Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
NOMOR 11 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||||||
a.
|
bahwa untuk melaksanakan desentralisasi fiskal yang lebih maksimal, diperlukan pembaruan mekanisme pemungutan pendapatan asli daerah berupa pajak dan retribusi daerah;
|
|||||||
b.
|
bahwa penerimaan pajak dan retribusi daerah diperuntukkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat di segala urusan pemerintahan;
|
|||||||
c.
|
bahwa berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
|
|||||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827);
|
|||||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339);
|
|||||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Djawa Timoer, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Djawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 58);
|
|||||||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||||||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||||||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
|
|||||||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DAN
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||||||
Menetapkan |
||||||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
1.
|
Daerah adalah Daerah Istimewa Yogyakarta.
|
|||||||
2.
|
Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
|
|||||||
3.
|
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
|
|||||||
4.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
5.
|
Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.
|
|||||||
6.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.
|
|||||||
7.
|
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
|
|||||||
8.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
9.
|
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
|
|||||||
10.
|
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||||||
11.
|
Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||||||
12.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||||||
13.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
14.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
15.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
|
|||||||
16.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||||
17.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||||||
18.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||||||
19.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||||||
20.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||||||
21.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||||||
22.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
23.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||||||
24.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||||||
25.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||||||
26.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||||||
27.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
28.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
29.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
30.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
31.
|
Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi atas pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||||||
32.
|
Retribusi Jasa Usaha adalah Retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||||||
33.
|
Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas-fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||||||
34.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||||||
35.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||||||
36.
|
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
|
|||||||
37.
|
Pajak yang terutang adalah Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||||||
38.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||||||
39.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
|
|||||||
40.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||||||
41.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||||||
Pajak yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
|
||||||||
a.
|
PKB;
|
|||||||
b.
|
BBNKB;
|
|||||||
c.
|
PAB;
|
|||||||
d.
|
PBBKB;
|
|||||||
e.
|
PAP;
|
|||||||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||||||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PKB;
|
||||||
|
b.
|
BBNKB;
|
||||||
|
c.
|
PAB; dan
|
||||||
|
d.
|
PAP.
|
||||||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
PBBKB;
|
||||||
|
b.
|
Pajak Rokok; dan
|
||||||
|
c.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PKB
Paragraf 1
Objek PKB
Pasal 4 |
||||||||
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah; dan
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak PKB
Pasal 5 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan PKB
Pasal 6 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||||||
|
a.
|
Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan
|
||||||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||||||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(4)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||||||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||||||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||||||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||||||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan/atau
|
||||||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||||||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||||||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||||||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu atau as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||||||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||||||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||||||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
untuk Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan dibidang keuangan negara; dan
|
||||||
|
b.
|
untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||||||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif PKB
Pasal 7 |
||||||||
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan sebesar 0,9% (nol koma sembilan persen); dan
|
||||||
|
b.
|
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, ditetapkan secara progresif, sebagai berikut:
|
||||||
|
|
1.
|
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor kedua, sebesar 1,4% (satu koma empat persen);
|
|||||
|
|
2.
|
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor ketiga, sebesar 1,9% (satu koma sembilan persen);
|
|||||
|
|
3.
|
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor keempat, sebesar 2,4% (dua koma empat persen).
|
|||||
|
|
4.
|
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor kelima dan seterusnya, sebesar 2,9% (dua koma sembilan persen).
|
|||||
(2)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan yang terdapat pada ayat (2), tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan ambulans, pemadam kebakaran, pengangkut jenazah, pengangkut sampah milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebesar 0% (nol persen).
|
|||||||
(4)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan alamat yang sama.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran dan Masa Pajak PKB
Pasal 8 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
|
|||||||
(2)
|
PKB dikenakan untuk masa pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(3)
|
Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan data objek dan subjek pajak paling lambat pada saat berakhirnya tahun pajak.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terjadi perubahan atas Kendaraan Bermotor dalam masa pajak, baik perubahan bentuk, fungsi maupun penggantian mesin, wajib pajak wajib melaporkan kepada Perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintah daerah di bidang urusan keuangan.
|
|||||||
(5)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak, orang yang diberi kuasa olehnya, atau ahli waris.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Saat Terutang dan Ketetapan PKB
Pasal 9 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
(3)
|
PKB yang terutang dipungut bersamaan dengan penerbitan bukti registrasi Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BBNKB
Paragraf 1
Objek BBNKB
Pasal 10 |
||||||||
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
kereta api;
|
||||||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||||||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
|
||||||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||||||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||||||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||||||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||||||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||||||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak BBNKB
Pasal 11 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan BBNKB
Pasal 12 |
||||||||
Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif BBNKB
Pasal 13 |
||||||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran dan Masa Pajak BBNKB
Pasal 14 |
||||||||
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Saat Terutang dan Ketetapan BBNKB
Pasal 15 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
(2)
|
BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PAB
Paragraf 1
Objek PAB
Pasal 16 |
||||||||
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||||||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||||||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak PAB
Pasal 17 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan PAB
Pasal 18 |
||||||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||||||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||||||
(4)
|
Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan negara.
