Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA SAMARINDA,
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, Objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    b.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Tanah Laut, Daerah Tingkat II Tapin, dan Daerah Tingkat II Tabalong dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2756);
    3.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
    5.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2 Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
    6.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5888) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    12.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    13.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    14.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781).
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SAMARINDA
    dan
    WALI KOTA SAMARINDA
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kota Samarinda.
    2.
    Wali Kota adalah Wali Kota Samarinda.
    3.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kota Samarinda.
    4.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    5.
    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    6.
    Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom Kota Samarinda.
    7.
    Perangkat Daerah Pemungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang ditunjuk oleh Wali Kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dalam memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    8.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    9.
    Kas Daerah adalah Kas Daerah Kota Samarinda.
    10.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
    11.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
    12.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    13.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    14.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    15.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    16.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    17.
    Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
    18.
    Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disingkat NPOPTKP adalah nilai pengurangan Nilai Perolehan Objek Pajak sebelum dikenakan tarif BPHTB.
    19.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    20.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    21.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui pesanan oleh restoran.
    22.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    23.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makanan dan minuman, kegiatan hiburan dan/atau fasilitas lainnya.
    24.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
    25.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    26.
    Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
    27.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    28.
    Nilai Sewa Reklame adalah nilai yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan penetapan besarnya Pajak Reklame.
    29.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    30.
    Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    31.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    32.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    33.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    34.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    35.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    36.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    37.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    38.
    Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
    39.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    40.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    41.
    Subjek Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak Daerah.
    42.
    Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    43.
    Penanggung Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk Wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    44.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    45.
    Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Walikota paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
    46.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    47.
    Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    48.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    49.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    50.
    Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat LSPOP adalah media yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan rincian data Bangunan.
    51.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.
    52.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    53.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    54.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
    55.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
    56.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
    57.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    58.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif, berupa bunga dan/atau denda.
    59.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    60.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga yang diusulkan oleh Wajib Pajak.
    61.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya.
    62.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    63.
    Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    64.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    65.
    Retribusi Jasa Umum adalah retribusi yang dipungut atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum.
    66.
    Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah pembayaran atas jasa pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
    67.
    Pelayanan Kesehatan adalah segala kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada seseorang dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan atau pelayanan kesehatan lainnya.
    68.
    Retribusi Pelayanan Kebersihan adalah pembayaran atas jasa pelayanan kebersihan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.
    69.
    Sampah adalah limbah yang berbentuk padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia yang meliputi bahan organik dan anorganik logam atau non logam dapat terbakar tetapi tidak termasuk buangan biologis.
    70.
    Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah pembayaran atas jasa penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    71.
    Parkir adalah kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
    72.
    Retribusi Pelayanan Pasar adalah pembayaran atas jasa pelayanan penyediaan fasilitas pasar rakyat/sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang.
    73.
    Pelayanan Pasar adalah fasilitas tradisional/sederhana yang berupa pelataran, los dan kios yang dikelola Pemerintah Daerah yang khusus disediakan untuk pedagang, tidak termasuk yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan pihak swasta.
    74.
    Pelataran adalah pelataran di lingkungan pasar yang dapat dimanfaatkan untuk berjualan dalam waktu tertentu setiap hari.
    75.
    Los adalah bangunan tetap di lingkungan pasar yang sifatnya terbuka dan tanpa dinding keliling yang dipergunakan untuk berjualan.
    76.
    Kios adalah bangunan tetap dalam bentuk petak berdinding keliling dan berpintu yang dipergunakan untuk berjualan.
    77.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    78.
    Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi yang dipungut atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    79.
    Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya, adalah pembayaran atas jasa penyediaan tempat dan fasilitas untuk kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya yang dikontrakan, yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
    80.
    Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan, adalah pembayaran atas penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan.
    81.
    Tempat Pelelangan adalah tempat yang disediakan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pelelangan.
    82.
    Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan, adalah pembayaran atas pelayanan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    83.
    Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa, adalah pembayaran atas pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    84.
    Pelayanan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa adalah pelayanan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang dimiliki dan/atau dikelola Pemerintah Daerah, tidak termasuk yang dimiliki dan/atau dikelola oleh pihak swasta.
    85.
    Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan ternaknya sebelum dan sesudah dipotong, dan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan umum maupun hewan kesayangan (pet animal) yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    86.
    Retribusi Pelayanan Jasa Kepelabuhanan adalah pembayaran atas pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    87.
    Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
    88.
    Kepelabuhan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang, dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra dan.atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.
    89.
    Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga adalah pembayaran atas jasa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    90.
    Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah adalah pembayaran atas jasa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah.
    91.
    Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, adalah pembayaran atas jasa pelayanan pemanfaatan aset milik Pemerintah Daerah sepanjang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    92.
    Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi yang dipungut atas kegiatan Pemerintah Daerah dalam pemberian izin tertentu.
    93.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    94.
    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Retribusi PBG adalah pembayaran atas jasa pelayanan pemberian izin yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    95.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    96.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    97.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintahan Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dimanfaatkan.
    98.
    Standar Teknis Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Standar Teknis adalah acuan yang memuat ketentuan, kriteria, mutu, metode, dan/atau tata cara yang harus dipenuhi dalam proses penyelenggaraan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.
    99.
    Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Retribusi PTKA adalah dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.
    100.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah Warga Negara Asing pemegang visa dengan maksud bekerja di Daerah.
    101.
    Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah.
    102.
    Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
    103.
    Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    104.
    Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
    105.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
    106.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    107.
    Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah.
    108.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan daerahnya.
    109.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    110.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi, yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    111.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    112.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
    113.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    114.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    115.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    116.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
    117.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Perpajakan Daerah atau Retribusi Daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah.
    118.
    Insentif Pemungut yang selanjutnya disebut Insentif adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan Pajak Daerah atau Retribusi Daerah.
    119.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    120.
    Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan barang dan jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
    121.
    Penyidikan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi yang terjadi serat menemukan tersangkanya.
    122.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    JENIS PAJAK
     

    Pasal 2

    Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
    a.
    PBB-P2;
    b.
    BPHTB;
    c.
    PBJT atas:
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
    2.
    tenaga listrik;
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
    d.
    Pajak Reklame;
    e.
    PAT;
    f.
    Pajak MBLB;
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
    h.
    Opsen PKB; dan
    i.
    Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
     
    2.
    tenaga listrik;
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
    4.
    jasa parkir;
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
    c.
    Pajak MBLB; dan
     
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesatu
    PBB-P2
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah Pusat, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar Pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOPTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (6)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah daerah.
    (7)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
    (8)
    Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
    (9)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
    (10)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
    (2)
    Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tahun PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (4)
    Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (5)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksinya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    BPHTB
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; atau
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPTHB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan antara dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi NPOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (3)
    Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
    (2)
    Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
    (3)
    Kepala Kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Daerah melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran.
    (2)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan.
    (3)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    PBJT
     

