Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN
    NOMOR 10 TAHUN 2023

     
    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA TANGERANG SELATAN,
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 188, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4935);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN
    dan
    WALI KOTA TANGERANG SELATAN
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kota Tangerang Selatan.
    2.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah wali kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    4.
    Wali Kota adalah Wali Kota Tangerang Selatan.
    5.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 
    6.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    7.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    8.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    9.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    10.
    Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    11.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    12.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    13.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    14.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    15.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    16.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    17.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    18.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    19.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    20.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    21.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak Kendaraan Bermotor yang bersangkutan.
    22.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    23.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah Barang dan Jasa Tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    24.
    Makanan dan/atau Minuman adalah Makanan Dan/Atau Minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    25.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    26.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit Tenaga Listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    27.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya. 
    28.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    29.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    30.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    31.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    32.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    33.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    34.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    35.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    36.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    37.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxima, collocalia esculenta, dan collocalia linchi.
    38.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    39.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    40.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    41.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 
    42.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak Daerah dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan daerahnya.
    43.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    44.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    45.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Subjek dan Objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    46.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
    47.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD yang dipersamakan, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    48.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
    49.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
    50.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan. 
    51.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    52.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    53.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    54.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    55.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    56.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    57.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    58.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    59.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan Tahun Pajak. 
    60.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    61.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    62.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    63.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
    64.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
    65.
    Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
    66.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    67.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    68.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    69.
    Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif. 
    70.
    Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
    71.
    Kios adalah bangunan permanen di bagian dalam pasar dan/atau tempat yang dimiliki Pemerintah Daerah yang dipergunakan untuk tempat usaha berjualan yang masing-masing dibatasi dengan tembok penyekat dan penutup pintu kios.
    72.
    Los adalah unit bangunan di dalam pasar dan/atau tempat yang dimiliki Pemerintah Daerah, beratap dan berlantai keras yang dapat dipergunakan untuk tempat usaha berjualan dengan luasan yang telah ditetapkan.
    73.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    74.
    Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    75.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    76.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    77.
    Standar Harga Satuan Tertinggi yang selanjutnya disingkat SHST adalah biaya paling banyak per meter persegi pelaksanaan konstruksi pekerjaan standar untuk pembangunan Bangunan Gedung negara.
    78.
    Harga Satuan Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disingkat HSBGN adalah SHST untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik pembangunan Bangunan Gedung negara yang diberlakukan sesuai dengan klasifikasi, lokasi dan tahun pembangunannya.
    79.
    Indeks Lokalitas adalah persentase pengali terhadap SHST yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
    80.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya di singkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    81.
    Rencana Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu. 
    82.
    Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah Kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah.
    83.
    Pengesahan Rencana Penggunaan TKA Perpanjangan yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA Perpanjangan adalah persetujuan perpanjangan penggunaan TKA yang disahkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
    84.
    Pemberi Kerja TKA adalah Badan hukum atau Badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    85.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Retribusi, penentuan besarnya Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Retribusi kepada Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    86.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    87.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    88.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    89.
    Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Wali Kota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah sebagaimana diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.
    90.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak Daerah
     

    Pasal 2

    (1)
    Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g tidak dipungut oleh Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak Daerah
     
    Paragraf 1
    PBB-P2
     

    Pasal 3

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, Kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
    (6)
    Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
    (2)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan antara lain:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    sebesar 0,1% (nol koma satu persen) untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
    b.
    sebesar 0,2% (nol koma dua persen) untuk NJOP Rp1.000.000.001,00 (satu milyar satu rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
    c.
    sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) untuk NJOP Rp5.000.000.001,00 (lima milyar satu rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah); dan
    d.
    sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) untuk NJOP di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (4)
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (5)
    Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada pada:
     
    a.
    perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada pada daratan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    BPHTB
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut sesuai dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
    (2)
    Khusus tarif BPHTB untuk:
     
    a.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan berupa pemindahan hak karena hibah wasiat dan waris ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan
     
    b.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan berupa pemindahan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (3)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (4)
    BPHTB yang terutang atas pemindahan hak karena jual beli paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
    (5)
    Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    Dalam hal Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    PBJT
     

    Pasal 17

    Objek PBJT adalah penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha dengan omset kurang dari Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
    (3)
    Dalam hal Restoran dan/atau penyedia jasa boga atau katering yang telah menjadi Wajib Pajak mengalami penurunan omset menjadi kurang dari Rp15.000.000,00 per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Wajib Pajak wajib menyetorkan pajak yang telah dipungut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
     
    e.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang memerlukan izin dari instansi teknis terkait dengan penggunaan tidak melebihi 57.000 kWh/bulan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
     
    d.
    tempat usaha yang menyediakan fasilitas parkir tetapi tidak memungut biaya parkir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan Kendaraan Bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan pelayanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran;
     
    c.
    kesenian dan hiburan yang tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    d.
    kesenian dan hiburan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal yang bertujuan sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Subjek Pajak PBJT adalah konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada:
     
    a.
    diskotek sebesar 50% (lima puluh persen);
     
    b.
    karaoke sebesar 40% (empat puluh persen);
     
    c.
    kelab malam sebesar 50% (lima puluh persen);
     
    d.
    bar sebesar 50% (lima puluh persen); dan
     
    e.
    mandi uap/spa sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain:
     
