Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN
    NOMOR 8 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA PEKALONGAN,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan Pemerintahan Daerah;
    b.
    bahwa kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah;
    c.
    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu diatur dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi landasan hukum dalam pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 45) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Kota-Kota Besar dan Kota-Kota Ketjil di Djawa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PEKALONGAN
    dan
    WALI KOTA PEKALONGAN
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Wali Kota ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kota Pekalongan.
    2.
    Wali Kota adalah Wali Kota Kota Pekalongan.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    4.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
    5.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    6.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
    7.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    8.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    9.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    10.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    11.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    12.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    13.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    14.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    15.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    16.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    17.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    18.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    19.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    20.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    21.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    22.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit Tenaga Listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    23.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    24.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    25.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknis berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    26.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    27.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    28.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    29.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    30.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    31.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    32.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    33.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    34.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    35.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    36.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    37.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
    38.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
    39.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
    40.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
    41.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
    42.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    43.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    44.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    45.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    46.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    47.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    48.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    49.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    50.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
    51.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    52.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
    53.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    54.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    55.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    56.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
    57.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
    58.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    59.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    60.
    Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
    61.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    62.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    63.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    64.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    65.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    66.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    67.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    68.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    69.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    70.
    Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    71.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    72.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    73.
    Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    74.
    Rencana Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
    75.
    Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah Kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan Daerah.
    76.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    (1)
    Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak dan Retribusi bagi Pemerintah Daerah, serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan Pajak dan Retribusi bagi masyarakat.
    (2)
    Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi: Ketentuan Umum;
    a.
    Pajak;
    b.
    Retribusi;
    c.
    Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    d.
    Sinergitas Pengelolaan Pajak dan Retribusi;
    e.
    Kerja Sama;
    f.
    Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi;
    g.
    Penetapan Target Penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD;
    h.
    Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi;
    i.
    Pembinaan dan Pengawasan;
    j.
    Ketentuan Penyidikan;
    k.
    Ketentuan Pidana;
    l.
    Ketentuan Peralihan;
    m.
    Ketentuan Penutup.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    g.
    Opsen PKB; dan
     
    h.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah berupa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
    c.
    Pajak Sarang Burung Walet;
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah SKPD dan SPPT.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah SPTPD.
    (5)
    Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD atau SPTPD.
    (7)
    Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 6

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 7

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 merupakan orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 merupakan orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    Dasar Pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (6)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek PBB-P2; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
    (8)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (9)
    Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Wali Kota.
    (10)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
    (2)
    Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 11

    (1)
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Tahun Pajak dan Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 12

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 13

    (1)
    Objek BPHTB merupakan Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Dikecualikan dari objek BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor pemerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakukan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 14

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 15

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB yaitu nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 18

    Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 19

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikat jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; dan
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli yaitu pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Pejabat pembuat akta tanah/notaris wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    PBJT
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 23

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau catering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha yang nilai omzet penjualannya tidak melebih Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) per Bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah atau Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik;
     
    d.
    jasa tempat parkir yang hanya digunakan untuk tempat ibadah dengan tidak dipungut bayaran;
     
    e.
    jasa tempat parkir dalam pemukiman penduduk yang disediakan bagi warga kompleks pemukiman bersangkutan dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    c.
    hiburan yang diselenggarakan dalam acara pernikahan, upacara adat, dan/atau kegiatan keagamaan dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 29

    (1)
    Subjek Pajak PBJT merupakan konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 30

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT yaitu jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 33

    Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 34

    Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 35

    (1)
    Objek Pajak Reklame yaitu semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 36

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 37

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Reklame yaitu nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    jenis;
     
    b.
    bahan yang digunakan;
     
    c.
    lokasi penempatan;
     
    d.
    waktu penayangan;
     
    e.
    jangka waktu penyelenggaraan;
     
    f.
    jumlah; dan
     
    g.
    ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 40

    (1)
    Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf e, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 41

    Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    PAT
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 42

    (1)
    Objek PAT yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat; dan
     
    e.
    keperluan keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 43

    (1)
    Subjek PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 44

    (1)
    Dasar pengenaan PAT yaitu nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 47

    Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 48

    Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Sarang Burung Walet
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 49

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 50

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 51

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet yaitu nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 54

    Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 55

    Saat terutangnya Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen PKB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 56

    Objek Opsen PKB adalah pokok PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 57

    (1)
    Subjek Pajak Opsen PKB merupakan Subjek PKB.
    (2)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (3)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 58

    Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 61

    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 62

    Saat terutangnya Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Opsen BBNKB
     
    Paragraf 1
    Objek Pajak
     

    Pasal 63

    Objek Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
     

    Pasal 64

    (1)
    Subjek Pajak Opsen BBNKB merupakan Subjek Pajak BBNKB.
    (2)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (3)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
     

