Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA SORONG
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH KOTA SORONG
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALIKOTA SORONG,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa dalam rangka menindaklanjuti Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah jo. Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, maka perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    b.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota sorong;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3894) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3960);
    3.
    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6697);
    4.
    Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
    5.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5233) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    6.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    7.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5533), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6523);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    12.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6787);
    13.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    14.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    15.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85);
    16.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);
    17.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 547);
    18.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SORONG
    dan
    WALIKOTA SORONG
     
    MEMUTUSKAN:
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan
    1.
    Daerah adalah Kota Sorong.
    2.
    Pemerintah Daerah adalah Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
    3.
    Walikota adalah Walikota Sorong.
    4.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Kota Sorong.
    5.
    Badan Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat BPPRD adalah Badan Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah Kota Sorong.
    6.
    Kepala Badan atau Dinas Pendapatan adalah Kepala Badan atau Dinas Pendapatan Kota Sorong.
    7.
    Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Sorong.
    8.
    Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
    9.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
    10.
    Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    11.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    12.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    13.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    14.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    15.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    16.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
    17.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    18.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    19.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap diatas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    20.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    21.
    Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang bidang pertanahan dan bangunan.
    22.
    Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
    23.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    24.
    Makanan dan/atau minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    25.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    26.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    27.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    28.
    Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, uang mencakup juga motel, losmen, gubug pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan, rumah kos dan sejenisnya.
    29.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan dan/atau pelayanan memakirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
    30.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    31.
    Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
    32.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    33.
    Pajak Air Tanah selanjutnya yang disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    34.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    35.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    36.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    37.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    38.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collacolia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    39.
    Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
    40.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    41.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut opsen BBNKB adalah opsen yang dikenakan oleh daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    42.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    43.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    44.
    Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    45.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    46.
    Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    47.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek pajak dan/atau bukan obyek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    48.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    49.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    50.
    Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas umum daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.
    51.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    52.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
    53.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
    54.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    55.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    56.
    Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    57.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    58.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    59.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    60.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD
    61.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    62.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
    63.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    64.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    65.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    66.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
    67.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
    68.
    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
    69.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    70.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
    71.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    72.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    73.
    Bangungan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    74.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    75.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    76.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    77.
    Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi dan diberi tugas oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung.
    78.
    Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
    79.
    Standar Harga Satuan Tertinggi yang selanjutnya disingkat SHST adalah biaya paling banyak per meter persegi pelaksanaan konstruksi pekerjaan standar untuk pembangunan bangunan gedung negara.
    80.
    Harga Satuan Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disingkat HSBGN adalah standar harga satuan tertinggi untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik pembangunan bangunan gedung negara yang diberlakukan sesuai dengan klasifikasi, lokasi dan tahun pembangunannya.
    81.
    Indeks Lokalitas adalah persentase pengali terhadap SHST yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
    82.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    83.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar dari pada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    84.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    85.
    Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat (SSRD) adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.
    86.
    Badan Pelayanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
    a.
    PBB P-2;
    b.
    BPHTB;
    c.
    PBJT atas;
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
    d.
    Pajak Reklame;
    e.
    PAT;
    f.
    Pajak MBLB;
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet; dan
    h.
    Opsen PKB dan Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas;
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
    c.
    Pajak MBLB; dan
     
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
     
    a.
    SKPD; dan
     
    b.
    SPPT.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah SPPD.
    (5)
    Dokumen SPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak
     
    Paragraf 1
    PBB P-2
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PBB-P2 yakni Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan kantor Pemerintah, kantor pemerintah provinsi kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
     
    d.
    bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan Negara;
     
    g.
    bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Walikota; dan
     
    i.
    bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
    (5)
    Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (4)
    NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5).
    (5)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota.
    (6)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Walikota.
    (7)
    Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayah.
    (8)
    Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Walikota.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,150% (nol koma seratus ratus lima puluh persen);
    b.
    NJOP diatas Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,250% (nol koma dua ratus lima puluh persen); dan
    c.
    Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,5% (Nol koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dengan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Saat yang menentukan pajak terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
    (2)
    Masa pajak dimulai tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember pada tahun berkenaan.
    (3)
    Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah daerah kota tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    BPHTB
     

    Pasal 12

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah.
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Objek BPHTB yang tidak dikenakan pajak adalah objek pajak yang diperoleh atas Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor pemerintah, Pemerintah Provinsi pemerintah daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
     
    d.
    perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Walikota.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib pajak adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Dasar pengenaan pajak adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
     
    a.
    jual beli adalah harga transaksi;
     
    b.
    tukar menukar adalah nilai pasar;
     
    c.
    hibah adalah nilai pasar;
     
    d.
    hibah wasiat adalah nilai pasar;
     
    e.
    waris adalah nilai pasar;
     
    f.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
     
    g.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
     
    h.
    peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
     
    i.
    pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
     
    j.
    pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
     
    k.
    penggabungan usaha adalah nilai pasar;
     
    l.
    peleburan usaha adalah nilai pasar;
     
    m.
    pemekaran usaha adalah nilai pasar;
     
    n.
    hadiah adalah nilai pasar, dan/atau
     
    o.
    penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
    (3)
    Jika NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf o tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (5)
    Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan untuk:
     
    a.
    jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB);
     
    b.
    tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
     
    c.
    hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
     
    d.
    hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
     
    e.
    Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan;
     
    f.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
     
    g.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
     
    h.
    putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
     
    i.
    pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
     
    j.
    pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
     
    k.
    penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
     
    l.
    pelaburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
     
    m.
    pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
     
    n.
    hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
     
    o.
    lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
    (2)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (3)
    BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD.
    (2)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD.
    (3)
    Kepala Kantor yang membidangi pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Walikota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran.
    (2)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi Pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta ribu rupiah) untuk setiap laporan.
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Kepala Daerah dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Kepala Daerah dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    PBJT
     

