Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    GUBERNUR GORONTALO,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4060);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO
    dan
    GUBERNUR GORONTALO
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    2.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    3.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    4.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, organisasi pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    5.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    6.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    7.
    Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang diperoleh berdasarkan harga pasaran umum sebagaimana tercantum dalam Tabel Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang berlaku.
    8.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    9.
    Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat, apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
    10.
    Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
    11.
    Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor dan alat berat.
    12.
    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor dan alat berat.
    13.
    Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
    14.
    Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
    15.
    Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiona tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
    16.
    Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai Rokok yang dipungut oleh pemerintah.
    17.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    18.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
    19.
    Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    20.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    21.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    22.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut, peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    23.
    Tarif Retribusi adalah nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    24.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    25.
    Retribusi Jasa Umum adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas Jasa Umum.
    26.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    27.
    Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas Jasa Usaha.
    28.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    29.
    Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pemberian izin.
    30.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit, satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
    31.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    32.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
    33.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    34.
    Daerah adalah Provinsi Gorontalo.
    35.
    Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo.
    36.
    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    37.
    Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    38.
    Gubernur adalah Gubernur Gorontalo.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, terdiri atas:
    a.
    PKB;
    b.
    BBNKB;
    c.
    PAB;
    d.
    PBBKB;
    e.
    PAP;
    f.
    Pajak Rokok; dan
    g.
    Opsen Pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PKB
     

    Pasal 3

    (1)
    Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah; dan
     
    d.
    Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
     
    a.
    NJKB; dan
     
    b.
    bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan NJKB.
    (3)
    Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
    (4)
    Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
    (5)
    Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
    (6)
    Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
     
    a.
    harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
     
    b.
    penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
     
    c.
    harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
     
    d.
    harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
     
    e.
    harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
     
    f.
    harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
     
    g.
    harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang
    (7)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    mobil penumpang roda tiga dan mobil barang roda tiga, sepeda motor roda dua, sepeda motor roda tiga penumpang dan sepeda motor roda tiga barang nilai koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi;
     
    b.
    sedan nilai koefisien sama dengan 1,025 (satu koma nol dua puluh lima) koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi;
     
    c.
    jeep dan minibus nilai koefisien sama dengan 1,050 (satu koma nol lima puluh);
     
    d.
    blind van, pick up, pick up box dan microbus nilai koefisien sama dengan 1,085 (satu koma nol delapan puluh lima);
     
    e.
    bus nilai koefisien sama dengan 1,1 (satu koma satu); dan
     
    f.
    light truck dan sejenisnya nilai koefisien sama dengan 1,3 (satu koma tiga).
     
    g.
    truck dan sejenisnya nilai koefisien sama dengan 1,4 (satu koma empat).
    (8)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
     
    a.
    tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
     
    b.
    jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
     
    c.
    jenis penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PKB untuk kendaraan bermotor baru berpedoman pada peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan Dalam Negeri mengenai dasar pengenaan PKB
    (2)
    Dasar pengenaan PKB untuk selain kendaraan bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan penyusutan nilai jual kendaraan bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
    (3)
    Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Tarif PKB ditetapkan sebesar sebesar 1% (satu) persen setiap kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    (2)
    Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
    (3)
    Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Saat, terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    (2)
    Masa Pajak PKB adalah 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (3)
    PKB dibayar sekaligus dimuka untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan ke depan.
    (4)
    Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    Wilayah pemungutan PKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BBNKB
     

    Pasal 11

    (1)
    Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
     
    d.
    kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
    (4)
    Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
     
    a.
    untuk diperdagangkan;
     
    b.
    untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
     
    c.
    digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
    (5)
    Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Dasar pengenaan BBNKB adalah NJKB yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri yang mengatur mengenai NJKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
    (2)
    Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
    (2)
    Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PAB
     

    Pasal 17

    (1)
    Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
     
    a.
    alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
     
    b.
    alat berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
    (2)
    Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
    (3)
    Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
    (4)
    Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
    (5)
    Dasar pengenaan PAB ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
    (2)
    Wilayah pemungutan PAB yang terutang adalah wilayah daerah tempat penguasaan Alat Berat.
    (3)
    PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
    (4)
    PAB dibayar sekaligus di muka, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan kedepan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    PBBKB
     

