Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     

    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    GUBERNUR BALI,
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    b.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 224, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6871);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6322);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 66460);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI
    dan
    GUBERNUR BALI
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
    2.
    Instansi Pemerintah adalah Pemerintah, TNI/POLRI, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
    3.
    Provinsi adalah Provinsi Bali.
    4.
    Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.
    5.
    Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Bali.
    6.
    Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Bali.
    7.
    Gubernur adalah Gubernur Bali.
    8.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali.
    9.
    Perangkat Daerah adalah Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali.
    10.
    Pejabat adalah pejabat pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    11.
    Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali.
    12.
    Peraturan Gubernur adalah Peraturan Gubernur Bali.
    13.
    Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Provinsi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    14.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    15.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk Badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    16.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    17.
    Pajak Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau Penguasaan Kendaraan Bermotor.
    18.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik Kendaraan Bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam Badan usaha.
    19.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak Kendaraan Bermotor yang bersangkutan.
    20.
    Kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang pribadi dan/atau Badan dengan Kendaraan Bermotor atau Alat Berat yang namanya tercantum di dalam bukti Kepemilikan atau dokumen yang sah termasuk Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor atau Alat Berat.
    21.
    Penguasaan adalah penggunaan dan/atau Penguasaan fisik Kendaraan Bermotor atau Alat Berat oleh orang pribadi dan/atau Badan dengan bukti Penguasaan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
    22.
    Penyerahan Kendaraan Bermotor adalah pengalihan hak milik Kendaraan Bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah termasuk hibah wasiat dan hadiah, warisan, atau pemasukan ke dalam Badan usaha.
    23.
    Nilai Jual Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disingkat NJKB adalah harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor.
    24.
    Pajak Alat Berat, yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat.
    25.
    Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
    26.
    Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disingkat BBKB adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
    27.
    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan BBKB dan Alat Berat.
    28.
    Pajak Air Permukaan, yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    29.
    Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
    30.
    Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 
    31.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan, yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    32.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    33.
    Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh Provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    34.
    Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Gubernur paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutang.
    35.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    36.
    Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Provinsi sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    37.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    38.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    39.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    40.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    41.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Provinsi dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    42.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya. 
    43.
    Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi, yang selanjutnya disebut Insentif adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan Pajak atau Retribusi
    44.
    Badan Layanan Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja Perangkat Daerah atau unit satuan kerja Perangkat Daerah pada satuan kerja Perangkat Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
    a.
    Pajak;
    b.
    Retribusi;
    c.
    tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan, dan penundaan pembayaran atas Pokok Pajak/Retribusi;
    e.
    kerahasiaan data Wajib Pajak;
    f.
    Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    g.
    sanksi administratif
    h.
    ketentuan penyidikan;
    i.
    ketentuan pidana; dan
    j.
    pengawasan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 3

    Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi, terdiri atas:
    a.
    PKB;
    b.
    BBNKB;
    c.
    PAB;
    d.
    PBBKB;
    e.
    PAP;
    f.
    Pajak Rokok; dan
    g.
    Opsen Pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
     
    a.
    PKB;
     
    b.
    BBNKB;
     
    c.
    PAB; dan
     
    d.
    PAP.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    PBBKB;
     
    b.
    Pajak Rokok; dan
     
    c.
    Opsen Pajak MBLB.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu surat ketetapan Pajak dan surat pemberitahuan Pajak terutang.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yaitu surat pemberitahuan Pajak.
    (5)
    Dokumen surat pemberitahuan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak
     