    Pasal 65

    Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 68

    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Saat Terutang Pajak
     

    Pasal 69

    Saat terutangnya Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 70

    Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
    a.
    Opsen;
    b.
    PBJT atas Tenaga Listrik; dan
    c.
    PAT,
    dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan Pajak Rokok bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
    (5)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, antara lain:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
    (6)
    Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut.
    (7)
    Dalam hal Pemerintah Daerah tidak melaksanakan kewajiban dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Kerahasiaan Data Wajib Pajak
     

    Pasal 72

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 73

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 74

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas Pelayanan Jasa Umum.
    (3)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
    (4)
    Wajib Retribusi yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Retribusi.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 1
    Jenis Pelayanan Retribusi
     

    Pasal 75

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.
    (7)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi pengendalian lalu lintas.
    (8)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 79

    (1)
    Objek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf a adalah pelayanan kesehatan kepada orang pribadi atau Badan di:
     
    a.
    Puskesmas;
     
    b.
    Puskesmas pembantu
     
    c.
    Puskesmas keliling;
     
    d.
    Laboratorium Kesehatan;
     
    e.
    Balai Pelayanan dan Saintifikasi Jamu;
     
    f.
    Rumah Sakit Umum Daerah; dan
     
    g.
    tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran/administrasi.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pelayanan kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Ketentuan mengenai tarif peserta jaminan kesehatan nasional diatur sesuai peraturan perundang-undangan mengenai standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    Besaran Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kesehatan yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 83

    (1)
    Objek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan kepada orang pribadi atau Badan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pengolahan atau pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pengolahan/pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengangkutan dan/atau pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, tempat usaha dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    Besaran Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan kebersihan yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 87

    Objek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf c adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum kepada orang pribadi atau Badan yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian pelayanan parkir di tepi jalan umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    Besaran Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan parkir di tepi jalan umum yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pelayanan Pasar
     

    Pasal 91

    (1)
    Objek Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf d adalah penyediaan fasilitas pasar rakyat, berupa pelataran, los, kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan fasilitas pasar yang dikelola oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu, luas, jenis dan klasifikasi pemakaian fasilitas pasar yang digunakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    Besaran Retribusi Jasa Umum berupa pelayanan pasar yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 95

    (1)
    Subyek Retribusi Jasa Usaha merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan Orang Pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
    (3)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
    (4)
    Wajib Retribusi yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Retribusi.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 1
    Jenis Pelayanan Retribusi
     

    Pasal 96

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penambahan detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf h, bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif diatur dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi.
    (6)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (7)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
    (8)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan penambahan detail rincian objek Retribusi atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD yang diatur dan dilaksanakan dengan Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (9)
    Peraturan Wali Kota yang mengatur penambahan detail rincian pelayanan pada BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.
    (10)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b yang tidak dipungut retribusi oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    pelayanan jasa kepelabuhanan; dan
     
    b.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air.
    (11)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Besaran retribusi jasa usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 100

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a adalah penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, jenis bangunan, kelas dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
     

    Pasal 104

    (1)
    Objek retribusi jasa usaha atas pelayanan penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan, termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana yang dimaksud pasal 96 ayat (1) huruf b adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan, kepada orang pribadi atau Badan.
    (2)
    Termasuk objek retribusi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang di sewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan diukur berdasarkan nilai lelang atas produksi yang dilelang, luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan fasilitas tempat pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 108

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan kepada orang pribadi atau Badan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan klasifikasi tempat khusus parkir, jenis Kendaraan Bermotor, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
     

    Pasal 112

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa kepada orang pribadi atau Badan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 116

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, kepada orang pribadi atau Badan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     

    Pasal 120

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kepada orang pribadi atau Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 124

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf g merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    Tingkat penggunaan jasa atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah diukur berdasarkan jenis, volume, ukuran, dan/atau kualitas hasil produksi usaha Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 128

    Objek Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf h merupakan pemanfaatan aset Daerah oleh orang pribadi atau Badan yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan, termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    Tingkat penggunaan jasa atas pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan kekayaan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset Daerah merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    Besaran Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset Daerah yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 132

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
    (3)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
    (4)
    Wajib Retribusi yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Retribusi.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 1
    Jenis Pelayanan Retribusi
     

    Pasal 133

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf c yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf c yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi pengelolaan pertambangan rakyat.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Untuk pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) huruf a, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
    (4)
    Untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 133 ayat (1) huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian pelayanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 136