    Pasal 19

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    makanan dan/atau minuman;
    b.
    tenaga listrik;
    c.
    jasa perhotelan;
    d.
    jasa parkir; dan
    e.
    jasa kesenian dan hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 1
    Makanan dan/atau minuman
     

    Pasal 20

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    restoran yang paling sedikit menyediakan pelayanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyedian bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan makanan dan/atau minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi batas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) per tahun;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tenaga Listrik
     

    Pasal 21

    (1)
    Konsumsi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah penggunaan tenaga listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    konsumsi tenaga listrik oleh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi tenaga listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi tenaga listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait dengan kapasitas terpasang di bawah 200 KVA (dua ratus kilovolt-ampere).
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Jasa Perhotelan
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan, meliputi:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    villa;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalow/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan, atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Jasa Parkir
     

    Pasal 23

    (1)
    Jasa parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat Parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
     
    d.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan di lingkungan rumah ibadah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Jasa Kesenian dan Hiburan
     

    Pasal 24

    (1)
    Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jasa kesenian dan hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    c.
    pernikahan, khitanan, upacara adat, kegiatan keagamaan, dan di lingkungan pendidikan;
     
    d.
    pertandingan olahraga atau yang diselenggarakan untuk kegiatan amal, dan/atau sosial;
     
    e.
    moment khusus yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
     
    f.
    penyelenggaraan pameran karya pendidikan, produk kerajinan tradisional, dan industri kreatif dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang dan jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
     
    b.
    nilai jual tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia jasa perhotelan untuk PBJT atas jasa perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas jasa parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pasca bayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan pada:
     
    a.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen);
     
    b.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran yang membawa nama baik Daerah ditetapkan sebesar 5% (lima persen); dan
     
    c.
    pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana untuk kesenian rakyat dan tari tradisional ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas tenaga listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam 26 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
    (2)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
     
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
     
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas jasa perhotelan;
     
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas jasa parkir; dan
     
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.
    (3)
    Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pajak Reklame
     

    Pajak 30

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    reklame kain;
     
    c.
    reklame melekat, stiker;
     
    d.
    reklame selebaran;
     
    e.
    reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    reklame udara;
     
    g.
    reklame apung;
     
    h.
    reklame film/slide; dan
     
    i.
    reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merk produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan reklame diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    e.
    reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial;
     
    f.
    reklame yang memuat nama tempat ibadah;
     
    g.
    reklame yang diselenggarakan oleh perwakilan diplomatik, perwakilan konsulat, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Badan atau Lembaga Organisasi Internasional; dan
     
    h.
    reklame yang semata-mata mengenai kepemilikan atau peruntukan tanah dan diselenggarakan di atas tanah tersebut.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan reklame.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa reklame.
    (2)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
    (3)
    Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
    (4)
    Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame.
    (5)
    Dalam hal nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
    (6)
    Perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
    (2)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat reklame tersebut diselenggarakan.
    (3)
    Khusus untuk reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Apabila suatu objek Pajak Reklame dapat digolongkan lebih dari 1 (satu) jenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), nilai pajaknya ditetapkan menurut jenis Pajak Reklame yang nilainya paling tinggi.
    (2)
    Apabila suatu objek Pajak Reklame dapat digolongkan lebih dari 1 (satu) kelas jalan, nilai pajaknya ditetapkan menurut kelas jalan yang nilai sewanya paling tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    PAT
     

    Pasal 36

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat; dan
     
    e.
    keperluan keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor sebagai berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (1) dalam Daerah ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
    (2)
    PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3)
    Saat terutangnya PAT terhitung sejak saat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Penentuan volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan dihitung berdasarkan kubikasi.
    (2)
    Dalam hal pemanfaatan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum menggunakan meterisasi, pemanfaatan air dihitung secara jabatan dengan prinsip rasionalitas dan kewajaran.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pajak MBLB
     

    Pasal 43

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fospat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum)
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
     
    c.
    ikutan pada saat penambangan yang tidak dimanfaatkan secara komersial dan/atau tidak dijual.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
    (2)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
    (3)
    Wilayah pemungutan Pajak MLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Sarang Burung Walet
     

    Pasal 48

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan PNBP.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Dasar pengenaan pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
    (2)
    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen
     

    Pasal 53

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    Opsen PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Opsen BBKNB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    Opsen BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
     

    Pasal 67

    (1)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
    (2)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (3)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, paling sedikit sebesar 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (4)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    JENIS RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 68

    Jenis Retribusi Daerah terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya.
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    g.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga;
     
    h.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    i.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf c meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (4)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (6)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (8)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (9)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    RETRIBUSI JASA UMUM
     
    Bagian Kesatu
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 70

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 71

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Pelayanan Kesehatan
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 72

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 73

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jumlah, jenis, pemakaian alat, dan pelayanan kesehatan dasar di:
    a.
    puskesmas;
    b.
    puskesmas keliling;
    c.
    puskesmas pembantu;
    d.
    balai pengobatan;
    e.
    rumah sakit umum Daerah; dan
    f.
    tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 74

    (1)
    Struktur tarif digolongkan berdasarkan jenis dan kompetensi pemberi pelayanan kesehatan.
    (2)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan tercantum dalam Lampiran I Angka Romawi I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan yang menggunakan Sistem Jaminan Kesehatan mengikuti aturan yang disepakati bersama antara pemberi jaminan kesehatan dan pemberi pelayanan kesehatan.
    (4)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan diberlakukan untuk orang pribadi atau badan yang bukan merupakan warga Samarinda dan/atau tidak memiliki Kartu BPJS Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Struktur tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) belum memperhitungkan biaya penggunaan bahan habis pakai dan obat-obatan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya biaya penggunaan bahan habis pakai dan obat-obatan, diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Pelayanan Kebersihan
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 76

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
     
    a.
    pelayanan kebersihan jalan umum;
     
    b.
    taman;
     
    c.
    tempat ibadah;
     
    d.
    sosial; dan
     
    e.
    tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 77

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan bagi Wajib Retribusi yang tidak menjadi Pelanggan Air dari Perusahaan Umum Daerah Air Minum Tirta Kencana Kota Samarinda diukur berdasarkan jumlah, klasifikasi tempat, volume dan waktu pengangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan bagi Wajib Retribusi yang menjadi Pelanggan Air dari Perusahaan Umum Daerah Air Minum Tirta Kencana Kota Samarinda diukur berdasarkan Klasifikasi Penggolongan Pelanggan Air Perusahaan Umum Daerah Air Minum Tirta Kencana Kota Samarinda.
    (3)
    Dalam hal Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan pengecekan di lapangan, klasifikasi penggolongan pelanggan masuk dalam 2 (dua) klasifikasi atau lebih, dikenakan tarif dengan besaran yang paling tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 78

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Kebersihan tercantum dalam Lampiran I Angka Romawi II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 79

    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 80

    Tingkat penggunaan jasa Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum diukur berdasarkan jangka waktu dan jenis kendaraan yang menggunakan tempat Parkir.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 81