     
    1.
    untuk daya listrik 450 VA ditetapkan sebesar 0% (nol persen);
     
     
    2.
    untuk daya listrik 900 VA sampai dengan 1.300 VA ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
     
     
    3.
    untuk daya listrik 2.200 VA ke atas ditetapkan sebesar 6% (enam persen); dan
     
     
    4.
    untuk industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen).
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pajak Reklame
     

    Pasal 29

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, ukuran, bentuk dan bahan nama pengenal usaha atau profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
    (2)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    PAT
     

    Pasal 35

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan; dan
     
    f.
    keperluan sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Opsen PKB
     

    Pasal 41

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB adalah Wajib Pajak PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Dasar pengenaan Opsen PKB adalah PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dengan tarif Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (2)
    Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
    (3)
    Tata cara Pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 47

    Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB adalah Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    Dasar pengenaan Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dengan Tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (2)
    Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
    (3)
    Tata cara Pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 53

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 54

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah
     
    Paragraf 1
    Umum
     
    Pasal 55
    (1)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan (official assessment), terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak (self assessment), terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    Jenis Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c ditetapkan oleh Wali Kota.
    (4)
    Jenis Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan perpajakan daerah.
    (5)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain Surat Ketetapan Pajak Daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
    (6)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain surat pemberitahuan Pajak daerah.
    (7)
    Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pemungutan Pajak
     

    Pasal 56

    (1)
    Pemungutan Pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan Pajak;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak yang Terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran Pajak;
     
    d.
    pelaporan Pajak;
     
    e.
    Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan Pajak;
     
    f.
    Pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    Penagihan Pajak;
     
    h.
    keberatan Pajak;
     
    i.
    banding Pajak;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak;
     
    k.
    pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan Pajak;
     
    l.
    pembukuan Pajak;
     
    m.
    insentif Pemungutan Pajak;
     
    n.
    kemudahan perpajakan daerah;
     
    o.
    kerahasiaan data wajib pajak; dan
     
    p.
    pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pendaftaran dan Pendataan Pajak
     

    Pasal 57

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
     
    a.
    surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e; dan
     
    b.
    SPOP untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a.
    (2)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
    (3)
    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
    (4)
    Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
    (5)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
    (6)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
    (7)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
    (8)
    Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
    (2)
    Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
    (2)
    Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar permohonan Wajib Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
    (3)
    Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
    (4)
    Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
     
    a.
    tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
     
    b.
    tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penetapan Besaran Pajak yang Terutang
     

    Pasal 60

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
    (3)
    Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (4)
    Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
    (5)
    Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif, kecuali PKB.
    (6)
    Penetapan PKB dan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (7)
    Untuk PKB dan Opsen PKB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, serta tata cara penerbitan dan penyampaian SKPD diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
     
    a.
    SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
     
    b.
    hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, serta tata cara penerbitan, dan penyampaian SPPT dan SKPD diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pembayaran dan Penyetoran Pajak
     

    Pasal 62

    (1)
    Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
    (2)
    Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
    (3)
    Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (4)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
    (5)
    Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) paling lama:
     
    a.
    1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1); dan
     
    b.
    6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
    (6)
    Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
    (7)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
    (8)
    Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dan ayat (2) berdasarkan nilai perolehan objek pajak.
    (9)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (10)
    Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
    (11)
    Bentuk, isi, serta tata cara penerbitan, pengisian, dan penyampaian SSPD diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Pejabat pembuat akta tanah/notaris wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal Pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    (1)
    Kepala kantor pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    Dalam hal Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pelaporan Pajak
     

    Pasal 66

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
    (3)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak.
    (4)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wali Kota setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
    (5)
    Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (6)
    SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
    (3)
    Berdasarkan masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wali Kota menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
    (4)
    Ketentuan masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (3)
    Kriteria keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan Penelitian atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1).
    (2)
    Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
     
    b.
    kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
     
    c.
    kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.
    (3)
    Apabila berdasarkan hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD.
    (4)
    STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Dalam hal hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Penelitian SPTPD diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
     
    a.
    kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NOPD yang tercantum:
     
     
    1.
    dalam SPPT atau bukti pembayaran PBBP2 lainnya; dan
     
     
    2.
    pada basis data PBB-P2;
     
    b.
    kesesuaian NJOP Bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2;
     
    c.
    kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2;
     
    d.
    kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan objek pajak, NJOP, NJOP tidak kena pajak, tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, dan BPHTB terutang atau yang harus dibayar;
     
    e.
    kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan
     
    f.
    kesesuaian kriteria objek pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
    (2)
    Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
    (3)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (4)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
    (5)
    Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat.
    (6)
    Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Penelitian SSPD BPHTB diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
    (2)
    Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
    (3)
    Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
    (4)
    Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan Pajak
     

    Pasal 72

    (1)
    Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan STPD, SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
    (3)
    Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan Penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam rangka Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
    (5)
    Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
    (6)
    Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
     
    a.
    mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak;
     
    b.
    membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Pemeriksaan Pajak
     

