Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI
NOMOR 5 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAMBI,
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||
a.
|
bahwa sesuai ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah;
|
|||||
b.
|
bahwa sesuai ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam satu peraturan daerah yang menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di Daerah;
|
|||||
c.
|
bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber penerimaan Provinsi Jambi untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan;
|
|||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2022 tentang Provinsi Jambi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6807);
|
|||||
5.
|
Undang-Undang 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842);
|
|||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||
10.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAMBI
dan
GUBERNUR JAMBI
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan |
||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||||
1.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
|
|||||
2.
|
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintah di bidang Keuangan Negara.
|
|||||
3.
|
Daerah adalah Provinsi Jambi.
|
|||||
4.
|
Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||||
5.
|
Gubernur adalah Gubernur Jambi.
|
|||||
6.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi.
|
|||||
7.
|
Kas Daerah adalah Kas Pemerintah Provinsi Jambi.
|
|||||
8.
|
Badan Layanan Umum Daerah selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
|
|||||
9.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||
10.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
|
|||||
11.
|
Retribusi Jasa Umum adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan umum dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
|
|||||
12.
|
Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pelayanan yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||
13.
|
Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruangan serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana dan fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||
14.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai pajak.
|
|||||
15.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.
|
|||||
16.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perpajakan Daerah.
|
|||||
17.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dan Usaha Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Daerah.
|
|||||
18.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah Nomor Identitas Objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||||
19.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau Retribusi, penentuan besarnya pajak yang terutang, sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||
20.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||
21.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan kedalam badan usaha.
|
|||||
22.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan Teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||
23.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||
24.
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB adalah nilai jual kendaraan bermotor yang diperoleh berdasarkan harga pasaran.
|
|||||
25.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan Teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, berpotensi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen, serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||||
26.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||
27.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan alat berat.
|
|||||
28.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||
29.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||||
30.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah.
|
|||||
31.
|
Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||
32.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh Provinsi atas pokok Pajak MBLB.
|
|||||
33.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||
34.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Kepala Daerah untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah.
|
|||||
35.
|
Pajak Yang Terutang adalah Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak.
|
|||||
36.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban.
|
|||||
37.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
|
|||||
38.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
|
|||||
39.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
|
|||||
40.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
|
|||||
41.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
|
|||||
42.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar dari pada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||
43.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD, adalah Surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||
44.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||||
45.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang ditujukan oleh wajib pajak.
|
|||||
46.
|
Putusan Banding adalah putusan Badan Peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Putusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||||
47.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||
48.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||||
49.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||||
50.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
|
|||||
51.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||
52.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||||
53.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
|
|||||
54.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||
55.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||
56.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||||
57.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar dari pada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||||
58.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
|
|||||
59.
|
Pejabat adalah pegawai di Lingkup Pemerintah Provinsi Jambi yang diberi kewenangan tertentu di Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah.
|
|||||
60.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||
61.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||
62.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||||
Ruang Lingkup Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Meliputi:
|
||||||
a.
|
Ketentuan Umum.
|
|||||
b.
|
Pajak Daerah;
|
|||||
c.
|
Retribusi Daerah;
|
|||||
d.
|
Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||
e.
|
Pembinaan dan Pengawasan;
|
|||||
f.
|
Ketentuan Penyidikan;
|
|||||
g.
|
Ketentuan Pidana;
|
|||||
h.
|
Ketentuan Peralihan;
|
|||||
i.
|
Ketentuan Penutup.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
||||||
Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
|
||||||
a.
|
PKB;
|
|||||
b.
|
BBNKB;
|
|||||
c.
|
PAB;
|
|||||
d.
|
PBBKB;
|
|||||
e.
|
PAP;
|
|||||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
|||||
|
a.
|
PKB;
|
||||
|
b.
|
BBNKB;
|
||||
|
c.
|
PAB; dan
|
||||
|
d.
|
PAP.
|
||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||
|
a.
|
PBBKB;
|
||||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 5 |
||||||
(1)
|
Objek PKB adalah Kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di Wilayah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||
|
b.
|
kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||
|
c.
|
kendaraan bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan Lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah; dan
|
||||
|
d.
|
kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||||
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi dan/atau badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||||
|
a.
|
Nilai jual kendaraan bermotor; dan
|
||||
|
b.