    Paragraf 1
    Pajak Kendaraan Bermotor
     

    Pasal 5

    (1)
    Objek PKB yaitu Kepemilikan dan/atau Penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Objek PKB yang dikecualikan dari Kepemilikan dan/atau Penguasaan atas Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Kepemilikan dan/atau Penguasaan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
     
    d.
    Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
     

    Pasal 6

    (1)
    Subjek PKB yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib PKB yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor. 
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
     
    a.
    NJKB; dan
     
    b.
    bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan NJKB.
    (3)
    NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2), ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
    (4)
    Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
    (5)
    Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, NJKB dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
     
    a.
    harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
     
    b.
    penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
     
    c.
    harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
     
    d.
    harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
     
    e.
    harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
     
    f.
    harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
     
    g.
    harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
    (6)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
     
    b.
    koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
    (7)
    Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dihitung berdasarkan faktor-faktor:
     
    a.
    tekanan gandar yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
     
    b.
    jenis BBKB yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
     
    c.
    jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
    (8)
    Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), untuk Kendaraan Bermotor baru dikenakan sesuai dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan negara.
    (9)
    Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan NJKB dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (10)
    Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9), ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    untuk Kepemilikan dan/atau Penguasaan Kendaraan Bermotor sampai dengan 200cc, ditetapkan sebesar 1,055% (satu koma nol lima puluh lima persen); dan
     
    b.
    untuk Kepemilikan dan/atau Penguasaan Kendaraan Bermotor di atas 200cc, ditetapkan sebesar 1,2% (satu koma dua persen).
    (2)
    Tarif PKB atas Kepemilikan dan/atau Penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
    (3)
    Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2).
    (2)
    Wilayah pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Provinsi tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
    (3)
    PKB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga Kepemilikan dan/atau Penguasaan Kendaraan Bermotor tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
     

    Pasal 11

    (1)
    Objek BBNKB yaitu penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap penyerahan atas:
     
    a.
    kereta api;
     
    b.
    Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
     
    c.
    Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah; dan
     
    d.
    Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan.
    (4)
    Termasuk Penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
     
    a.
    untuk diperdagangkan;
     
    b.
    untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
     
    c.
    digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
    (5)
    Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c, tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Subjek Pajak BBNKB yaitu orang pribadi atau Badan yang menerima Penyerahan Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib Pajak BBNKB yaitu orang pribadi atau Badan yang menerima Penyerahan Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Dasar pengenaan BBNKB merupakan NJKB yang digunakan sebagai dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8) dan ayat (9).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 12% (dua belas persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
    (2)
    Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Provinsi tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
    (4)
    Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (5)
    Bukti Pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pajak Alat Berat
     

    Pasal 16

    (1)
    Objek PAB yaitu Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat.
    (2)
    Objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap Kepemilikan dan/atau Penguasaan atas:
     
    a.
    Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
     
    b.
    Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Subjek PAB yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
    (2)
    Wajib PAB yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Dasar pengenaan PAB yaitu nilai jual Alat Berat.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
    (3)
    Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya. 
    (4)
    Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan negara.
    (5)
    Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
    (6)
    Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, belum menetapkan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur dapat menetapkan dasar pengenaan PAB sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
    (2)
    Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat.
    (3)
    Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Provinsi tempat Penguasaan Alat Berat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
    (2)
    PAB dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
    (3)
    PAB dibayar sekaligus di muka.
    (4)
    Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
     

    Pasal 22

    Objek PBBKB yaitu penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Subjek PBBKB yaitu konsumen BBKB.
    (2)
    Wajib PBBKB yaitu orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
    (3)
    Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
    (4)
    Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, yaitu produsen dan/atau importir BBKB, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    Dasar pengenaan PBBKB yaitu nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
    (2)
    Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Provinsi tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pajak Air Permukaan
     

    Pasal 27

    (1)
    Objek PAP yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (2)
    Objek PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    keperluan keagamaan; dan
     
    e.
    kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Subjek PAP yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (2)
    Wajib PAP yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Dasar pengenaan PAP merupakan nilai perolehan Air Permukaan.
    (2)
    Nilai perolehan Air Permukaan yaitu hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
    (3)
    Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dengan Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
    (4)
    Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
     
    a.
    lokasi pengambilan air;
     
    b.
    volume air; dan
     
    c.
    kewenangan pengelolaan sumber daya air.
    (5)
    Penghitungan nilai perolehan Air Permukaan dilakukan oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi penunjang pendapatan daerah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari Perangkat Daerah yang melaksanakan sub urusan sumber daya air dan Perangkat Daerah terkait.
    (6)
    Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    Tarif PAP ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
    (2)
    Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
    (3)
    Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Provinsi tempat Air Permukaan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pajak Rokok
     

