak dan Retribusi;
|
||
|
c.
|
melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi Pajak dan Retribusi;
|
||
|
d.
|
optimalisasi pelaksanaan Opsen Pajak;
|
||
|
e.
|
pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
|
||
|
f.
|
penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
|
||
|
g.
|
mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
|
||
|
h.
|
pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektivitas pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
i.
|
pelaksanaan kerja sama teknis;
|
||
|
j.
|
pertukaran data dan informasi; dan
|
||
|
k.
|
hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Pelaksanaan sinergitas, koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
|
|||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
|
||
|
c.
|
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
|
||
(2)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan unsur:
|
|||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||
|
b.
|
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
||
|
c.
|
Pemerintah Kabupaten/Kota;
|
||
|
d.
|
Pemerintah Desa;
|
||
|
e.
|
Badan Hukum; dan/atau
|
||
|
f.
|
Unsur lainnya sesuai kebutuhan.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Gubernur.
|
|||
(2)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
|
|||
|
a.
|
koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
b.
|
penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
|
||
|
c.
|
pengelolaan Pajak dan Retribusi serta evaluasinya.
|
||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
|
||||
Sebagian dari penerimaan Pajak dan Retribusi oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi, penanganan piutang Pajak dan Retribusi serta pemungutan Opsen Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 99 |
||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XV
SANKSI PIDANA
Pasal 100 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 104 |
||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100, Pasal 102 dan Pasal 103 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105 |
||||
Seluruh penerimaan Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah mengenai Pajak yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dibagihasilkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bagi hasil Pajak yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
|
|||
b.
|
Pajak dan Retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah yang berlaku sebelum Peraturan Daerah ini masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun untuk Pajak dan 3 (tiga) tahun untuk Retribusi terhitung sejak saat terutang;
|
|||
c.
|
semua perjanjian sewa aset barang milik daerah yang merupakan objek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah yang telah ada sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah ini masih berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian;
|
|||
d.
|
perpanjangan perjanjian atau perjanjian baru atas sewa aset barang milik daerah yang merupakan objek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah yang sedang berproses berpedoman pada ketentuan Peraturan Daerah ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku ketentuan mengenai PKB dan BBNKB yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 Nomor 2 Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 32) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017 Nomor 7 Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 92) masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 109 |
||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 88, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 110 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 Nomor 1 Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 31) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2019 Nomor 7 Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 112);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 Nomor 2 Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 32) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017 Nomor 7 Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 92);
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||
Peraturan Gubernur sebagai peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama pada tanggal Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Semarang
pada tanggal 23 November 2023
Pj. GUBERNUR JAWA TENGAH,
ttd.
NANA SUDJANA
Diundangkan di Semarang
pada tanggal 23 November 2023
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH,
ttd.
SUMARNO
LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2023 NOMOR 12
|
||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH
NOMOR 12 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||
|
Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Restrukturisasi jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu hal penting dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tersebut, selain juga pengaturan mengenai TKD meliputi DBH, DAU, DAK Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan serta Dana Desa.
Selain hal-hal dimaksud Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah dengan tidak menambah beban maksimum yang dapat ditanggung Wajib Pajak pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.
Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang juga dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
Dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur bahwa Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.
Selain berpedoman pada substansi yang harus diatur dalam Peraturan Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah dalam satu Peraturan Daerah, dalam Peraturan Daerah juga mengatur hal lain yang bersifat muatan lokal dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diantaranya sistem informasi terintegrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kelembagaan (meliputi tata Kelola, organisasi, sarana dan prasarana, sumber daya manusia) sinergitas pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dibentuk Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||||||
|
||||||||||||
|
||||||||||||
|
||||||||||||
|
||||||||||||
|
||||||||||||
|
||||||||||||
|
||||||||||||
|
|
|
||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan frase "kendaraan bermotor" yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara merupakan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai alat tempur dan keamanan, diantaranya Tank, Panser, Water Cannon.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan frase "ambulans" merupakan Kendaraan Bermotor yang memenuhi persyaratan dan klasifikasi baik administratif maupun teknis sebagai ambulans sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.
Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kepemilikan" merupakan hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
Contoh: Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2025. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2025 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.