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Persetujuan Bangunan Gedung
     

    Pasal 137

    (1)
    Pelayanan Persetujuan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    penerbitan persetujuan bangunan gedung; dan
     
    b.
    penerbitan sertifikat laik fungsi,
     
    oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan:
     
    a.
    konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan persetujuan bangunan gedung;
     
    c.
    inspeksi bangunan gedung;
     
    d.
    penerbitan sertifikat laik fungsi dan surat bukti kepemilikan bangunan gedung; dan
     
    e.
    pencetakan plakat sertifikat laik fungsi.
    (3)
    Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki persetujuan bangunan gedung dan/atau sertifikat laik fungsi;
     
    c.
    persetujuan bangunan gedung perubahan untuk:
     
     
    1)
    perubahan fungsi bangunan gedung;
     
     
    2)
    perubahan lapis bangunan gedung;
     
     
    3)
    perubahan luas bangunan gedung;
     
     
    4)
    perubahan tampak bangunan gedung;
     
     
    5)
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6)
    perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7)
    perlindungan dan/atau pengembangan bangunan gedung cagar budaya; atau
     
     
    8)
    perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    Persetujuan bangunan gedung perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan bangunan milik pemerintah, Pemerintah Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 138

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
    (3)
    Harga satuan Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
     
    a.
    indeks lokalitas dan standar harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung; atau
     
    b.
    harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung untuk prasarana bangunan gedung.
    (4)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
     
    a.
    bangunan gedung; dan
     
    b.
    prasarana bangunan gedung.
    (5)
    Formula bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    luas total lantai;
     
    b.
    indeks terintegrasi; dan
     
    c.
    indeks bangunan gedung terbangun.
    (6)
    Formula prasarana bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    volume;
     
    b.
    indeks prasarana bangunan gedung; dan
     
    c.
    indeks bangunan gedung terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan layanan konsultasi untuk:
     
    a.
    bangunan gedung
     
     
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung untuk bangunan gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) untuk gedung sederhana dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
     
     
    LLt x (Ilo x SHST) x It x Ibg
     
    b.
    prasarana bangunan gedung
     
     
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung untuk prasarana bangunan gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan Retribusi Prasarana Bangunan Gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
     
     
    V x I x Ibg x HSpbg
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    (2)
    Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
     
    If x Σ(bp x Ip) x Fm
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini
    (4)
    Besarnya Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
    (5)
    Indeks lokalitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing
     

    Pasal 140

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan bagi tenaga kerja asing yang bekerja di wilayah Daerah sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing yang disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing dan sesuai ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi TKA yang bekerja pada instansi pemerintah pusat/pemerintah provinsi/pemerintah daerah/pemerintah daerah lain, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 141

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu berupa tenaga kerja asing adalah pemberi kerja tenaga kerja asing yang memperoleh pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing, dan kantor berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia;
     
    b.
    perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia;
     
    c.
    badan hukum dalam bentuk perseroan terbatas atau Yayasan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha asing yang terdaftar di instansi yang berwenang;
     
    d.
    usaha jasa impresariat; dan
     
    e.
    badan usaha sepanjang diperbolehkan peraturan perundang-undangan untuk menggunakan tenaga kerja asing.
    (3)
    Subjek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Retribusi.
    (4)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
    (5)
    Wajib Retribusi yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Retribusi.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 142

    Tingkat penggunaan jasa penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan jumlah pengesahan dan jangka waktu rencana penggunaan tenaga kerja asing Perpanjangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    (1)
    Besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing untuk setiap orang per jabatan per bulan sebesar US$ 100.00 (seratus dolar Amerika Serikat) sesuai dengan jangka waktu pengesahan RPTKA Perpanjangan dan dibayarkan di muka.
    (2)
    Dalam hal pemberi kerja tenaga kerja asing yang mempekerjakan tenaga kerja asing kurang dari 1 (satu) bulan dikenakan Retribusi Perizinan Tertentu berupa pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebesar US$ 100 (seratus dolar Amerika Serikat) untuk setiap orang per jabatan per bulan.
    (3)
    Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan di muka dengan mata uang Rupiah berdasarkan nilai tukar yang berlaku pada saat penerbitan SKRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dengan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Peninjauan Kembali
     

    Pasal 145

    (1)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, Pasal 85, Pasal 89, Pasal 93, Pasal 102, Pasal 106, Pasal 110, Pasal 114, Pasal 118, Pasal 122, Pasal 126, Pasal 130, Pasal 139 dan Pasal 143 dapat ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian tanpa melakukan penambahan objek Retribusi kecuali untuk BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Peninjauan tarif untuk:
     
    a.
    Retribusi Perizinan Tertentu berupa persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap besaran harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung (Hspbg) dan Indeks Lokalitas (Ilo);
     
    b.
    Retribusi Perizinan Tertentu berupa penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Ketenagakerjaan.
    (4)
    Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 146