    Pasal 73

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
     
    a.
    Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
     
    b.
    terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
     
    c.
    Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
    (3)
    Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit untuk:
     
    a.
    pemberian NPWPD secara jabatan;
     
    b.
    penghapusan NPWPD;
     
    c.
    penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
     
    d.
    pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
     
    e.
    Pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
    (4)
    Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa meliputi:
     
    a.
    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak yang terutang;
     
    b.
    memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
     
    c.
    memberikan keterangan yang diperlukan.
    (2)
    Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, hak Wajib Pajak yang diperiksa paling sedikit:
     
    a.
    meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
     
    b.
    meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
     
    c.
    menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
    (3)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak terutang ditetapkan secara jabatan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2).
    (2)
    SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
     
    a.
    hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73; atau
     
    b.
    penghitungan secara jabatan karena:
     
     
    1.
    Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis namun tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
     
     
    2.
    Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik dan kewajiban Wajib Pajak dalam pelaksanaan Pemeriksaan.
    (3)
    SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan Pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT.
    (4)
    SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 terdapat kelebihan pembayaran Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan SKPDLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    (1)
    Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 
    (2)
    Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB hasil penghitungan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c; atau
     
    b.
    kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.
    (3)
    Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT.
    (4)
    SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dalam hal:
     
    a.
    Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
     
    b.
    Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
    c.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (3)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dalam hal:
     
    a.
    Pajak terutang tidak atau kurang dibayar;
     
    b.
    hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
     
    c.
    SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
    d.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (4)
    Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Penagihan Pajak
     

    Pasal 79

    (1)
    Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
    (2)
    Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan.
    (3)
    Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) Wali Kota berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
    (2)
    Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
     
    a.
    mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
     
    b.
    menerbitkan:
     
     
    1.
    Surat Teguran;
     
     
    2.
    surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
     
     
    3.
    Surat Paksa;
     
     
    4.
    surat perintah melaksanakan penyitaan;
     
     
    5.
    surat perintah penyanderaan;
     
     
    6.
    surat pencabutan sita;
     
     
    7.
    pengumuman lelang;
     
     
    8.
    surat penentuan harga limit;
     
     
    9.
    pembatalan lelang; dan
     
     
    10.
    surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
    (3)
    Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) diawali dengan penerbitan Surat Teguran.
    (2)
    Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak.
    (3)
    Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa.
    (4)
    Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran.
    (5)
    Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran.
    (6)
    Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
    (7)
    Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 jam (dua kali dua puluh empat jam) sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
    (8)
    Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita.
    (9)
    Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak pengumuman lelang.
    (10)
    Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak dilakukan penyitaan.
    (11)
    Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan seketika dan sekaligus apabila:
    a.
    Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
    b.
    Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
    c.
    terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
    d.
    badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
    e.
    terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    (1)
    Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan itikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan.
    (2)
    Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak.
    (3)
    Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penagihan diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan mengenai pedoman Penagihan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak terutangnya Pajak kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
    (2)
    Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
    (3)
    Kedaluwarsa Penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (4)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
    (5)
    Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (6)
    Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan pemohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (7)
    Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Keberatan Pajak
     

    Pasal 85

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
    (2)
    Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau Pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (5)
    Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
    (6)
    Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
    (7)
    Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
    (8)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
    (9)
    Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1).
    (2)
    Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
    (3)
    Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (7).
    (4)
    Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
     
    a.
    menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
     
    b.
    menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
     
    c.
    menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
     
    d.
    menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (5)
    Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) perbulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
    (3)
    Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Banding Pajak
     

    Pasal 88

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
    (2)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
    (4)
    Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) perbulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
    (3)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (3) tidak dikenakan.
    (4)
    Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 12
    Gugatan
     

    Pasal 90

    (1)
    Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
     
    a.
    pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
     
    b.
    keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
     
    c.
    keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain keputusan perpajakan yang diajukan keberatan dan surat keputusan keberatannya; dan
     
    d.
    penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.
    (2)
    Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 13
    Penghapusan Piutang Pajak
     

    Pasal 91

    (1)
    Wali Kota melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3).
    (3)
    Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (4)
    Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
    (5)
    Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1); dan
     
    b.
    hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah.
    (6)
    Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 14
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan Pajak
     

    Pasal 92

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau dan/atau objek Pajak.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
    (5)
    Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (6)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 15
    Pembukuan Pajak
     

    Pasal 93

    (1)
    Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
     
    b.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
    (2)
    Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
    (3)
    Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
    (4)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
    (5)
    Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembukuan diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 16
    Insentif Pemungutan Pajak
     

    Pasal 94

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan Pemungutan Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (3)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 17
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 95

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 18
    Kerahasiaan Data Wajib Pajak
     

    Pasal 96

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan Pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan Pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 19
    Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
     

    Pasal 97

    (1)
    Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (3)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (4)
    Apabila Wajib Pajak mempunyai Utang Pajak lainnya, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak lainnya.
    (5)
    Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
    (6)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 20
    Tata Cara Pemungutan Pajak
     

    Pasal 98

    (1)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 28 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi Daerah
     

    Pasal 99

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 100

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas Pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan; dan
     
    c.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
    (3)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum yang tidak dipungut retribusi meliputi parkir di tepi jalan umum dan pengendalian lalu lintas.
    (4)
    Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dengan penetapan Peraturan Wali Kota perubahan besaran tarif retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (3)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (6)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Retribusi Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dengan tarif retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 106

