Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA SERANG
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     

    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA SERANG,
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang­ Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4748);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 224, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang­-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang­ Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SERANG
    DAN
    WALI KOTA SERANG
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah Kota ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kota Serang.
    2.
    Wali Kota adalah Wali Kota Serang.
    3.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Kota Serang.
    4.
    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    5.
    Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom.
    6.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    7.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
    8.
    Bumi adalah permukaan Bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    9.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    10.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    11.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    12.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau badan.
    13.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    14.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    15.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah Barang dan Jasa Tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    16.
    Makanan dan/atau Minuman adalah Makanan dan/atau Minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    17.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    18.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    19.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    20.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
    21.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    22.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    23.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    24.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    25.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    26.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    27.
    Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan MBLB dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    28.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    29.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    30.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
    31.
    Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
    32.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    33.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
    34.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    35.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
    36.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    37.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    38.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    39.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    40.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    41.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    42.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    43.
    Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif.
    44.
    Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
    45.
    Tempat Penampungan Sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah tempat sebelum Sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan Sampah terpadu.
    46.
    Tempat Pengolahan Sampah Terpadu yang selanjutnya disingkat TPST adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir Sampah.
    47.
    Tempat Pemrosesan Akhir adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan Sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
    48.
    Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
    49.
    Tempat Parkir di Tepi Jalan Umum adalah tempat pemberhentian kendaraan di lokasi tertentu di tepi jalan umum di wilayah Daerah.
    50.
    Pelayanan Tempat Khusus Parkir adalah pelayanan penyediaan tempat Parkir yang khusus disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, tidak termasuk yang disediakan dan dikelola oleh BUMD dan pihak swasta.
    51.
    Pasar adalah tempat pertemuan penjual dan pembeli yang bersifat umum dan teratur serta diberi batas tertentu yang terdiri atas halaman/pelataran, bangunan berbentuk los dan atau kios serta bentuk lainnya yang dikelola oleh Pemerintah Daerah dan khusus disediakan untuk pedagang.
    52.
    Kios adalah bangunan permanen di bagian dalam Pasar dan/atau tempat yang dimiliki Pemerintah Daerah yang dipergunakan untuk tempat usaha berjualan yang masing-masing dibatasi dengan tembok penyekat dan penutup pintu kios.
    53.
    Los adalah unit bangunan di dalam Pasar dan/atau tempat yang dimiliki Pemerintah Daerah, beratap dan berlantai keras yang dapat dipergunakan untuk tempat usaha berjualan dengan luasan yang telah ditetapkan.
    54.
    Pelataran Pasar yang selanjutnya disebut Pelataran adalah tempat atau ruang yang ada di lingkungan Pasar dengan peruntukan bagi baik kegiatan perdagangan maupun di luar usaha perdagangan (titipan kendaraan, bongkar muat barang dan lain-lain).
    55.
    Pelayanan Pasar adalah fasilitas Pasar tradisional/sederhana dan Pasar hewan yang berupa pelataran, Los, Kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah dan khusus disediakan untuk pedagang tidak termasuk yang dikelola oleh badan usaha milik negara, BUMD, dan pihak swasta.
    56.
    Tempat Pelelangan Ikan yang selanjutnya disingkat TPI adalah tempat yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah untuk penjualan ikan secara lelang dan berada di wilayah kerja pangkalan pendaratan ikan.
    57.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    58.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    59.
    Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah.
    60.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Retribusi, penentuan besarnya Retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan Retribusi kepada Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    61.
    Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
    62.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    63.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah SKRD yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar dari pada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    64.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
    65.
    Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Wali Kota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah sebagaimana diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.
    66.
    Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
    67.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    68.
    Rencana Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah Rencana Penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
    69.
    Pengesahan Rencana Penggunaan TKA Perpanjangan yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA Perpanjangan adalah persetujuan perpanjangan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
    70.
    Retribusi Penggunaan TKA adalah Retribusi yang dibayarkan dalam bentuk dana kompensasi penggunaan TKA atas Pengesahan RPTKA Perpanjangan.
    71.
    Pemberi Kerja TKA adalah Badan hukum atau Badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    72.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan Daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    (1)
    Jenis Pajak terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak dipungut.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
    a.
    PBB-P2;
    b.
    Pajak Reklame;
    c.
    PAT;
    d.
    Opsen PKB; dan
    e.
    Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
    a.
    BPHTB;
    b.
    PBJT atas;
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
    3.
    Jasa perhotelan;
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
    c.
    Pajak MBLB; dan
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak
     