    Pasal 32

    (1)
    Objek Pajak Rokok yaitu konsumsi rokok.
    (2)
    Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
    (3)
    Objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Subjek Pajak Rokok yaitu konsumen rokok.
    (2)
    Wajib Pajak Rokok yaitu pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
    (2)
    Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
    (3)
    Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
     

    Pasal 37

    Opsen Pajak MBLB dikenakan atas Pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Subjek Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Subjek Pajak MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Wajib Pajak MBLB.
    (3)
    Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Dasar pengenaan untuk Opsen Pajak MBLB merupakan Pajak MBLB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    Tarif Opsen Pajak MBLB ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
    (2)
    Saat terutang Opsen Pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya Pajak MBLB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen MBLB yang terutang merupakan wilayah Kabupaten/Kota tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 42

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Gubernur berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Bagi Hasil Pajak Provinsi
     

    Pasal 43

    (1)
    Hasil penerimaan PAP, PBBKB, dan Pajak Rokok sebagian diperuntukkan bagi Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar:
     
     
    1.
    50% (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota; atau
     
     
    2.
    80% (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota.
     
    b.
    Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
     
    c.
    Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
    (2)
    Besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar Kabupaten/Kota.
    (3)
    Besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
     
    b.
    bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi; dan
     
    c.
    bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi.
    (4)
    Alokasi besaran bagi hasil Pajak per Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
    (5)
    Mekanisme dan tata cara belanja bagi hasil dilaksanakan berdasarkan Peraturan Gubernur mengenai mekanisme dan tata cara belanja bagi hasil.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas daerah Provinsi ke kas daerah Kabupaten/Kota.
    (2)
    Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak.
    (3)
    Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 45

    (1)
    Hasil penerimaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 46

    (1)
    Jenis Retribusi Pemerintah Provinsi terdiri atas:
     
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
     
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
     
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
    (2)
    Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 47

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a, meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan; dan
     
    b.
    pelayanan kebersihan.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (3)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyesuaian detail rincian objek diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Provinsi; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
    (6)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (7)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a, merupakan pelayanan kesehatan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan kebersihan pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
    (2)
    Pelayanan kebersihan pengolahan limbah cair sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Struktur rincian objek layanan BLUD yang termasuk Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 52

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b, meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
     
    b.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    c.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    d.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi; dan
     
    e.
    pemanfaatan aset Provinsi yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Provinsi dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (3)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyesuaian detail rincian objek diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Provinsi; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan. 
    (6)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (7)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a, merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b, merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c, merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d, merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Provinsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Pemanfaatan aset Provinsi yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Provinsi dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf e, termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
    (2)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Provinsi; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi
    (5)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Struktur rincian objek layanan BLUD yang termasuk Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 60

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c, yaitu Retribusi perpanjangan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (3)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    (1)
    Pelayanan Retribusi perpanjangan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pengenaan Retribusi perpanjangan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Untuk pelayanan Retribusi perpanjangan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Tata Cara Penghitungan Retribusi
     

    Pasal 64

    (1)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Provinsi untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (4)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan.
    (5)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 66

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Pemungutan Pajak
     

    Pasal 67

    (1)
    Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
    (2)
    Pemungutan Pajak dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan tugas dan fungsi koordinasi pengelolaan pendapatan daerah.
    (3)
    Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan surat setoran pajak daerah tepat pada waktunya.
    (4)
    Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang dikenakan atas pokok Pajak terutang dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB dan BBNKB.
    (5)
    Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh Gubernur.
    (6)
    Pembayaran atau penyetoran Pajak dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (7)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak wajib mengisi surat pemberitahuan pajak daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Pelaporan surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan setiap masa Pajak.
    (3)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (4)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan surat tagihan pajak daerah dalam satuan rupiah untuk setiap surat tagihan pajak daerah.
    (5)
    Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
    (6)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (7)
    Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6), meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sinergi Pemungutan PKB dan BBNKB
     