|
|||||||
(5)
|
Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif PAB
Pasal 19 |
||||||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran dan Masa Pajak PAB
Pasal 20 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
|
|||||||
(2)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan Alat Berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Saat Terutang dan Ketetapan PAB
Pasal 21 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(2)
|
PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
PBBKB
Paragraf 1
Objek PBBKB
Pasal 22 |
||||||||
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak PBBKB
Pasal 23 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||||||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan PBBKB
Pasal 24 |
||||||||
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif PBBKB
Pasal 25 |
||||||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||||||
(2)
|
Khusus untuk bahan bakar kendaraan umum, tarif PBBKB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran, Masa Pajak, dan Surat Pemberitahuan PBBKB
Pasal 26 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||||||
(2)
|
PBBKB yang terutang dikenakan untuk Masa Pajak 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(3)
|
Gubernur menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
|
|||||||
(4)
|
Wajib Pajak wajib menyampaikan SPTPD
|
|||||||
(5)
|
SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan setiap bulan kepada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang urusan keuangan paling lama 15 (lima belas hari) kerja setelah berakhirnya masa pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Saat Terutang PBBKB
Pasal 27 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
|
|||||||
(2)
|
Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAP
Paragraf 1
Objek PAP
Pasal 28 |
||||||||
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||||||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||||||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||||||
|
d.
|
keperluan keagamaan; dan
|
||||||
|
e.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak PAP
Pasal 29 |
||||||||
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan PAP
Pasal 30 |
||||||||
(1)
|
Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||||||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||||||
(4)
|
Bobot Air Permukaan dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
|||||||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||||||
|
b.
|
volume air; dan
|
||||||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||||||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif PAP
Pasal 31 |
||||||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran dan Masa Pajak PAP
Pasal 32 |
||||||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (5) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
|
|||||||
(2)
|
Setiap Wajib Pajak mengisi laporan objek dan Subjek Pajak setiap bulan.
|
|||||||
(3)
|
Laporan objek dan Subjek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
|
|||||||
(4)
|
Laporan objek dan Subjek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang urusan keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya masa pajak.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Saat Terutang dan Ketetapan PAP
Pasal 33 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||||||
(2)
|
SKPD diterbitkan berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2).
|
|||||||
(3)
|
SKPD diterbitkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) pada bulan berikutnya.
|
|||||||
(4)
|
PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak Rokok
Paragraf 1
Objek Pajak Rokok
Pasal 34 |
||||||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
|||||||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Pajak Rokok
Pasal 35 |
||||||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||||||
(4)
|
Wilayah Pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan cukai.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dasar Pengenaan Pajak Rokok
Pasal 36 |
||||||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tarif Pajak Rokok
Pasal 37 |
||||||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran, Masa Pajak, dan Surat Pemberitahuan Pajak Rokok
Pasal 38 |
||||||||
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Saat Terutang Pajak Rokok
Pasal 39 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||||||
(2)
|
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah disetor ke rekening kas umum Daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen Pajak MBLB
Paragraf 1
Wajib Pajak Opsen Pajak MBLB
Pasal 40 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Opsen Pajak MBLB dipungut oleh instansi kabupaten atau kota di wilayah Daerah yang berwenang memungut Pajak MBLB bersamaan dengan pemungutan Opsen MBLB.
|
|||||||
(3)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak MBLB terutang.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||||||
Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak terutang dari Pajak MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Tarif Opsen Pajak MBLB
Pasal 43 |
||||||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||||||
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen Pajak MBLB dengan tarif Opsen Pajak MBLB.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Saat Terutang Opsen Pajak MBLB
Pasal 45 |
||||||||
(1)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||||||
(2)
|
Wilayah Pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Bagi Hasil Pajak
Pasal 46 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||||||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
|
|||||
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
|
|||||
|
b.
|
hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||||||
|
c.
|
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||||||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
|
|||||||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||||||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota; dan
|
||||||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota.
|
||||||
(4)
|
Alokasi bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur berdasarkan Perda mengenai APBD.
|
|||||||
(5)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas Daerah kabupaten/kota.