    Paragraf 1
    PBB-P2
     

    Pasal 5

    (1)
    Objek PBB-P2 yaitu Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertarnbangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, Kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh kelurahan, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kata; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak Bumi dan Bangunan oleh pemerintah pusat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 yaitu NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (6)
    Besaran NJOP ditetapkan dengan keputusan Wali Kota.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (2)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota.
    (3)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tarif PBB-P2 untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun.
    (2)
    Untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) ditetapkan sebesar sebesar 0,15%(nol koma lima belas persen) per tahun.
    (3)
    Untuk NJOP di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (2)
    Saat menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang yaitu menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (3)
    Tempat PBB-P2 yang terutang yaitu di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    PBB-P2 terutang dipungut di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    BPHTB
     

    Pasal 13

    (1)
    Objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    wans;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah.
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor pemerintah pusat, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya, Pemerintahan Daerah yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    d.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    e.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, wans, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) dan ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
    (2)
    BPHTB yang terhutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar­ menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    PBJT
     

    Pasal 19

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran usaha yang paling penyaJian Makanan dan/atau dan/atau peralatan makan dan minum; dan/atau
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyaJian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata hanya menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi objek PBJT Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti Jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    rumah penginapan/guest house/bungalow/resort/cottage;
     
    i.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    j.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat Parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (Parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
     
    c.
    jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata­ mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan
     
    b.
    kegiatan pelayanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Subjek Pajak PBJT yaitu konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT yaitu jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat Parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif Parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya atau beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh (kilowatt-hour) atau variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10%(sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain dengan pembayaran:
     
     
    1.
    untuk rumah tangga bersubsidi dengan daya 450 VA sampai dengan 900 VA ditetapkan sebesar 6% (enam persen);
     
     
    2.
    untuk rumah tangga mampu dengan daya 900 VA sampai dengan 4.400 VA ditetapkan sebesar 8% (delapan persen);
     
     
    3.
    untuk rumah tangga mampu dengan daya 5.500 VA sampai dengan 11.000 VA ditetapkan sebesar 9% (sembilan persen);
     
     
    4.
    untuk rumah tangga mampu dengan daya sama dengan diatas 13.200 VA ditetapkan sebesar 10%(sepuluh persen);
     
     
    5.
    untuk bisnis industri dan non industri ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
     
     
    6.
    untuk publik ditetapkan sebesar 10%(sepuluh persen);
     
     
    7.
    untuk sosial dengan daya 450 VA sampai dengan 4.400 VA ditetapkan sebesar 6% (enam persen);
     
     
    8.
    untuk sosial dengan daya 5.500 VA sampai dengan 13.200 VA ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen); dan
     
     
    9.
    untuk sosial dengan daya sama dengan dan lebih dari 16.500 VA ditetapkan sebesar 8% (delapan persen);
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
    (2)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pajak Reklame
     

    Pasal 31

    (1)
    Objek Pajak Reklame yaitu semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender;
     
    f.
    Reklame dalam bentuk tulisan atau benda yang dipasang semata mata untuk menjamin keselarnatan umum; dan
     
    g.
    Reklame yang semata mata memuat narna dan/atau pekerjaan orang atau benda yang menempati tanah atau bangunan paling luas ¼ m2 (satu per empat meter persegi).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Subjek Pajak Reklame merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame merupakan orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan mengenai perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
    (2)
    Saat terutang pajak reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
    (3)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (4)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pajak Air Tanah
     

    Pasal 36

    (1)
    Objek PAT yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT yaitu pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat; dan
     
    e.
    keperluan keagamaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Subjek PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Dasar pengenaan PAT yaitu nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Ketentuan besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah diatur dengan peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh gubernur.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
    (2)
    Wilayah Pemungutan PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3)
    Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pajak MBLB
     

    Pasal 41

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    ashes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    g1ps;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom; 
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Subjek Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual hasil pengambilan MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu hara.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
    (2)
    Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
    (3)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Opsen PKB
     