|
Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB khusus untuk kendaraan bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor.
|
|||||
(3)
|
Nilai jual kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor.
|
|||||
(4)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, nilai jual kendaraan bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor sebagai berikut:
|
|||||
|
a.
|
harga kendaraan bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||||
|
b.
|
penggunaan kendaraan bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||||
|
c.
|
harga kendaraan bermotor dengan merk kendaraan bermotor yang sama;
|
||||
|
d.
|
harga kendaraan bermotor dengan tahun pembuatan kendaraan bermotor yang sama;
|
||||
|
e.
|
harga kendaraan bermotor dengan pembuat kendaraan bermotor;
|
||||
|
f.
|
harga kendaraan bermotor dengan kendaraan motor sejenis; dan
|
||||
|
g.
|
harga kendaraan bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||
|
a.
|
Koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||||
|
b.
|
Koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor sebagai berikut:
|
|||||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan bermotor;
|
||||
|
b.
|
jenis bahan bakar kendaraan bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
untuk Kendaraan bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintah dibidang Keuangan Negara;
|
||||
|
b.
|
dalam hal kendaraan bermotor baru belum ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, Gubernur dapat menetapkan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dengan Keputusan Gubernur; dan
|
||||
|
c.
|
untuk selain kendaraan bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berdasarkan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||||
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk kepemilikan pertama dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama dan seterusnya.
|
|||||
(2)
|
Kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||||
(3)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok PKB terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan.
|
|||||
(3)
|
Timbulnya kewajiban PKB terhadap wajib pajak adalah semenjak terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||
(4)
|
Wilayah Pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||
(5)
|
Kendaraan Bermotor dengan TNKB luar daerah yang dioperasionalkan lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus menerus wajib dimutasikan ke wilayah Provinsi Jambi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||||
(1)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran kendaraan bermotor.
|
|||||
(2)
|
Penerimaan PKB tidak dibagihasilkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota.
|
|||||
(3)
|
Terhadap PKB terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan Opsen PKB yang menjadi hak pemerintah Kabupaten/Kota.
|
|||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan peran pemerintah kabupaten/kota dalam pemungutan PKB diatur dengan peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 11 |
||||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|||||
|
a.
|
Kereta api;
|
||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara.
|
||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor Konsulat perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah pusat; dan
|
||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||||
Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang digunakan sebagai salah satu unsur dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (9).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(3)
|
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||
(4)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(5)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(6)
|
Penerimaan BBNKB tidak dibagihasilkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota.
|
|||||
(7)
|
Terhadap BBNKB terutang dikenakan Opsen BBNKB yang menjadi hak pemerintah Kabupaten/Kota.
|
|||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pajak Alat Berat
Pasal 16 |
||||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah Pusat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual alat berat.
|
|||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||||
(5)
|
Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap (3) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah daerah tempat penguasaan alat berat.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||||
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||
(2)
|
PAB dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pasal 22 |
||||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||||
(1)
|
Subjek PBBKB adalah konsumen bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(2)
|
Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor yang menyerahkan bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(4)
|
Penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 antara lain adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan mengenai tata cara pemungutan PBBKB dan penyedia bahan bakar kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||||
Dasar Pengenaan PBBKB merupakan nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 7,5% (Tujuh koma lima persen).
|
|||||
(2)
|
Untuk jenis BBKB subsidi, khusus penugasan dan/atau tertentu, tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan penyesuaian tarif oleh Pemerintah Pusat.
|
|||||
(3)
|
Khusus tarif PBBKB kendaraan umum dapat ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||||
(4)
|
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan PBBKB diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pajak Air Permukaan
Pasal 27 |
||||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||||
|
a.
|
Keperluan dasar rumah tangga;
|
||||
|
b.
|
Pengairan pertanian rakyat;
|
||||
|
c.
|
Perikanan rakyat;
|
||||
|
d.
|
Keperluan keagamaan; dan
|
||||
|
e.
|
Kegiatan yang mengambil dan/atau memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau daratan (air payau).