|
|||||||
(6)
|
Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
|
|||||||
(7)
|
Dalam hal realisasi penerimaan PAP dan PBBKB pada triwulan tertentu melebihi dari target yang ditetapkan, maka realisasi penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketetapan anggaran kas yang tersedia dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran.
|
|||||||
(8)
|
Dalam hal realisasi penerimaan PAP dan PBBKB pada triwulan tertentu kurang dari target yang ditetapkan, maka realisasi penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dihitung berdasarkan realisasi yang diterima pada triwulan berkenaan.
|
|||||||
(9)
|
Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
Pasal 47 |
||||||||
(1)
|
Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
|
|||||||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB; dan
|
||||||
|
b.
|
Pajak Rokok,
|
||||||
|
baik bagian daerah maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
|
|||||||
(2)
|
Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Kerahasiaan Data Wajib Pajak
Pasal 48 |
||||||||
(1)
|
Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||||||
|
a.
|
Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||||||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
|
||||||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberi izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Gubernur dapat memberi izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 49 |
||||||||
(1)
|
Jenis Retribusi yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
|
|||||||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||||
(2)
|
Objek retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||||
(3)
|
Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||||||
(4)
|
Wajib Retribusi wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 50 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat
|
|||||||
(4)
|
dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat
|
|||||||
(5)
|
disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||||||
(10)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||||||
(11)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (10) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(12)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(13)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Retribusi Pelayanan Kesehatan
Pasal 51 |
||||||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di rumah sakit, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Pelayanan Kebersihan
Pasal 52 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
|
||||||
|
b.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Umum
Pasal 53 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 54 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum terhadap pelayanan yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Tarif Retribusi Jasa Umum
Pasal 55 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
|
|||||||
(4)
|
Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan.
|
|||||||
(6)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||||||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(9)
|
Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dikecualikan pada pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(10)
|
Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(11)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 56 |
||||||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
c.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||||||
|
e.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||||||
|
f.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||||||
|
g.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||||||
(10)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||||||
(11)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (10) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(12)
|
Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(13)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
Pasal 57 |
||||||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
Pasal 58 |
||||||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
Pasal 59 |
||||||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Retribusi Tempat Pelayanan Kepelabuhanan
Pasal 60 |
||||||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
Pasal 61 |
||||||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Retribusi Penjualan Produksi Hasil Daerah
Pasal 62 |
||||||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah Dengan Tidak Mengubah Status Kepemilikan Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 63 |
||||||||
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf g, merupakan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Usaha
Pasal 64 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||||||
|
b.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||||||
|
c.
|
pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
|
||||||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga;
|
||||||
|
e.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||||||
|
f.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 65 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Besaran Tarif Retribusi Jasa Usaha
Pasal 66 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(3)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
|
|||||||
(4)
|
Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(5)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan.
|
|||||||
(6)
|
Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf g, bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat diatur dalam Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||||||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||||||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||||||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||||||
(7)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||||||
(8)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||||||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||||||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||||||
(9)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||||||
(10)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(11)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||||||
(12)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 67 |
||||||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
penggunaan tenaga kerja asing; dan
|
||||||
|
b.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
||||||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||||||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(6)
|
Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
|
|||||||
(7)
|
Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(8)
|
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
|
|||||||
(9)
|
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (8) didahului dengan Surat Teguran.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 68 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Retribusi Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Pasal 69 |
||||||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan pemerintah pusat di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
|||||||
|
a.
|
Orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||||||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 70 |
||||||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan; dan
|
||||||
|
b.
|
pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 71 |
||||||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||||||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||||||
(4)
|
Pelayanan Pengelolaan Pertambangan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Besaran Tarif Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 72 |
||||||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dengan tarif Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||||||
(3)
|
Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan perizinan elektronik.
|
|||||||
(5)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||||||
(6)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||||||
(7)
|
Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tenaga kerja asing.
|
|||||||
(8)
|
Khusus untuk pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||||||
(9)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||||||
(10)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||||||
(11)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||||
(12)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 73 |
||||||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Lingkup Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 74 |
||||||||
(1)
|
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terutang;
|
||||||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||||||
|
d.
|
pelaporan;
|
||||||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||||||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||
|
g.
|
penagihan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||||||
|
h.
|
keberatan;
|
||||||
|
i.
|
gugatan;
|
||||||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
|
||||||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||||
(2)
|
Tata cara pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 75 |
||||||||
(1)
|
Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi
|
|||||||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 76 |
||||||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||||||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||||||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||||||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
|
|||||||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||||||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||||||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||||||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||||||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||||||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||||||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||||||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Opsen
Pasal 77 |
||||||||
(1)
|
Opsen Pajak Daerah dikenakan atas pokok Pajak terutang dari:
|
|||||||
|
a.