    Pasal 46

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Dasar pengenaan Opsen PKB yaitu PKB terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    Tarif Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan tarif Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
    (4)
    Tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 51

    Opsen BBKNB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak atas BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    Dasar pengenaan Opsen BBNKB yaitu BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dari besaran Pajak terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
    (2)
    Tata cara Pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 58

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak, kecuali untuk BPHTB.
    (5)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
    (6)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 59

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
    (5)
    Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut.
    (6)
    Dalam hal Pemerintah Daerah tidak melaksanakan kewajiban dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Sistem Online Pelaporan Transaksi
     

    Pasal 60

    (1)
    Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk melakukan pengawasan dengan memasang alat dan/atau sistem perekam data transaksi usaha pada sistem informasi pelaporan data transaksi usaha Wajib Pajak yang terhubung dengan sistem online pelaporan transaksi yang dimiliki perangkat daerah yang membidangi urusan pendapatan Pajak.
    (2)
    Pemasangan alat dan/atau sistem perekam data transaksi usaha yang terhubung dengan sistem online pelaporan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap objek PBJT meliputi:
     
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    Jasa Perhotelan;
     
    c.
    Jasa Parkir; dan
     
    d.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    (1)
    Alat dan/atau sistem perekam data transaksi usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) merekam setiap transaksi usaha Wajib Pajak secara real time yang dapat dipantau oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan pemungutan Pajak.
    (2)
    Data transaksi usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan untuk kepentingan perpajakan Daerah.
    (3)
    Data transaksi usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia dan hanya dapat diketahui oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Data transaksi usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    (1)
    Untuk melaksanakan sistem online pelaporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), Perangkat Daerah yang membidangi urusan Pemungutan Pajak dapat melakukan kerja sama dengan pihak ketiga.
    (2)
    Perangkat Daerah yang membidangi urusan Pemungutan Pajak dapat melakukan penyesuaian menu sistem online pelaporan transaksi, apabila terdapat perubahan atau perkembangan data transaksi usaha yang menjadi objek dasar perhitungan Pajak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Wajib Pajak dalam pelaksanaan sistem online pelaporan transaksi berhak:
     
    a.
    memperoleh pembebasan dari kewajiban perforasi, legalisasi tagihan pembayaran, harga tanda masuk, tiket, atau karcis;
     
    b.
    memperoleh fasilitas SPTPD secara elektronik;
     
    c.
    memperoleh hasil perekaman data transaksi usaha dan informasi terkait perpajakan daerah;
     
    d.
    mendapat jaminan kerahasiaan atas setiap data transaksi usaha;
     
    e.
    menerima jaringan untuk sistem online pelaporan transaksi yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan pemungutan Pajak;
     
    f.
    memperoleh jaminan pemasangan, penyambungan, atau penempatan sistem online tidak mengganggu alat dan sistem yang sudah ada pada Wajib Pajak; dan
     
    g.
    mendapatkan penggantian alat dan sistem online pelaporan transaksi yang rusak, tidak berfungsi atau tidak beroperasi yang disebabkan bukan karena perbuatan atau kesalahan Wajib Pajak.
    (2)
    Wajib Pajak dalam pelaksanaan sistem online pelaporan transaksi wajib:
     
    a.
    menjaga dan memelihara dengan baik alat atau sistem perekam data transaksi usaha yang ditempatkan pada tempat usaha Wajib Pajak;
     
    b.
    menyimpan data transaksi usaha berupa tagihan pembayaran, harga tanda masuk, tiket, atau karcis untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
     
    c.
    menyampaikan data transaksi usaha yang dilampirkan pada SPTPD atau SPTPD secara elektronik;
     
    d.
    melaporkan dalam jangka waktu paling lama lx24 (satu kali dua puluh empat jam) apabila alat atau sistem perekam data transaksi usaha mengalami kerusakan kepada Perangkat Daerah yang membidangi urusan Pemungutan Pajak;
     
    e.
    dalam hal kerusakan sebagaimana dimaksud pada huruf d bertepatan dengan hari libur, pelaporan dilakukan pada hari kerja pertama berikutnya;
     
