Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANTEN,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
b.
|
bahwa pengaturan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah disetujui Menteri Dalam Negeri melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.13.1-6721 Tahun 2023 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4010);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 224, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
|||
4.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646).
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BANTEN
dan
GUBERNUR BANTEN
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan:
|
||||
1.
|
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
2.
|
Daerah adalah Provinsi Banten.
|
|||
3.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
4.
|
Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
|||
5.
|
Gubernur adalah Gubernur Banten.
|
|||
6.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
7.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
8.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||
9.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
10.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
11.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
12.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
13.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||
14.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
|||
15.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
|||
16.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
|||
17.
|
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
|
|||
18.
|
Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
|
|||
19.
|
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
20.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
|
|||
21.
|
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
|
|||
22.
|
Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
|
|||
23.
|
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah Pusat.
|
|||
24.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
|||
25.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
26.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
27.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
28.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
29.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||
30.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||
31.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
32.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
33.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
34.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||
35.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan Peraturan Perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
36.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||
37.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||
38.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan dan retribusi Daerah.
|
|||
39.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
40.
|
Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
41.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
42.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
43.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
44.
|
Tenaga Kerja Asing selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
||||
Jenis Pajak terdiri atas:
|
||||
a.
|
PKB;
|
|||
b.
|
BBNKB;
|
|||
c.
|
PAB;
|
|||
d.
|
PBBKB;
|
|||
e.
|
PAP;
|
|||
f.
|
Pajak Rokok; dan
|
|||
g.
|
Opsen Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
|
|||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, huruf f, dan huruf g dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PKB
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Objek PKB merupakan kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah Pusat;
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan;
|
||
|
e.
|
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai pabrikan atau importir untuk dipamerkan; dan
|
||
|
f.
|
Kendaraan Bermotor yang tidak digunakan karena disegel, disita, dan/atau dibekukan oleh negara.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Subjek PKB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib PKB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
|||
|
a.
|
nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
|
||
|
b.
|
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
||
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
|||
(4)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
|||
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
||
|
b.
|
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
||
|
c.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
d.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
||
|
e.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
f.
|
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
||
|
g.
|
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
||
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
||
|
b.
|
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
||
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
|||
|
a.
|
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
||
|
b.
|
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
||
|
c.
|
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
||
(9)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
untuk Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri; dan
|
||
|
b.
|
untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||
(10)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9), ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebesar 1,2% (satu koma dua persen).
|
|||
(2)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulan, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebesar 0,5 % (nol koma lima persen).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Setiap kepemilikan Kendaraan Bermotor pribadi, kedua dan seterusnya dikenakan tarif progresif.
|
|||
(2)
|
Besaran tarif progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk kepemilikan kedua sebesar 1,4% (satu koma empat persen);
|
||
|
b.
|
untuk kepemilikan ketiga sebesar 1,7% (satu koma tujuh persen);
|
||
|
c.
|
untuk kepemilikan keempat sebesar 2,1% (dua koma satu persen);
|
||
|
d.
|
untuk kepemilikan kelima dan seterusnya sebesar 2,4% (dua koma empat persen).
|
||
(3)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 atau Pasal 8.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
(4)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BBNKB
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Objek BBNKB merupakan penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan penyerahan atas:
|
|||
|
a.
|
kereta api;
|
||
|
b.
|
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
c.
|
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah Pusat; dan
|
||
|
d.
|
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
|
||
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|||
|
a.
|
untuk diperdagangkan;
|
||
|
b.
|
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
||
|
c.
|
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
||
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c, tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang digunakan sebagai dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 12% (dua belas persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||
(2)
|
Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
|||
(4)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
|||
(5)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PAB
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Objek PAB merupakan kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|||
|
a.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
||
|
b.
|
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah Pusat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Subjek PAB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Wajib PAB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
|
|||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
|||
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
|||
(4)
|
Dasar pengenaan PAB berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB.
|
|||
(5)
|
Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
|||
(2)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus dimuka.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
PBBKB
Pasal 21 |
||||
Objek PBBKB merupakan penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Subjek PBBKB merupakan konsumen BBKB.
|
|||
(2)
|
Wajib PBBKB merupakan orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
|||
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
|||
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, merupakan produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
Dasar Pengenaan PBBKB merupakan nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|||
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAP
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Objek PAP merupakan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP merupakan pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
keperluan keagamaan;
|
||
|
e.
|
keperluan pemadam kebakaran; dan
|
||
|
f.
|
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Subjek PAP merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Wajib PAP merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAP merupakan nilai perolehan Air Permukaan.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan merupakan hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
|||
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor:
|
|||
|
a.