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAP adalah nilai perolehan air permukaan.
|
|||||
(2)
|
Nilai perolehan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar air permukaan dengan bobot air permukaan.
|
|||||
(3)
|
Harga dasar air permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air permukaan.
|
|||||
(4)
|
Bobot air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor sebagai berikut:
|
|||||
|
a.
|
Lokasi pengambilan air;
|
||||
|
b.
|
Volume air; dan
|
||||
|
c.
|
Kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat air permukaan berada.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
PAJAK ROKOK
Pasal 32 |
||||||
(1)
|
Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenakan cukai rokok.
|
|||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||
(3)
|
Pajak rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai.
|
|||||
(4)
|
Pajak rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||||
Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen MBLB
Pasal 37 |
||||||
Objek Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||||
(2)
|
Opsen Pajak MBLB dipungut oleh instansi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersangkutan yang berwenang memungut Pajak MBLB.
|
|||||
(3)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
|
|||||
(2)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 42 |
||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||
(2)
|
Masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||||
(3)
|
Masa pajak yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa pajak, Tahun Pajak dan Bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Pasal 43 |
||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PBBKB, PAP dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah Provinsi dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||
|
a.
|
Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen);
|
||||
|
b.
|
Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
|
|||
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
|
|||
|
c.
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
|
|||||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah Provinsi, dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
Bagi Hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota dan/atau dapat memperhatikan potensi Kabupaten/Kota;
|
||||
|
b.
|
Bagi Hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan Panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air; dan
|
||||
|
c.
|
Bagi hasil Pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
(5)
|
Alokasi besaran Bagi Hasil Pajak per Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||
(1)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah Provinsi ke kas Daerah kabupaten/kota.
|
|||||
(2)
|
Penyaluran Bagi Hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||||
(3)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 45 |
||||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBBKB dan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d dan e, paling tinggi 3% (tiga persen) dialokasikan untuk kegiatan Optimalisasi Penerimaan PBBKB dan PAP.
|
|||||
(3)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi dan Objek Retribusi
Pasal 46 |
||||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||
(2)
|
Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
(3)
|
Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||
(4)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 47 |
||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a meliputi Pelayanan Kesehatan.
|
|||||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek retribusi jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
|
||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan negara, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.
|
|||||
(7)
|
Dikecualikan dari Objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan pihak swasta.
|
|||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Umum.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) yaitu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah, dan tempat pelayanan Kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan pelayanan kesehatan antara lain diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dengan tarif Retribusi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||||
(1)
|
Ketentuan mengenai struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 53 |
||||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1 huruf b meliputi:
|
|||||
|
a.
|
Penyediaan Tempat khusus Parkir di luar badan jalan;
|
||||
|
b.
|
Pelayanan jasa ke Pelabuhan;
|
||||
|
c.
|
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
|
||||
|
d.
|
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||
|
e.
|
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||
|
f.
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||
(3)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||
(4)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||
(6)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan pihak swasta.
|
|||||
(7)
|
Detail Rincian Objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(8)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||
(9)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan Negara, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||||
Penyediaan Tempat khusus Parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a adalah penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||||
Pelayanan jasa kepelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||||
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c adalah penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||||
Pelayanan Tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||||
Penjualan Hasil produksi usaha pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf e merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur antara lain berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.
|
||||
|
b.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur antara lain berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan;
|
||||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur antara lain berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur antara lain berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||
|
e.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur antara lain berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah;
|
||||
|
f.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur antara lain berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dengan Tarif Retribusi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||||
(1)
|
Ketentuan mengenai struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||
(2)
|
Bentuk Pemanfaatan Barang Milik Daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||
|
a.
|
Sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||
|
b.
|
Kerja sama pemanfaatan;
|
||||
|
c.
|
Bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||
|
d.
|
Kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||
(3)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||
(5)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||||
(1)
|
Tarif Retribusi Jasa Usaha ditinjau Kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||
(3)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 64 |
||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
|
|||||
|
a.
|
Penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
||||
|
b.
|
Pengelolaan Pertambangan Rakyat;
|
||||
(2)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||
(3)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||
(4)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
(6)
|
Dikecualikan dari Objek Jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu, pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Pihak Swasta.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a adalah merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Badan Internasional, Lembaga sosial, Lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga Pendidikan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan pemerintah pusat di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur antara lain berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu pelayanan; dan
|
||||
|
b.