|
PKB; dan
|
||||||
|
b.
|
BBNKB.
|
||||||
(2)
|
Ketentuan mengenai Opsen Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
Pemungutan;
|
||||||
|
b.
|
penetapan, pembayaran, dan penyetoran Opsen PKB dan Opsen BBNKB;
|
||||||
|
c.
|
penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB;
|
||||||
|
d.
|
pengembalian kelebihan pembayaran Opsen PKB dan Opsen BBNKB;
|
||||||
|
e.
|
pengembalian kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB;
|
||||||
|
f.
|
sinergi Pemungutan Opsen; dan
|
||||||
|
g.
|
rekonsiliasi.
|
||||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Opsen Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
Paragraf 1
Kerja sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
Pasal 78 |
||||||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
|
|||||||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||||||
|
b.
|
pemerintah daerah lain; dan/atau
|
||||||
|
c.
|
pihak ketiga.
|
||||||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
b.
|
pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||||||
|
c.
|
pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
|
||||||
|
d.
|
pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
|
||||||
|
e.
|
peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
|
||||||
|
f.
|
penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
|
||||||
|
g.
|
kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
|
||||||
(3)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
|
|||||||
(4)
|
Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat:
|
|||||||
|
a.
|
mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (l); dan
|
||||||
|
b.
|
menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (l).
|
||||||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
|
|||||||
(3)
|
Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Kepala Daerah bersama mitra kerja sama.
|
|||||||
(4)
|
Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
|||||||
|
a.
|
subjek kerja sama;
|
||||||
|
b.
|
maksud dan tujuan;
|
||||||
|
c.
|
ruang lingkup;
|
||||||
|
d.
|
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
|
||||||
|
e.
|
jangka waktu perjanjian;
|
||||||
|
f.
|
sumber pembiayaan;
|
||||||
|
g.
|
penyelesaian perselisihan;
|
||||||
|
h.
|
sanksi;
|
||||||
|
i.
|
korespondensi; dan
|
||||||
|
j.
|
perubahan.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 80 |
||||||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
|||||||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Insentif Fiskal
Pasal 81 |
||||||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur dengan pertimbangan antara lain:
|
|||||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
|
||||||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||||||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||||||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||||||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
|
|||||||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||||||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 82 |
||||||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||||||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||||||
(3)
|
Pelaksanaan pemberian insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pembukuan
Pasal 83 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
|
|||||||
|
a.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
|
||||||
|
b.
|
bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
|
||||||
(2)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
|||||||
(3)
|
Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
|
|||||||
(4)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
|
|||||||
(5)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 84 |
||||||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan pajak atau retribusi.
|
|||||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan gubernur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||||||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah) dengan STPD untuk setiap SPTPD.
|
|||||||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||||||
(4)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
bencana alam;
|
||||||
|
b.
|
kebakaran;
|
||||||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||||||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/atau
|
||||||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 86 |
||||||||
(1)
|
Pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilaksanakan oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.
|
|||||||
(2)
|
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 87 |
||||||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||||
(3)
|
Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||||||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||||||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||||||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||||||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||||||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||||||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum melalui penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 88 |
||||||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan perundang-undangan.
|
|||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan perundang-undangan.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||||||
Denda sebagaimana dimaksud Pasal 88, Pasal 90, dan Pasal 91 merupakan penerimaan negara.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 93 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
|
|||||||
b.
|
khusus ketentuan mengenai PKB, BBNKB, bagi hasil PKB, dan bagi hasil BBNKB dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3) masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025;
|
|||||||
c.
|
ketentuan mengenai insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 82, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi;
|
|||||||
d.
|
ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||||||
e.
|
seluruh penerimaan Pajak provinsi yang dipungut berdasarkan Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tetap dibagihasilkan oleh provinsi berdasarkan Perda mengenai bagi hasil Pajak yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 94 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 14 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 14);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1); dan
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3),
|
|||||||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
||||||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
|
||||||||
a.
|
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3);
|
|||||||
b.
|
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 14 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 14);
|
|||||||
c.
|
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1); dan
|
|||||||
d.
|
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3),
|
|||||||
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||||||
Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||||||
(1)
|
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
|
|||||||
(2)
|
Sebelum peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat berkonsultasi dengan DPRD.
|
|||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 15 Desember 2023
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ttd.
HAMENGKU BUWONO X
Diundangkan di Yogyakarta
pada tanggal 15 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ttd.