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 147

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 148

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Walikota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pendaftaran dan Pendataan Pajak
     

    Pasal 149

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
     
    a.
    surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e; dan
     
    b.
    SPOP untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a.
    (2)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
    (3)
    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
    (4)
    Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
    (5)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
    (6)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
    (7)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
    (8)
    Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 150

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
    (2)
    Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah untuk PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 151

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
    (2)
    Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
    (3)
    Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
    (4)
    Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
     
    a.
    tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
     
    b.
    tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 152

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 sampai dengan Pasal 151 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penetapan Besaran Pajak Terutang
     

    Pasal 153

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (2)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
    (3)
    Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
    (4)
    Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
    (5)
    Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif, kecuali PKB.
    (6)
    Penetapan PKB dan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (7)
    Untuk PKB dan Opsen PKB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
     
    a.
    SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; dan/atau
     
    b.
    hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pembayaran dan Penyetoran
     

    Pasal 155

    (1)
    Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
    (2)
    Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
    (3)
    Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (4)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
    (5)
    Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) paling lama:
     
    a.
    1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1); dan
     
    b.
    6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1).
    (6)
    Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b dan huruf c paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
    (7)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
    (8)
    Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dan ayat (2) berdasarkan nilai perolehan objek Pajak.
    (9)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (10)
    Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pembukuan
     

    Pasal 156

    (1)
    Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
     
    b.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
    (2)
    Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
    (3)
    Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
    (4)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
    (5)
    Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pelaporan
     
    Paragraf 1
    Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD
     

    Pasal 157

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
    (3)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak.
    (4)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wali Kota setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
    (5)
    Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (6)
    SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 158

    (1)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
    (3)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wali Kota menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
    (4)
    Ketentuan masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1), penentuan masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 159

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp50.000,- (Lima puluh ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
    (3)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 160

    (1)
    Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
    (2)
    Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
    (3)
    Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
     
    (4)
    Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penelitian SPTPD
     

    Pasal 161

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan Penelitian atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1).
    (2)
    Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
     
    b.
    kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
     
    c.
    kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.
    (3)
    Apabila berdasarkan hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD.
    (4)
    STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Dalam hal hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 162

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
     
    a.
    Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
     
    b.
    terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
     
    c.
    Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
    (3)
    Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit untuk:
     
    a.
    pemberian NPWPD secara jabatan;
     
    b.
    penghapusan NPWPD;
     
    c.
    penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
     
    d.
    pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
     
    e.
    pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
    (4)
    Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 163

    (1)
    Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162, kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang diperiksa meliputi:
     
    a.
    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak dan objek Retribusi yang terutang;
     
    b.
    memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
     
    c.
    memberikan keterangan yang diperlukan.
    (2)
    Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162, hak Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang diperiksa paling sedikit:
     
    a.
    meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
     
    b.
    meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
     
    c.
    menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
    (3)
    Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak dan Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
     
    Paragraf 1
    Surat Ketetapan Pajak
     

    Pasal 164

    (1)
    Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
    (2)
    SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
     
    a.
    hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162; atau
     
    b.
    penghitungan secara jabatan karena:
     
     
    1.
    Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis namun tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
     
     
    2.
    Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1) atau Pasal 163 ayat (1)
    (3)
    SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan Pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT.
    (4)
    SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 165

    Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 terdapat kelebihan pembayaran Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan SKPDLB,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 166

    (1)
    Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar.
    (3)
    Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT.
    (4)
    SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Surat Tagihan Pajak
     

    Pasal 167

    (1)
    Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dalam hal:
     
    a.
    Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
     
    b.
    Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
    c.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (3)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dalam hal:
     
    a.
    Pajak terutang tidak atau kurang dibayar;
     
    b.
    hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
     
    c.
    SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
    d.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (4)
    Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Penagihan Pajak
     

    Pasal 168

    (1)
    Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
    (2)
    Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan.
    (3)
    Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 169

    (1)
    Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (3) Wali Kota berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
    (2)
    Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
     
    a.
    mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
     
    b.
    menerbitkan:
     
     
    1.
    Surat Teguran;
     
     
    2.
    surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
     
     
    3.
    Surat Paksa;
     
     
    4.
    surat perintah melaksanakan penyitaan;
     
     
    5.
    surat perintah penyanderaan;
     
     
    6.
    surat pencabutan sita;
     
     
    7.
    pengumuman lelang;
     
     
    8.
    surat penentuan harga limit;
     
     
    9.
    pembatalan lelang; dan
     
     
    10.
    surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
    (3)
    Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 170