    Pasal 23

    Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB.
    (2)
    Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
    (3)
    Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
    (4)
    Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
    (2)
    Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
    (3)
    Khusus bagi tarif PBBKB bersubsidi besarannya menyesuaikan ketentuan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah.
    (4)
    Dalam hal terjadi penyesuaian tarif PBBKB dalam rangka stabilisasi harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tarif jenis BBKB tertentu mengacu pada Peraturan Presiden.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
    (2)
    Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAP
     

    Pasal 28

    (1)
    Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    keperluan keagamaan;
     
    e.
    kepentingan sosial;
     
    f.
    penanggulangan bahaya kebakaran;
     
    g.
    kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (2)
    Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Dasar pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
    (2)
    Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
    (3)
    Harga dasar Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
    (4)
    Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor:
     
    a.
    lokasi pengambilan air;
     
    b.
    volume air; dan
     
    c.
    kewenangan pengelolaan sumber daya air.
    (5)
    Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dengan mcmpedomani peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
    (2)
    Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (3)
    Wilayah pemungutan PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Rokok
     

    Pasal 33

    (1)
    Objek Pajak Rokok adalah konsumsi Rokok.
    (2)
    Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, Rokok daun, dan bentuk Rokok lainnya yang dikenai cukai Rokok.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rokok yang tidak dikenai cukai Rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Subjek Pajak Rokok adalah konsumen Rokok.
    (2)
    Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik Rokok/produsen dan importir Rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah Pusat yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai Rokok.
    (4)
    Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum Daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk, sesuai peraturan menteri yang membidangi keuangan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap Rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai Rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
    (2)
    Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai Rokok terhadap pengusaha pabrik Rokok atau produsen dan importir Rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Wilayah pemungutan Pajak Rokok adalah wilayah kepabeanan Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen Pajak MBLB
     

    Pasal 38

    Objek Opsen Pajak MBLB adalah Pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Subjek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB adalah subjek Pajak MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB adalah Wajib Pajak MBLB.
    (3)
    Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    Dasar Pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB adalah pajak MBLB yang terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari besaran pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
    (2)
    Wilayah pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen Pajak MBLB diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    BAGI HASIL PAJAK
     

    Pasal 44

    (1)
    Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi Daerah Kabupaten/Kota dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada Daerah Kabupaten/Kota sebesar:
     
     
    1.
    50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) Daerah Kabupaten/Kota; atau
     
     
    2.
    80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) Daerah Kabupaten/Kota.
     
    b.
    hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
     
    c.
    hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
    (2)
    Besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar Daerah Kabupaten/Kota.
    (3)
    Besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per Daerah Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
     
    b.
    bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional sebesar 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di Provinsi yang bersangkutan;
     
    c.
    bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi yang bersangkutan;
     
    d.
    alokasi besaran bagi hasil pajak per Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas Daerah kabupaten/kota.
    (2)
    Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
    (3)
    Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PENGGUNAAN HASIL PENERIMAAN PAJAK UNTUK KEGIATAN YANG TELAH DITENTUKAN
     

    Pasal 46

    (1)
    Hasil penerimaan Pajak digunakan sebagai berikut:
     
    a.
    hasil penerimaan PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum;
     
    b.
    hasil penerimaan pajak rokok, yang menjadi bagian Provinsi dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan, untuk masyarakat dan penegakan hukum.
    (2)
    Penggunaan hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    MASA PAJAK DAN TAHUN PAJAK
     

    Pasal 47

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif atau objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam Bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    (2)
    Masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
    (3)
    Masa pajak yang menjadi dasar bagi wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
    BAB VI
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis dan Objek Retribusi
     

    Pasal 48

    (1)
    Jenis Retribusi terdiri atas:
     
    a.
    retribusi jasa umum;
     
    b.
    retribusi jasa usaha; dan
     
    c.
    retribusi perizinan tertentu.
    (2)
    Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari obyek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
    (4)
    Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (5)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Tata Cara Penghitungan Retribusi
     

    Pasal 49

    Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    (1)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan uang selain rupiah harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 53