    Pasal 22

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    makanan dan/atau minuman/restoran;
    b.
    tenaga listrik;
    c.
    jasa perhotelan;
    d.
    jasa parkir; dan
    e.
    jasa kesenian dan hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman, berupa:
     
    a.
    restoran yang nilai pendapatan tidak melebihi Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) setiap hari;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Tenaga Listrik
     

    Pasal 24

    (1)
    Objek konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
    (2)
    Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh pembangkit listrik.
    (3)
    Yang dikecualikan dari konsumsi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi tenaga listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    d.
    konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
     
    e.
    konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dan digunakan untuk kepentingan sendiri dengan kapasitas maksimal 900 kva dan/atau sesuai dengan peraturan yang berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Jasa perhotelan
     

    Pasal 25

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Pajak Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Jasa Parkir
     

    Pasal 26

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan dan atau penitipan kendaraan (parkir valet);
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek pajak jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pajak Jasa Kesenian dan Hiburan
     

    Pasal 27

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    c.
    bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Dasar Pengenaan PBJT Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dipungut jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman.
    (2)
    Dasar Pengenaan PBJT Konsumsi Tenaga Listrik adalah Nilai jual Tenaga Listrik.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    dalam hal Tenaga Listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, nilai jual tenaga listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian Kwh/variable yang ditagihkan dalam rekening listrik; dan
     
    b.
    dalam hal Tenaga Listrik dihasilkan sendiri, nilai jual tenaga listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dasar Pengenaan PBJT Jasa Perhotelan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyedia jasa perhotelan.
    (5)
    Dasar Pengenaan PBJT Jasa Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara jasa parkir.
    (6)
    Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa parkir.
    (7)
    Dasar pengenaan PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggaraan jasa kesenian dan hiburan.
    (8)
    jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (7) termasuk potongan harga jasa kesenian dan hiburan serta tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa kesenian dan hiburan.
    (9)
    Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (10)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Tarif PBJT dari Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman ditetapkan 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Tarif PBJT dari Konsumsi Tenaga Listrik ditetapkan:
     
    a.
    konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
     
    b.
    konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan 1,5% (satu koma lima persen); dan
     
    c.
    konsumsi tenaga listrik dari sumber selain yang diatur pada huruf a dan huruf b tarif PBJT tenaga listrik ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (3)
    Tarif PBJT dari Jasa Perhotelan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (4)
    Tarif PBJT dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) khusus untuk pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (5)
    Tarif PBJT dari Jasa Parkir ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (6)
    Tarif PBJT dari Jasa Kesenian dan Hiburan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (7)
    Tarif PBJT dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Khusus untuk Hiburan berupa diskotik, karaoke, klab malam, dan mandi uap/spa, tarif Pajak ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
    (2)
    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
    (3)
    Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Masa PBJT adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Wilayah pemungutan PBJT yang terutang adalah wilayah Daerah tempat layanan atas barang dan/jasa tertentu dijual, dikonsumsi, dan/atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Pajak Reklame
     

    Pasal 34

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    reklame kain;
     
    c.
    reklame melekat/stiker;
     
    d.
    reklame selebaran;
     
    e.
    reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    reklame udara;
     
    g.
    reklame apung;
     
    h.
    reklame suara;
     
    i.
    reklame film/slide; dan
     
    j.
    reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya;
     
    b.
    label atau merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenisnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Walikota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
    (3)
    Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau Badan, wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan tersebut.
    (4)
    Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi wajib pajak reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
    (2)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Tahun pajak reklame permanen adalah 1 (satu) tahun kalender
    (2)
    Masa pajak reklame insidentil ditetapkan berdasarkan jangka waktu lamanya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
    (2)
    Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
    (3)
    Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    PAT
     

    Pasal 41

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan; dan
     
    f.
    pemanfaatan Air Tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot air tanah.
    (3)
    Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan faktor sebagai berikut:
     
    a.
    jenis air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (4)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    (2)
    Selama belum ditetapkan nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka nilai perolehan air tanah mengacu pada ketentuan sebelumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
    (2)
    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3)
    Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    Masa pajak air tanah adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    MBLB
     

    Pasal 48

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer/oniks;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    kegiatan pengambilan MBLB yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas; dan
     
    b.
    kegiatan pengambilan MBLB yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase hasil pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Masa pajak MBLB adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan Kalender.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
    (2)
    Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Pajak Sarang Burung Walet
     

    Pasal 54

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    Masa pajak sarang burung walet adalah jangka waktu yang lamanya 3 (tiga) bulan kalender.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Pajak sarang burung walet yang terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    (2)
    Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan Wilayah Daerah pada tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 12
    Opsen
     

    Pasal 61

    Opsen dikenakan atas pajak terutang terdiri dari:
    a.
    PKB; dan
    b.
    BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Wajib pajak untuk opsen sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 merupakan wajib pajak atas jenis pajak:
    a.
    PKB; dan
    b.
    BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Tarif opsen ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen)dihitung dari besaran Pajak terutang; dan
    b.
    Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    Opsen dipungut secara bersamaan dengan pajak yang dikenakan opsen.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a merupakan PKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah pada tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
    (4)
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 66% (enam puluh enam persen) dengan dasar pengenaan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf b merupakan BBNKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah pada tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kerahasiaan Data Wajib Pajak
     

    Pasal 67

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Walikota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Walikota berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Walikota dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan wajib pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 68

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi Daerah
     

    Pasal 69

    (1)
    Jenis retribusi daerah terdiri atas:
     
    a.
    retribusi jasa umum;
     
    b.
    retribusi jasa usaha; dan
     
    c.
    retribusi perizinan tertentu.
    (2)
    Objek retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau badan oleh Pemerintah Daerah.
    (3)
    Wajib retribusi meliputi orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (4)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 70

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a, meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum;
     
    d.
    pelayanan pasar; dan
     
    e.
    pengendalian lalu lintas.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Walikota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan Negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Walikota ditetapkan.
    (7)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (8)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 1
    Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 71

    Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a adalah pelayanan Kesehatan di Puskesmas, Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Balai pengobatan, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan tempat pelayanan Kesehatan lainnya yang sejenis, Laboratorium air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Subjek retribusi adalah setiap orang pribadi atau badan hukum penjamin yang mendapatkan pelayanan kesehatan atau pelayanan penunjang kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah, Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan pemeriksaan laboratorium di Labkesda dari Pemerintah Daerah.
    (2)
    Subyek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar retribusi pelayanan kesehatan sesuai jumlah, jenis dan klasifikasi pelayanan atau kemanfaatan umum lain yang diterimanya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    (1)
    Tingkat penggunaan Jasa diukur berdasarkan jenis dan layanan, jenis peralatan yang digunakan dan jangka waktu.
    (2)
    Retribusi pelayanan Kesehatan di Puskesmas, Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Balai pengobatan, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis, dikenakan kepada masyarakat yang mendapatkan jasa pelayanan kesehatan dasar.
    (3)
    Besaran retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi.
    (4)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan perawatan kesehatan masyarakat (home care) dihitung berdasarkan perkalian antara jenis pelayanan kesehatan yang diterima dengan tarif per jenis pelayanan ditambah biaya transportasi dihitung berdasarkan jarak Puskesmas dengan lokasi rumah pasien.
    (5)
    Tingkat penggunaan pelayanan ambulance atau mobil jenazah dihitung berdasarkan jarak tempuh dengan satuan kilometer dan fasilitas serta kru (crew) yang menyertai.
    (6)
    Tingkat penggunaan pelayanan laundry dan sterilisasi instrument dihitung dengan satuan kilogram dikalikan tarif retribusinya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Prinsip penetapan besaran tarif retribusi pelayanan kesehatan adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan memperhatikan kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas pelayanan kesehatan.
    (2)
    Sasaran penetapan besaran tarif adalah untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pelayanan serta tidak mengutamakan mencari keuntungan dengan tetap memperhatikan kemampuan ekonomi sosial masyarakat dan daya saing untuk pelayanan sejenis pada kelas privat.
    (3)
    Struktur tarif retribusi pelayanan kesehatan dan pelayanan penunjang kesehatan meliputi komponen jasa sarana dan jasa pelayanan.
    (4)
    Ketentuan mengenai pemanfaatan dan pembagian jasa pelayanan diatur dalam Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Struktur tarif retribusi digolongkan berdasarkan kelompok, jenis, klasifikasi, kategori dan komponen pelayanan kesehatan yang terdiri dari jasa sarana dan jasa pelayanan.
    (2)
    Struktur dan besaran retribusi pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Masa retribusi pelayanan kesehatan adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan jangka waktu penggunaan Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Retribusi pelayanan kesehatan yang terutang terjadi pada saat penggunaan pelayanan kesehatan atau sejak diterbitkan SKRD, benda berharga atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (3)
    Retribusi pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini berlaku bagi Puskesmas, Labkesda dan RSUD yang belum berstatus/menerapkan pola Badan Layanan Umum Daerah.
    (4)
    Bagi Puskesmas, Labkesda dan RSUD yang sudah berstatus/menerapkan pola Badan Layanan Umum Daerah dapat menerapkan retribusi tarif sesuai ketentuan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 77

    (1)
    Objek retribusi pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 Ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah yang meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari objek retribusi pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jasa umum seperti:
     
    a.
    terminal, jalan raya, tempat ibadah, sosial, taman dan tempat umum;
     
    b.
    pelayanan kebersihan saluran primer atau saluran terbuka; dan
     
    c.
    pelayanan kebersihan pantai yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan kebersihan dari Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib retribusi pelayanan kebersihan adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan tentang retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis atau Volume Sampah dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair serta jarak tempuh pelayanan pengangkutan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (3)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (4)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    Besaran tarif Retribusi Pelayanan Kebersihan diukur berdasarkan lokasi dan volume sampah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Struktur Tarif Retribusi digolongkan berdasarkan kelompok, jenis, klasifikasi, kategori dan komponen pelayanan jasa kebersihan.
    (2)
    Adapun pengaturan Struktur Besaran Tarif Retribusi pelayanan kebersihan diatur berdasarkan jenis retribusi ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    Masa Retribusi adalah batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan pelayanan kebersihan yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Retribusi terutang terjadi dalam masa retribusi pada saat pelayanan kebersihan diberikan atau sejak diterbitkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 84

    Obyek Retribusi Pelayanan Parkir ditepi Jalan Umum adalah penyediaan pelayanan parkir ditepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan parkir di tepi jalan umum.
    (2)
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis kendaraan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (3)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    biaya operasi dan pemeliharaan;
     
    b.
    biaya bunga; dan
     
    c.
    biaya modal.
    (4)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
    (5)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    Struktur dan besaran tarif retribusi parkir ditepi jalan umum ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    Masa retribusi yang terutang adalah batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan pelayanan parkir di tepi jalan umum untuk sekali parkir yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    Saat retribusi terutang terjadi dalam masa retribusi sejak pelayanan pemakaian fasilitas pelayanan parkir di tepi jalan umum diberikan atau sejak diterbitkan SKRD atau sejak dokumen yang dipersamakan diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Pasar
     

    Pasal 90

    (1)
    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan fasilitas pasar yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    (1)
    Subjek retribusi pelayanan pasar adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan pelayanan penyediaan fasilitas pasar.
    (2)
    Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran, atas jasa pelayanan pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Saat retribusi terutang terjadi dalam masa retribusi sejak pelayanan pemakaian fasilitas pasar diberikan atau sejak diterbitkan SKRD atau sejak dokumen yang dipersamakan diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan luas, jenis tempat, jangka waktu dan kelas pasar yang digunakan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi dimaksud untuk menutup biaya penyelenggaraan, penyediaan dan pelayanan serta fasilitas pasar dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan aspek keadilan.
    (3)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    biaya pembangunan;
     
    b.
    biaya operasional; dan
     
    c.
    pemeliharaan.
    (4)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    (1)
    Tarif Retribusi pelayanan pasar merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif retribusi pelayanan pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Masa retribusi yang terutang adalah batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan pelayanan penyediaan fasilitas pasar yang lamanya sama dengan jangka waktu lamanya pelayanan pemakaian fasilitas pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 96