    (1)
    Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) diawali dengan penerbitan Surat Teguran.
    (2)
    Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak.
    (3)
    Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa
    (4)
    Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran.
    (5)
    Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran.
    (6)
    Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
    (7)
    Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
    (8)
    Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita.
    (9)
    Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
    (10)
    Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dilakukan penyitaan.
    (11)
    Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 171

    Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus apabila:
    a.
    Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
    b.
    Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
    c.
    terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
    d.
    badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
    e.
    terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 172

    (1)
    Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan iktikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan.
    (2)
    Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak.
    (3)
    Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 173

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penagihan diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan mengenai pedoman Penagihan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
     
    Paragraf 1
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak
     

    Pasal 174

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 34, Pasal 41, Pasal 48, Pasal 55, Pasal 62, Pasal 69, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota berbeda dengan saat penetapan SKPD dan SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dan Pasal 154 ayat (1), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD dan SPPT.
    (3)
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (4)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
    (5)
    Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (6)
    Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (7)
    Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi
     

    Pasal 175

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran; atau
     
    b.
    ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Penghapusan Piutang Pajak Dan Retribusi
     
    Paragraf 1
    Penghapusan Piutang Pajak
     

    Pasal 176

    (1)
    Wali Kota melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3).
    (3)
    Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (4)
    Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
    (5)
    Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1); dan
     
    b.
    hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah.
    (6)
    Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penghapusan Piutang Retribusi
     

    Pasal 177

    (1)
    Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Wali Kota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga Belas
    Keberatan dan Banding
     
    Paragraf 1
    Keberatan Pajak
     

    Pasal 178

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
    (2)
    Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau Pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (5)
    Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
    (6)
    Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
    (7)
    Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
    (8)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
    (9)
    Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 179

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).
    (2)
    Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
    (3)
    Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (7).
    (4)
    Keputusan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
     
    a.
    menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
     
    b.
    menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
     
    c.
    menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
     
    d.
    menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (5)
    Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 180

    (1)
    Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
    (3)
    Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Banding
     

    Pasal 181

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
    (2)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
    (4)
    Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 182

    (1)
    Dalam hal permohonan banding dikabulkan Sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
    (3)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) tidak dikenakan.
    (4)
    Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat Belas
    Gugatan Pajak
     

    Pasal 183

    Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
    a.
    pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
    b.
    keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
    c.
    keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 178 ayat (1) dan Pasal 179; dan
    d.
    penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
    hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 184

    Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima Belas
    Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau Sanksinya
     
    Paragraf 1
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku usaha
     

    Pasal 185

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    Faktor lainnya yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 186

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 187

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1).
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pemberian Keringanan, Pengurangan dan Pembebasan
     

    Pasal 188

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 189

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau c. menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Walikota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam Belas
    Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
     

    Pasal 190

    (1)
    Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan STPD, SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
    (3)
    Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam rangka penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
    (5)
    Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kot a atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
    (6)
    Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
     
    a.
    mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
     
    b.
    membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh Belas
    Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
     

    Pasal 191

    (1)
    Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
    (2)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (3)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (4)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (5)
    Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya.
    (6)
    Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
    (7)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan Belas
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 192

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (3)
    Ketentuan mengenai pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 193

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
    (3)
    Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
     
    a.
    pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penanganan piutang pajak dan retribusi;
     
    c.
    melakukan kajian dan penelitian dalam rangka pendataan potensi pajak dan retribusi;
     
    d.
    optimalisasi pelaksanaan opsen pajak;
     
    e.
    pengembangan data potensi Pajak dan Retribusi;
     
    f.
    penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
     
    g.
    mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
     
    h.
    pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan pajak dan retribusi;
     
    i.
    pelaksanaan kerja sama teknis;
     
    j.
    pertukaran data dan informasi;
     
    k.
    hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 194

    (1)
    Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
     
    a.
    PKB dan Opsen PKB;
     
    b.
    BBNKB dan Opsen BBNKB; dan
     
    c.
    Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERJA SAMA
     
    Bagian Kesatu
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
     

    Pasal 195

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah lain; dan/atau
     
    c.
    pihak ketiga.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program/kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur/sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisien dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
    (4)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, sampai dengan huruf g.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 196

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama;
     
    b.
    maksud dan tujuan;
     
    c.
    ruang lingkup;
     
    d.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    e.
    jangka waktu perjanjian;
     
    f.
    sumber pembiayaan;
     
    g.
    penyelesaian perselisihan;
     
    h.
    sanksi;
     
    i.
    korespondensi; dan
     
    j.
    perubahan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 197

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Kerja Sama Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 198

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas pemungutan Retribusi.
    (4)
    Mekanisme dan tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM APBD
     