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum untuk sekali parkir tercantum dalam Lampiran I Angka Romawi III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Pelaksanaan pungutan Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum dapat dilakukan dengan sistem berlangganan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Retribusi Pelayanan Pasar
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 82

    Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 83

    Tingkat penggunaan jasa Pelayanan Pasar diukur berdasarkan jenis penyediaan Pelayanan Pasar.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 84

    Struktur dan Besarnya tarif Retribusi Pelayanan Pasar tercantum dalam Lampiran I Angka Romawi IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 85

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi Jasa Umum diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi Jasa Umum yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    RETRIBUSI JASA USAHA
     
    Bagian Kesatu
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 86

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 87

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 88

    Pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 89

    Tingkat penggunaan jasa atas Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya diukur berdasarkan luas tempat usaha, jangka waktu dan jenis penyediaan fasilitas tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 90

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 91

    (1)
    Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 92

    Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan dan kapasitas pemakaian fasilitas tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 93

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 94

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 95

    Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jangka waktu, frekuensi pelayanan, lokasi dan jenis kendaraan yang menggunakan tempat khusus parkir di luar badan jalan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 96

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 97

    Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 98

    Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa diukur berdasarkan kategori kamar dan jangka waktu pemakaian dan pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 99

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 100

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 101

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan fasilitas pelayanan rumah potong hewan ternak, jenis hewan ternak, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 102

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Retribusi Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 103

    Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 104

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kepelabuhan diukur berdasarkan jenis pelayanan dan jangka waktu pemakaian tempat tambat kapal, bongkar muat barang dan orang di pelabuhan atau dermaga.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 105

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Jasa Kepelabuhanan tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 106

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 107

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis dan jangka waktu pemakaian fasilitas yang ada di tempat rekreasi, pariwisata, dan tempat olahraga.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 108

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 109

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 110

    Tingkat penggunaan jasa atas penjualan hasil produksi usaha Daerah diukur berdasarkan volume hasil produksi yang dijual dan jenis pelayanan jasa yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 111

    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha atas Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
     
    Paragraf 1
    Nama dan Objek Retribusi
     

    Pasal 112

    Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf j merupakan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
     

    Pasal 113

    Tingkat penggunaan jasa atas pemanfaatan aset Daerah berdasarkan jenis, waktu pemakaian, luas, klasifikasi bangunan, dan volume serta jangka waktu Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
     

    Pasal 114

    (1)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tercantum dalam Lampiran II Angka Romawi IX yang tidak yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (2)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur,
     
    tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
    (4)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keduabelas
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 115

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi Jasa Usaha diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi Jasa Usaha yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
     
    Bagian Kesatu
    Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
     

    Pasal 116

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Objek Retribusi
     

    Pasal 117

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi
     

    Pasal 118

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Lokalitas;
     
     
    3.
    Indeks Terintegrasi;
     
     
    4.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi PBG
     

    Pasal 119

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi PTKA
     

    Pasal 120

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PRINSIP DAN SASARAN PENETAPAN TARIF RETRIBUSI
     

    Pasal 121

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, Pasal 77, Pasal 80 dan Pasal 83 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 92, Pasal 95, Pasal 98, Pasal 101, Pasal 104, Pasal 107, Pasal 110, dan Pasal 113 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf a, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) dan Pasal 120 ayat (1) dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II dan Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (7)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (8)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan WaliKota.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    MASA PAJAK DAN TAHUN PAJAK
     

    Pasal 128

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    (1)
    Masa Pajak dengan jangka waktu 1 (satu) bulan kalender, meliputi:
     
    a.
    PBJT atas makanan dan/atau minuman;
     
    b.
    PBJT atas tenaga listrik;
     
    c.
    PBJT atas jasa perhotelan;
     
    d.
    PBJT atas jasa parkir; dan
     
    e.
    Pajak Air Tanah.
    (2)
    Masa PBJT atas jasa kesenian dan hiburan, sebagai berikut:
     
    a.
    jasa kesenian dan hiburan yang bersifat tetap yaitu 1 (satu) bulan kalender; dan
     
    b.
    jasa kesenian dan hiburan yang bersifat insidentil dalam satuan hari sesuai dengan jangka waktu penyelenggaraan.
    (3)
    Masa Pajak Reklame, sebagai berikut:
     
    a.
    Pajak Reklame untuk penyelenggaraan reklame permanen dan reklame terbatas ditetapkan 12 (dua belas) bulan kalender; dan
     
    b.
    Pajak Reklame bersifat insidentil dalam satuan hari sesuai dengan jangka waktu penyelenggaraan.
    (4)
    Masa Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan 3 (tiga) bulan kalender.
    (5)
    Tahun PBB-P2 yaitu 1 (satu) tahun kalender, dimulai tanggal 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember pada tahun berkenaan.
    (6)
    Tahun Pajak Opsen PKB ditetapkan 1 (satu) tahun kalender.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    MASA RETRIBUSI
     

    Pasal 130

    (1)
    Masa Retribusi lamanya 1 (satu) bulan terhitung sejak ditetapkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, kecuali ditetapkan lain oleh Wali Kota.
    (2)
    Masa Retribusi PTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jangka waktu yang ditetapkan dalam Pengesahan RPTKA perpanjangan yang diberikan.
    (3)
    Retribusi terutang dalam Masa Retribusi yaitu pada saat ditetapkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    WILAYAH PEMUNGUTAN
     

    Pasal 131

    Pajak dan Retribusi yang terutang dipungut di Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    PEMUNGUTAN PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Tata Cara Pendaftaran
     

    Pasal 132

    (1)
    Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan SPTPD.
    (2)
    Dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Wajib PBB-P2 dan BPHTB.
    (3)
    Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan NPWPD.
    (4)
    Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
    (5)
    NPWPD sebagaimana dimaksud (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
    (6)
    NPWPD sebagaimana dimaksud (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
    (7)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik Daerah.
    (8)
    Dalam hal Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki Daerah.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pengisian SPTPD diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Tata Cara Pendataan
     

    Pasal 133

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan Objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan mentatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
    (2)
    Khusus untuk PBB-P2 pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah.
    (3)
    Pendataan Wajib PBB-P2 dilakukan dengan menggunakan SPOP dan LSPOP.
    (4)
    SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Wali Kota paling lambat 30 (tiga) puluh hari kerja setelah tanggal diterimanya formulir SPOP dan LSPOP oleh Subjek Pajak.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendataan diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    (1)
    Berdasarkan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) Wali Kota menerbitkan SPPDT/SKPD.
    (2)
    Wali Kota dapat mengeluarkan SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
     
    a.
    SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
     
    b.
    berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang Terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan SPOP dan LSPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
    (2)
    Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
    (3)
    Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
    (4)
    Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
     
    a.
    tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
     
    b.
    tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 136

    (1)
    Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (8) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
    (2)
    Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
     
    a.
    perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
     
    b.
    nilai perolehan baru; atau
     
    c.
    nilai jual pengganti.
    (3)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2 sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Tata Cara Pemungutan
     