    Pasal 69

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
     
    a.
    PKB dan Opsen PKB; dan
     
    b.
    BBNKB dan Opsen BBNKB,
     
    Pemerintah Provinsi bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
    (2)
    Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB, atau bentuk sinergi lainnya.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 70

    (1)
    Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam surat ketetapan retribusi daerah atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut tepat pada waktunya dan membayar sesuai dengan jumlah Retribusi terutang.
    (2)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Perangkat Daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
    (3)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 71

    (1)
    Pemerintah Provinsi dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Ketentuan mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Gubernur.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan; dan
     
    j.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 73

    (1)
    Gubernur melakukan pengelolaan piutang Pajak dan Retribusi untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak/Retribusi untuk melakukan Penagihan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Piutang Pajak dan Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN, DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 74

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Provinsi.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan daerah dalam mencapai program prioritas daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dalam Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
    (5)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, Pembebasan, dan Penundaan Pembayaran
     

    Pasal 75

    (1)
    Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit berupa:
     
    a.
    lahan pertanian yang sangat terbatas;
     
    b.
    tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu;
     
    c.
    nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu; dan
     
    d.
    objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 76

    (1)
    Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang Pajak.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 77

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yaitu:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada Pejabat lembaga negara atau Instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 78

    (1)
    Gubernur memberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu kepada Perangkat Daerah yang melakukan pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    SANKSI ADMINISTRATIF
     

    Pasal 79

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 80

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Provinsi diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Provinsi yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 81

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan daerah Provinsi, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan daerah Provinsi, diancam dengan pidana penjara atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau Masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), sehingga merugikan keuangan daerah Provinsi, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, Pasal 83 dan Pasal 84 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    PENGAWASAN
     

    Pasal 86

    (1)
    Pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh:
     
    a.
    Perangkat Daerah yang menangani pendapatan;
     
    b.
    Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi; dan
     
    c.
    Perangkat Daerah atau lembaga terkait lainnya baik secara mandiri ataupun bersama-sama sesuai kewenangan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengawasan preventif dan pengawasan represif serta dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 87

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 78, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    Pendapatan BLUD yang bukan merupakan Retribusi berdasarkan Peraturan Daerah ini, tetap merupakan pendapatan BLUD berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku, sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 90

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    ketentuan mengenai tarif layanan BLUD yang merupakan Retribusi berdasarkan Peraturan Daerah ini yang tercantum dalam:
     
    1.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 33 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Pada Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2015 Nomor 33);
     
    2.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 69 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Bali Nomor 33 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Pada Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2016 Nomor 69);
     
    3.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Pada Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2020 Nomor 16);
     
    4.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 57 Tahun 2021 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Daerah Pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Di Lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Dan Kawasan Permukiman (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2021 Nomor 57);
     
    5.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Daerah Pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2022 Nomor 10);
     
    6.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2022 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Pada Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2022 Nomor 12);
     
    7.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 15 Tahun 2022 tentang Tarif Layanan Kesehatan Badan Layanan Umum Daerah Pada Rumah Sakit Mata Bali Mandara (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2022 Nomor 16);
     
    8.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2022 tentang Standar Pelayanan Minimal dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Daerah Pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pelatihan Kesehatan dan Masyarakat (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2022 Nomor 26);
     
    9.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2023 tentang Standar Pelayanan Minimal dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Daerah Pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Laboratorium Kesehatan (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2023 Nomor 8);
     
    10.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 12 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Daerah Pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2023 Nomor 12); dan
     
    11.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 63 Tahun 2023 tentang Tarif Layanan Kesehatan Badan Layanan Umum Daerah pada Rumah Sakit Umum Daerah Bali (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2023 Nomor 63),
     