|
lokasi pengambilan air;
|
||
|
b.
|
volume air; dan
|
||
|
c.
|
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
||
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Rokok
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Rokok merupakan konsumsi rokok.
|
|||
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Rokok merupakan konsumen rokok.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Rokok merupakan pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah Pusat yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
|||
(4)
|
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum Daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
|
|||
(5)
|
Tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen Pajak MBLB
Pasal 36 |
||||
Objek Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Subjek Pajak MBLB.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Opsen Pajak MBLB dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayah Daerah yang berwenang memungut Pajak MBLB.
|
|||
(4)
|
Pemungutan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak MBLB terutang.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari besaran pajak terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah Daerah dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
|
||
|
|
1.
|
50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
|
|
|
|
2.
|
80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
|
|
|
b.
|
Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
|
||
|
c.
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
|
||
(2)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
|
|||
(3)
|
Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah Daerah, dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
|
||
|
b.
|
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/kota di Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan PKB paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha;
|
||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||
(2)
|
Objek Retribusi merupakan penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
(3)
|
Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
(4)
|
Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
|
|||
(5)
|
Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(6)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(7)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Jenis Pelayanan yang merupakan Objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a, meliputi:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
|
||
|
d.
|
pelayanan pasar; dan
|
||
|
e.
|
pengendalian lalu lintas.
|
||
(2)
|
Objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disediakan atau diberikan oleh Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan pada Pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum atas pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan.
|
|||
(3)
|
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dengan tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi Jasa Umum ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Paragraf 1
Jenis Retribusi Jasa Usaha
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
||
|
b.
|
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
|
||
|
c.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
d.
|
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
|
||
|
e.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
||
|
f.
|
pelayanan jasa kepelabuhanan;
|
||
|
g.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
h.
|
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
|
||
|
i.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
j.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j disediakan atau diberikan oleh Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf e, dan guruf h tidak disediakan atau diberikan oleh Daerah.
|
|||
(4)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(5)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(7)
|
Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
|
|||
(8)
|
Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(9)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(10)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya
Pasal 51 |
||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan, yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan
Pasal 52 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila
Pasal 53 |
||||
Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
Pasal 54 |
||||
Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf f, merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga
Pasal 55 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf g, merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
Pasal 56 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf i, merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Pemanfaatan Aset Daerah
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) huruf j, merupakan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
(3)
|
Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
|
|||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi Jasa Usaha
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya, diukur berdasarkan jenis, luas, dan waktu penggunaan.
|
|||
(3)
|
Tingkat penggunaan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan waktu penggunaan.
|
|||
(4)
|
Tingkat penggunaan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis dan waktu penggunaan.
|
|||
(5)
|
Tingkat penggunaan pelayanan jasa kepelabuhanan diukur dari pemakaian atau pemanfaatan fasilitas yang disediakan di pelabuhan yang dihitung berdasarkan jenis,
|
|||
(6)
|
Tingkat penggunaan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga diukur berdasarkan jumlah, jenis, jangka waktu dan harga satuan.
|
|||
(7)
|
tingkat penggunaan pelayanan penjualan hasil produksi usaha pemerintah Daerah diukur berdasarkan jumlah jenis, dan ukuran produksi usaha daerah.
|
|||
(8)
|
Tingkat penggunaan pelayanan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan diukur berdasarkan jenis, lokasi, luas dan jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dengan tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(2)
|
Tarif Retribusi Jasa Usaha ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi Jasa Usaha hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Paragraf 1
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
penggunaan TKA;
|
||
|
b.
|
pengelolaan pertambangan rakyat.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau diberikan oleh Daerah berdasarkan kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan Orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(6)
|
Retribusi pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan pemerintah pusat di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penggunaan TKA
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a, merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah Pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada:
|
|||
|
a.
|
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
|
||
|
b.
|
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 65 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan; dan
|
||
|
b.
|
pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, atau formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(3)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
|
|||
(4)
|
Pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan rakyat mengacu pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dengan tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Peninjauan Tarif
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(2)
|
Peninjauan tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
|
|||
(3)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khusus pelayanan penggunaan TKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
(4)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khusus pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
|
|||
(1)
|
dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan Umum dan Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||
|
d.
|
pelaporan;
|
||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
h.
|
keberatan;
|
||
|
i.
|
gugatan;
|
||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
|
||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||
(3)
|
Pembayaran dan penyetoran Pajak daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
|
|||
(4)
|
Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui penyetoran tunai.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/ atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
|||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Gubernur.