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf a yang dipungut meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan; dan
     
    b.
    pelayanan kebersihan.
    (2)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf a yang tidak dipungut retribusi meliputi:
     
    a.
    retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum;
     
    b.
    retribusi pelayanan pasar; dan
     
    c.
    retribusi Pengendalian lalu Lintas.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (5)
    Detail rincian obyek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Detail rincian obyek retribusi yang diatur dalam peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan bidang Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Subyek Retribusi Jasa Umum adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a, yaitu Pelayanan Kesehatan di rumah sakit umum Daerah, balai laboratorium kesehatan Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis Pelayanan Kesehatan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada pasal 53 ayat (1) huruf b, adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Besaran dan struktur tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 59

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    b.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    c.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    d.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    e.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    f.
    pemanfaatan aset Daerah.
    (2)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha yang tidak dipungut meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    c.
    tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan; dan
     
    d.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
    (3)
    Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (5)
    Detail rincian obyek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dalam peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Detail rincian obyek retribusi yang diatur dalam peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan bidang Keuangan, Menteri yang membidangi urusan Pemerintahan Dalam Negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    (1)
    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a adalah pelayanan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b adalah penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c adalah pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    (1)
    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf d adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf e adalah penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf f termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum.
    (2)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerjasama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Penetapan peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
    (6)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi, Objek Retribusi diukur berdasarkan jenis, jangka waktu, luas dan/atau golongan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    Struktur dan besaran tarif retribusi jasa usaha sebagaimana tercantum dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 69

    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf c, adalah penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 adalah pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing, perpanjangan biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Struktur dan besaran tarif retribusi perizinan tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran IH yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 74

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b, huruf c dan huruf e merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, huruf f, dan huruf g merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan Pajak Daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
    (5)
    Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh wajib pajak kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (7)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Wajib pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 74 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak.
    (3)
    Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
    (4)
    Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
    (5)
    Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) perbulan dari pokok pajak terutang.
    (6)
    Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (7)
    Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau Huru hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Tata cara pemungutan pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Retribusi Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
    (2)
    Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    keberatan;
     
    h.
    gugatan;
     
    i.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
     
    j.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (4)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, PEMBEBASAN, DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN
     

    Pasal 77

    (1)
    Gubernur dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (3)
    Kondisi wajib pajak atau wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    korban bencana alam
     
    b.
    korban kebakaran;
     
    c.
    korban huru-hara dan/atau kerusuhan;
     
    d.
    korban wabah penyakit;
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan gubernur.
    (4)
    Kondisi objek pajak atau objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    rusak berat;
     
    b.
    hilang; dan
     
    c.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan gubernur.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian, fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan gubernur.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERINVESTASI
     

    Pasal 79

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, antara lain:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi:
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan, kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur dengan atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 80

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan Peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau Perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Gubernur dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau Peraturan Daerah yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 82

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang Perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik polisi negara Republik Indonesia sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 83

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 74 ayat (5) sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5) sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, Pasal 85, dan Pasal 86 merupakan penerimaan Negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 88

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum disampaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan dibidang pajak dan retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
    b.
    khusus ketentuan mengenai pajak MBLB, Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 bulan Januari 2025.
    c.
    khusus ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
    d.
    ketentuan mengenai PKB dan BBNKB dalam Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 bulan Januari Tahun 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 90

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2011 Nomor 05, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 03) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 9 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2014 Nomor 09, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 08);
    b.
    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Gorontalo (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2011 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2011 Nomor 01);
    c.
    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Gorontalo (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Nomor 06);
    d.
    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Retribusi Penjualan Produksi usaha Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2013 Nomor 10), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Retribusi Penjualan Produksi usaha Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2019 Nomor 06);
    e.
    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Hasri Ainun Habibie (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2014 Nomor 08);
    f.
    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2016 Nomor 08);
    g.
    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Retribusi Pelayanan Pendidikan dan Pemakaian Kekayaan Daerah Pada Badan Pendidikan Dan Pelatihan (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2018 Nomor 01);
    h.
    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2018 Nomor 06),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Gorontalo
    pada tanggal 4 Januari 2024
    Pj. GUBERNUR GORONTALO
    ttd.
    ISMAIL PAKAYA