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur antara lain berdasarkan frekuensi pelayanan pembinaan dan pengawasan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif perizinan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a dan huruf b didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian penyelenggara pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||
(3)
|
Biaya pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||
(4)
|
Biaya pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||||
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dengan tarif Retribusi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||||
(1)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran retribusi yang terutang.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan mengenai Besaran dan struktur tarif retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||
(4)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditinjau Kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||
(6)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 71 |
||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Peninjauan Tarif Retribusi
Pasal 72 |
||||||
(1)
|
Peninjauan tarif retribusi khusus layanan pengguna tenaga kerja asing berdasarkan Menteri yang membidangi urusan pemerintahan ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi khusus pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||||
(3)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Bagian kesatu
Ketentuan Umum
Pasal 73 |
||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||||
|
a.
|
Pendaftaran dan Pendataan;
|
||||
|
b.
|
Penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||||
|
c.
|
Pembayaran dan penyetoran;
|
||||
|
d.
|
Pelaporan;
|
||||
|
e.
|
Pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||
|
f.
|
Pemeriksaan Pajak;
|
||||
|
g.
|
Penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||||
|
h.
|
Keberatan;
|
||||
|
i.
|
Gugatan; dan
|
||||
|
j.
|
Penghapusan piutang Pajak dan Retribusi.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||||
(1)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah, surat pemberitahuan pajak terutang dan/atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||||
(2)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
|
|||||
(3)
|
Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||||
(1)
|
Dalam hal wajib pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
|
|||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dengan STPD untuk setiap SPTPD.
|
|||||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||
(5)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||
|
b.
|
bencana alam;
|
||||
|
c.
|
kebakaran;
|
||||
|
d.
|
kerusakan masal atau huru-hara;
|
||||
|
e.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||
|
f.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||||
(1)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||||
(2)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(4)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
|
|||||
(6)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
|
|||||
(7)
|
Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
Pasal 77 |
||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||||
(2)
|
Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
|
|||||
(3)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
|
|||||
(4)
|
Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
|
|||||
(5)
|
Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
|
|||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi, dan/atau Sanksinya
Paragraf 1
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi pelaku usaha
Pasal 78 |
||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha dan Masyarakat di Daerah.
|
|||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam,kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Gubernur.
|
||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
|
|||||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi.
|
|||||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif Fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 81 |
||||||
(1)
|
Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi, dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 82 |
||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang Pajak.
|
||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||
|
c.
|
kerusuhan masal atau huru-hara;
|
||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian keempat
Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
Pasal 83 |
||||||
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan STPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||
(2)
|
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
|
|||||
(4)
|
Dalam rangka penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
|
|||||
(6)
|
Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
|
|||||
|
a.
|
mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
|
||||
|
b.
|
membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
|
||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dan Retribusi
Pasal 84 |
||||||
(1)
|
Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||
(2)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
|||||
(3)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
|||||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||||
(5)
|
Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya.
|
|||||
(6)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
|
|||||
(7)
|
Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah Lewat 2 (dua) bulan, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
|
|||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Opsen Pajak MBLB
Paragraf 1
Pemungutan
Pasal 85 |
||||||
(1)
|
Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||||
(2)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
|
|||||
(3)
|
Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Perhitungan, Pembayaran dan Pelaporan Opsen Pajak MBLB
Pasal 86 |
||||||
(1)
|
Penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) dilakukan bersamaan dengan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Pajak MBLB.
|
|||||
(2)
|
Pembayaran Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke kas Daerah dilakukan bersamaan dengan pembayaran Pajak MBLB ke kas Daerah kabupaten/kota dalam SSPD Pajak MBLB.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, Bupati/Walikota melakukan Penagihan.
|
|||||
(4)
|
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), termasuk Penagihan sanksi administratif atas Opsen Pajak MBLB.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal Bupati/Wali Kota telah menerima pembayaran atas Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati/Wali Kota menyetorkan bagian Opsen Pajak MBLB ke kas Daerah Provinsi paling lama 3 (tiga) hari kerja.
|
|||||
(6)
|
Pelaporan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam SPTPD Pajak MBLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen Pajak MBLB
Pasal 87 |
||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran Pajak MBLB kepada Bupati/Wali Kota, pengembalian kelebihan pembayaran Pajak MBLB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Bupati/Wali kota menerbitkan SKPDLB Pajak MBLB dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 84.