    (1)
    Objek Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a adalah pelayanan Kesehatan di pusat Kesehatan masyarakat, pusat Kesehatan masyarakat keliling, pusat Kesehatan masyarakat pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah dan tempat pelayanan Kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
    (2)
    Dikecualikan dari Objek Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliput keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa yang dinyatakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Umum atas pelayanan Kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, bahan/peralatan yang digunakan, jangka waktu dan/atau frekuensi layanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kesehatan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kesehatan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
       
    Paragraf 3
    Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 109

    (1)
    Objek Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan Sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan Sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir Sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir Sampah; dan
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir Sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis Sampah atau limbah kakus atau limbah cair.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kebersihan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kebersihan Pelayanan Kebersihan tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Pasar
     

    Pasal 112

    Objek Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf c adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    Tingkat penggunaan Jasa Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Pasar diukur berdasarkan luas tempat kegiatan berusaha atau berdagang, jenis untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat berusaha atau berdagang, waktu atau masa berlaku yang digunakan sebagai tempat berusaha atau berdagang, klasifikasi tempat kegiatan berusaha atau berdagang dan/atau fasilitas dan pelayanan yang digunakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Pasar yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran Tarif Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Pasar tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 115

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha adalah Orang Pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    (1)
    Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf b meliputi:
     
    a.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    b.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    c.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penambahan detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, penambahan detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota yang mengatur penambahan detail rincian pelayanan pada BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 120

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a adalah Pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jumlah/frekuensi layanan, jenis hewan, dan/atau jangka waktu penggunaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     

    Pasal 123

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga diukur berdasarkan lokasi, jenis layanan, frekuensi layanan, dan jangka waktu penggunaan fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 126

    (1)
    Objek Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf c adalah pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    tanah;
     
    b.
    bangunan;
     
    c.
    gedung;
     
    d.
    peralatan mesin/alat berat;
     
    e.
    kendaraan; dan
     
    f.
    laboratorium.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diukur berdasarkan jenis pelayanan, lokasi, NJOP, dan jangka waktu Pemanfaatan Aset Daerah.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf d, huruf e, dan huruf f diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu Pemanfaatan Aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    (1)
    Selain Retribusi Jasa Usaha Pemanfaatan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1), pemanfaatan barang milik daerah dapat berbentuk:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (2)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (3)
    Bentuk dan penghitungan besaran tarif pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 130

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf c meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    penggunaan TKA.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Retribusi Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi Perizinan Tertentu atas Pelayanan PBG
     

    Pasal 135

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    penerbitan PBG; dan
     
    b.
    penerbitan SLF
     
    oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan:
     
    a.
    konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan PBG;
     
    c.
    inspeksi Bangunan Gedung;
     
    d.
    penerbitan SLF dan SBKBG; dan
     
    e.
    pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau Kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5)
    Dikecualikan dari penanganan Retribusi Perizinan Tertentu atas Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan bangunan milik pemerintah, Pemerintah Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 136

    Tata cara proses kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 137

    (1)
    Besarnya Retribusi perizinan tertentu atas pelayanan PBG yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan Jasa atas penyediaan pelayanan dengan harga satuan Retribusi perizinan tertentu atas pelayanan PBG.
    (2)
    Tingkat penggunaan Jasa atas penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan.
    (3)
    Harga satuan Retribusi perizinan tertentu atas pelayanan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    Indeks Lokalitas dan SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    harga satuan Retribusi prasarana Bangunan Gedung untuk prasarana Bangunan Gedung.
    (4)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
     
    a.
    Bangunan Gedung; dan
     
    b.
    prasarana Bangunan Gedung.
    (5)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    luas total lantai;
     
    b.
    indeks terintegrasi; dan
     
    c.
    indeks Bangunan Gedung terbangun.
    (6)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    Volume;
     
    b.
    indeks terintegrasi; dan
     
    c.
    indeks Bangunan Gedung terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 138

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi perizinan tertentu atas pelayanan PBG ditetapkan berdasarkan kegiatan Pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan pelayanan konsultasi untuk:
     
    a.
    Bangunan Gedung
     
     
    Dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan SHST dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
     
     
    LLt x (ILo x SHST) x It x Ibg); dan
     
    b.
    prasarana Bangunan Gedung
     
     
    Dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan Harga Satuan Retribusi Prasarana Bangunan Gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
     
     
    V x I x Ibg x HSpbg
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    (2)
    Indeks Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan Indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
     
    If x ∑ (bp x Ip) x Fm
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    (3)
    SHST sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
    (4)
    Dalam hal Peraturan Wali Kota mengenai SGST belum ditetapkan, perhitungan dapat menggunakan HSBGN.
    (5)
    Rincian rumus, perhitungan struktur, dan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Retribusi Perizinan Tertentu atas Penggunaan TKA
     

    Pasal 139

    (1)
    Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan bagi TKA yang bekerja di wilayah Daerah sesuai wilayah kerja TKA yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah sesuai wilayah kerja TKA dan sesuai ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Tertentu berupa pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    Pelayanan Penggunaan TKA diukur berdasarkan jangka waktu Penggunaan TKA dan jumlah pengesahan RPTKA Perpanjangan yang diterbitkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 141