    f.
    memberikan akses dan kemudahan kepada Perangkat Daerah yang membidangi urusan pemungutan Pajak dalam pelaksanaan sistem online seperti menginstal, memasang, menghubungkan alat, mengupgrade sistem, dan/atau informasi pelaporan data transaksi pembayaran Pajak ditempat usaha atau outlet Wajib Pajak; dan
     
    g.
    memberikan informasi mengenai merek atau tipe, sistem informasi data transaksi, jumlah perangkat, sistem, dan informasi lain yang terkait dengan data transaksi usaha Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    (1)
    Perangkat Daerah yang membidangi urusan pemungutan Pajak berhak:
     
    a.
    memperoleh kemudahan pada saat pelaksanaan sistem online pelaporan transaksi seperti menginstal, memasang, menghubungkan alat dan/atau sistem informasi pelaporan data transaksi pembayaran pajak di tempat usaha atau outlet Wajib Pajak;
     
    b.
    memperoleh informasi mengenai merek atau tipe, sistem informasi data transaksi, jumlah perangkat, sistem, dan informasi lain yang terkait dengan sistem informasi transaksi pembayaran yang dimiliki Wajib Pajak;
     
    c.
    mendapatkan rekapitulasi data transaksi usaha dan laporan pembayaran Pajak dari Wajib Pajak;
     
    d.
    me-monitoring data transaksi usaha dan Pajak terutang;
     
    e.
    mengakses hardware dan/atau software sistem online pelaporan transaksi;
     
    f.
    melakukan pengawasan dan pemeriksaan kepada Wajib Pajak apabila data yang tersaji dalam sistem online pelaporan data berbeda dengan laporan surat pemberitahuan Pajak Daerah atau surat pemberitahuan Pajak Daerah secara yang diberikan oleh Wajib Pajak; dan
     
    g.
    melaporkan kepada aparat penegak hukum atas perbuatan, baik yang disengaja atau karena kealfaan Wajib Pajak sehingga terjadinya kerusakan dan/atau hilangnya perangkat dan/atau sistem online pelaporan transaksi.
    (2)
    Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pendapatan Pajak Daerah wajib:
     
    a.
    menjaga kerahasiaan setiap data transaksi usaha Wajib Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
     
    b.
    membangun dan menyediakan jaringan;
     
    c.
    mengadakan, menyediakan, menyambung, dan memelihara perangkat sistem online pelaporan transaksi dengan biaya dari APBD;
     
    d.
    menjamin tidak terjadi kerusakan atau terganggunya perangkat dan sistem data transaksi pembayaran dimiliki oleh Wajib Pajak atas pelaksanaan sistem online pelaporan transaksi;
     
    e.
    melakukan tindakan administrasi perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, apabila terjadi kerusakan pada alat atau sistem perekam data transaksi usaha sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya sistem online pelaporan transaksi; dan
     
    f.
    menyimpan data transaksi usaha Wajib Pajak pada database Pajak untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
     

    Pasal 65

    Wajib Pajak dalam pelaksanaan sistem online pelaporan transaksi dilarang:
    a.
    menghancurkan, merusak atau membuat tidak berfungsi/beroperasinya, menghilangkan sebagian atau seluruh perangkat yang telah terpasang;
    b.
    menggunakan perangkat selain yang telah ditetapkan atau disetujui oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pendapatan Pajak Daerah;
    c.
    mengubah data, perangkat dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa persetujuan dari Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pendapatan Pajak Daerah; dan/atau
    d.
    mengalihkan perangkat kepada pihak lain tanpa seizin Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pendapatan Pajak Daerah.
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 66

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 67

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    pelayanan Kebersihan;
     
    c.
    pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; dan
     
    d.
    Pelayanan Pasar.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Jen1s Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan pada Retribusi Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan pada Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan Kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume, dan/atau jenis sampah, limbah kakus, atau limbah cair;
     
    c.
    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian tempat Parkir; dan
     
    d.
    Pelayanan Pasar diukur berdasarkan luas Pelataran, Los, dan Kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan Jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a merupakan pelayanan Kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan Kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan Kesehatan digolongkan berdasarkan jenis pelayanan Kesehatan.C75
    (2)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    (1)
    Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf b merupakan pelayanan Kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan Sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir Sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir Sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir Sampah.
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan Kebersihan yaitu pelayanan Kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan Kebersihan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    Objek pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c yaitu penyediaan pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf d merupakan penyediaan fasilitas Pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, Los, dan Kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum atas Pelayanan Pasar sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 79