    Diundangkan di Gorontalo
    pada tanggal 4 Januari 2024
    ttd.
    SOFIAN IBRAHIM

    LEMBARAN DAERAH PROVINSI GORONTALO TAHUN 2024 NOMOR 1
     
     
    PENJELASAN
    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Untuk menjalankan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Pemerintah Daerah dapat melakukan pemungutan Pajak dan Retribusi untuk menutup sebagian atau keseluruhan biaya penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
     
    Selama ini kebijakan Daerah terkait pemungutan Pajak dan Retribusi berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengamanahkan kepada Pemerintah Daerah untuk seluruh jenis pemungutan Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah, khusus ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB berlaku 5 Januari 2025. Berdasarkan amanah tersebut, Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Dalam Peraturan Daerah ini, terdapat penambahan pungutan Pajak Daerah yaitu Pajak Alat Berat dan Opsen Pajak MBLB. Dengan adanya Opsen Pajak MBLB sebagai sumber penerimaan baru Daerah diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Sedangkan pada Retribusi Daerah, terdapat beberapa objek yang dihilangkan yaitu pelayanan pendidikan pada Retribusi Jasa Umum, Retribusi Terminal pada Retribusi Jasa Usaha, serta Retribusi Izin Trayek dan Retribusi Izin Usaha Perikanan pada Retribusi Perizinan Tertentu. Selain itu terdapat penambahan objek pada:
     
     
     
    a.
    Retribusi Jasa Usaha yaitu penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan, penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa dan pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan;
     
    b.
    Retribusi Perizinan Tertentu yaitu penggunaan tenaga kerja asing dan pengelolaan pertambangan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Peraturan Daerah ini, diharapkan dapat mendorong secara maksimal terciptanya efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan, meningkatnya mutu pelayanan, dan pada saat yang sama, juga mampu mendorong upaya peningkatan penerimaan retribusi sebagai salah satu komponen Pendapatan Asli Daerah.
     
     
     
     
     
     
    II.
    KHUSUS
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
     
    Contoh:
    Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2021. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2021 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya. Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
     
    Contoh:
    Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2021 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2022 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, saat terutang PKB tetap pada tanggal 5 November setiap tahunnya mengingat PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut. PT Z baru akan membayarkan PKB untuk pertama kalinya atas hasil perjanjian sewa tersebut pada 5 November 2022.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Keadaan kahar Wajib Pajak meliputi:
    a.
    bencana alam;
    b.
    kebakaran;
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Ayat (1)
    BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
     
    Contoh:
    Tuan X membeli mobil barr untuk pertama kalinya pada tahun 2025 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2026, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan T\ran X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2027. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2027 tersebut, terutang BBNKB.
    Ayat (2)
    Cukup jelas
    Ayat (3)
    Cukup jelas
    Ayat (4)
    Cukup Jelas
    Ayat (5)
    Cukup Jelas
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB, sehingga tidak terutang BBNKB.
     
    Contoh:
    Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2023 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2024, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2025. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2025 tersebut, terutang BBNKB.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan alat berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah, meliputi invoice/faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan.
     
    Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan, meliputi kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “wilayah daerah tempat air permukaan berada” adalah wilayah dimana air permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
     
    Contoh:
    Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari hulu sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Contoh Penghitungan:
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp 500 juta. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25%. Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
    Pajak MBLB terutang = 20% x Rp 500 juta = Rp 100 juta.
    Opsen Pajak MBLB terutang = 25% x Rp 100 juta = Rp25 juta.
    Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp 125 juta. Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah dan dapat disinergikan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
     
    Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Ayat (1)
    Termasuk pelayanan administrasi meliputi pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Ayat (1)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas
    Ayat (3)
    Cukup jelas
    Ayat (4)
    Cukup jelas
    Ayat (5)
    Cukup jelas
    Ayat (6)
    Cukup jelas
    Ayat (7)
    Cukup jelas
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas
    Pasal 66
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi OPD dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas
    Ayat (3)
    Cukup jelas
    Ayat (4)
    Cukup jelas
    Ayat (5)
    Cukup jelas
    Ayat (6)
    Cukup jelas
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas
    Pasal 75
    Cukup jelas
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR ...

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024