Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
NOMOR 9 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA BARAT,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa sesuai ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
b.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4410);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
7.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4);
|
|||
8.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6866);
|
|||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
13.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 157);
|
|||
14.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2022 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 256);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
dan
GUBERNUR JAWA BARAT
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah Provinsi adalah Daerah Provinsi Jawa Barat.
|
|||
2.
|
Pemerintah Daerah Provinsi adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Otonom.
|
|||
3.
|
Gubernur adalah Gubernur Jawa Barat.
|
|||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat.
|
|||
5.
|
Daerah Kabupaten/Kota adalah Daerah Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi.
|
|||
6.
|
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi.
|
|||
7.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi.
|
|||
8.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah Provinsi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
9.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah Provinsi sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
10.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||
11.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
12.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
13.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
14.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
15.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||
16.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||
17.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||
18.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||
19.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||
20.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||
21.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
22.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
23.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||
24.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||
25.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
|
|||
26.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
|||
27.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||
28.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
29.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Kabupaten/Kota atas pokok PKB sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
30.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Kabupaten/Kota atas pokok BBNKB sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
31.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
32.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
33.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
34.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
35.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
36.
|
Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap kendaraan bermotor yang dipergunakan untuk mengangkut orang atau barang dengan dipungut bayaran dan memiliki izin angkutan dan/atau izin trayek.
|
|||
37.
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB adalah nilai jual kendaraan bermotor yang diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor sebagaimana tercantum dalam tabel nilai jual kendaraan bermotor yang berlaku.
|
|||
38.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
39.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
|
|||
40.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan adalah Surat Ketetapan Pajak yang menetapkan besarnya jumlah pajak.
|
|||
41.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
42.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah yang masih harus dibayar.
|
|||
43.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah Surat Ketetapan Pajak yang menetapkan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
|
|||
44.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menetapkan jumlah pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
45.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
|
|||
46.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah Surat Ketetapan Pajak yang menetapkan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
|
|||
47.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah Surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
48.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
49.
|
Surat Keputusan Pembetulan yang selanjutnya disingkat SKP adalah Keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau STPD.
|
|||
50.
|
Surat Keputusan Keberatan yang selanjutnya disingkat SKK adalah Keputusan atas Keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
51.
|
Surat Paksa adalah Surat Perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
|
|||
52.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
53.
|
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||
Jenis Pajak terdiri atas:
|
||||
a.
|
PKB;
|
|||
b.
|
BBNKB;
|
|||
c.
|
PAB;
|
|||
d.
|
PBBKB;
|
|||
e.
|
PAP;
|
|||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PKB;
|
||
|
b.
|
BBNKB;
|
||
|
c.
|
PAB; dan
|
||
|
d.
|
PAP.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBBKB;
|
||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PKB
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di Daerah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat;
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan;
|
||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai pabrikan atau importir yang semata-mata tersedia untuk dipamerkan; dan
|
||
|
f.
|
Kendaraan Bermotor yang tidak digunakan karena disegel, disita oleh negara dan/atau dibekukan oleh negara.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi, Badan, dan instansi pemerintah yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi, Badan, dan instansi pemerintah yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian dari:
|
|||
|
a.
|
NJKB; dan
|
||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan NJKB.
|
|||
(3)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||
(4)
|
NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, NJKB dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB untuk Kendaraan Bermotor baru berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB.
|
|||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan dan/atau penyesuaian NJKB dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||
(11)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (10) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Tarif PKB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama ditetapkan sebesar 1,12% (satu koma satu dua persen).
|
|||
(2)
|
Tarif PKB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor secara progresif ditetapkan sebesar:
|
|||
|
a.
|
1,62% (satu koma enam dua persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua;
|
||
|
b.
|
2,12% (dua koma satu dua persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor ketiga;
|
||
|
c.
|
2,62% (dua koma enam dua persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor keempat; dan
|
||
|
d.
|
3,12% (tiga koma satu dua persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kelima dan seterusnya.