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau Jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa Pasar grosir, pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan TPI, ternak, basil Bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    Pelayanan Tempat Khusus Parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 81

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa Pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    Tingkat penggunaan jasa pada Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha berupa Pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha berupa Pasar grosir, pertokoan dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya Dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
     

    Pasal 84

    (1)
    Penyediaan TPI, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil Bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    Tingkat penggunaan jasa pada Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan TPI, ternak, hasil Bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 87

    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan Tempat Khusus Parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    Tingkat penggunaan jasa pada Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan Tempat Khusus Parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan dan jangka waktu penggunaan fasilitas.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Khusus Parkir di luar badan jalan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 90

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan Kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Tingkat penggunaan jasa pada Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak berdasarkan jenis pelayanan, jenis hewan ternak, dan jumlah ternak yang akan dipotong.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     

    Pasal 93

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    Tingkat penggunaan jasa pada Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan lokasi, jenis, frekuensi, dan jangka waktu penggunaan sarana rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga sebagaimana tercantum dalam lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Retribusi Jasa Usaha atas Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 96

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    Tingkat penggunaan jasa pada Retribusi Jasa Usaha atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah diukur berdasarkan jenis komoditi, ukuran, dan volume hasil produksi usaha Pemerintah Daerah yang dijual.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Retribusi Jasa Usaha atas Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 99

    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf g termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    Tingkat penggunaan jasa pada Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan dan/atau waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (2)
    Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
    (3)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (4)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 104

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf c meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    penggunaan TKA.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, BUMD, dan pihak swasta.
    (4)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (5)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau Kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan Pengesahan RPTKA Perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh instansi pemerintah pusat, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan Jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan TKA diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    luas total lantai;
     
     
    2.
    indeks lokalitas;
     
     
    3.
    indeks terintegrasi; dan
     
     
    4.
    indeks Bangunan Gedung terbangun.
     
    b.
    formula untuk prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    volume;
     
     
    2.
    indeks prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    indeks Bangunan Gedung terbangun.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang­-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan Pengesahan RPTKA Perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas RPTKA Perpanjangan ditetapkan sebesar USD$100 (seratus dollar Amerika Serikat) per jabatan per orang per bulan untuk setiap TKA dan dibayarkan di muka.
    (2)
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas RPTKA Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dengan mata uang rupiah, berdasarkan nilai tukar yang berlaku pada saat penerbitan SKRD.
    (3)
    Pemberi Kerja TKA yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib membayar Retribusi Perizinan Tertentu atas RPTKA sebesar 1 (satu) bulan penuh.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Peninjauan dan Penyesuaian Tarif
     

    Pasal 112

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (4)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    perubahan tarif; dan/atau
     
    b.
    perhitungan tarif.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (7)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (8)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Saat Retribusi Terutang
     

    Pasal 113

    (1)
    Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 114

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penilaian PBB-P2;
     
    c.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    d.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    e.
    penelitian surat setoran Pajak BPHTB;
     
    f.
    Pemungutan Retribusi oleh pihak ketiga;
     
    g.
    pembukuan;
     
    h.
    pelaporan;
     
    i.
    pemeriksaan Pajak dan Retribusi;
     
    j.
    surat ketetapan Pajak dan surat tagihan Pajak;
     
    k.
    penagihan Pajak;
     
    l.
    kedaluwarsa penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    m.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi;
     
    n.
    keberatan dan banding;
     
    o.
    gugatan;
     
    p.
    pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan pembayaran atas pokok Pajak dan pokok Retribusi dan/atau sanksinya;
     
    q.
    pembetulan dan pembatalan ketetapan; dan
     
    r.
    pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 115

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerahnya.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, meliputi:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak dan objek Retribusi, seperti terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak atau Retribusi;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM APBD
     

    Pasal 116

    (1)
    Penetapan target penerimaan dari Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (3)
    Kebijakan makro ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan APBN.
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 117

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yaitu:
     
    a.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 118

    (1)
    Instansi yang melaksanakan Pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan mengenai insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi Pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PENGHARGAAN
     