    Pasal 137

    (1)
    Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
    (2)
    Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak Yang Terutang berdasarkan penetapan Wali Kota atau perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 138

    (1)
    Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e, membayar kewajiban pajaknya dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa karcis dan nota perhitungan.
    (3)
    Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a membayar kewajiban pajaknya dengan menggunakan SPPT.
    (4)
    Dokumen SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berfungsi sebagai SKPD.
    (5)
    Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c, membayar kewajiban pajaknya dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
    (6)
    Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d membayar kewajiban pajaknya dengan menggunakan SSPD.
    (7)
    Dokumen SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berfungsi sebagai SPTPD.
    (8)
    Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (9)
    Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) ayat (5), dan ayat (6) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (10)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya Pajak, Wali Kota dapat menerbitkan:
     
    a.
    SKPDKB dalam hal:
     
     
    1)
    jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
     
     
    2)
    jika SPTPD tidak disampaikan kepada Wali Kota dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
     
     
    3)
    jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, Pajak Yang Terutang dihitung secara jabatan; atau
     
     
    4)
    khusus untuk BPHTB, apabila SSPD berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, Pajak Yang Terutang tidak atau kurang dibayar.
     
    b.
    SKPDKBT jika ditemukan data baru, dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah Pajak Yang Terutang; dan
     
    c.
    SKPDN jika jumlah Pajak Yang Terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
    (2)
    Jumlah kekurangan Pajak Yang Terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
    (3)
    Jumlah kekurangan Pajak Yang Terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
    (4)
    Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
    (5)
    Jumlah Pajak Yang Terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     

    Pasal 141

    (1)
    Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Surat Tagihan Pajak
     

    Pasal 142

    (1)
    Wali Kota dapat menerbitkan STPD dalam hal:
     
    a.
    Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
     
    b.
    dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; atau
     
    c.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (2)
    Jumlah kekurangan Pajak Yang Terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (3)
    SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
     

    Pasal 143

    (1)
    Wali Kota menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran Pajak Yang Terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
    (2)
    SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar Penagihan pajak dan harus dilunasi jangka waktu paling lama satu (1) bulan sejak tanggal diterbitkan.
    (3)
    Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran Pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    (1)
    Pajak Yang Terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
    (2)
    Surat Paksa diterbitkan dalam hal:
     
    a.
    Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang Pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran;
     
    b.
    Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sekalipun telah dilakukan Penagihan Pajak seketika dan sekaligus; atau
     
    c.
    Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
    (3)
    Surat Paksa paling sedikit harus memuat:
     
    a.
    nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
     
    b.
    dasar hukum Penagihan Pajak;
     
    c.
    besarnya Pajak terutang; dan
     
    d.
    perintah untuk membayar.
    (4)
    Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan prosedur Penagihan Pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai pedoman Penagihan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Keberatan dan Banding
     

    Pasal 145

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
     
    a.
    SPPT;
     
    b.
    SKPD;
     
    c.
    SKPDKB;
     
    d.
    SKPDKBT;
     
    e.
    SKPDLB;
     
    f.
    SKPDN; dan
     
    g.
    Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan daerah.
    (2)
    Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan alasan yang jelas.
    (3)
    Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau Pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
    (4)
    Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
    (5)
    Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
    (6)
    Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    (1)
    Wali Kota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
    (2)
    Keputusan Wali Kota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak terutang.
    (3)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Wali Kota tidak memberi suatu keputusan, keputusan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (2)
    Permohonan Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
    (3)
    Pengajuan Permohonan Banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan satu (1) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 148

    (1)
    Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
    (3)
    Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
    (5)
    Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administratif
     

    Pasal 149

    (1)
    Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya Wali Kota dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    (2)
    Wali Kota dapat:
     
    a.
    mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak yang Terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
     
    b.
    mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
     
    c.
    mengurangkan atau membatalkan STPD;
     
    d.
    membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan;
     
    e.
    mengurangkan ketetapan Pajak Yang Terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak;
     
    f.
    memberikan keringanan dan pengurangan PBB-P2 kepada Wajib Pajak atas bangunan yang termasuk dalam daftar cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    g.
    memberikan keringanan dan pengurangan PBB-P2 kepada Wajib Pajak atas lahan dan/atau bangunan yang memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    h.
    memberikan keringanan atau pengurangan PBB-P2 kepada Wajib Pajak masyarakat miskin, veteran, janda pejuang kemerdekaan, tokoh-tokoh pejuang sosial; dan
     
    i.
    mengurangkan atau membatalkan ketetapan Pajak terutang dalam hal objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    PEMUNGUTAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Tata Cara Pemungutan
     

    Pasal 150

    (1)
    Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan.
    (2)
    Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (3)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan.
    (4)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Retribusi PTKA dapat berupa surat pemberitahuan pembayaran DKPTKA sebagai pendapatan daerah yang diterbitkan oleh Direktur Pengendalian Penggunaan TKA melalui aplikasi TKA online atau kode billing pembayaran DKPTKA dari Menteri Ketenagakerjaan atau Pejabat yang ditunjuk.
    (5)
    Surat Pemberitahuan Pembayaran DKPTKA Sebagai Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipersamakan dengan SKRD.
    (6)
    Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
    (7)
    Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan Surat Teguran.
    (8)
    Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Tata Cara Pembayaran
     

    Pasal 151

    (1)
    Pembayaran Retribusi yang terutang harus dibayar sekaligus.
    (2)
    Pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan ke Kas Daerah atau ditempat lain yang ditunjuk berdasarkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Tata Cara Penagihan
     

    Pasal 152

    (1)
    Penagihan Retribusi yang terutang didahului dengan surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis.
    (2)
    Surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikeluarkan setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo.
    (3)
    Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis, Wajib Retribusi harus melunasi Retribusinya yang terutang.
    (4)
    Surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikeluarkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
    (5)
    Tata Cara Penagihan Retribusi ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Keberatan
     

    Pasal 153

    (1)
    Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
    (4)
    Keadaan di luar kekuasaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (5)
    Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    (1)
    Wali Kota dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.
    (2)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan oleh Wali Kota.
    (3)
    Keputusan Wali Kota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
    (4)
    Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Wali Kota tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 155

    (1)
    Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    TATA CARA PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, DAN PEMBEBASAN ATAS POKOK RETRIBUSI DAN/ATAU SANKSI
     

    Pasal 156

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Retribusi dan/atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Retribusi sampai dengan batas tertentu, dan Objek Retribusi yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
     

    Pasal 157

    (1)
    Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota.
    (2)
    Wali Kota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas bulan), sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
    (3)
    Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Wali Kota tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang Pajak lainnya, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
    (5)
    Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
    (6)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
    (7)
    Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pengembalian Kelebihan Pembayaran Retribusi
     

    Pasal 158

    (1)
    Atas kelebihan pembayaran Retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali kota.
    (2)
    Wali Kota dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (3)
    Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Wali Kota tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (4)
    Dalam hal Wajib Retribusi mempunyai Utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Retribusi tersebut.
    (5)
    Pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB.
    (6)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Retribusi.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XV
    KEDALUWARSA PENAGIHAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak
     