|
||
(3)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||
(4)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, dan angkutan sekolah ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan serta Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor Instansi Pemerintah ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||
(5)
|
Penerapan tarif PKB progresif tidak berlaku bagi kendaraan bukan umum yang dimiliki oleh Badan, instansi pemerintah, dan kendaraan umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) atau ayat (2) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
PKB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
PKB dibayar sekaligus di muka.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Penerimaan PKB tidak dibagihasilkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
|
|||
(2)
|
Opsen PKB yang menjadi hak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikenakan terhadap PKB terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BBNKB
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan atas:
|
|||
|
a.
|
kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat;
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai pabrikan atau importir yang semata-mata tersedia untuk dipamerkan.
|
||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||
|
d.
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi, Badan, dan instansi pemerintah yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi, Badan, dan Instansi Pemerintah yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
Dasar pengenaan BBNKB adalah NJKB yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9) dan ayat (10).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Tarif BBNKB atas penyerahan pertama kendaraan bermotor roda empat atau lebih, roda tiga, dan roda dua ditetapkan sebesar:
|
|||
|
a.
|
12% (dua belas persen), untuk kendaraan bermotor orang pribadi, Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri; dan
|
||
|
b.
|
8,80% (delapan koma delapan nol persen), untuk Kendaraan Bermotor angkutan umum.
|
||
(2)
|
Tarif BBNKB Ex Dump Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri, serta kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah, yang belum dikenakan BBNKB atas penyerahan pertama, ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
umur kendaraan 1 sampai dengan 5 tahun, sebesar 10% (sepuluh persen) dari NJKB;
|
||
|
b.
|
umur kendaraan diatas 5 tahun sampai dengan 10 tahun, sebesar 10% (sepuluh persen) dari hasil perkalian 40% (empat puluh persen) dari NJKB; dan
|
||
|
c.
|
umur kendaraan di atas 10 tahun, sebesar 10% (sepuluh persen) dari hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dari NJKB.
|
||
(3)
|
Tarif BBNKB hibah ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
kendaraan hibah yang belum dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari NJKB; dan
|
||
|
b.
|
kendaraan hibah kepada yayasan yang semata-mata bergerak di bidang sosial dan keagamaan yang belum dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari hasil perkalian 10% dari NJKB.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||
(2)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar atau tempat lain yang ditetapkan Gubernur.
|
|||
(4)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||
(5)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Penerimaan BBNKB tidak dibagihasilkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
|
|||
(2)
|
Opsen BBNKB yang menjadi hak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikenakan terhadap BBNKB terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pajak Alat Berat
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah Pusat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi dan Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi dan Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) dari nilai jual alat berat.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
PAB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
(2)
|
PAB dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||
(3)
|
PAB dibayar sekaligus di muka.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran PAB yang didaftarkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
PAB baru yang berasal dari dealer/sub dealer, dihitung sejak tanggal faktur;
|
||
|
b.
|
PAB yang berubah kepemilikan, dihitung berdasarkan tanggal kuitansi; dan
|
||
|
c.
|
PAB yang beralih penguasaan, dihitung berdasarkan tanggal peralihan penguasaan.
|
||
(2)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
PBBKB
Pasal 24 |
||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
|||
(2)
|
Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 adalah produsen dan/atau importir BBKB, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
Dasar Pengenaan PBBKB merupakan nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||
(4)
|
Setiap pelaku usaha yang beroperasional di Daerah Provinsi wajib menggunakan bahan bakar dari penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) di wilayah pemungutan PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Dalam hal pelaku usaha tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaku usaha dikenai sanksi administratif berupa:
|
|||
|
a.
|
teguran lisan;
|
||
|
b.
|
teguran tertulis;
|
||
|
c.
|
penghentian sementara kegiatan; dan/atau
|
||
|
d.
|
bentuk lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(6)
|
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan secara bertahap, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pajak Air Permukaan
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||
|
e.
|
kegiatan non komersil yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAP merupakan Nilai Perolehan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Nilai Perolehan Air Permukaan adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||
|
b.