    Pasal 119

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan kepada Wajib Pajak dan/atau Retribusi sebagai bentuk apresiasi atas kepatuhan melaksanakan kewajiban perpajakan Daerah dan/atau Retribusi.
    (2)
    Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk antara lain:
     
    a.
    trofi;
     
    b.
    piagam;
     
    c.
    plakat; dan/atau
     
    d.
    hadiah berupa barang yang sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian penghargaan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    SANKSI ADMINISTRATIF
     

    Pasal 120

    (1)
    Setiap Wajib Pajak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 63 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran tertulis;
     
    b.
    paksaan pemerintah;
     
    c.
    denda administratif;
     
    d.
    pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
     
    e.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (2)
    Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Setiap Wajib Pajak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 65 dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran tertulis;
     
    b.
    paksaan pemerintah;
     
    c.
    denda administratif;
     
    d.
    pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
     
    e.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (2)
    Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 122

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan basil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 123

    Wajib Pajak yang melanggar ketentuan Pasal 65 dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), dan Pasal 123 merupakan pendapatan Daerah.
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 127

    Ketentuan mengenai Pajak Opsen PKB dan BBNKN mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    Pengenaan tarif Pajak dan Retribusi dimulai tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku terhadap kewajiban Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 131

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku maka:
    1.
    Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2010 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 39);
    2.
    Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 49);
    3.
    Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2013 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 69);
    4.
    Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 98);
    5.
    Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 99);
    6.
    Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 5 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2022 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 125);
    7.
    Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Kota Serang (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 107);
    8.
    Peraturan Wali Kota Nomor 42 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Persampahan atau Kebersihan (Berita Daerah Kota Serang Tahun 2020 Nomor 42).
    dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Serang.
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Serang
    pada tanggal 8 Januari 2024
    Pj. WALI KOTA SERANG,
    dto.
    YEDI RAHMAT
     
    Diundangkan di Serang
    pada tanggal 8 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH KOTA SERANG,
    dto.
    NANANG SAEFUDIN
     
    LEMBARAN DAERAH KOTA SERANG TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KOTA SERANG
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
    I.
    UMUM
     
    Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disusun Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu menetapkan Peraturan Daerah Kota Serang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sudah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga perlu untuk dicabut.
     
    Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah, Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Kota Serang sudah tidak sesuai dengan perundang-undangan sehingga perlu untuk dicabut.
     
    Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut perlu menetapkan Peraturan Daerah Kota Serang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Contoh:
    Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:
    1. Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,00/m2;
    2. Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000,00/m2;
    3. Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,00/m2;
    4. Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000,00/m2.
     
    Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
    NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00 = Rp240.000.000,00
    a. Rumah 400 x Rp350.000,00 = Rp140.000.000,00
    b. Taman 200 x Rp50.000,00 = Rp10.000.000,00
    c. Pagar (120 x 1,5) x Rp175.000,00 = Rp31.500.000,00
    NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Rp181.500.000,00
    1. (NJOP bumi + NJOP bangunan)
      Total NJOP bumi dan bangunan = Rp421.500.000,00
      Nilai jual objek Pajak tidak kena Pajak = Rp25.000.000,00
    2. NJOP untuk penghitungan PBB = Rp396.500.000,00
    3. Tarif 0,1% (NJOP dibawah 1 miliar)
    4. PBB-P2 terutang Rp396.500.000,00 x 0,1% = Rp396.500,00
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Ayat (1)
    Contoh:
    Wajib pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan nilai perolehan objek pajak sebesar 
    =
    Rp85.000.000,00
    Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
    =
    Rp80.000.000,00
    (-) Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
    =
    Rp5.000.000,00
    Pajak yang terutang: Rp5.000.000,00 x 5% 
    =
    Rp250.000,00
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
     
    Termasuk kategori dalam restoran yaitu restoran, rumah makan, cafe, warung tenda, kantin, truk makanan, dan katering.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran fitness center, lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf I
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "tenaga listrik dari sumber lain dengan pembayaran" ialah turbin pembangkit listrik yang digerakan oleh energi bahan bakar minyak, energi angin, energi matahari, energi uap panas, energi air, dan energi panas bumi.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "Pemanfaatan Air Tanah" adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 130

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024