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
    b.
    Objek lain-lain pendapatan asli daerah yang sah yang merupakan Retribusi berdasarkan Peraturan Daerah ini yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 12 Tahun 2022 tentang Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2022 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 10), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Ketentuan mengenai PBBKB, PAP, dan Pajak Rokok yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 1);
    b.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 2);
    c.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3);
    d.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2015 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 1);
    e.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2016 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 9);
    f.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2017 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 5);
    g.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2018 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3);
    h.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2021 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4);
    i.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2021 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6);
    j.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2022 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2022 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3);
    k.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 35 Tahun 2021 tentang Peninjauan Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2021 Nomor 35);
    l.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 41 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 35 Tahun 2021 tentang Peninjauan Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2021 Nomor 41);
    m.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 50 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 35 Tahun 2021 tentang Peninjauan Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2021 Nomor 50);
    n.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2022 tentang Peninjauan Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2022 Nomor 4);
    o.
    Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Peninjauan Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2023 Nomor 6),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Ketentuan mengenai PKB dan BBNKB, yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 1);
    b.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2016 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 7);
    c.
    Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 7),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkannya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Bali.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Bali
    pada tanggal 5 Januari 2024
    Pj. GUBERNUR BALI,
    ttd.
    S. M. MAHENDRA JAYA

    Diundangkan di Bali
    pada tanggal 5 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BALI,
    ttd.
    DEWA MADE INDRA

    LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
    I.
    UMUM
     
    Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum ditujukan untuk seluruh masyarakat Indonesia yang berada di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Selanjutnya ditentukan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
     
    Hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah telah ditegaskan pula dalam Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang mengganti Undang-Undang sebelumnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur berbagai hal terkait kebijakan fiskal pemerintah termasuk di dalamnya adalah terkait Pajak dan Retribusi daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi dan sebagainya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah didesain untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan kualitas belanja daerah, restrukturisasi jenis pajak serta harmonisasi kebijakan fiskal pusat dan daerah. Melalui Undang-Undang ini diharapkan bahwa dengan peningkatan kapasitas fiskal daerah, maka pendapatan asli daerah akan ikut meningkat.
     
    Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa seluruh jenis pajak dan retribusi harus ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah. Mengingat sebelumnya, Peraturan Daerah terkait pajak dan retribusi daerah disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Atas dasar hal tersebutlah Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu disusun oleh Pemerintah Provinsi Bali.
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan asas timbal balik yang dikenal dengan asas resiprocitas yaitu perlakuan perpajakan yang diperlakukan sama oleh suatu Negara yang melaksanakan persetujuan atau ratifikasi berdasarkan Konvensi Wina 1961. Perlakuan yang sama juga diperlakukan terhadap Pajak Daerah (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) apabila suatu Negara juga memberikan pembebasan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor bagi Kedutaan Besar Indonesia yang berada di Negara tersebut. Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor bagi perwakilan lembaga-lembaga Internasional berpedoman kepada keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan negara.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud keadaan kahar Wajib Pajak meliputi:
    a.
    bencana alam;
    b.
    kebakaran;
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
    Pasal 11
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor yaitu Kendaraan Bermotor yang diperoleh melalui hasil pembelian baru, lelang, dan hibah.
     
    Lelang yang dimaksud meliputi:
    a.
    lelang penghapusan Ranmor dinas TNI/Polri;
    b.
    lelang temuan yang bersumber dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan; dan
    c.
    lelang pengadilan.
     
    Hibah yang dimaksud meliputi Kendaraan Bermotor sebagai barang rampasan negara atau Kendaraan Bermotor yang ditetapkan sebagai barang gratifikasi.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    BBNKB hanya dikenakan terhadap penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor (kendaraan bekas) tidak dikenakan BBNKB.
     