|
volume air; dan
|
||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||
(5)
|
Penghitungan besaran Nilai Perolehan Air Permukaan dilakukan oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi penunjang pendapatan daerah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari Perangkat Daerah yang melaksanakan sub urusan sumber daya air dan Perangkat Daerah terkait.
|
|||
(6)
|
Besaran Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
|||
(2)
|
Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat air permukaan berada.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran PAP terutang sejak ditetapkan SKPD.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Rokok
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||
(3)
|
Wajib Pungut Pajak Rokok adalah instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 40 |
||||
Objek Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Subjek Pajak MBLB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Wajib Pungut Opsen Pajak MBLB adalah instansi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersangkutan yang berwenang memungut Pajak MBLB.
|
|||
(4)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak MBLB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 45 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi Daerah Kabupaten/Kota dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada Daerah Kabupaten/Kota sebesar:
|
||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) Daerah Kabupaten/Kota; atau
|
|
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) Daerah Kabupaten/Kota.
|
|
|
b.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada Daerah Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada Daerah Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar Daerah Kabupaten/Kota.
|
|||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi, dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional sebesar 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi; dan
|
||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk Daerah Kabupaten/Kota.
|
||
(4)
|
Alokasi Besaran bagi hasil pajak per Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas Daerah Kabupaten/Kota.
|
|||
(2)
|
Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 48 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 49 |
||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||
(2)
|
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas objek Retribusi, rincian objek Retribusi, dan tarif.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a adalah pelayanan kesehatan.
|
|||
(2)
|
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Gubernur, yang dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(5)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya oleh Pemerintah Daerah Provinsi untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum dalam pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan, yang meliputi jasa penyediaan sarana, jasa pelayanan medik, jasa pelayanan non medik, pemakaian bahan dan penyediaan prasarana.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(3)
|
Dalam hal kejadian luar biasa yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atas pelayanan kesehatan yang diberikan dapat tidak dikenakan retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||
|
d.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
f.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||
|
g.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Provinsi; dan
|
||
|
h.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Gubernur, yang dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(5)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf g merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
Pemanfaatan aset Pemerintah Daerah Provinsi yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf h, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya oleh Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian aset Daerah;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan dan jangka waktu pemakaian tempat parkir;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||
|
d.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
f.
|
pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian dan/atau volume/jumlah orang atau barang yang menggunakan fasilitas penyeberangan di air;
|
||
|
g.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan penyediaan sarana dan prasarana, pemakaian bahan, pelayanan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||
|
h.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian aset Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta bentuk pemanfaatan Barang Milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Umum
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
||
|
b.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya oleh Pemerintah Daerah Provinsi untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan frekuensi pelayanan pembinaan dan pengawasan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 75 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(4)
|
Peninjauan terhadap tarif Retribusi layanan penggunaan tenaga kerja asing, berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan pemerintah pusat di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||
|
b.
|
Koperasi atau Badan Usaha lainnya yang dikelola masyarakat serta anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||
(3)
|
Biaya pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||
(4)
|
Struktur dan besaran tarif pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berpedoman pada peraturan menteri yang membidangi urusan energi dan sumber daya mineral.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, tercantum dalam Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan setiap jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
(4)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
Ketentuan pemberian insentif sebagaimana dalam Pasal 79, tidak berlaku dalam hal penghasilan Aparatur Sipil Negara di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB V
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengaturan mengenai:
|
|||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan Pajak;
|
||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi Terutang;
|
||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||
|
d.
|
pelaporan;
|
||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
h.
|
keberatan;
|
||
|
i.
|
gugatan;
|
||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
|
||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Pajak
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Gubernur.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan satu NPWPD berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Gubernur melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau Objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
|||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah SKPD.
|
|||
(5)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah SPTPD.
|
|||
(6)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
|
|||
(7)
|
Gubernur dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||
(8)
|
Pelaksanaan proses pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Kepala Perangkat Daerah yang membidangi fungsi penunjang pendapatan.