    Pasal 159

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
     
    b.
    adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
    (4)
    Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi
     

    Pasal 160

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 161

    (1)
    Piutang Pajak dan/atau Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Wali Kota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak dan/atau Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak dan/atau Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XVI
    PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
     
    Bagian Kesatu
    Pembukuan
     

    Pasal 162

    (1)
    Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
     
    b.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
    (2)
    Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran peredaran usaha serta tata cara Pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
    (3)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
    (4)
    Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemeriksaan
     

    Pasal 163

    (1)
    Wali Kota berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Perpajakan Daerah dan kewajiban Retribusi dalam rangka melaksanakan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa wajib:
     
    a.
    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak atau objek Retribusi yang terutang;
     
    b.
    memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
     
    c.
    memberikan keterangan yang diperlukan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 164

    (1)
    Dalam hal pada saat Pemeriksaan Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (2), Pajak terutang ditetapkan secara jabatan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XVII
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Pasal 165
    (1)
    Wali Kota dapat memberikan Insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota dengan berdasarkan pertimbangan, antara lain:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas Nasional.
    (4)
    Pemberian Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan Insentif fiskal tersebut.
    (5)
    Pemberian Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XVIII
    PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
     

    Pasal 166

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (3)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIX
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 167

    (1)
    Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap Tenaga Ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peratutran perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi:
     
    a.
    Pejabat dan/atau Tenaga Ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam siding pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau Tenaga Ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada Pejabat Lembaga Negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XX
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 168

    (1)
    Instansi yang melaksanakan Pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi Insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian Insentif sebagaiamna dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Wali Kota berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 169

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 168, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan Aparatur Sipil Negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XXI
    SISTEM ELEKTRONIK PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 170

    (1)
    Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi informasi dan tuntutan pelayanan publik, maka pengelolaan Pajak dan Retribusi perlu ditingkatkan melalui sistem elektronik yang merupakan perwujudan dari e-Government.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem elektronik Pajak dan Retribusi, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XXII
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 171

    (1)
    Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti Pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Perpajakan dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XXIII
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 172

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (8), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (8), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 173

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2), Pasal 86 ayat (2), dan Pasal 116 ayat (2), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 174

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 175

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau Masa Pajak berakhir atau Bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XXIV
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 176

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
    b.
    Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berlaku hingga tanggal 5 Januari 2024;
    c.
    khusus ketentuan mengenai Pajak MBLB, bagi hasil PKB, dan bagi hasil BBNKB dalam Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 5 Januari 2025; dan
    d.
    dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c tidak dapat dipenuhi, ketentuan mengenai Pajak dan Retribusi mengikuti ketentuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 177

    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 178

    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 179

    Pada saat Peraturan Daerah mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sudah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XXV
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 180

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2011 Nomor 4) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2019 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Samarinda Nomor 2);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2011 Nomor 13) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2016 Nomor 2);
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2011 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kota Samarinda Nomor 14) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2018 Nomor 5);
    d.
    Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kota Samarinda Nomor 15) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2019 Nomor 4);
    e.
    Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Inche Abdoel Moeis Kota Samarinda (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2011 Nomor 16) (eek masa berlakunya);
    f.
    Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Retribusi Pesetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2022 Nomor 33, Tambahan Lembaran Daerah Kota Samarinda Nomor 15); dan
    g.
    Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Samarinda Tahun 2022 Nomor 37, Tambahan Lembaran Daerah Kota Samarinda Nomor 17),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 181

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 182

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Samarinda.
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Samarinda, 
    pada tanggal 2 Januari 2024
    WALI KOTA SAMARINDA,
    ttd.
    ANDI HARUN

    Diundangkan di Samarinda
    pada tanggal 2 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH KOTA SAMARINDA,
    ttd.
    HERO MARDANUS SATYAWAN

    LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA TAHUN 2024 NOMOR 50
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan otonomi daerah dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dimana daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur sendiri daerahnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerahnya, dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Dalam rangka melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan tersebut, pemerintah daerah memerlukan sumber dana berkelanjutan yang dapat diandalkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, salah satu diantaranya adalah pungutan daerah dalam bentuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, menyebutkan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah, dan Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang diatur dalam undang-undang.

    Setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah pada tanggal 5 Januari 2022, yang diantaranya mengatur tentang pencabutan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan kewajiban Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah paling lama 2 (dua) tahun sejak diundangkannya undang-undang tersebut, sehingga sebelum tanggal 5 Januari 2024 Pemerintah Daerah agar tetap dapat memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus sudah membentuk dan menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, untuk menggantikan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan daerah dimaksud adalah:
     
    1.
    Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
     
    2.
    Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum;
     
    3.
    Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha;
     
    4.
    Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu; dan
     
    5.
    Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 16 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Inche Abdoel Moeis Kota Samarinda.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar pembentukan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang melengkapi berbagai pokok-pokok kebijakan Pajak dan Retribusi, dan menjadi pedoman Pemerintah Daerah dalam menerbitkan Peraturan Daerah, Peraturan Wali Kota dan/atau peraturan pelaksanaan lainnya dalam rangka pemungutan Pajak dan Retribusi termasuk sistem dan prosedur pemungutan, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan tiap Daerah.

    Dimana diantara muatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, antara lain adalah kebijakan terkait dasar pengenaan PBB-P2 yaitu melalui pengaturan bahwa dasar pengenaan PBB-P2 yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak, dan pengaturan penerimaan atas pelayanan objek Retribusi sesuai Undang-Undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai Retribusi dalam rangka meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, dan kepastian hukum. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat juga pengaturan bahwa seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik Daerah menjadi bagian dari Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan asset daerah.

    Sejalan dengan uraian tersebut di atas dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah yang menyebutkan jenis pajak dan retribusi, subjek pajak dan wajib pajak, subjek retribusi dan wajib retribusi, objek pajak dan retribusi, dasar pengenaan pajak, tingkat penggunaan jasa retribusi, saat terutang pajak, wilayah pemungutan pajak, serta tarif pajak dan retribusi, untuk seluruh jenis pajak dan retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah, dengan demikian Pemerintah Daerah perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk melakukan pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

    Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur adalah:
     
     
     
     
    1.
    Pajak Daerah
     
     
    a.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
     
     
    b.
    Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
     
     
    c.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas:
     
     
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
     
     
    2.
    tenaga listrik;
     
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
     
    e.
    Pajak Air Tanah;
     
     
    f.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
     
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
     
    h.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor; dan
     
     
    i.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
     
    2.
    Retribusi Daerah
     
     
    a.
    Retribusi Jasa Umum, antara lain:
     
     
     
    1)
    Pelayanan Kesehatan;
     
     
     
    2)
    Pelayanan Kebersihan;
     
     
     
    3)
    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
     
     
     
    4)
    Pelayanan Pasar; dan
     
     
     