    Pasal 199

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    struktur ekonomi Daerah;
     
    b.
    proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah;
     
    c.
    ketimpangan pendapatan;
     
    d.
    indeks pembangunan manusia;
     
    e.
    kemandirian fiskal;
     
    f.
    tingkat pengangguran;
     
    g.
    tingkat kemiskinan; dan
     
    h.
    daya saing Daerah.
    (3)
    Kebijakan makro ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara.
    (4)
    Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 200

    (1)
    Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (4) menjadi basis data Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya.
    (3)
    Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak dan Retribusi Terintegrasi.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 201

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
     

    Pasal 202

    (1)
    Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Wali kota.
    (2)
    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
     
    a.
    koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    penyusunan kebijakan Pajak dan Retribusi; dan
     
    c.
    perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
    (3)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 203

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 204

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 205

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 206

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang bayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 207

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 208

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 209

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 210

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2010 Nomor 3) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2018 Nomor 4);
    b.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2010 Nomor 4);
    c.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 3);
    d.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2013 Nomor 2);
    e.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2021 Nomor 2);
    f.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 8) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2013 Nomor 3);
    g.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 9);
    h.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 10);
    i.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2018 Nomor 12);
    j.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 12);
    k.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 13) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2021 Nomor 6);
    l.
    Pasal 1 angka 33 sampai dengan angka 37 dan angka 39, Pasal 49 sampai dengan Pasal 60, dan Pasal 65 sampai dengan Pasal 74 Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 14 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Sipil (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 14);
    m.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 23) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2017 Nomor 1);
    n.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 22 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 24);
    o.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 23 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 25) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 23 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2020 Nomor 8);
    p.
    Pasal 1 angka 23 sampai dengan angka 28, dan Pasal 7 sampai dengan Pasal 27 Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 24 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 26) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 24 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2021 Nomor 1);
    q.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 25 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 27) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 25 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2016 Nomor 11);
    r.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 26 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 26) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 26 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2014 Nomor 14);
    s.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 27 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 29);
    t.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 28 Tahun 2011 tentang Retribusi Rumah Pemotongan Hewan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 30);
    u.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 33) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2019 Nomor 11);
    v.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 32 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 34) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 32 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2018 Nomor 5);
    w.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 33 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 35);
    x.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 34 Tahun 2011 tentang Retribusi Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 36);
    y.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 38 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 40) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 38 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2017 Nomor 13);
    z.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2012 Nomor 14);
    aa.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 10 Tahun 2016 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2016 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 10 Tahun 2016 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2018 Nomor 18);
    bb.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pekalongan Nomor 4);
    cc.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2022 Nomor 8), 
    dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 211

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2010 Nomor 3) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2018 Nomor 4);
    b.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2010 Nomor 4);
    c.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 3);
    d.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2013 Nomor 2);
    e.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2021 Nomor 2);
    f.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 8) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2013 Nomor 3);
    g.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 9);
    h.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 10);
    i.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2018 Nomor 12);
    j.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 12);
    k.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 13) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2021 Nomor 6);
    l.
    Pasal 1 angka 33 sampai dengan angka 37 dan angka 39, Pasal 49 sampai dengan Pasal 60, dan Pasal 65 sampai dengan Pasal 74 Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 14 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Sipil (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 14);
    m.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 23) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2017 Nomor 1);
    n.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 22 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 24);
    o.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 23 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 25) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 23 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2020 Nomor 8);
    p.
    Pasal 1 angka 23 sampai dengan angka 28, dan Pasal 7 sampai dengan Pasal 27 Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 24 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 26) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 24 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2021 Nomor 1);
    q.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 25 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 27) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 25 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2016 Nomor 11);
    r.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 26 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 26) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 26 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2014 Nomor 14);
    s.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 27 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 29);
    t.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 28 Tahun 2011 tentang Retribusi Rumah Pemotongan Hewan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 30);
    u.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 33) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2019 Nomor 11);
    v.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 32 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 34) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 32 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2018 Nomor 5);
    w.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 33 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 35);
    x.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 34 Tahun 2011 tentang Retribusi Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 36);
    y.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 36 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 38);
    z.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 37 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 39);
    aa.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 38 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2011 Nomor 40) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 38 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2017 Nomor 13);
    bb.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2012 Nomor 14);
    cc.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2015 Nomor 11);
    dd.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 10 Tahun 2016 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2016 Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 10 Tahun 2016 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2018 Nomor 18);
    ee.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pekalongan Nomor 4);
    ff.
    Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Pekalongan Tahun 2022 Nomor 8),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 212