|
|||
(9)
|
Pelaksanaan penagihan Pajak dilakukan oleh Jurusita pajak yang diangkat oleh Kepala Perangkat Daerah yang membidangi fungsi penunjang pendapatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Gubernur dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||
(2)
|
SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
jika berdasarkan hasil pemeriksaan, pajak yang terutang tidak atau kurang bayar;
|
||
|
b.
|
jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi penunjang pendapatan daerah dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran, pajak yang terutang dihitung secara jabatan; dan
|
||
|
c.
|
jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
|
||
(3)
|
SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang.
|
|||
(4)
|
SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
|
|||
(5)
|
SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
|||
(6)
|
Atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur dapat melakukan pembetulan STPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB dalam bentuk SKP yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
(7)
|
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat membatalkan atau mengurangkan ketetapan pajak.
|
|||
(8)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan SKPDLB secara tertulis yang ditindaklanjuti dengan SKK.
|
|||
(9)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SKK.
|
|||
(10)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKP, SKK, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||
Gubernur dan bank tempat pembayaran PKB dan BBNKB, melakukan rekonsiliasi data penerimaan PKB dan BBNKB serta Opsen PKB dan Opsen BBNKB setiap triwulan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak dapat dilaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemungutan Retribusi
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||
(7)
|
Pemerintah Daerah Provinsi dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Sinergi Pemungutan Opsen
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Opsen PKB yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pemungutan PKB, dengan ketentuan alokasi sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
1,5% (satu koma lima persen) dari penerimaan Opsen PKB lebih dari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah);
|
||
|
b.
|
1,75% (satu koma tujuh lima persen) dari penerimaan Opsen PKB antara Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah); dan
|
||
|
c.
|
2,0% (dua koma nol persen) dari penerimaan Opsen PKB kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan bentuk sinergi antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada pemungutan PKB diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Opsen BBNKB yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan optimalisasi penerimaan BBNKB, dengan ketentuan alokasi sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
1,5% (satu koma lima persen) dari penerimaan opsen BBNKB lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
|
||
|
b.
|
1,75% (satu koma tujuh lima persen) dari penerimaan opsen BBNKB antara Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan
|
||
|
c.
|
2,0% (dua koma nol persen) dari penerimaan opsen BBNKB kurang dari Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada pemungutan BBNKB diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penentuan Pembayaran
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Retribusi yang tercantum dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan harus dibayar sekaligus.
|
|||
(2)
|
Retribusi yang terutang harus dibayar paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||
(3)
|
Terhadap pembayaran Retribusi, diberikan tanda bukti pembayaran.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Pembayaran Retribusi dilakukan di Kas Daerah, bank atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pembayaran dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, maka hasil penerimaan Retribusi harus disetorkan ke Kas Daerah paling lama 1 x 24 jam.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur berbeda dengan saat penetapan SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (4), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD.
|
|||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
|||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
|||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
|||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
|||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
Pasal 94 |
||||
(1)
|
Gubernur melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas penagihan Pajak.
|
|||
(2)
|
Gubernur memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa, dapat dihapuskan.
|
|||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||
(5)
|
Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah penagihan dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1), dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan penagihan.
|
|||
(6)
|
Penetapan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah daerah.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
|||
(2)
|
Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah penagihan dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1), dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan penagihan.
|
|||
(4)
|
Penetapan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah daerah.
|
|||
(5)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK DAN/ATAU SANKSI PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional;
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Gubernur.
|
||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||
(6)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi, berdasarkan usulan Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
lahan pertanian yang sangat terbatas;
|
||
|
b.
|
tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu;
|
||
|
c.
|
nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu; dan
|
||
|
d.
|
objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Gubernur dapat menetapkan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi.
|
|||
(2)
|
Keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat;
|
||
|
b.
|
adanya prakiraan potensi ekonomi Daerah;
|
||
|
c.
|
upaya peningkatan investasi Daerah;
|
||
|
d.