    5)
    Pengendalian Lalu Lintas.
     
     
    b.
    Retribusi Jasa Usaha, antara lain:
     
     
     
    1)
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya;
     
     
     
    2)
    Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya Dalam Lingkungan Tempat Pelelangan;
     
     
     
    3)
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di luar Badan Jalan;
     
     
     
    4)
    Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
     
     
     
    5)
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak;
     
     
     
    6)
    Pelayanan Jasa Kepelabuhanan;
     
     
     
    7)
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga;
     
     
     
    8)
    Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan Menggunakan Kendaraan di Air;
     
     
     
    9)
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah; dan
     
     
     
    10)
    Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu, antara lain:
     
     
     
    1)
    Persetujuan Bangunan Gedung;
     
     
     
    2)
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing; dan
     
     
     
    3)
    Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
         
     
    Dari 9 (sembilan) jenis Pajak Daerah dan 18 (delapan belas) jenis Retribusi Daerah di atas, ada 3 (tiga) jenis Retribusi Daerah yang tidak dipungut karena Pemerintah Daerah belum dapat menyediakan sarana dan prasarana yang digunakan untuk memberikan pelayanan dan karena potensinya kurang memadai, yaitu retribusi:
     
    1.
    Pengendalian Lalu Lintas;
     
    2.
    Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan Menggunakan Kendaraan di Air; dan
     
    3.
    Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud “reklamasi” adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan ”tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyatanyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
    a.
    perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
    b.
    nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.
    c.
    nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Huruf a
    Dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    Huruf b
    Objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
    Huruf c
    Klasterisasi berdasarkan NJOP dimana NJOP sampai dengan nilai tertentu dikalikan dengan persentase pengenaan PBBP-2 nya untuk setiap klasternya.
    Ayat (7)
    Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp10.000.000,-(sepuluh juta rupiah).
     
    Contoh:
    Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:
    -
    Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,00/m2;
    -
    Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000,00/m2;
    -
    Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,00/m2;
    -
    Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000,00/m2.
     
    Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
    1.
    NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00
    :
    Rp240.000.000,00
    2.
    NJOP Bangunan
     
    a.
    Rumah dan garasi 400 x Rp350.000,00
    :
    Rp140.000.000,00
     
    b.
    Taman 200 x Rp50.000,00
    :
    Rp10.000.000,00
     
    c.
    Pagar (120 x 1,5) x Rp175.000,00
    :
    Rp31.500.000,00
    +
     
    Total NJOP Bangunan
     
    Rp181.500.000,00
     
    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
    :
    Rp10.000.000,00
    -
     
    Nilai Jual bangunan Kena Pajak
     
    Rp171.500.000,00
    +
    3.
    Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak
    :
    Rp411.500.000,00
    4.
    Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,5%. 
    5.
    PBB terutang: 0,5% x Rp411.500.000,00 = Rp2.057.500,00
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Contoh:
    Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut di antara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y. Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “harga transaksi” adalah harga yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan pada saat terjadinya transaksi.
    Huruf b
    Yang dimaksud “nilai pasar” adalah harga wajar suatu tanah dan/atau bangunan akan laku dijual di pasar bebas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Contoh:
    1.
    Wajib Pajak A membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp130.000.000,00 (seratus tiga puluh juta rupiah). NJOP PBB-P2 adalah sebesar Rp135.000.000,00 (seratus tiga puluh lima juta rupiah). Maka yang dipergunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah sebesar Rp135.000.000,00 (seratus tiga puluh lima juta rupiah) dan bukan Rp130.000.000,00 (seratus tiga puluh juta rupiah).
    2.
    Wajib Pajak B membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). NJOP PBB-P2 adalah sebesar Rp135.000.000,00 (seratus tiga puluh lima juta rupiah). Maka yang dipergunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah sebesar Rp140.000.000,00 (seratus empat puluh lima juta rupiah) dan bukan Rp135.000.000,00 (seratus tiga puluh lima rupiah).
    Ayat (4)
    Untuk setiap Wajib Pajak diberikan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah).
     
    Contoh:
    Wajib Pajak memperoleh tanah dan bangunan:
    Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
    :
    Rp100.000.000,00
    NPOPTKP
    :
    (Rp80.000.000,00)
    Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)
    :
    Rp20.000.000,00.
    Ayat (5)
    Contoh:
    1.
    Wajib Pajak mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan karena Waris (lurus satu derajat ke atas/bawah):
     
    Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
    :
    Rp450.000.000,00
     
    NPOPTKP
    :
    (Rp300.000.000,00)
     
    Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)
    :
    Rp150.000.000,00
    2.
    Wajib Pajak mendaftarkan hibah wasiat orang tua kandung:
     
    Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
    :
    Rp500.000.000,00
     
    NPOPTKP
    :
    (Rp300.000.000,00)
     
    Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)
    :
    Rp200.000.000,00
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Contoh:
    Wajib Pajak A membeli tanah dan bangunan dengan
    Nilai Perolehan Objek Pajak
    :
    Rp85.000.000,00
    Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
    :
    (Rp80.000.000,00)
    Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
    :
    Rp5.000.000,00
    Pajak Yang Terutang: 2.5% x Rp5.000.000,00
    :
    Rp125.000,00
    Pasal 15
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan (akta) pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
     
    Contoh:
    Tuan A memiliki hak milik atas tanah seluas 5000 m2, kemudian Tuan A memberikan hak guna bangunan di atas tanah tersebut kepada PT XYZ, maka saat terutangnya BPHTB untuk transaksi tersebut adalah pada saat ditandatanganinya surat keputusan (akta) pemberian hak guna bangunan tersebut atas nama PT XYZ.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “risalah lelang” adalah kutipan risalah lelang yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Huruf a
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
     
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud “penyelenggara negara lainnya” adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Jasa tempat tinggal di rumah sakit merupakan jasa tempat tinggal di rumah sakit yang digunakan untuk pasien.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel” adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud “parkir valet” adalah suatu bentuk pelayanan jasa parkir dengan pelaksanaan parkir yang dilakukan oleh Petugas Parkir, sehingga memberi kemudahan bagi pengguna jasa parkir.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “pameran” adalah segala bentuk kegiatan yang mempertunjukkan, mempertontonkan, memperagakan, memperkenalkan dan/atau menyebarluaskan informasi mengenai satwa, tumbuhan, otomotif, elektronik, seni budaya, seni ukir, barang seni, properti, pendidikan, dan hasil produksi barang dan/atau jasa lainnya.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “permainan ketangkasan” adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan “olahraga permainan” adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Termasuk di dalamnya usaha bar yang diselenggarakan bersama-sama usaha diskotik, karaoke/rumah musik dan klab malam serta pub.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Ayat (1)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “tenaga listrik dari sumber lain” adalah tenaga listrik yang diperoleh dari penyedia tenaga listrik.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Penghitungan nilai jual tenaga listrik untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan tenaga listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual tenaga listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “reklame papan atau billboard” adalah reklame yang bersifat tetap (tidak dapat dipindahkan) terbuat dari papan, kayu, seng, tinplate, colibrate, vynil, almunium, fiberglass, kaca, batu, tembok atau beton, logam atau bahan lain sejenisnya, dipasang pada tempat yang disediakan (berdiri sendiri) atau digantung atau ditempel atau dibuat pada bangunan tembok, dinding, pagar, tiang, dan sebagainya baik bersinar, disinari maupun yang tidak bersinar.
     