    (1)
    Retribusi Perizinan Tertentu atas Penggunaan TKA dibayarkan sesuai dengan jangka waktu pengesahan RPTKA Perpanjangan dan dibayarkan di muka.
    (2)
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas penggunaan TKA ditetapkan sebesar US$100 (seratus dollar amerika serikat) per bulan per orang per jabatan.
    (3)
    Retribusi Retribusi Perizinan Tertentu atas penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar dengan rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat penerbitan SKRD.
    (4)
    Pemberi Kerja TKA yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib membayar Retribusi Perizinan Tertentu atas penggunaan TKA sebesar 1 (satu) bulan penuh.
    (5)
    Besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah
     
    Paragraf 1
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 142

    Retribusi yang tertuang dipungut di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Masa dan Saat Retribusi Terutang
     

    Pasal 143

    (1)
    Masa Retribusi sebagai batas waktu pemanfaatan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah ditetapkan berdasarkan struktur dan besarnya tarif Retribusi yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 144

    (1)
    Pemungutan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    penetapan besaran Retribusi terutang;
     
    b.
    Pemungutan Retribusi;
     
    c.
    Pemeriksaan Retribusi;
     
    d.
    Penagihan Retribusi;
     
    e.
    keberatan Retribusi;
     
    f.
    penghapusan piutang Retribusi oleh Wali Kota;
     
    g.
    pengembalian kelebihan pembayaran;
     
    h.
    kedaluwarsa Penagihan;
     
    i.
    sanksi administratif; dan
     
    j.
    pengurangan, keringanan, dan pembebasan retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penetapan Besaran Retribusi Terutang
     

    Pasal 145

    (1)
    Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (4)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (5)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (6)
    Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (7)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
    (8)
    Tata cara penerbitan dan penyampaian SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus layanan penggunaan TKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (4)
    Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 147

    (1)
    Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (6) ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
    (2)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Retribusi terutang dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
    (5)
    Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat bulan) dan ditagih dengan menggunakan STRD.
    (6)
    Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
    (7)
    Hasil Pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke Kas Umum Daerah dalam jangka waktu paling lambat 1x24 jam, atau dalam waktu yang ditentukan oleh Wali Kota.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 148

    (1)
    Pembayaran Retribusi dilakukan secara tunai dan non tunai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta diberikan tanda bukti pembayaran selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Pembayaran Retribusi dilakukan di Kas Umum Daerah, atau tempat yang ditunjuk sesuai dengan SKRD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penentuan tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan dan Pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening Kas Umum Daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pemeriksaan Retribusi
     

    Pasal 150

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban Wajib Retribusi yang diperiksa meliputi:
     
    a.
    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Retribusi yang terutang;
     
    b.
    memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
     
    c.
    memberikan keterangan yang diperlukan.
    (3)
    Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak Wajib Retribusi yang diperiksa paling sedikit:
     
    a.
    meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
     
    b.
    meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
     
    c.
    menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Retribusi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Penagihan Retribusi
     

    Pasal 151

    (1)
    Penagihan Retribusi terutang menggunakan STRD dan didahului dengan Surat Teguran/peringatan/surat lain yang sejenis.
    (2)
    Penerbitan Surat Teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan Penagihan Retribusi dikeluarkan setelah 7 (tujuh) hari kalender sejak jatuh tempo pembayaran.
    (3)
    Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Surat Teguran/peringatan/surat lain yang sejenis diterima, Wajib Retribusi harus melunasi Retribusi yang terutang.
    (4)
    Surat Teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk.
    (5)
    Hasil Penagihan retribusi yang terutang disetor secara bruto ke Kas Daerah dalam jangka waktu 1 x 24 jam pada setiap hari kerja.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan Surat Teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Keberatan Retribusi
     

    Pasal 152

    (1)
    Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Wali Kota, atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD, atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Kriteria keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit, dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (5)
    Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 153

    (1)
    Wali Kota dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.
    (2)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan oleh Wali Kota.
    (3)
    Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
    (4)
    Keputusan Wali Kota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
    (5)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    (1)
    Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Penghapusan Piutang Retribusi oleh Wali Kota
     

    Pasal 155

    (1)
    Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Pengembalian Kelebihan Pembayaran
     

    Pasal 156

    (1)
    Atas kelebihan pembayaran Retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (3)
    Dalam hal permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Wali Kota menerbitkan SKRDLB.
    (4)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (5)
    Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Retribusi lainnya.
    (6)
    Pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB.
    (7)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Retribusi.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi
     

    Pasal 157

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh, jika:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran; atau
     
    b.
    terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadaran menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 158

    (1)
    Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 12
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 159

    Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 13
    Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan Retribusi
     

    Pasal 160

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Retribusi dan/atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 14
    Tata Cara Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 161

    (1)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 108 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 sampai dengan Pasal 111 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 114 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 sampai dengan Pasal 122 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 sampai dengan Pasal 125 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 sampai dengan Pasal 129 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Perizinan Tertentu atas Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 sampai dengan Pasal 138 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Perizinan Tertentu atas Penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 141 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 162

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan dari masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Alokasi pemanfaatan dari penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
    (5)
    Penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Peraturan Wali Kota mengenai pengelolaan BLUD.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Insentif Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 163

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan Pemungutan Retribusi dapat diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (3)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERINVESTASI
     

    Pasal 164

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, antara lain:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/ atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor antara lain:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah Daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
    (9)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (10)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 165

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat Pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan Penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 166

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (7), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (7), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 167

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 168

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2), Pasal 115 ayat (2) dan Pasal 130 ayat (2), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 169