|
|||||
(3)
|
Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan.
|
|||||
(4)
|
Gubernur menerbitkan SKPDLB Opsen Pajak MBLB berdasarkan SKPDLB Pajak MBLB, pada hari penerbitan atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima.
|
|||||
(5)
|
Gubernur dan Bupati/Wali Kota mengembalikan kelebihan pembayaran Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB kepada Wajib Pajak berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Sinergi Pemungutan Opsen
Pasal 88 |
||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
|
|||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB; dan
|
||||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB,
|
||||
|
Pemerintah Daerah Provinsi bersinergi dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
|
|||||
(2)
|
Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Daerah kabupaten/kota bersinergi dengan Pemerintah Daerah provinsi.
|
|||||
(3)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, Opsen BBNKB, Pajak MBLB, dan Opsen Pajak MBLB, atau bentuk sinergi lainnya.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara provinsi dan kabupaten/kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB, diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Rekonsiliasi Pajak
Pasal 90 |
||||||
(1)
|
Gubernur, serta bank tempat pembayaran PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB melakukan rekonsiliasi data penerimaan PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB serta Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB setiap triwulan.
|
|||||
(2)
|
Gubernur, sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat melimpahkan kewenangan kepada Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||
(3)
|
Rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencocokkan:
|
|||||
|
a.
|
SKPD atau SPTPD;
|
||||
|
b.
|
SSPD;
|
||||
|
c.
|
rekening koran bank; dan
|
||||
|
d.
|
dokumen penyelesaian kekurangan pembayaran Pajak dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Kerja sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
Paragraf 1
Kerja sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
Pasal 91 |
||||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
|
|||||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||||
|
b.
|
Pemerintah Daerah lain; dan/atau
|
||||
|
c.
|
Pihak ketiga.
|
||||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||
|
b.
|
pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||
|
c.
|
pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
|
||||
|
d.
|
pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
|
||||
|
e.
|
peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
|
||||
|
f.
|
penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
|
||||
|
g.
|
kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
|
||||
(3)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
|
|||||
(4)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat:
|
|||||
|
a.
|
mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1); dan
|
||||
|
b.
|
menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1).
|
||||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
|
|||||
(3)
|
Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Gubernur bersama mitra kerja sama.
|
|||||
(4)
|
Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
|||||
|
a.
|
subjek kerja sama;
|
||||
|
b.
|
maksud dan tujuan
|
||||
|
c.
|
ruang lingkup;
|
||||
|
d.
|
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
|
||||
|
e.
|
jangka waktu perjanjian;
|
||||
|
f.
|
sumber pembiayaan;
|
||||
|
g.
|
penyelesaian perselisihan
|
||||
|
h.
|
sanksi;
|
||||
|
i.
|
korespondensi; dan
|
||||
|
j.
|
perubahan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 93 |
||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
|||||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Kerahasiaan Data Wajib Pajak
Pasal 94 |
||||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan Daerah.
|
|||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua Belas
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi
Pasal 95 |
||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PEMBINAAN dan PENGAWASAN
Bagian kesatu
Pembinaan
Pasal 96 |
||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dalam penyelenggaraan pajak dan retribusi daerah.
|
|||||
(2)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Organisasi Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan pendapatan daerah.
|
|||||
(3)
|
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk:
|
|||||
|
a.
|
Sosialisasi dan penyuluhan;
|
||||
|
b.
|
Peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia penyelenggaraan pajak dan retribusi; dan/atau
|
||||
|
c.
|
Fasilitas mediasi dan konsultasi penyelesaian pajak dan retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 97 |
||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan Pajak dan Retribusi Daerah.
|
|||||
(2)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan pendapatan daerah dan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang pengawasan.
|
|||||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk:
|
|||||
|
a.
|
Pemantauan;
|
||||
|
b.
|
Evaluasi, dan/atau;
|
||||
|
c.
|
Penerimaan pengaduan Masyarakat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 98 |
||||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||||
|
a.
|
Menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||
|
b.
|
Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||
|
c.
|
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||
|
d.
|
Memeriksa Buku, Catatan, dan Dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||
|
e.
|
Melakukan Penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti;
|
||||
|
f.
|
Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||
|
g.
|
Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||
|
h.
|
Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||
|
i.
|
Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||
|
j.