|
||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/ atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
Pasal 75 |
||||
(1)
|
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
|
|||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
|
||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur.
|
|||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||
(7)
|
Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(10)
|
Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/ atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
|
||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
SINERGI PEMUNGUTAN PAJAK ANTARA PEMERINTAH DAERAH DAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA
Pasal 77 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah bersinergi dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam melakukan optimalisasi penerimaan:
|
|||
|
a.
|
PKB dan Opsen PKB;
|
||
|
b.
|
BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
|
||
|
c.
|
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
|
||
(2)
|
Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, Opsen BBNKB, Pajak MBLB, dan Opsen Pajak MBLB.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara provinsi dan kabupaten/kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB, diatur dengan Peraturan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
KERJA SAMA OPTIMALISASI PEMUNGUTAN PAJAK DAN PEMANFAATAN DATA
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
|
|||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi:
|
|||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 80 |
||||
(1)
|
Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan/atau Retribusi dapat diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Po1isi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur yang berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
|
|||
(2)
|
Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(4)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
|
|||
(5)
|
Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp500.000.
|
|||
(6)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
|
|||
(7)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara;
|
||
|
d.
|
wabah penyakit; dan/ atau
|
||
|
e.
|
keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 87 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
||||
Sanksi pidana berupa Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 86, dan Pasal 87 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 89 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB yang diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025;
|
|||
b.
|
hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
c.
|
seluruh penerimaan Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dibagihasilkan berdasarkan Peraturan Daerah mengenai bagi hasil Pajak yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
d.
|
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 80 hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
e.
|
ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 90 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2011 Nomor 31);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2018 Nomor 72);
|
|||
c.
|
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Nomor 103),
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua Peraturan pelaksanaan dari:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2011 Nomor 31) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Nomor 103),
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2018 Nomor 72),
|
|||
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Banten.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Serang
pada tanggal 4 Januari 2024
Pj. GUBERNUR BANTEN,
ttd.
AL MUKTABAR
Diundangkan di Serang
pada tanggal 4 Januari 2024
Pj. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BANTEN,
ttd.
VIRGOJANTI
LEMBARAN DAERAH PROVINSI BANTEN TAHUN 2024 NOMOR 1
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi terdiri atas daerah-daerah Kabupaten Dan Kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada undang-undang. Pungutan daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis Pajak Provinsi dan 3 (tiga) Retribusi Daerah Provinsi. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk ketujuh jenis pajak tersebut. Hasil penerimaan pajak dan retribusi diakui saat ini belum memadai dan memiliki peranan terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah khususnya bagi Provinsi. Sebagian besar pengeluaran anggaran pendapatan dan belanja daerah dibiayai dana alokasi dan pusat. Dalam banyak hal dana alokasi dan pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah. Karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru dengan perluasan obyek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
Pasal demi pasal
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Pajak untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.
Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kepemilikan" adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.
Contoh: Tuan X membeli sebuah mobil Y pada I November 2025. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2025 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.
Yang dimaksud dengan "penguasaan" adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Contoh: Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2O25 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2026 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), Pl Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada tanggal 5 November 2026 sesuai kesepakatan dalam kontrak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Contoh:
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada" adalah wilayah di mana Air Permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
Contoh: Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah Provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah Provinsi A dan hilirnya berada di wilayah Provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah Provinsi B.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dan dapat disinergikan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan tetap membayar Retribusi, walaupun masa berlaku izinnya telah habis dan/atau sedang dalam proses perpanjangan izin serta memperbaharui masa berlaku izin.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Gubernur dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh:
Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Gubernur sebagai berikut:
Peraturan Gubernur:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 53
Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
Pasal 54
Cukup Jelas.
Pasal 55
Cukup Jelas.
Pasal 56
Cukup Jelas.
Pasal 57
Cukup Jelas.
Pasal 58
Cukup Jelas.
Pasal 59
Cukup Jelas.
Pasal 60
Cukup Jelas.
Pasal 61
Cukup Jelas.
Pasal 62
Cukup Jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 64
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "izin pertambangan rakyat" adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup Jelas.
Pasal 70
Cukup Jelas.
Pasal 71
Cukup Jelas.
Pasal 72
Cukup Jelas.
Pasal 73
Cukup Jelas.
Pasal 74
Cukup Jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
Ayat (3)
Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh: Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan Juni 2025, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni 2025 yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli 2025 untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 September 2025 untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di Daerah tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Contoh: Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,00. untuk masa Pajak April 2O25 yang disetujui oleh Gubernur pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2O25 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 107
|