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 170

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166, Pasal 168, dan Pasal 169 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 171

    (1)
    SKPD dan/atau SKRD yang telah terbit dan belum dibayar sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, dibayarkan sesuai SKPD dan/atau SKRD yang diterbitkan.
    (2)
    SKRD Pemanfaatan Aset Daerah yang telah terbit dan dibayarkan untuk jangka waktu sampai dengan bulan Desember 2024, tetap berlaku tarif sesuai SKRD yang telah dibayarkan sampai habis jangka waktu pemanfaatan aset.
    (3)
    Terhadap pelayanan yang telah diberikan sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, namun SKRD diterbitkan setelah Peraturan Daerah ini berlaku, dikenakan tarif sesuai Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah.
    (5)
    Ketentuan mengenai insentif Pemungutan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 94 dan insentif Pemungutan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 163, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi Pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (6)
    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 172

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 173

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 0710) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2017 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 77);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2021 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 122) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2022 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 135),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 174

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 175

    Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 176

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Kota Tangerang Selatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Tangerang Selatan
    pada tanggal 29 Desember 2023
    WALI KOTA TANGERANG SELATAN,
    ttd.
    BENYAMIN DAVNIE
     
    Diundangkan di Tangerang Selatan
    pada tanggal 29 Desember 2023
    SEKRETARIS DAERAH
    KOTA TANGERANG SELATAN,
    ttd.
    BAMBANG NOERTJAHJO
     
    LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2023 NOMOR 10
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN
    NOMOR 10 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pemerintah Kota Tangerang Selatan terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten, atas dasar undang-undang tersebut maka Pemerintah Daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk penyelenggaraan pemerintahan tersebut, Pemerintah Daerah berhak mengenakan pungutan berupa Pajak Daerah atau Retribusi Daerah kepada masyarakat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selama ini dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah harus mengatur mengenai jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, Pemerintah Daerah dilarang untuk memungut pajak daerah atau retribusi daerah di luar yang telah diatur dalam Undang-Undang tersebut. Atas dasar hal tersebut, maka dilakukan penyempurnaan dan kodifikasi terhadap pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam satu Peraturan Daerah.
     
    Adapun jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi:
     
     
     
    1.
    Pajak yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
     
     
    a.
    PBB-P2;
     
     
    b.
    BPHTB;
     
     
    c.
    PBJT;
     
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
     
    e.
    PAT;
     
     
    f.
    Opsen PKB; dan
     
     
    g.
    Opsen BBNKB.
     
    2.
    Retribusi yang dipungut oleh Daerah terdiri atas:
     
     
    a.
    Retribusi Jasa Umum:
     
     
     
    1)
    Retribusi Pelayanan Kesehatan;
     
     
     
    2)
    Retribusi Pelayanan Kebersihan; dan
     
     
     
    3)
    Retribusi Pelayanan Pasar.
     
     
    b.
    Retribusi Jasa Usaha:
     
     
     
    1)
    Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan;
     
     
     
    2)
    Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga; dan
     
     
     
    3)
    Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah.
     
     
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
     
     
    1)
    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung; dan
     
     
     
    2)
    Retribusi Penggunaan TKA.
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Ayat (1)
    Yang dimaksud “kawasan” adalah semua tanah dan Bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, Kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu, lintas raya terpadu, atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
    a. Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu Obyek pajak dengan cara membandingkannya dengan Obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
    b. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu Obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh Obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik Obyek tersebut; atau
    c. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu Obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi Obyek pajak tersebut.
     
    Pada dasarnya penetapan NJOP dilakukan 3 (tiga) tahun sekali. Untuk daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    a. kenaikan NJOP hasil penilaian.
      Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    b. bentuk pemanfaatan objek Pajak.
      Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
    c. klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
      Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten/Kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
      1. NJOP < Rp X juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
      2. NJOP Rp X juta – Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
      3. NJOP > Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu NJOP Tidak Kena Pajak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
     
    Contoh:
    Wajib pajak “A” mempunyai Objek pajak berupa:
    a. tanah seluas 1.000 m2 dengan harga jual Rp350.000,00/m2;
    b. Bangunan seluas 600 m2 dengan nilai jual Rp400.000,00/m2;
    c. tanaman seluas 200 m dengan harga jual Rp50.000,00/m2;
    d. pagar sepanjang 150 m dan tinggi rata-rata pagar 2 m dengan nilai jual Rp200.000,00/m2.
     
    Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
    1.
    NJOP Bumi:
    1.000 x Rp350.000,00
    =
    Rp350.000.000,00
    2.
    NJOP Bangunan:
     
     
     
     
    a.
    Rumah dan Garasi
    600 x Rp400.000,00
    =
    Rp240.000.000,00
     
    b.
    Tanaman
    200 x Rp50.000,00
    =
    Rp10.000.000,00
     
    c.
    Pagar
    (150 x 2) x Rp200.000,00
    =
    Rp60.000.000,00
     
    Total NJOP Bangunan
    =
    Rp310.000.000,00
     
    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
    =
    Rp10.000.000,00
     
    Nilai Jual Bangunan Kena Pajak
    =
    Rp300.000.000,00
     
    Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak
    =
    Rp650.000.000,00
     