|
dukungan pemeliharaan lingkungan; dan/atau
|
||
|
e.
|
upaya percepatan penerimaan pendapatan daerah.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
||||
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
|||
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 101 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||
|
a.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
SISTEM INFORMASI PENGELOLAAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Pasal 102 |
||||
(1)
|
Gubernur membangun sistem informasi pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
(2)
|
Pembangunan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi penunjang pendapatan daerah.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 103 |
||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyididikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
i.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||
|
j.
|
melakukan Tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Administrasi
Pasal 104 |
||||
Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) wajib mengisi SPTPD.
|
|||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||
(5)
|
Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(6)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||
Atas pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6), terhadap Wajib Pajak yang dinyatakan kurang bayar dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||
(1)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) huruf a, Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari pajak yang kurang atau terlambat bayar, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(2)
|
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) huruf b dan huruf c, Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
|
|||
|
a.
|
kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan Pasal 3 ayat (4) huruf b; atau
|
||
|
b.
|
kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.
|
||
(3)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT.
|
|||
(4)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (8), ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (9), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|||
(6)
|
Jumlah tagihan dalam STPD setelah jatuh tempo pembayaran, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (10).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2), atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 109 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 110 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||
(1)
|
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Tindak pidana di bidang Retribusi Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat Retribusi terutang.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, dan Pasal 106 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XI
KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEURE)
Pasal 114 |
||||
(1)
|
Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), dan Pasal 27 ayat (3), yaitu meliputi keadaan-keadaan:
|
|||
|
a.
|
perang, penyerbuan, pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, wabah penyakit, perang saudara, tindakan Pemerintah dalam rangka kedaulatannya, gempa bumi, angin ribut, gelombang besar, banjir, atau setiap kekuatan-kekuatan alam yang tidak dapat dihindari dengan pandangan ke depan dan kemampuan yang wajar dari pihak yang terkena peristiwa tersebut, menghilangnya bahan-bahan konstruksi dan persediaan barang-barang yang diperlukan dari pasaran, pemogokan-pemogokan, penutupan pintu bagi buruh yang ingin bekerja (lockouts), atau kegaduhan perburuhan yang lain serta peristiwa-peristiwa di luar batas kewajaran dari pihak yang pelaksanaan kewajibannya terhambat oleh peristiwa keadaan kahar, kecuali kekurangan dana dan peristiwa-peristiwa lain yang dapat dihindari atau diatasi secara wajar oleh pandangan ke depan dan kemampuan yang lumrah dari pihak yang terkena; dan
|
||
|
b.
|
perubahan kebijakan Pemerintah yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan.
|
||
(2)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang terkena harus memberitahukan kepada pihak lainnya dan dilakukan proses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XII
PENGAWASAN
Pasal 115 |
||||
(1)
|
Pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Perangkat Daerah yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan preventif dan pengawasan represif.
|
|||
(3)
|
Tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||
b.
|
seluruh penerimaan Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dibagihasilkan berdasarkan Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur mengenai bagi hasil Pajak yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
c.
|
tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) untuk tahun 2024 tetap dikenakan berdasarkan Peraturan Daerah mengenai Pajak yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan
|
|||
d.
|
tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) untuk tahun 2024 tetap dikenakan berdasarkan Peraturan Daerah mengenai Pajak yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Nomor 13 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 105) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2019 Nomor 238, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 238); dan
|
|||
b.
|
Peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Nomor 14 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 106) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Nomor 6),
|
|||
dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 118 |
||||
(1)
|
Peraturan Gubernur mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB ditetapkan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini ditetapkan.
|
|||
(2)
|
Opsen Pajak MBLB dipungut atas Pajak MBLB terutang yang pelaksanaannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119 |
||||
(1)
|
Tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan tarif BBNKB atas penyerahan kendaraan bermotor roda empat atau lebih, roda tiga dan roda dua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2025.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 120 |
||||
Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Nomor 13 Seri B, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 105);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Nomor 14 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 106);
|
|||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 19 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 Nomor 19 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 177);
|
|||
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 224); dan
|
|||
e.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2019 Nomor 238, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 238),
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Bandung
pada tanggal 29 Desember 2023
Pj. GUBERNUR JAWA BARAT,
ttd.