    (1)
    Jenis Retribusi Jasa Usaha meliputi:
     
    a.
    penyediaan kegiatan usaha berupa pasar grosir dan/atau pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    e.
    pelayanan rumah potong hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan kepelabuhanan;
     
    g.
    pelayanan tempat rekreasi/pariwisata dan olah raga;
     
    h.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
     
    i.
    penjualan produksi daerah; dan
     
    j.
    pemanfaatan aset daerah.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
    (7)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (8)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 1
    Penyediaan Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 97

    Objek Retribusi Penyediaan Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf a adalah penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    (1)
    Subjek Retribusi Penyediaan Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/memanfaatkan pasar grosir, pertokoan dan/atau tempat kegiatan usaha lainnya.
    (2)
    Wajib Retribusi Penyediaan Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pasar grosir, pertokoan dan/atau tempat kegiatan usaha lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Penyediaan Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya diukur berdasarkan luas, nilai strategis, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Penyediaan Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan penyediaan kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    (1)
    Tarif Retribusi Penyediaan Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Penyediaan Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
       
    Paragraf 2
    Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya
     

    Pasal 101

    (1)
    Objek Retribusi Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf b adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan Ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan fasilitas tempat pelelangan ikan ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya.
    (2)
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan dan/atau menggunakan/menikmati fasilitas tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan frekuensi dan jenis fasilitas yang dinikmati/berdasarkan hasil lelang.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    (1)
    Tarif retribusi tempat pelelangan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif retribusi Pelelangan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    Masa retribusi adalah batas waktu bagi wajib retribusi untuk menikmati pelayanan tempat pelelangan yang lamanya sama dengan pelaksanaan pelayanan tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    Saat retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau Dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 107

    Obyek retribusi penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf c adalah penyediaan tempat khusus yang disediakan oleh Pemerintah Daerah di luar badan jalan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Subjek retribusi penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan penyediaan fasilitas di tempat khusus parkir diluar badan jalan.
    (2)
    Wajib retribusi penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-Undangan tentang retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungut atau pemotong retribusi tempat Khusus Parkir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa retribusi penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan frekuensi, jangka waktu penggunaan fasilitas dan jenis kendaraan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi tempat khusus parkir dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa tempat khusus parkir tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    (1)
    Tarif Retribusi penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi penyediaan tempat khusus Parkir di Luar Badan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    (1)
    Masa Retribusi adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan fasilitas penyediaan tempat parkir khusus.
    (2)
    Retribusi terutang dalam masa retribusi terjadi pada saat pelayanan tempat parkir khusus dan jatuh tempo sejak SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila
     

    Pasal 112

    (1)
    Objek Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 huruf d adalah pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang dimiliki dan/atau dikelola BUMN, BUMD, dan Pihak Swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    (1)
    Subjek retribusi tempat penyediaan penginapan/pesanggrahan/vila adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan penyediaan fasilitas di tempat penyediaan penginapan/pesanggrahan/vila.
    (2)
    Wajib Retribusi tempat penyediaan penginapan/pesanggrahan/vila adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungut atau pemotong retribusi tempat khusus parkir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi tempat penyediaan penginapan/pesanggrahan/vila diukur berdasarkan frekuensi dan lama pelayanan dan/atau penggunaan fasilitas.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi tempat penyediaan penginapan/pesanggrahan/vila dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa tempat penyediaan penginapan/pesanggrahan/vila tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran tarif Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan lamanya waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan.
    (5)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Tarif Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan Besaran Tarif retribusi tempat penyediaan penginapan/pesanggrahan/vila ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    (1)
    Masa retribusi adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib retribusi untuk memanfaatkan fasilitas Sewa kamar per hari.
    (2)
    Retribusi terutang dalam masa retribusi terjadi pada saat Sewa kamar per hari dan jatuh tempo sejak SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 117

    (1)
    Obyek Retribusi adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf e yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong dan sesudah dipotong;
     
    b.
    penyewaan kandang (karantina);
     
    c.
    pemakaian tempat pemotongan;
     
    d.
    pemakaian tempat pelayuan daging;
     
    e.
    jasa penyimpanan daging;
     
    f.
    jasa pemotongan hewan; dan
     
    g.
    pelayanan pengangkutan daging dari rumah potong.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    (1)
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan dan/atau menikmati/memakai fasilitas rumah potong hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang diwajibkan oleh Peraturan Daerah ini untuk membayar retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Tarif ditetapkan sebagai jumlah pembayaran per satuan unit pelayanan/jasa, yang merupakan jumlah unsur-unsur tarif yang meliputi:
     
    a.
    unsur biaya per satuan penyediaan jasa; dan
     
    b.
    unsur keuntungan yang dikehendaki per satuan jasa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 120

    (1)
    Tarif Retribusi Rumah Pemotongan Hewan Ternak merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Besarnya tarif retribusi tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis ditetapkan.
    (3)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (4)
    Struktur dan Besaran tarif retribusi rumah pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Masa retribusi adalah batas waktu bagi Wajib retribusi untuk memanfaatkan pelayanan pemakaian fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang lamanya sama dengan jangka waktu pemberian pelayanan fasilitas rumah potong hewan.
    (2)
    Retribusi rumah potong hewan yang terutang dalam masa retribusi terjadi pada saat penyelenggaraan pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak atau sejak diterbitkan SKRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
     