    Tarif pajak efektif
    =
    0,1%
     
    PBB terutang: 0,1% x Rp650.000.000,00
    =
    Rp650.000,00
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Contoh Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
     
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup Jelas.
    Huruf b
    Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dikenakan BPHTB, apabila dilakukan perubahan nama pada bukti kepemilikan tanah.
    Pasal 14
    Contoh:
    Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan:
    a.
    Nilai Perolehan Objek Pajak
    =
    Rp100.000.000,00
    b.
    Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak 
    =
    Rp80.000.000,00
    c.
    Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
    =
    Rp20.000.000,00
     
    Nilai Pajak yang Terutang = 5% x Rp20.000.000,00 = Rp1.000.000,00
    Pasal 15
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Wali Kota atau pejabat dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “peredaran usaha” adalah nilai penjualan/omset yang diterima dari penyerahan Makanan dan/atau Minuman.
     
    Jika peredaran usaha tidak melebihi Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per bulan namun telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, maka tidak dikecualikan dari objek PBJT.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 21
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud “tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah” adalah tempat parkir yang dikelola langsung oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Tidak termasuk yang membebaskan atau memberikan diskon biaya parkir.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “tontonan film” adalah suatu usaha yang menyediakan tempat, peralatan pemutar film dan fasilitas untuk pertunjukan film serta dapat menyediakan Restoran/rumah makan;
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “musik” adalah suatu usaha yang menyediakan tempat, alat musik, pemain musik, penyanyi dan fasilitas untuk mengadakan pertunjukan musik, serta dapat menyediakan Restoran/rumah makan dan atau bar;
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya, kecuali terhadap pengguna yang tidak dipungut bayaran.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Yang dimaksud dengan “panti pijat” adalah suatu usaha yang menyediakan tempat, peralatan, tenaga pemijat dan fasilitas untuk pijat;
    Huruf l
    Yang dimaksud dengan “diskotek” adalah suatu usaha yang menyediakan tempat, peralatan musik rekaman, disk jockey dan fasilitas untuk menari/disco serta menyediakan bar.
     
    Yang dimaksud dengan “karaoke” adalah suatu usaha yang menyediakan tempat, peralatan dan fasilitas untuk menyanyi yang diiringi musik rekaman serta dapat menyediakan Restoran atau rumah makan atau bar.
     
    Yang dimaksud dengan “kelab malam” adalah suatu usaha yang menyediakan tempat, peralatan musik hidup, pemain musik, dan fasilitas untuk menari/dansa serta menyediakan Restoran/rumah makan dan bar.
     
    Yang dimaksud dengan “mandi uap” adalah adalah suatu usaha yang menyediakan tempat, peralatan tenaga pemijat dan fasilitas untuk mandi uap dan pijat.
     
    Yang dimaksud dengan “spa” adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan Barang dan Jasa Tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
    huruf a
    cukup jelas.
    huruf b
    cukup jelas.
    huruf c
    cukup jelas.
    huruf d
    cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, termasuk penyelenggaraan reklame yang dikerjasamakan dengan pihak swasta.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud “keperluan sosial” adalah keperluan yang memiliki manfaat bagi banyak orang dan tidak mencari keuntungan, seperti panti sosial dan yayasan yang bergerak dalam bidang sosial.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Contoh Perhitungan:
    1.
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak “A” di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian Kendaraan Bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp 300 juta sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000,00 = Rp24.000.000,00
     
    b.
    Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000,00 = Rp15.840.000,00
     
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp39.840.000,00, ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X.
    2.
    Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan Bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    PKB terutang = 1% x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00
     
    b.
    Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000,00 = Rp1.980.000,00
     
    Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp4.980.000,00, ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan PKB saat pendaftaran (registrasi dan identifikasi) Kendaraan Bermotor.
     
    Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Contoh Perhitungan:
    1.
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian Kendaraan Bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300 juta sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000,00 = Rp24.000.000,00
     
    b.
    Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000,00 = Rp15.840.000,00
     
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp39.840.000,00, ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X.
    2.
    Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan Bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    PKB terutang = 1% x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00
     
    b.
    Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000,00 = Rp1.980.000,00 Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp4.980.000,00, ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan PKB saat pendaftaran (registrasi dan identifikasi) Kendaraan Bermotor.
     
    Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Ayat (1)
    Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
    a.
    suatu saat tertentu, misalnya untuk BPHTB;
    b.
    akhir masa Pajak, misalnya untuk PBJT; atau
    c.
    suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PBB-P2
     
    Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai Subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
     
    Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "dilarang diborongkan" adalah bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan Penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data objek dan Subjek Pajak.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "tanggal pengiriman SKPD" adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "tanggal pengiriman SPPT" adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah atau notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "kedaluwarsa penetapan" adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “penghitungan secara jabatan” adalah penghitungan besaran Pajak terutang berdasarkan data dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah. Contoh: Dalam hal Wajib Pajak tidak melaporkan SPTPD, tidak menyelenggarakan pembukuan, atau tidak kooperatif dalam mengungkapkan data, keterangan, dan/atau informasi saat Pemeriksaan, maka Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menghitung dan menetapkan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data, keterangan, dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah, yang dapat diperoleh dari hasil Penelitian, pendataan, konfirmasi pihak ketiga, uji petik lapangan, maupun cara lainnya untuk memperoleh data, keterangan, dan/atau informasi.
    Angka 1
    Cukup jelas.
    Angka 2
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "imbauan" adalah pemberian informasi kepada Penanggung Pajak sebagai pengingat agar Penanggung Pajak dapat melunasi Utang Pajaknya sebelum diterbitkannya Surat Teguran. Imbauan dapat diberikan melalui surat imbauan atau melalui media lainnya.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai perpajakan" adalah Undang-Undang mengenai Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Yang dimaksud dengan "surat perintah melaksanakan penyitaan" merupakan surat perintah yang diterbitkan untuk melaksanakan penyitaan.
    Ayat (8)
    Yang dimaksud dengan "biaya Penagihan Pajak" merupakan biaya pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Pajak.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota" merupakan keadaan di luar kemampuan Wajib Pajak berdasarkan penilaian objektif Kepala Daerah yang menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat memenuhi batas waktu pengajuan keberatan, contohnya adalah Wajib Pajak berada di remote area atau adanya akuisisi Wajib Pajak oleh pihak lain yang menyebabkan Wajib Pajak terkendala mengajukan keberatan dan melengkapi dokumen pendukung pengajuan keberatan.
    Ayat (5)
    Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
     
    Contoh: Pada 2025, Wajib Pajak X melaporkan Pajak terutang sebesar Rp10.000.000,00. Kemudian, Pemerintah Daerah Y melaksanakan Pemeriksaan atas Pajak terutang yang dilaporkan oleh Wajib Pajak X. Atas hasil Pemeriksaan tersebut, Pemerintah Daerah Y menerbitkan SKPDKB dengan jumlah Pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak X senilai Rp1.500.000.000,00. Dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak X menyetujui Pajak yang masih harus dibayar senilai Rp500.000.000,00. Wajib Pajak X dapat mengajukan keberatan apabila telah melunasi sebagian SKPDKB yang telah disetujui dalam pembahasan akhir Pemeriksaan tersebut senilai Rp500.000.000,00.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Contoh: Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan Juni 2025, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni 2025 yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli 2025 untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 September 2025 untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di Daerah tersebut.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Contoh:
    Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,00. untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Kepala Daerah pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
    a.
    pembayaran angsuran pertama tanggal 1 Juni 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp600.000,00 (Rp100.000.000,00 x 0,6%)
    b.
    pembayaran angsuran kedua tanggal 1 Juli 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif Rp450.000,00 (Rp75.000.000,00 x 0,6%)
    c.
    pembayaran angsuran ketiga tanggal 1 Agustus 2025 = Rp 25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp300.000,00 (Rp 50.000.000,00 x 0,6%)
    d.
    pembayaran angsuran terakhir tanggal 1 September 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif Rp150.000,00 (Rp25.000.000,00 x 0,6%) 
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “Utang Pajak lainnya” merupakan Utang Pajak lain yang masih belum dibayar oleh Wajib Pajak selain jenis Pajak yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
     
    Contoh: Wajib Pajak A mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran atas PKB tahun 2025 sebesar Rp10.000.000,00, namun Wajib Pajak A masih memiliki Utang Pajak atas BBNKB tahun 2021 sebesar Rp15.000.000,00 atas kelebihan pembayaran PKB tahun 2026 tersebut akan diperhitungkan untuk melunasi Utang Pajak atas BBNKB sebesar Rp15.000.000,00 terlebih dahulu.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan Kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut: Perda PDRD:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan Kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
    Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Wali Kota sebagai berikut:
    Peraturan Wali Kota:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan Kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
     
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Ayat (1)
    Termasuk pelayanan administrasi antara lain pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan Kesehatan. Pelayanan administrasi tidak dikenakan Retribusi.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “kejadian luar biasa” adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola Pemerintah Daerah.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Penambahan detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut: Perda PDRD:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan pemotongan hewan ternak
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan sapi
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan kambing
     
    Pada tahun 2027, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan pengemasan dan pelayanan ruang pendingin yang merupakan bagian dari pelayanan pemotongan kambing. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Wali Kota sebagai berikut:
    Peraturan Wali Kota:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan pemotongan hewan ternak
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan sapi
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan kambing
     
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: pengemasan Pelayanan
     
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan ruang pendingin
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Cukup jelas.
    Pasal 158
    Cukup jelas.
    Pasal 159
    Cukup jelas.
    Pasal 160
    Cukup jelas.
    Pasal 161
    Cukup jelas.
    Pasal 162
    Cukup jelas.
    Pasal 163
    Cukup jelas.
    Pasal 164
    Cukup jelas.
    Pasal 165
    Cukup jelas.
    Pasal 166
    Cukup jelas.
    Pasal 167
    Tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa lima tahun, dari sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim. Jangka waktu lima tahun tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar perhitungan jumlah pajak yang terutang selama lima tahun.
    Pasal 168
    Cukup jelas.
    Pasal 169
    Cukup jelas.
    Pasal 170
    Cukup jelas.
    Pasal 171
    Cukup jelas.
    Pasal 172
    Cukup jelas.
    Pasal 173
    Cukup jelas.
    Pasal 174
    Cukup jelas.
    Pasal 175
    Cukup jelas.
    Pasal 176
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 147

    Perda Nomor: 10 TAHUN 2023