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 213

    Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 214

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 215

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Pekalongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Kota Pekalongan 
    pada tanggal 29 November 2023
    WALI KOTA PEKALONGAN,
    ttd.
    ACHMAD AFZAN ARSLAN DJUNAID
     
    Diundangkan di Kota Pekalongan 
    pada tanggal 29 November 2023
    SEKRETARIS DAERAH 
    KOTA PEKALONGAN,
    ttd.
    NUR PRIYANTOMO
     
    LEMBARAN DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2023 NOMOR 8
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN
    NOMOR 8 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pajak dan Retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang penting guna meningkatkan kemandirian Daerah dalam rangka percepatan perwujudan kesejahteraan dengan memperhatikan potensi Daerah dan kemampuan masyarakat. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Daerah Kota Pekalongan dalam hal ini telah memiliki regulasi mengenai Pajak dan Retribusi yang tersebar dalam berbagai Peraturan Daerah. Sampai dengan tahun 2023, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah Kota Pekalongan dalam menyusun Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Dalam prakteknya, pengaturan Pajak dan Retribusi masih terdapat beberapa permasalahan dan tantangan diantaranya: basis Pajak masih terbatas; beberapa pengaturan Retribusi diantaranya merupakan pungutan atas layanan publik yang pada dasarnya wajib disediakan Pemerintah Daerah kepada masyarakat, sehingga apabila tetap dipungut dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) bagi masyarakat; serta terdapat beberapa norma yang dalam pelaksanaanya mengalami hambatan karena beririsan dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga menimbulkan multi interpretasi di lapangan.
     
    Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mencabut beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kota Pekalongan perlu disesuaikan. Penyesuaian pengaturan Pajak dan Retribusi diantaranya adalah restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, serta penyederhanaan jenis Retribusi.
     
    Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk: (i) menyelaraskan objek pajak antara pajak pusat dan Pajak Daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
     
    Pemerintah Daerah juga diberikan kewenangan pemungutan Opsen. Opsen atas pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut dibandingkan dengan skema bagi hasil. Opsen pajak juga mendorong peran daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik.
     
    Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah.
     
    Peraturan Daerah ini mengatur antara lain: jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, tarif Pajak dan Retribusi, pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi, penetapan target penerimaan Pajak dan Retribusi, serta insentif pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL 
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek Pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.
     
    Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/Badan yang bergerak dalam bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis” adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Ayat (1)
    Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
    a.
    Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak dengan cara membandingkannya dengan objek Pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
    b.
    Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
    c.
    Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek Pajak tersebut.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Huruf a
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    Huruf b
    Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek PBB-P2 misalnya objek PBB-P2 yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2 nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek PBB-P2 yang digunakan untuk keperluan komersial.
    Huruf c
    Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah misalnya:
    1.
    NJOP < RpX juta, maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60% (enam puluh persen);
    2.
    NJOP RpX juta sampai dengan RpY miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80% (delapan puluh persen);
    3.
    NJOP > RpY miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
    Ayat (7)
    Cukup Jelas.
    Ayat (8)
    Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Dalam hal Daerah mengalami perkembangan pembangunan yang mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    NJOP sebelum diterapkan tarif Pajak, dikurangi terlebih dahulu dengan NJOP tidak kena pajak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
     
    Contoh:
    Wajib Pajak A mempunyai objek Pajak berupa:
    a.
    Tanah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp1.500.000,00/m2.
    b.
    Bangunan seluas 150 m2 dengan nilai jual Rp2.000.000,00/m2. 
     
    Besarnya pokok Pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
    1. Dasar Pengenaan PBB-P2: 80%
      a. NJOP:
        1) NJOP Bumi
          200 x Rp1.500.000,00 = Rp 300.000.000,00
        2) NJOP Bangunan
          150 x Rp2.000.000,00 = Rp 300.000.000,00 +
        Total NJOP = Rp 600.000.000,00
      b. NJOP tidak kena Pajak = Rp 10.000.000,00 -
      c. NJOP kena Pajak = Rp 590.000.000,00
      d. NJOP PBB-P2:
        80% x Rp590.000.000,00 = Rp 472.000.000,00
    2. Tarif PBB-P2: 0,3%
    3. Pokok PBB-P2 terutang:
      0,3% x Rp472.000.000,00 = Rp 1.416.000,00
    Pasal 11
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Contoh:
    Contoh pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas bumi dan/atau bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y. Wilayah pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
     
    Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel” adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan “permainan ketangkasan” adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan “olahraga permainan” adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel.
     
    Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 30
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Contoh Penghitungan:
    1. Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300 juta sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
      a) BBNKB terutang = 8% x Rp300 juta = Rp24 juta
      b) Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24 juta = 16 juta
      Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp40 juta, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X.
    2. Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
      a) PKB terutang = 1% x Rp300 juta = Rp3 juta
      b) Opsen PKB terutang = 66% x Rp3 juta = Rp2 juta
      Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp5 juta, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
     
    Contoh tempat khusus parkir diluar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah antara lain tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki/dikelola oleh organisasi Perangkat Daerah yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik Daerah” adalah pendayagunaan barang milik Daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi barang milik Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan “pemeliharaan” adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.
     
    Yang dimaksud dengan “perawatan” adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agara bangunan gedung tetap laik fungsi.
     
    Pekerjaan perawatan untuk tingkat kerusakan dibawah 65% (enam puluh lima persen) tidak memerlukan persetujuan bangunan gedung, dengan menunjukan bukti persetujuan bangunan gedung.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas
    Ayat (3)
    Huruf a
    Untuk peninjauan tarif Retribusi persetujuan bangunan gedung hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dan indeks lokalitas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Dalam hal besarnya tarif Retribusi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah perlu disesuaikan karena biaya penyediaan layanan cukup besar dan/atau besarnya tarif tidak efektif lagi untuk mengendalikan permintaan layanan tersebut, Wali Kota dapat menyesuaikan tarif Retribusi.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Cukup jelas.
    Pasal 158
    Cukup jelas.
    Pasal 159
    Cukup jelas.
    Pasal 160
    Cukup jelas.
    Pasal 161
    Cukup jelas.
    Pasal 162
    Cukup jelas.
    Pasal 163
    Cukup jelas.
    Pasal 164
    Cukup jelas.
    Pasal 165
    Cukup jelas.
    Pasal 166
    Cukup jelas.
    Pasal 167
    Cukup jelas.
    Pasal 168
    Cukup jelas.
    Pasal 169
    Cukup jelas.
    Pasal 170
    Cukup jelas.
    Pasal 171
    Cukup jelas.
    Pasal 172
    Cukup jelas.
    Pasal 173
    Cukup jelas.
    Pasal 174
    Cukup jelas.
    Pasal 175
    Cukup jelas.
    Pasal 176
    Cukup jelas.
    Pasal 177
    Cukup jelas.
    Pasal 178
    Cukup jelas.
    Pasal 179
    Cukup jelas.
    Pasal 180
    Cukup jelas.
    Pasal 181
    Cukup jelas.
    Pasal 182
    Cukup jelas.
    Pasal 183
    Cukup jelas.
    Pasal 184
    Cukup jelas.
    Pasal 185
    Cukup jelas.
    Pasal 186
    Cukup jelas.
    Pasal 187
    Cukup jelas.
    Pasal 188
    Cukup jelas.
    Pasal 189
    Cukup jelas.
    Pasal 190
    Cukup jelas.
    Pasal 191
    Cukup jelas.
    Pasal 192
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
     
    Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 193
    Cukup jelas.
    Pasal 194
    Cukup jelas.
    Pasal 195
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” merupakan pihak-pihak di luar pemerintah dan pemerintah daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan Pajak.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “pengawasan Wajib Pajak bersama” merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini pemerintah dan/atau pemerintah daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
     
    Contoh: Fiscus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Contoh penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti pelaku perdagangan melalui sistem elektronik.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 196
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Contoh kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama misalnya kerja sama antara pemerintah (kementerian) dan Pemerintah Daerah dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak pusat dan Pajak Daerah.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 197
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Peredaran usaha adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan.
    Pasal 198
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “pertimbangan efisiensi dan efektivitas pemungutan Retribusi” adalah pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
    Ayat (4)
    Peraturan Walikota yang dimaksud dalam ayat ini disusun oleh Perangkat Daerah Pengelola Retribusi sesuai dengan jenis dan karakteristik Retribusi yang dapat dikerjasamakan.
    Pasal 199
    Cukup jelas.
    Pasal 200
    Cukup jelas.
    Pasal 201
    Cukup jelas.
    Pasal 202
    Cukup jelas.
    Pasal 203
    Cukup jelas.
    Pasal 204
    Cukup jelas.
    Pasal 205
    Cukup jelas.
    Pasal 206
    Cukup jelas.
    Pasal 207
    Cukup jelas.
    Pasal 208
    Cukup jelas.
    Pasal 209
    Cukup jelas.
    Pasal 210
    Cukup jelas.
    Pasal 211
    Cukup jelas.
    Pasal 212
    Cukup jelas.
    Pasal 213
    Cukup jelas.
    Pasal 214
    Cukup jelas.
    Pasal 215
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 21

    Perda Nomor: 8 TAHUN 2023