    Yang dimaksud dengan “reklame videotron atau megatron” adalah reklame yang bersifat tetap (tidak dapat dipindahkan) menggunakan layar monitor maupun tidak, berupa gambar dan/tulisan yang dapat berubah ubah, terprogram dan menggunakan tenaga listrik. Termasuk di dalamnya electronic display/LED.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “reklame kain” adalah reklame yang tujuan materinya jangka pendek atau mempromosikan suatu kegiatan yang bersifat insidentil menggunakan bahan kain, termasuk plastik atau bahan lain sejenis, termasuk didalamnya spanduk, umbul-umbul, bendera, flag chain (rangkaian bendera), tenda, crey, banner, standing banner dan baliho.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan “reklame melekat atau stiker” adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas diselenggarakan yang berbentuk lembaran lepas diselenggarakan dengan cara ditempelkan, dilekatkan, dipasang atau digantung pada suatu benda.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan “reklame selebaran” adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, dilekatkan, dipasang, digantung, pada suatu benda lain, termasuk didalamnya adalah brosur, leafleat, dan reklame dalam undangan.
    Huruf e
    Yang dimaksud “reklame berjalan” adalah reklame yang ditempatkan pada kendaraan atau benda yang dapat bergerak, yang diselenggarakan dengan menggunakan kendaraan atau dengan cara dibawa/didorong/ditarik oleh orang. Termasuk didalamnya reklame pada gerobak/rombong, kendaraan baik bermotor ataupun tidak.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan “reklame udara” adalah reklame yang diselenggarakan di udara dengan menggunakan balon, balon gas, laser, pesawat atau lain yang sejenis.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan “reklame apung” adalah reklame yang diselenggarakan di atas air dengan menggunakan balon, perahu, kapal atau alat yang sejenis.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “reklame film/slide” adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara menggunakan klise (celluloide) berupa kaca atau film, ataupun bahan-bahan lain yang sejenis, sebagai alat untuk diproyeksikan dan/atau dipancarkan.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan “reklame peragaan” adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara memperagakan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Wali Kota dalam menetapkan besarnya nilai perolehan Air Tanah memperhatikan klasifikasi dan tarif sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Timur.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bersamaan" merupakan pembayaran Opsen PKB dilakukan sekaligus dengan pembayaran PKB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Contoh:
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur melakukan pembelian Kendaraan Bermotor baru rnelalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000,00 sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan Bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi Kalimantan Timur adalah sebesar 1% (satu persen), dan tarif Opsen PKB dalam Perda PDRD Kota Samarinda adalah sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut:
    a.
    PKB terutang = 1% x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00
    b.
    Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000,00 = Rp1.980.000,00.
     
    Total PKB dan Opsen PKB terutang Rp4.980.000,00, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (registrasi dan identifikasi) Kendaraan Bermotor. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bersamaan" merupakan pembayaran Opsen BBNKB dilakukan sekaligus dengan pembayaran BBNKB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Contoh:
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur melakukan pembelian Kendaraan Bermotor baru rnelalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000,00 sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi Kalimantan Timur sebesar 8% (delapan persen), sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kota Samarinda sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut:
    a.
    BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000,00 = Rp24.000.000,00
    b.
    Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000,00 = Rp15.840.000,00.
     
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp39.840.000,00 ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, sedangkan Opsen BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Kota Samarinda.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Perkada dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
     
    Contoh 1:
    Pada tahun 2025, RSUD X pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Perda PDRD:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
    Pada tahun 2027, RSUD X pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
     
    Peraturan Wali Kota:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
    1.1
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah
     
    Contoh 2:
    Pada tahun 2O25, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y menyediakan pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Perda PDRD:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan pemotongan hewan ternak
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan sapi
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan kambing
     
    Pada tahun 2027, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kabupaten Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan pengemasan dan pelayanan ruang pendingin yang merupakan bagian dari pelayanan pemotongan kambing. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kabupaten Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
     
    Peraturan Wali Kota:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan pemotongan hewan ternak
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan sapi
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan kambing
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan pengemasan
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan ruang pendingin
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
     
    Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Dalam hal besarnya tarif retribusi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah perlu disesuaikan karena biaya penyediaan layanan cukup besar dan/atau besarnya tarif tidak efektif lagi untuk mengendalikan permintaan layanan tersebut, Wali Kota dapat menyesuaikan tarif retribusi.
    Pasal 128
    Ayat (1)
    1.
    Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
     
    a.
    suatu saat tertentu, misalnya untuk BPHTB;
     
    b.
    akhir masa Pajak, misalnya untuk PBJT; atau
     
    c.
    suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PBB-P2.
    2.
    Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    3.
    Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Pemberian NPWPD kepada Wajib Pajak digunakan untuk seluruh kewajiban jenis Pajak.
    Ayat (4)
    Contoh:
    Orang pribadi "A" memiliki sebuah rumah (tanah dan bangunan), mengusahakan sebuah restoran, serta dan membuka usaha rekreasi wahana air (waterboom). Ketiga objek dimaksud berada di Kota Samarinda. Atas objek-objek dimaksud, orang pribadi "A" hanya memiliki 1 (satu) NPWPD, namun dapat memiliki beberapa NOPD atau nomor registrasi atau jenis penomoran lain yang dipersamakan sesuai dengan kebutuhan profiling dan pendataan perpajakan Daerah di Pemerintah Daerah:
    a.
    NOPD untuk tanah dan Bangunan rumah yang dimilikinya;
    b.
    NOPD untuk usaha restoran; dan
    c.
    NOPD untuk usaha waterboom.
    Ayat (5)
    Setiap Wajib Pajak orang pribadi hanya memiliki 1 (satu) NPWPD dan dihubungkan dengan Nomor Induk Kependudukan Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Daerah.
    Ayat (6)
    Setiap Wajib Pajak Badan hanya memiliki 1 (satu) NPWPD dan dihubungkan dengan nomor induk berusaha Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Daerah.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Dalam rangka pendataan, Wajib PBB-P2 akan diberikan SPOP dan LSPOP untuk diisi dan dikembalikan kepada Wali Kota melalui Kepala Badan Pendapatan Daerah.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan “jelas, benar, dan lengkap” adalah:
    -
    Jelas, berarti penulisan data dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan daerah maupun Wajib PBB-P2 itu sendiri.
    -
    Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan/atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom yang tertera pada SPOP.
    -
    Lengkap, berarti data yang dilaporkan harus didukung dengan dokumen-dokumen yang dimiliki.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "dilarang diborongkan" adalah bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan Penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data objek dan subjek Pajak.
    Ayat (2)
    Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Wali Kota atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
     
    Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Wali Kota melalui SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
     
    Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
    Pasal 138
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "SPPT" adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar bagi Wajib Pajak untuk membayar PBB-P2 terutang dan bukan merupakan dokumen bukti kepemilikan atas suatu objek PBBP-2.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
     
    Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi sarana penagihan.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
    Ayat (1)
    Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Wali Kota untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasuskasus tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.
     