|
Menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||
|
k.
|
Melakukan Tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
|
||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulai penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang mengenai hukum Acara Pidana.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 99 |
||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud Pasal 74 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud Pasal 74 ayat (3), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 46 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 102 |
||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data wajib pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
||||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, Pasal 101, dan Pasal 102 merupakan pendapatan Negara.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 104 |
||||||
(1)
|
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah yang ditetapkan sebelumnya.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||||
(3)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku khusus ketentuan mengenai Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan Bagi Hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2011 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 6), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2011 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 6) masih tetap berlaku sampai dengan 4 Januari 2025.
|
|||||
(4)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah mengenai jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pelaksanaan atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat pajak dan retribusi daerah terutang.
|
|||||
(5)
|
Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur mengenai pengelolaan tarif BLUD dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi paling lama sampai dengan tanggal 4 Januari 2024.
|
|||||
(6)
|
Ketentuan mengenai pemanfaatan aset daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi paling lama sampai dengan tanggal 4 Januari 2024.
|
|||||
(7)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 105 |
||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||
a.
|
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2011 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 6), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2011 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 6);
|
|||||
b.
|
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 2), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2018 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 5);
|
|||||
c.
|
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 3), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2019 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 9);
|
|||||
d.
|
Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 6 Tahun 2015, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 6), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Nomor 8 Tahun 2019);
|
|||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||||
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jambi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jambi
pada tanggal 25 Juni 2024
GUBERNUR JAMBI
ttd.
H. AL HARIS
Diundangkan di Jambi
pada tanggal 19 Juli 2024
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI JAMBI,
ttd.
H. SUDIRMAN
LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAMBI TAHUN 2024 NOMOR: 5
|
||||||
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI
NOMOR 5 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang ditetapkan pada tanggal 5 Januari 2022, mencabut pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang menjadi dasar penyelenggaraan pajak daerah dan retribusi daerah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur mengenai penguatan sistem Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) melalui restrukturisasi dan konsolidasi jenis PDRD, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru, dan penyederhanaan jenis retribusi daerah. Penguatan PDRD juga dilakukan dalam rangka mendorong kemudahan berusaha dan penciptaan lapangan kerja serta memberikan dukungan terhadap usaha kecil berupa skema insentif bagi usaha mikro serta ultra mikro. Rangkaian kebijakan baru tersebut yang dibarengi dengan komitmen daerah untuk meningkatkan kualitas pemungutan, diyakini akan mampu meningkatkan kemampuan fiskal daerah. Amanat dari Undang-Undang ini, pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah diatur dalam satu peraturan daerah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 hanya ada 5 jenis Pajak Daerah yang menjadi kewenangan Provinsi yaitu: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk di dalamnya kendaraan bermotor alat berat), Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor, pajak air permukaan dan pajak rokok. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 2022 ada 7 jenis pajak daerah: PKB, BBNKB, PAB, PBBKB, PAP, Pajak Rokok dan Opsen Pajak MBLB. Disamping itu besaran tarif pajak daerah juga mengalami perubahan jika merujuk Undang-Undang No.1 Tahun 2022.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi, Retribusi diklasifikasi dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu, Dari 32 (tiga puluh dua) jenis Retribusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. No. 28 Tahun 2009, disederhanakan menjadi (18 delapan belas) jenis Retribusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah retribusi yang dapat dipungut dengan efektif serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah.
Selain itu Rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
Berdasarkan hal tersebut diatas, sasaran yang akan diwujudkan dalam pengaturan Pajak dan Retribusi Daerah meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
1.
|
Meningkatkan pendapatan asli daerah dalam bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah guna mendukung pemerataan pembangunan di Daerah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
2.
|
Mewujudkan simplikasi administrasi perpajakan dalam rangka mendukung kemudahan berusaha di Daerah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
3.
|
Melakukan optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
4.
|
Meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
5.
|
Mewujudkan penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang efektif dan efisien.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
6.
|
Memberikan pedoman dan arahan bagi aparatur dan Masyarakat dalam melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pajak Daerah yang menjadi kewenangan Provinsi Jambi adalah sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
1.
|
Pajak Kendaraan Bermotor;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
2.
|
Bea Balik Nama Kendaraan bermotor;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
3.
|
Pajak Alat Berat;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
4.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
5.
|
Pajak Air Permukaan;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
6.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
7.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Retribusi Daerah yang menjadi kewenangan Provinsi Jambi adalah sebagai berikut;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
1.
|
Retribusi Jasa Umum, terdiri atas Pelayanan Kesehatan;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
2.
|
Retribusi Jasa Usaha, terdiri atas:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
a.
|
Penyediaan Tempat khusus Parkir di luar badan jalan
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
b.
|
Pelayanan jasa ke Pelabuhan;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
c.
|
Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
d.
|
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
e.
|
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
f.