    Pasal 122

    Obyek Retribusi pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf f adalah pelayanan jasa kepelabuhanan termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah terdiri dari:
    a.
    pelayanan jasa tambat;
    b.
    pelayanan jasa labuh;
    c.
    pelayanan jasa dermaga;
    d.
    pelayanan pas masuk penumpang;
    e.
    pelayanan jasa alat; dan
    f.
    pelayanan jasa kepelabuhanan lainnya;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    (1)
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh pelayanan kepelabuhanan dan/atau menikmati/memakai fasilitas di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang telah memperoleh pelayanan kepelabuhanan dan/atau menikmati/memakai fasilitas di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan, jenis fasilitas, frekuensi dan lama pelayanan dan/atau penggunaan fasilitas.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh dengan memperhitungkan biaya penyelenggaraan pelayanan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran Tarif retribusi Pelayanan Kepelabuhanan diukur berdasarkan jenis pelayanan, serta frekuensi dan jangka waktu penggunaan fasilitas pelabuhan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini.
    (5)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Tarif Retribusi kepelabuhanan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan Besaran Tarif retribusi kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    Masa Retribusi adalah jangka waktu yang lamanya sesuai jangka waktu penggunaan jasa pelayanan, kecuali ditetapkan lain oleh Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pelayanan Tempat Rekreasi/Pariwisata dan OlahRaga
     

    Pasal 127

    Objek Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi/Pariwisata dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf g adalah pelayanan tempat rekreasi/pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah berupa fasilitas yang berada dilokasi:
    a.
    taman rekreasi;
    b.
    benteng, cagar budaya/peninggalan sejarah;
    c.
    kendaraan yang masuk tempat wisata;
    d.
    sarana hiburan/seni; dan
    e.
    stadion olahraga;
    f.
    kamar mandi air panas/mandi uap (sauna);
    g.
    kolam renang/tempat memancing/pemandian alam dan MCK (mandi cuci kakus); dan
    h.
    wisata alam.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga dari Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib Retribusi Tempat Rekreasi adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungut atau pemotong retribusi tempat rekreasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan frekuensi, jenis dan jangka waktu layanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga dikalikan dengan tarif.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi pelayanan tempat rekreasi/pariwisata dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa tempat rekreasi/pariwisata tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran Tarif Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi, jumlah orang serta jumlah dan jenis kendaraan.
    (5)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    (1)
    Tarif retribusi tempat rekreasi/pariwisata dan olahraga merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan Besaran Tarif retribusi Tempat Rekreasi/Pariwisata dan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    (1)
    Masa retribusi adalah batas waktu bagi Wajib retribusi untuk memanfaatkan pelayanan tempat rekreasi dan olahraga yang lamanya sama dengan jangka waktu pemberian pelayanan tersebut.
    (2)
    Retribusi pelayanan tempat rekreasi/pariwisata dan olahraga yang terutang dalam masa retribusi terjadi pada saat penyelenggaraan pelayanan penyediaan fasilitas tempat rekreasi/pariwisata atau sejak diterbitkan SKRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Penyeberangan di Air
     

    Pasal 132

    (1)
    Objek retribusi tempat penyeberangan di air sebagaimana dimaksud dalam pasal 96 huruf h adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyeberangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, BUMN, BUMD, dan Pihak Swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    (1)
    Subjek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib Retribusi pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungut atau pemotong retribusi pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan frekuensi, volume dan jangka waktu.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran tarif retribusi penyeberangan di air diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi, jumlah orang serta jumlah dan jenis kendaraan.
    (5)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    (1)
    Tarif Retribusi penyeberangan di air merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan Besaran Tarif retribusi penyeberangan di air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Penjualan Produksi Daerah
     

    Pasal 136

    (1)
    Objek retribusi adalah penjualan hasil produksi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf i yang meliputi bibit pertanian dan perkebunan, bibit peternakan, dan bibit Perikanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 137

    (1)
    Subjek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang membeli hasil produksi usaha daerah.
    (2)
    Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh Peraturan Daerah ini untuk membayar retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 138

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa retribusi produksi daerah diukur berdasarkan jenis, ukuran dan volume dari hasil penjualan produk daerah.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi didasarkan pada tujuan memperoleh keuntungan yang layak.
    (3)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran Retribusi penjualan produksi usaha daerah diukur berdasarkan jenis dan ukuran hasil produksi yang dijual.
    (5)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Tarif Retribusi penjualan produksi daerah merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan Besaran Tarif retribusi penjualan produksi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    (1)
    Masa retribusi adalah batas waktu bagi Wajib retribusi untuk membeli produksi usaha Pemerintah Daerah.
    (2)
    Retribusi penjualan produksi daerah yang terutang dalam masa retribusi terjadi pada saat penyelenggaraan penjualan produksi usaha Pemerintah Daerah atau sejak diterbitkan SKRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 141

    (1)
    Retribusi pemanfaatan aset daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 96 huruf j dipungut retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Objek Retribusi adalah pelayanan pemberian hak pemanfaatan aset Daerah untuk jangka waktu tertentu.
    (3)
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak untuk memanfaatkan aset daerah.
    (4)
    Dikecualikan dari pengertian pemanfaatan aset daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarifnya dapat ditetapkan dengan Peraturan Walikota untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (6)
    Penetapan Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
    (7)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (8)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 142

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Pelayanan asset Daerah diukur berdasarkan frekuensi jangka waktu dan jenis pelayanan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi didasarkan pada tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang layak.
    (3)
    keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (4)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    (1)
    Tarif Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi terutang.
    (2)
    Struktur dan Besaran Tarif retribusi Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    Masa Retribusi adalah batas waktu bagi wajib retribusi untuk menikmati pelayanan penyediaan pemanfaatan aset daerah yang lamanya sama dengan pelaksanaan pelayanan pemanfaatan aset daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 145

    Jenis Retribusi Jasa Perizinan Tertentu:
    a.
    persetujuan bangunan gedung; dan
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 1
    Persetujuan Bangunan Gedung
     