    Contoh:
    1.
    Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2022. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun Wali Kota dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.
    2.
    Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2022. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Wali Kota dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administratif.
    3.
    Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, Wali Kota dapat menerbitkan SKPDKBT.
    4.
    Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Wali Kota ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, Wali Kota dapat menerbitkan SKPDN.
    Huruf a
    Angka 1
    Cukup jelas.
    Angka 2
    Cukup jelas.
    Angka 3
    Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
     
    Contoh:
    Dalam hal Wajib Pajak tidak melaporkan SPTPD, tidak menyelenggarakan pembukuan, atau tidak kooperatif dalam mengungkapkan data, keterangan, dan/atau informasi saat Pemeriksaan, maka Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menghitung dan menetapkan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data, keterangan, dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah, yang dapat diperoleh dari hasil penelitian, pendataan, konfirmasi pihak ketiga, uji petik lapangan, maupun cara lainnya untuk memperoleh data, keterangan, dan/atau informasi.
    Angka 4
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
    Ayat (3)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administratif ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan Pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang terutang.
     
    Dalam kasus ini, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB.
     
    Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "tanggal diterimanya SPPT" adalah tanggal diterimanya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Pada dasarnya surat paksa diterbitkan setelah surat teguran.
    Huruf b
    Dalam hal penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa diterbitkan oleh Pejabat baik sebelum maupun sesudah penerbitan surat teguran.
    Huruf c
    Dalam hal-hal tertentu, misalnya karena penanggung pajak mengalami kesulitan likuiditas, kepada penanggung pajak dasar permohonannya dapat diberikan persetujuan mengangsur atau menunda pembayaran pajak melalui keputusan Pejabat. Oleh karena itu, keputusan dimaksud mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian, apabila penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak, maka surat paksa dapat diterbitkan langsung tanpa surat teguran.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Ayat (1)
    Keberatan yang diajukan paling sedikit memuat dan menjelaskan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut bedasarkan perhitungan Wajib pajak.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud “keadaan di luar kekuasaannya“ meliputi:
    a.
    bencana alam;
    b.
    kebakaran;
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
    d.
    wabahpenyakit; dan/atau
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota, yaitu keadaan di luar kemampuan Wajib Pajak berdasarkan penilaian objektif Kepala Daerah yang menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat memenuhi batas waktu pengajuan keberatan, contohnya adalah Wajib Pajak berada di remote area atau adanya akuisisi Wajib Pajak oleh pihak lain yang menyebabkan Wajib Pajak terkendala mengajukan keberatan dan melengkapi dokumen pendukung pengajuan keberatan.
    Ayat (4)
    Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
     
    Contoh:
    Pada 2025, Wajib Pajak X melaporkan Pajak terutang sebesar Rp10.000.000,00. Kemudian Pemerintah Kota Samarinda melaksanakan Pemeriksaan atas Pajak terutang yang dilaporkan oleh Wajib Pajak X. Atas hasil Pemeriksaan tersebut, Pemerintah Kota Samarinda menerbitkan SKPDKB dengan jumlah Pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak X senilai Rp1.500.000.000,00. Dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak X menyetujui Pajak yang masih harus dibayar senilai Rp500.000.000,00. Wajib Pajak X dapat mengajukan keberatan apabila telah melunasi sebagian SKPDKB yang telah disetujui dalam pembahasan akhir Pemeriksaan tersebut senilai Rp500.000.000,00.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu objek pajak”, antara lain, lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan Wajib Pajak tertentu.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Yang dimaksud dengan STRD adalah Surat Tagihan Retribusi Daerah yang merupakan surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota" merupakan keadaan di luar kemampuan Wajib Pajak berdasarkan penilaian objektif Wali Kota yang menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat memenuhi batas waktu pengajuan keberatan, contohnya adalah Wajib Pajak berada di remote area atau adanya akuisisi Wajib Pajak oleh pihak lain yang menyebabkan Wajib Pajak terkendala mengajukan keberatan dan melengkapi dokumen pendukung pengajuan keberatan.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "Utang Pajak lainnya" merupakan Utang Pajak lain yang masih belum dibayar oleh Wajib pajak selain jenis Pajak yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
     
    Contoh:
    Wajib Pajak A mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran atas PKB tahun 2025 sebesar Rp10.000.000,00, namun Wajib Pajak A masih memiliki Utang Pajak atas BBNKB tahun 2025 sebesar Rp15.000.000,00. Atas kelebihan pembayaran PKB tahun 2025 tersebut akan diperhitungkan untuk melunasi Utang Pajak atas BBNKB sebesar Rp15.000.000,00 terlebih dahulu.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 158
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "Utang Retribusi lainnya" merupakan utang Retribusi lain yang masih belum dibayar oleh Wajib Retribusi selain jenis Retribusi yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
     
    Contoh: Wajib Retribusi A mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran atas Retribusi Pelayanan Pasar Tahun 2025 sebesar Rp10.000.000,00, namun Wajib Retribusi A masih memiliki Utang Retribusi atas PBG Tahun 2025 sebesar Rp15.000.000,00. Atas kelebihan pembayaran Retribusi Pelayanan Pasar tersebut akan diperhitungkan untuk melunasi Utang Retribusi atas PBG sebesar Rp15.000.000,00 terlebih dahulu.
    Pasal 159
    Cukup jelas.
    Pasal 160
    Cukup jelas.
    Pasal 161
    Cukup jelas.
    Pasal 162
    Cukup jelas.
    Pasal 163
    Cukup jelas.
    Pasal 164
    Cukup jelas.
    Pasal 165
    Cukup jelas.
    Pasal 166
    Cukup jelas.
    Pasal 167
    Cukup jelas.
    Pasal 168
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “instansi yang melaksanakan pemungutan” adalah dinas/badan/lembaga yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak dan/atau retribusi.
    Ayat (2)
    Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan alat kelengkapan DPRD yang membidangi masalah keuangan pada saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 169
    Cukup jelas.
    Pasal 170
    Cukup jelas.
    Pasal 171
    Cukup jelas.
    Pasal 172
    Cukup jelas.
    Pasal 173
    Cukup jelas.
    Pasal 174
    Cukup jelas.
    Pasal 175
    Cukup jelas.
    Pasal 176
    Cukup jelas.
    Pasal 177
    Cukup jelas.
    Pasal 178
    Cukup jelas.
    Pasal 180
    Cukup jelas.
    Pasal 181
    Cukup jelas.
    Pasal 182
    Cukup jelas.
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 25

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024