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
3.
|
Retribusi Perizinan Tertentu, terdiri atas:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
a.
|
Penggunaan Tenaga Kerja Asing; dan
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
b.
|
Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Ruang lingkup pengaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
1.
|
BAB I mengatur tentang Ketentuan Umum;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
2.
|
BAB II mengatur tentang Pajak Daerah;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
3.
|
BAB III mengatur tentang Retribusi;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
4.
|
BAB IV mengatur tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
5.
|
BAB V mengatur tentang Pembinaan dan pengawasan;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
6.
|
BAB VI mengatur tentang Ketentuan Penyidikan;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
7.
|
BAB VII mengatur tentang Ketentuan Pidana;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
8.
|
BAB VIII mengatur tentang Ketentuan Peralihan;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
9.
|
BAB IX mengatur tentang Ketentuan Penutup;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dengan kebijakan yang diatur melalui peraturan daerah ini, diharapkan terdapat legalitas dan kepastian dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha serta mewujudkan kemandirian daerah dalam pengelolaan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah menuju arah kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jambi.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
yang dimaksud dengan kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
Contoh:
Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2025. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2025 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Contoh:
Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2025 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2026 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), PT Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada tanggal 5 November 2026 sesuai kesepakatan dalam kontrak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (Kendaraan Bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan contoh:
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
BBNKB hanya dikenakan terhadap penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor (kendaraan bekas) tidak dikenakan BBNKB.
Contoh:
Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2025 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2026, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2027. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2027 tersebut, terutang BBNKB.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan alat berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah meliputi invoice/faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan, meliputi kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bobot air permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukan dampak pengambilan/pemanfaatan air permukaan terhadap lingkungan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada" adalah wilayah di mana Air Permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
Contoh:
Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah Provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah Provinsi A dan hilirnya berada di wilayah Provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah Provinsi B.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dan dapat disinergikan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Gubernur dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 54
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di Gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “izin pertambangan rakyat” adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi” adalah Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Contoh:
Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,00. untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Kepala Daerah pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya" merupakan Utang Pajak atau utang Retribusi lain yang masih belum dibayar oleh Wajib pajak atau Wajib Retribusi selain jenis Pajak atau Retribusi yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
Contoh:
Wajib Pajak A mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran atas PKB tahun 2025 sebesar Rp10.000.000,00, namun Wajib Pajak A masih memiliki Utang Pajak atas BBNKB tahun 2025 sebesar Rp15.000.000,00. Atas kelebihan pembayaran PKB tahun 2026 tersebut akan diperhitungkan untuk melunasi Utang Pajak atas BBNKB sebesar Rp15.000.000,00 terlebih dahulu.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Kabupaten X di wilayah Provinsi Jambi melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500.000.000,00. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20% (dua puluh persen), sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25% (dua puluh lima persen). Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp125.000.000,00 Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Jambi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bersamaan" adalah pembayaran Opsen Pajak MBLB dilakukan sekaligus dengan pembayaran Pajak MBLB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pembayaran" adalah pembayaran atas Opsen Pajak MBLB saja, atau pembayaran atas Opsen Pajak MBLB dan Pajak MBLB.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Pihak Ketiga” merupakan pihak-pihak diluar pemerintah dan pemerintah daerah lain, Misalnya Akademisi Swasta dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan pajak.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengawasan wajib pajak bersama” merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama mitra kerja sama dalam hal ini, pemerintah dan/atau pemerintah daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh Penggunaan Jasa layanan Pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Penyelenggaraan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama misal, kerja sama antara Pemerintah (kementerian) dan Pemerintah Daerah dalam rangka optimalisasi Pemungutan pajak pusat dan Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 42
|