    Pasal 146

    (1)
    Objek retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 huruf a adalah penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung.
    (2)
    Pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan PBG;
     
    c.
    inspeksi bangunan gedung; dan
     
    d.
    penerbitan SBKBG.
    (3)
    Penerbitan PBG tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi bangunan gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis bangunan gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas bangunan gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak bangunan gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan bangunan gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5)
    Dikecualikan objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerbitan PBG untuk bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
    (6)
    Persyaratan Persetujuan Bangunan Gedung dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    (1)
    Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan izin PBG dari Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib Retribusi PBG adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi PBG.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 148

    (1)
    Besarnya retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan retribusi PBG.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
    (3)
    Harga satuan retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    standar harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung; dan
     
    b.
    harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung untuk prasarana bangunan gedung.
    (4)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
     
    a.
    bangunan gedung; dan
     
    b.
    prasarana bangunan gedung.
    (5)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    luas total lantai;
     
    b.
    indeks lokalitas;
     
    c.
    indeks terintegrasi; dan
     
    d.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
    (6)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    volume;
     
    b.
    indeks prasarana bangunan gedung; dan
     
    c.
    indeks bangunan gedung terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    (1)
    Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif retribusi PBG didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan penerbitan PBG.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    penerbitan dokumen PBG;
     
    b.
    inspeksi Penilik bangunan;
     
    c.
    penegakan hukum;
     
    d.
    penatausahaan; dan
     
    e.
    biaya dampak negatif dari penerbitan PBG tersebut.
    (3)
    Khusus untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 150

    (1)
    Struktur dan besaran tarif retribusi PBG ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan pelayanan konsultasi untuk:
     
    a.
    Bangunan Gedung
     
     
    Tarif retribusi PBG untuk Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
        LLt x (Ilo x SHST) x It x Ibg.
     
    b.
    Prasarana Bangunan Gedung
     
     
    Tarif retribusi PBG untuk Prasarana Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung (HSPBG) atau dengan rumus:
     
     
    V x I x Ibg x HSpbg.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    (2)
    Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif retribusi PBG untuk Prasarana Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus If x ∑(bp x Ip) x Fm.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 151

    (1)
    Masa Retribusi adalah batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang lamanya sama dengan jangka waktu berlakunya PBG.
    (2)
    Retribusi terutang terjadi dalam masa retribusi pada saat pelayanan PBG atau sejak diterbitkan SKRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 152

    (1)
    Proses konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 150 ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pendaftaran;
     
    b.
    pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis; dan
     
    c.
    pernyataan Pemenuhan Standar Teknis.
    (2)
    Konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan tanpa dipungut biaya.
    (3)
    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pemohon atau Pemilik melalui SIMBG.
    (4)
    Konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan terhadap dokumen rencana teknis.
    (5)
    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh TPA atau TPT.
    (6)
    Pemeriksaan oleh TPT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan terhadap Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m² (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m² (sembilan puluh meter persegi).
    (7)
    Pemeriksaan oleh TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan terhadap Bangunan Gedung selain Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
    (8)
    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling banyak 5 (lima) kali dalam kurun waktu paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja.
    (9)
    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pertama kali dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak pengajuan pendaftaran, berdasarkan notifikasi dokumen rencana teknis lengkap dari pemohon.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 153

    (1)
    Bangunan Gedung yang telah memperoleh Perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini izinnya dinyatakan masih tetap berlaku.
    (2)
    Bangunan Gedung yang telah memperoleh izin mendirikan bangunan dari Pemerintah Daerah sebelum Peraturan Daerah ini mulai berlaku, izinnya masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin.
    (3)
    Bangunan Gedung yang telah berdiri dan belum memiliki PBG, untuk memperoleh PBG harus mengurus SLF berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing
     

    Pasal 154

    (1)
    Objek retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 huruf b merupakan pengesahan RPTKA, perpanjangan bagi TKA yang bekerja di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing
    (2)
    Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (3)
    Dikecualikan dari Objek Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 155

    (1)
    Subjek Retribusi Perpanjangan RPTKA adalah Pemberi Kerja TKA.
    (2)
    Subjek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 156

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jangka waktu perpanjangan RPTKA dan jumlah TKA yang dipekerjakan.
    (2)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tariff retribusi perpanjangan RPTKA ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (3)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    penerbitan dokumen izin;
     
    b.
    pengawasan di lapangan;
     
    c.
    penegakan hukum;
     
    d.
    penatausahaan;
     
    e.
    biaya dampak negatif dari pemberian izin; dan
     
    f.
    kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal.
    (4)
    Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (2), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (5)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 157

    (1)
    Struktur tarif retribusi ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa.
    (2)
    Besarnya tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar USD100 (seratus dolar Amerika Serikat)/jabatan/orang/bulan sebagai Pendapatan Daerah berupa Retribusi Daerah untuk setiap TKA dan dibayarkan dimuka.
    (3)
    Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibayarkan dengan rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran retribusi oleh wajib retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 158

    (1)
    Masa retribusi perpanjangan RPTKA ditetapkan dalam jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender/1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 159

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, tempat pembayaran, penyetoran, dan pengembalian retribusi diatur dalam Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 160

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Walikota; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesatu
    Pemungutan Pajak Daerah
     

    Pasal 161

    (1)
    Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan penetapan SKPD oleh Walikota adalah Pajak Reklame.
    (2)
    Pemungutan Pajak Daerah dilarang diborongkan.
    (3)
    Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang pajak.
    (4)
    Setiap Wajib Pajak wajib yang memenuhi kewajiban Perpajakan berdasarkan penetapan Walikota dibayar dengan menggunakan SKPD/SPPT/SPTPD/SKPDKB/SKPDKBT atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (5)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa karcis dan nota perhitungan.
    (6)
    Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 162