    Contoh:
    Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2025 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2026, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2027. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2O27 tersebut, terutang BBNKB.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud keadaan kahar Wajib Pajak meliputi:
    a.
    bencana alam;
    b.
    kebakaran;
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Pemungutan PBBKB dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:
    1.
    Lembaga Penyalur, antara lain: Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk TNI/POLRI Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Premium Solar Parkid Dealer (PSPD), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang akan menjual BBM kepada konsumen akhir (konsumen langsung).
    2.
    Konsumen langsung, yaitu pengguna bahan bakar kendaraan bermotor.
     
    Yang dimaksud dengan ”penyediaan bahan bakar kendaraan bermotor” dalam ketentuan ini adalah produsen bahan bakar kendaraan bermotor yaitu Pertamina dan/atau produsen bahan bakar lainnya. Dalam hal pembelian bahan bakar kendaraan bermotor dilakukan antar penyediaan bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung maka yang wajib menggunakan PBBKB adalah penyedia yang menyalurkan bahan bakar kendaraan bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung.
    Ayat (4)
    Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib menanggung PBBKB yang digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “pengairan pertanian rakyat” yaitu kepentingan irigasi, pertanian tanaman pangan, dan perkebunan rakyat yang berskala kecil dan/atau untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan “perikanan rakyat” yaitu kepentingan perikanan yang berskala kecil dan/atau untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “volume air” yaitu jumlah air yang diambil selama 1 (satu) bulan yang dinyatakan dalam satuan meter kubik (m3) atau satuan volume air lainnya.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "wilayah Provinsi tempat Air Permukaan berada" yaitu wilayah di mana Air Permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “bersamaan” merupakan pembayaran Opsen MBLB dilakukan sekaligus dengan pembayaran MBLB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Ayat (1)
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi Bali melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500.000.000,00. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20% (dua puluh persen), sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi Bali sebesar 25% (dua puluh lima persen). Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
    a.
    Pajak MBLB terutang = 20% x Rp500.000.000,00 = Rp100.000.000,00
    b.
    Opsen Pajak MBLB terutang = 25% x Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00.
     
    Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp125.000.000,00
     
    Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Penyesuaian detail rincian objek dengan Peraturan Gubernur dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2024, RSUD X menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
    Pada tahun 2026, RSUD X memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Provinsi Bali menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan menetapkan Peraturan Gubernur sebagai berikut:
     
    Peraturan Gubernur:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Penyesuaian detail rincian objek dengan Peraturan Gubernur dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2024, UPTD. X menyediakan pemanfaatan aset Provinsi berupa pelayanan sewa aula dan pelayanan sewa ruangan. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pemanfaatan aset Provinsi
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan sewa aula
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan sewa ruangan
     
    Pada tahun 2026, UPTD. X memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan sewa ruang belajar dan pelayanan sewar uang makan yang merupakan bagian dari pelayanan sewa ruangan. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Provinsi Bali menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan menetapkan Peraturan Gubernur sebagai berikut:
     
    Peraturan Gubernur:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pemanfaatan aset Provinsi
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan sewa aula
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan sewa ruangan
     
    1.2.1. 
    detail rincian objek Retribusi: sewa uang belajar
     
    1.2.2. 
    detail rincian objek Retribusi: sewa ruang makan
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “dilarang diborongkan” yaitu bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan Penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data objek dan subjek Pajak.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur" merupakan keadaan di luar kemampuan Wajib Pajak berdasarkan penilaian objektif Gubernur yang menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat memenuhi batas waktu pengajuan keberatan, contohnya adalah Wajib Pajak berada di remote area atau adanya akuisisi Wajib Pajak oleh pihak lain yang menyebabkan Wajib Pajak terkendala melengkapi dokumen pendukung.
    Pasal 69
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Contoh sinergi Pemungutan PKB dan BBNKB yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama daerah misal, kerja sama antara Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten X dalam rangka optimalisasi Pemungutan PKB dan Opesen PKB, dan Pemungutan BBNKB dan Opsen BBNKB.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang memiliki kompetensi dibidang pemungutan Retribusi.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi” yaitu Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Provinsi, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024