BENY SUHARSONO
LEMBARAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2023 NOMOR 11
|
||||||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 11 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri secara efektif dan efisien. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Pungutan yang dimaksud berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi sumber pembiayaan Daerah dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.
Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang saat ini menjadi dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dilakukan restrukturisasi dan rasionalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Restrukturisasi Pajak dilakukan dengan penambahan dan pengurangan objek pajak, serta penyesuaian tarif maksimal Pajak Daerah.
Restrukturisasi pajak juga dilakukan dengan penambahan Opsen Pajak MBLB untuk sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah maupun pemerintah
kabupaten/kota.Kehadiran mekanisme Opsen Pajak diharapkan dapat meningkatkan kemandirian Daerah dengan mengoptimalkan penerimaan Pajak tanpa menimbulkan beban tambahan bagi Wajib Pajak.
Sementara itu, rasionalisasi dilakukan terhadap Retribusi Daerah dengan menyederhanakan jumlah objek Retribusi dari sebelumnya 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemungutan Retribusi serta meniminalisasi biaya pemungutan dan kepatuhan. Selain itu, penyederhanaan juga dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam upaya untuk mendapatkan pelayanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi yang dipungut oleh Daerah perlu ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah. Dengan demikian, terdapat adanya kebutuhan bagi Daerah untuk segera melakukan integrasi, harmonisasi, penataan kembali, dan penyesuaian dengan kondisi saat ini terhadap berbagai Peraturan Daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 187 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan UU PDRD masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU HKPD diundangkan. Dalam rangka memberikan kepastian hukum, maka perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada akhirnya, kehadiran Peraturan Daerah ini akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk meningkatkan penerimaan Daerah, serta diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan di masyarakat dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepemilikan" adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
Contoh: Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2025. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2025 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.
Yang dimaksud dengan "penguasaan" adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Contoh: Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2025 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2026 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), PT Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada tanggal 5 November 2026 sesuai kesepakatan dalam kontrak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.
Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contoh:
huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan terhadap penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor (kendaraan bekas) tidak dikenakan BBNKB.
Contoh: Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2025 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2026, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2027. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2027 tersebut, terutang BBNKB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Termasuk pengertian alat berat adalah kendaraan alat-alat berat yang tidak berjalan di jalan umum, meliputi kendaraan bermotor yang digunakan disemua jenis jalan darat di kawasan bandara, pelabuhan laut, perkebunan, kehutanan, pertanian, pertambangan, industri, perdagangan, sarana olah raga dan rekreasi yang tidak serta merta berjalan di jalan umum.
Termasuk dalam pengertian alat berat adalah lain forklift, bulldozer, traktor, wheel loader, log loader, skider, shovel, motor grader, excavator, back hoe, vibrator, compactor, scraper atau yang dipersamakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh: Misal, berdasarkan pendataan oleh Provinsi A didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, Tuan X yang berlokasi di Provinsi A, memiliki 100 Alat Berat sejak 15 Januari 2025. Dari jumlah tersebut: 1. sebanyak 20 Alat Berat disewakan kepada Tuan Y dan dipergunakan di Provinsi B mulai tanggal 1 Februari 2025 sampai dengan 1 Desember 2025; 2. sebanyak 70 Alat Berat disewakan kepada Tuan Z dan dipergunakan di Provinsi A mulai tanggal 1 Maret 2025 sampai dengan 1 Februari 2026; dan 3. sisanya sebanyak 10 Alat Berat belum disewakan dan berada di Provinsi A. Berdasarkan kondisi tersebut, Gubernur Provinsi A dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 80 Alat Berat untuk Tuan X yaitu 70 Alat Berat yang disewakan kepada Tuan Z dan 10 Alat Berat yang belum disewakan, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 15 Januari 2025. Di sisi lain, Provinsi B melakukan pendataan dan didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, terdapat 20 Alat Berat yang disewa oleh Tuan Y tersebut di atas. Untuk itu, Gubernur Provinsi B dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 20 Alat Berat yang disewa Tuan Y sebagai Wajib Pajak untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 1 Februari 2025.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:
Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya.
Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak mengenakan Pajak Kendaraan Bermotor atas penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri.
Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan antar penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada" adalah wilayah di mana Air Permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
Contoh: Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah Provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah Provinsi A dan hilirnya berada di wilayah Provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah Provinsi B.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.
Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan.
Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin.
Sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin.
Sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
Yang dimaksud dengan “cerutu” adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Yang dimaksud dengan “rokok daun” adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 59
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “izin pertambangan rakyat” adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Contoh penerapan ketentuan ayat ini, yakni apabila Wajib Pajak “X” memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,00. untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Kepala Daerah pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 11
|