    (1)
    Retribusi daerah dipungut dengan menggunakan SKRD/karcis atau dokumen lain yang dipersamakan dan SKRDKBT.
    (2)
    Pembayaran Retribusi yang terutang dilakukan secara tunai, sekaligus dan seketika.
    (3)
    Pembayaran Retribusi daerah yang terutang dilaksanakan di Kas Umum Daerah.
    (4)
    Dalam hal pembayaran retribusi daerah yang terutang di tempat lain yang ditentukan oleh Walikota, hasil pembayaran retribusi disetor secara bruto ke Kas Umum Daerah dalam jangka waktu 1 x 24 jam pada setiap hari kerja.
    (5)
    Setiap penerimaan atas pembayaran retribusi yang terutang dibukukan dan diberi Surat Setoran Retribusi Daerah (SSRD) sebagai tanda Bukti Pembayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 163

    Tata cara Pembayaran, penyetoran, dan tempat pembayaran lebih lanjut diatur dalam Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 164

    (1)
    Pembayaran Retribusi terutang harus dilunasi sekaligus.
    (2)
    Retribusi terutang dilunasi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (3)
    Retribusi dibayarkan pada instansi atau pejabat berwenang yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Walikota.
    (4)
    Tata cara pembayaran retribusi akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 165

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Walikota berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Walikota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Walikota.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 166

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Walikota dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 167

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 168

    (1)
    Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 169

    (1)
    Walikota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Walikota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Walikota.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Walikota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Walikota.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Walikota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Walikota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Walikota.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    PEMANFAATAN
     

    Pasal 170

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PENINJAUAN TARIF
     

    Pasal 171

    (1)
    Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian. tanpa melakukan penambahan objek retribusi.
    (3)
    Penetapan tarif retribusi sebagai peninjauan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    INSENTIF PEMUNGUTAN
     

    Pasal 172

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    SANKSI
     
    Bagian Kesatu
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 173

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Walikota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-Undangan di bidang Pajak dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sanksi Pidana
     

    Pasal 174

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 175

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak atau berakhirnya bagian tahun pajak atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 176

    (1)
    Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan dan pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
    (2)
    Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan dan pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
    (3)
    Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
    (4)
    Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku wajib pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 177

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 4 membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 178

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174, Pasal 176, Pasal 177 merupakan penerimaan Negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 179

    (1)
    Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah berwenang untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugas mempunyai wewenang:
     
    a.
    menerima, mencari mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    Melakukan tindakan yang perlu untuk kelancaraan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 180

    (1)
    Terhadap hak dan kewajiban wajib pajak dan wajib retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah sebelumnya.
    (2)
    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 172, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
    (4)
    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 181

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku maka:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Sorong Tahun 2020 Nomor 1) beserta peraturan pelaksanaanya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 2 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kota Sorong Tahun 2020 Nomor 2) beserta peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 182

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 183

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota sorong.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di sorong
    pada tanggal 4 Januari 2024
    Pj. WALIKOTA SORONG,
    ttd.
    SEPTINUS LOBAT
     
    Diundangkan di Sorong
    pada tanggal 4 Januari 2024
    Plh. SEKRETARIS DAERAH KOTA SORONG
    ttd.
    RUDDY RUDOLPH LAKU
     
    LEMBARAN DAERAH KOTA SORONG TAHUN 2024 NOMOR
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KOTA SORONG
    NOMOR 1 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DI KOTA SORONG
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten dan kota dan pembagian Urusan Pemerintahan Antar Pemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hubungan Keuangan Pelayanan Umum serta pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Lainnya antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang telah terbit didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Terbitnya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertujuan untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien, transparan, akuntabel dan berkeadilan serta guna mewujudkan pemerataan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Kota Sorong bersama dengan DPRD Kota Sorong telah menetapkan 4 (Empat) Peraturan Daerah yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yaitu 1 (Satu) Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan 2 (dua) Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah. Namun sehubungan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimana diamanatkan untuk membuat Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam 1 (satu) Peraturan Daerah.
     
    Peraturan Daerah ini memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak dimana pajak daerah yang semula berjumlah 8 (delapan) jenis pajak daerah menjadi 8 (delapan) pajak daerah. Pemberian sumber-sumber perpajakan yang baru bagi pemerintah daerah dengan adanya opsen PKB dan BBNKB. dan penyederhanaan jenis Retribusi daerah Pemerintah Kota Sorong yang semula terdapat 19 (sembilan belas) jenis Retribusi Daerah menjadi 18 (delapan belas) jenis Retribusi Daerah yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
    Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak. yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara Pajak Pusat dan Pajak Daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi. PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet. objek rekreasi. hotel. pemakaian listrik dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
     
    Pemerintah Daerah ini juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak PKB dan BBNKB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak. karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD. serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan. penganggaran. dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Pemerintah Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis. yaitu Retribusi Jasa Umum yang semula ada 12 (dua belas) jenis retribusi menjadi 5 (lima) jenis retribusi. Retribusi Jasa Usaha yang semula 11 (sebelas) jenis retribusi menjadi 10 (sepuluh) jenis retribusi. dan Retribusi Perizinan Tertentu yang semula 6 (enam) jenis retribusi menjadi 3 (tiga) jenis retribusi.
     