BEY TRIADI MACHMUDIN
Diundangkan di Bandung
pada tanggal 29 Desember 2023
Pj. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI JAWA BARAT,
ttd.
MOHAMMAD TAUFIQ BUDI SANTOSO
LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2023 NOMOR 9
|
||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
NOMOR 9 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka pengaturan sumber-sumber pendanaan Daerah secara terintegrasi, Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Ketentuan tersebut didesain untuk mengoptimalkan kapasitas fiskal daerah dengan meningkatkan pendapatan asli daerah, melaksanakan transfer ke daerah yang berkualitas dan memperluas akses pembiayaan. Peningkatan kapasitas fiskal daerah dapat dicapai dengan memperkuat desentralisasi fiskal agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia lebih merata. Untuk mengoptimalkan desentralisasi fiskal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 disusun berdasarkan 4 pilar yaitu ketimpangan vertikal dan horizontal yang menurun, penguatan local taxing power, peningkatan kualitas belanja daerah, dan harmonisasi belanja pusat dan daerah.
Untuk penguatan local taxing power, dilakukan restrukturisasi pajak yang dilakukan untuk menyelaraskan objek pajak antara pajak pusat dan pajak daerah, menyederhanakan administrasi perpajakan, memudahkan pemantauan pemungutan pajak terintegrasi oleh Daerah, mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan mendukung kemudahan berusaha. Ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 mengatur bahwa jenis pajak dan retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah dan menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di Daerah. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat perlu melakukan penyesuaian dan menyusun Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai dasar penguatan local taxing power.
Selain adanya mandat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 untuk pembentukan peraturan daerah, penyesuaian ketentuan perlu dilakukan dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan pelaksanaan yang melengkapi berbagai pokok-pokok kebijakan Pajak dan Retribusi yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah ini juga menjadi dasar dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menerbitkan Peraturan Daerah, dan/atau peraturan pelaksanaan lainnya dalam rangka pemungutan Pajak dan Retribusi, termasuk sistem dan prosedur pemungutan, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan Daerah.
Restrukturisasi Pajak dilakukan dengan memberikan kewenangan pemungutan opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk Kabupaten/Kota dan opsen atas Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Pajak MBLB) untuk Provinsi, serta penambahan jenis pajak provinsi baru yaitu Pajak Alat Berat (PAB), sehingga terdapat 7 (tujuh) jenis pajak yang menjadi kewenangan Provinsi. Sebagai konsekuensi atas pemberlakuan opsen PKB dan opsen BBNKB maka Pemerintah Daerah Provinsi hanya melakukan bagi hasil atas Pajak Air Permukaan (PAP), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dan Pajak Rokok kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Opsen Pajak diharapkan mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah. Opsen atas PKB dan BBNKB menggantikan bagi hasil PKB dan BBNKB sekaligus mempercepat penerimaan pemerintah Kabupaten/Kota. Opsen Pajak MBLB merupakan sumber penerimaan baru yang dapat digunakan untuk mendanai kewenangan Provinsi dalam penerbitan dan pengawasan izin MBLB dengan kata lain memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Pemungutan Opsen Pajak ini menuntut sinergi yang baik antara pemerintah Provinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota.
Penyederhanaan retribusi melalui rasionalisasi jumlah retribusi yang diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Rasionalisasi retribusi dilakukan agar retribusi yang akan dipungut Daerah dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Penetapan tarif retribusi juga dilakukan atas pelayanan yang dilaksanakan pada Badan Layanan Umum Daerah. Dengan demikian jenis dan tarif layanan pada Badan Layanan Umum Daerah diatur dalam Peraturan Daerah yang sama dengan pengaturan tarif retribusi pada Perangkat Daerah lainnya.
Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini mencakup berbagai aspek pengelolaan Pajak dan Retribusi, khususnya pelaksanaan pemungutan antara lain pendaftaran dan pendataan, penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang, pembayaran dan penyetoran, pelaporan, pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan Pajak, pemeriksaan Pajak, penagihan Pajak dan Retribusi, keberatan, gugatan, penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Kepala Daerah, dan pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi, serta sinergi pemungutan opsen pajak.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Istilah-istilah dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud “kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan” yaitu kendaraan bermotor yang berasal dari sumber energi terbarukan. Sumber Energi Terbarukan merupakan sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik berupa panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan alat-alat berat dan alat-alat besar adalah kendaraan yang besar dan berat ukurannya diantara jenisnya atau benda-benda yang serupa seperti mobil derek, traktor, dan kendaraan sejenis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tahun pembuatan Kendaraan Bermotor” adalah tahun perakitan yang semata-mata digunakan sebagai dasar penghitungan pajak.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (9)
Penghitungan dasar pengenaan PKB dinyatakan dalam tabel yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur sesuai tabel yang berpedoman kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tarif PKB secara progresif adalah persentase tarif yang akan bertambah bersamaan dengan semakin besarnya jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki dengan jenis yang sama. Jenis kendaraan bermotor yang dimaksud adalah kendaraan bermotor roda dua, kendaraan bermotor roda tiga, dan kendaraan bermotor roda empat atau lebih.
Contoh: orang pribadi atau badan yang memiliki satu kendaraan bermotor roda dua, satu kendaraan bermotor roda tiga dan satu kendaraan bermotor roda empat, maka masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama dan tidak dikenakan pajak progresif.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan lembaga internasional atau lembaga asing nonpemerintah adalah lembaga yang berasal dari luar negeri nonpemerintah, nonsektarian, nonpolitik dan nirlaba yang terorganisasi secara fungsional bebas dari dan tidak mewakili pemerintahan suatu negara dan/atau organisasi internasional yang dibentuk secara terpisah dari suatu negara di mana organisasi itu didirikan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tarif BBNKB hibah” adalah tarif BBNKB yang dikenakan atas kendaraan yang dihibahkan antar pemerintahan.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:
Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan antar penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung.
Ketentuan ini tidak mengecualikan produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor untuk digunakan sendiri, dari kewajiban membayar PBBKB.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengecualian objek Pajak Air Permukaan tidak berlaku terhadap industri rumah tangga atau kegiatan komersial berbasis rumah tangga yang mengambil dan/atau memanfaatkan air permukaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.
Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan. Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin.
Yang dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin” adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin.
Yang dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin” adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.
Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Yang dimaksud dengan “cerutu” adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Yang dimaksud dengan “rokok daun” adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “cukai” adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, dan rokok daun sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang cukai, yang dapat berupa persentase dari harga dasar (advalorum) atau jumlah dalam rupiah untuk setiap batang rokok (spesifik) atau penggabungan dari keduanya. Contoh: Tarif cukai spesifik: Rp200,-/batang Tarif advalorum: 40% dari Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan Pemerintah. Jika Pemerintah hanya mengenakan tarif spesifik, dasar pengenaan pajak adalah Rp200,-/batang. Jika Pemerintah hanya mengenakan tarif advalorum, dasar pengenaan pajak adalah 40% x HJE. Jika Pemerintah mengenakan tarif spesifik dan advalorum, dasar pengenaan pajak adalah (Rp200/batang + 40% HJE)
Pasal 38
Pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah Contoh: Dalam tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan diproyeksikan meningkat 10% setiap tahunnya sesuai dengan peta jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan Pajak Rokok oleh Daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi 110, kemudian meningkat menjadi 121 di tahun 2013. Pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya Pajak Rokok, penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai Pemerintah dan 12 sebagai Pajak Rokok untuk Daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan seterusnya.
Ilustrasi dalam bentuk tabel dapat dilihat berikut ini:
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Masa Pajak” adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Pajak Terutang” adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 99
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 115
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 116
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 117
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 119
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 286
|