Yang dimaksud dengan "penguasaan" adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Contoh: Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2O25 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2026 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), PT Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada tanggal 5 November 2026 sesuai kesepakatan dalam kontrak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan kahar (force majeure)" merupakan suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Pajak diantaranya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan lagi karena bencana alam, kebakaran, kerusuhan massal atau huru-hara, wabah penyakit; dan/atau keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
Contoh: Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2025 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2026, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2027. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2O27 tersebut, terutang BBNKB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contohnya kendaraan yang dibawa oleh wisatawan; kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "keadaan kahar (force majeure)" merupakan suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Pajak diantaranya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan lagi karena bencana alam, kebakaran, kerusuhan massal atau huru-hara, wabah penyakit; dan/atau keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada" adalah wilayah di mana Air Permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
Contoh: Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah Provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah Provinsi A dan hilirnya berada di wilayah Provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah Provinsi B.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Yang dimaksud dengan "bersamaan" adalah pembayaran Opsen Pajak MBLB dilakukan sekaligus dengan pembayaran Pajak MBLB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis
Pasal 41
Ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek Pajak yang dapat dikenai Pajak.
Yang dimaksud dengan "syarat subjektif" merupakan persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan frase "syarat objektif" merupakan persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dan dapat disinergikan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 58
Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "jabatan tertentu" merupakan jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "izin pertambangan rakyat" adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Analisis risiko dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kalimat "Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD" merupakan penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD yang dilakukan melalui antara lain namun tidak terbatas pada parameter:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kalimat "Potensi Pajak dan Retribusi" merupakan kemampuan pemungutan Pajak dan Retribusi tanpa adanya gangguan/hambatan bersifat internal maupun eksternal.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kalimat "Basis data" merupakan kumpulan data yang saling berhubungan yang disimpan secara bersama sedemikian rupa tanpa pengulangan (redundancy) yang tidak perlu untuk memenuhi kebutuhan sehingga diperoleh kemudahan, ketepatan dan kecepatan dalam pengambilan data.
Yang dimaksud dengan kalimat "target penerimaan Pajak dan Retribusi" merupakan kemampuan pemungutan Pajak dan Retribusi dengan mempertimbangkan gangguan/hambatan bersifat internal maupun eksternal.
Gangguan/hambatan internal merupakan gambaran kemampuan instansi dalam pemungutan Pajak dan Retribusi dengan tersedianya sumber daya manusia serta sarana dan prasarana baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Gangguan/hambatan eksternal merupakan gambaran kepatuhan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi dalam melaksanakan kewajibannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan frase "Unit Kerja" merupakan Unit Pelaksana Teknis pada Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah.
Penetapan klasifikasi dilakukan antara lain dalam rangka optimalisasi kebijakan pengelolaan Pajak dan Retribusi, pembinaan dan pengawasan, kebutuhan penganggaran, sumber daya manusia serta sarana dan prasarana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pihak lainnya" merupakan pihak-pihak yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi.
Ayat (3)
Huruf a
Sinergi dalam pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi dilakukan sesuai dengan kewenangan yang melekat pada Pemerintah Daerah sebagai pemungut Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sinergi dilakukan sesuai dengan kewenangan yang melekat pada Pemerintah Daerah sebagai pemungut Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan frase "Pemerintah Kabupaten/Kota" merupakan unsur Pemerintah Kabupaten/Kota yang dalam pelaksanaannya dapat melibatkan unsur kewilayahan pada Pemerintah Kabupaten/Kota diantaranya Camat, Lurah, Kepala Desa serta Lembaga Kemasyarakatan Desa diantaranya Rukun Tetangga, Rukun Warga, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Karang Taruna serta unsur lainnya.
Yang dimaksud dengan frase "Badan Hukum" antara lain badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan badan usaha milik desa.
Yang dimaksud dengan "Unsur lainnya sesuai kebutuhan" diantaranya Pemerintah Provinsi Lain, Pemerintah Kabupaten/Kota pada Pemerintah Provinsi Lain maupun pihak lainnya sesuai kebutuhan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
|
|||||||||||
|
|
|
||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 153
|