    Pada dasarnya penetapan Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. upaya penyempurnaan dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. mengoptimalisasikan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memiliki kontribusi besar dan merupakan sumber pendanaan yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. pembangunan dan pelayanan publik yang berkeadilan. serta mencabut Peraturan-peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sudah tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (5)
    a.
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    b.
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    c.
    Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten atau Kota misal, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
     
    1.
    NJOP kurang dari Rp X juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
     
    2.
    NJOP Rp X juta sampai dengan Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
     
    3.
    NJOP lebih dari Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Ayat (2)
    -
    Contoh Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
    -
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Ayat (4)
    Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Walikota atau pejabat dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 29
    Ayat (1)
    Cukup Jelas.
    Ayat (2)
    Cukup Jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup Jelas.
    Huruf b
    Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik
    Ayat (4)
    Cukup Jelas.
    Ayat (5)
    Cukup Jelas.
    Ayat (6)
    Cukup Jelas.
    Ayat (7)
    Huruf b
    Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
    Ayat (8)
    Cukup Jelas.
    Ayat (9)
    Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (10)
    Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Ayat (7)
    Yang dimaksud dengan Mandi uap/spa adalah Termasuk panti pijat spa dan Salon yang dikelola oleh Hotel.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Ayat (1)
    Nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Ayat (4)
    1.
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000,00 sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8% (delapan persen), sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000,00 = Rp24.000.000,00.
     
    b.
    Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000,00 = Rp15.840.000,00. 124
     
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp39.840.000,00, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X.
    2.
    Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1% (satu persen), dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    PKB terutang = 1% x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
     
    b.
    Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000,00 = Rp1.980.000,00.
     
    Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp4.980.000,00, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Ayat (4)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Walikota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan Kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Perda PDRD:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan Kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit Mulut.
     
    1.2.
    rincian pbjek Retribusi: Pelayanan konservasi Gigi.
     
    Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Walikota sebagai berikut:
     
    Peraturan Walikota:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian pbjek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
     
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah.
    Pasal 71
    Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah, meliputi semua jenis pelayanan kesehatan dan pelayanan penunjang kesehatan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan sesuai standar profesi, SPM, standar prosedur operasional dan/atau pedoman-pedoman yang ditetapkan di instalasi pelayanan dan/atau di unit pelayanan kesehatan.
    Pasal 72
    Ayat (1)
    -
    Subyek retribusi setiap orang pribadi meliputi:
     
    a.
    Orang pribadi penduduk Daerah dan bukan penduduk Daerah; dan
     
    b.
    Penduduk Daerah dan bukan penduduk Daerah yang tidak termasuk kategori yang dibebaskan retribusinya sesuai peraturan perundang-undangan.
    -
    Subyek retribusi badan hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
     
    a.
    BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan Asuransi Jasa Raharja (khusus kecelakaan Lalu Lintas);
     
    b.
    Lembaga asuransi komersial; dan
     
    c.
    Perusahaan atau Institusi Pendidikan yang kerjasama dengan Puskesmas atau Labkesda.
    Ayat (2)
    Ketentuan wajib bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk pasien penjamin BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dilakukan berdasarkan perjanjian kerjasama, meliputi pembayaran dengan kapitasi dan/atau pembayaran berdasarkan paket klaim sesuai peraturan perundang-undangan.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Ayat (1)
    -
    Jenis sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah sampah organik dan non organik tidak termasuk buangan biologi/kotoran hewan/manusia, bangkai serta sampah berbahaya.
    -
    Volume sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah tidak lebih dari 90 Kg.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Obyek retribusi meliputi:
    a.
    angkutan barang jenis box bertonase diatas 1 (satu) ton;
    b.
    sedan, jeep, mini bus, pick up dan sejenisnya;
    c.
    sepeda motor; dan
    d.
    sepeda/becak.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Retribusi Pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
     
    Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di Gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Ayat (1)
    Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Ayat (3)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi:
    a.
    biaya operasional langsung yang meliputi biaya belanja pegawai tidak tetap, belanja barang, belanja pemeliharaan, sewa tanah dan bangunan, biaya listrik dan semua biaya rutin/periodik lainnya yang berkaitan langsung dengan penyediaan jasa;
    b.
    biaya langsung yang meliputi biaya administrasi umum dan biaya lainnya yang mendukung penyediaan jasa;
    c.
    biaya modal yang berkaitan dengan tersedianya aktiva tetap dan aktiva lainnya yang berjangka menengah dan panjang yang meliputi angsuran dan bunga pinjaman, nilai sewa tanah bangunan, dan penyusutan aset; dan
    d.
    biaya-biaya lainnya yang berhubungan dengan penyediaan jasa, seperti bunga atas pinjaman jangka pendek.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Ayat (5)
    Tata cara penghitungan besaran tarif ditetapkan dengan ketentuan:
    a.
    besaran tarif sewa barang milik daerah berupa hasil perkalian dari tarif pokok sewa dan faktor penyesuai sewa;
    b.
    hasil KSP berupa pendapatan daerah yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Tim berdasarkan hasil perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    c.
    hasil BGS/BSG berupa kontribusi tahunan yang merupakan pendapatan daerah dihitung oleh Tim yang dibentuk oleh Walikota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    d.
    besaran pendapatan daerah dari kerja sama penyediaan infrastruktur berupa pembagian kelebihan keuntungan (clawback) dihitung berdasarkan hasil kajian oleh Tim KSPI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Cukup jelas.
    Pasal 158
    Cukup jelas.
    Pasal 159
    Cukup jelas.
    Pasal 160
    Cukup jelas.
    Pasal 161
    Cukup jelas.
    Pasal 162
    Cukup jelas.
    Pasal 163
    Cukup jelas.
    Pasal 164
    Cukup jelas.
    Pasal 165
    Cukup jelas.
    Pasal 166
    Cukup jelas.
    Pasal 167
    Cukup jelas.
    Pasal 168
    Cukup jelas.
    Pasal 169
    Cukup jelas.
    Pasal 170
    Cukup jelas.
    Pasal 171
    Cukup jelas.
    Pasal 172
    Cukup jelas.
    Pasal 173
    Cukup jelas.
    Pasal 174
    Cukup jelas.
    Pasal 175
    Cukup jelas.
    Pasal 175
    Cukup jelas.
    Pasal 176
    Cukup jelas.
    Pasal 177
    Cukup jelas.
    Pasal 178
    Cukup jelas.
    Pasal 179
    Cukup jelas.
    Pasal 180
    Cukup jelas.
    Pasal 181
    Cukup jelas.
    Pasal 182
    Cukup jelas.
    Pasal 183
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 1

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024