Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA PARIAMAN,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Pariaman di Provinsi Sumatera Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4187);
    3.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    4.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PARIAMAN
    dan
    WALI KOTA PARIAMAN
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    2.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    3.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
    4.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    5.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    6.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    7.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    8.
    Bumi adalah permukaan Bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    9.
    Bangunan adalah adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    10.
    Nilai Jual Objek pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenisnya, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    11.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    12.
    Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh pribadi atau Badan.
    13.
    Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    14.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    15.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    16.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    17.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    18.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    19.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    20.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar Badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    21.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    22.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    23.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    24.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    25.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    26.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
    27.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    28.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    29.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    30.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    31.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    32.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    33.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    34.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    35.
    Pajak Yang Terutang adalah Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    36.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    37.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    38.
    Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
    39.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD atau surat untuk melakukan tagihan Pajak atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
    40.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    41.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    42.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak untuk melunasi utang Pajaknya.
    43.
    Pembayaran Pajak adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak sesuai dengan SPTPD, surat ketetapan Pajak Daerah, surat ketetapan pajak daerah kurang bayar, surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan, dan STPD ke kas Daerah atau tempat lain yang ditunjuk sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
    44.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah.
    45.
    Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Wali Kota paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang Wali Kota paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak Yang Terutang.
    46.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    47.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    48.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    49.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    50.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    51.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    52.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    53.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    54.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    55.
    Daerah adalah Kota Pariaman.
    56.
    Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
    57.
    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Pariaman.
    58.
    Gubernur adalah Gubernur Sumatera Barat.
    59.
    Wali Kota adalah Wali Kota Pariaman.
    60.
    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    61.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Pajak dan/atau Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    62.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan usaha milik negara atau Badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk Badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    63.
    Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
    64.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja Perangkat Daerah atau unit satuan kerja Perangkat Daerah pada satuan kerja Perangkat Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan Daerah pada umumnya.
    65.
    Penyidik Pegawai Negeri Sipil selanjutnya disebut Penyidik adalah Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah Kota Pariaman yang memuat ketentuan pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertujuan untuk:
    a.
    meningkatkan pendapatan asli Daerah dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di Daerah;
    b.
    memberikan pedoman bagi aparatur Daerah serta masyarakat dalam melakukan pungutan terhadap Pajak dan Retribusi; dan
    c.
    optimalisasi tata kelola penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (3)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    Makanan dan/atau Minuman;
     
     
    2.
    Tenaga Listrik;
     
     
    3.
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4.
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5.
    Jasa Kesenian dan Hiburan;
     
    c.
    Pajak MBLB; dan
     
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    surat ketetapan Pajak;
     
    b.
    surat pemberitahuan Pajak Terutang; dan/atau
     
    c.
    dokumen lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    surat pemberitahuan Pajak; dan/atau
     
    b.
    dokumen lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Dokumen surat pemberitahuan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek Pajak
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PBB-P2 yaitu Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu, lintas raya terpadu, atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak Bumi dan Bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 yaitu NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
    (4)
    Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
    (5)
    NJOP tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (6)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (7)
    Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (8)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (9)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
    (10)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar:
     
    a.
    untuk Nilai NJOP diatas Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah) sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen); atau
     
    b.
    untuk Nilai NJOP lebih dari Rp1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah) sebesar 0,1% (nol koma satu persen)
    (2)
    Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,03% (nol koma nol tiga persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    bangunan yang berada diluar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek dan Subjek Pajak
     

    Pasal 11

    (1)
    Objek BPHTB yaitu Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; dan
     
     
    13.
    hadiah;
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna Bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB yaitu Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk Badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekeijaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 13

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB yaitu nilai perolehan objek pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan yaitu NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
    (6)
    Selain perolehan hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk hibah wasiat atau waris yang diterima berupa tanah ulayat tidak untuk dijual dan harus diwariskan kembali ditetapkan nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli yaitu pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (3)
    Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek Pajak
     

    Pasal 17

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    c.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi sebesar Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi Objek PBJT Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b yaitu penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen,
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (Parkir Valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
     
    d.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Rumah Ibadah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    karaoke dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    c.
    pergelaran kesenian untuk kegiatan amal dan/atau kegiatan keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Subjek Pajak PBJT yaitu konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 24

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT yaitu jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu yang meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT alas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lain tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada karaoke dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
      a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak Bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
      b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
    (2)
    Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek dan Subjek Pajak
     

    Pasal 28

    (1)
    Objek Pajak Reklame yaitu semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan,
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame yaitu:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Subjek Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 30

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame yaitu nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
    (2)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
    (4)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf e, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pajak Air Tanah
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek dan Subjek Pajak
     

    Pasal 33

    (1)
    Objek PAT yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT yaitu pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan; dan
     
    f.
    panti jompo, panti asuhan dan panti sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Subjek PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 35

    (1)
    Dasar pengenaan PAT yaitu nilai perolehan Air Tanah
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
    (2)
    Wilayah pemungutan PAT terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3)
    Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek dan Subjek Pajak
     

    Pasal 38

    (1)
    Objek Pajak MBLB yaitu kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu;
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit,
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    opsidien;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    phospat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap;
     
    cc.
    tanah diatome;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas;
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakkit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Subjek Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 40

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB yaitu nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
    (2)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pajak Sarang Burung Walet
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek dan Subjek Pajak
     

    Pasal 43

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
     

    Pasal 45

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet yaitu nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet.
    (3)
    Saat terutangnya Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (4)
    Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Opsen PKB
     

    Pasal 48

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB dengan tarif Opsen PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    Opsen BBKNB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB dengan tarif Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.
    (2)
    Tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Penerimaan Pajak yang diarahkan Penggunaannya
     

    Pasal 59

    (1)
    Hasil penerimaan atas jenis Pajak berikut:
     
    a.
    Opsen PKB;
     
    b.
    PBJT atas Tenaga Listrik; dan
     
    c.
    PAT.
     
    dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
    (2)
    Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (3)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit sebesar 10% (sepuluh persen) wajib dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (4)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum; dan
     
    b.
    pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (5)
    Hasil penerimaan PAT dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, yang meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan;
     
    d.
    pengelolaan limbah; dan/atau
     
    e.
    kegiatan pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lainnya yang berdampak terhadap Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Masa Pajak
     

    Pasal 60

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak, kecuali untuk BPHTB.
    (3)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak Yang Terutang.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak dan tahun Pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keduabelas
    Konfirmasi Status Wajib Pajak
     

    Pasal 61

    (1)
    Pemerintah Daerah melakukan konfirmasi status Wajib Pajak sebelum memberikan layanan publik tertentu.
    (2)
    Konfirmasi status Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi pada Pemerintah Daerah atau aplikasi lainnya setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Selain melakukan konfirmasi status Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan Penelitian terhadap pemenuhan kewajiban Pajak Daerah dari pemohon layanan tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konfirmasi status Wajib Pajak dan Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Penelitian terhadap pemenuhan kewajiban Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketigabelas
    Kewajiban Wajib Pajak
     

    Pasal 64

    (1)
    Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Pasal 12 ayat (2), Pasal 23 ayat (2). Pasal 29 ayat (2), Pasal 39 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1), wajib membayar Pajak Terutang.
    (2)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    pemasangan stiker, spanduk, papan pengumuman dan/atau pengumuman di media massa bahwa Wajib Pajak tidak taat dalam melakukan Pembayaran Pajak; dan/atau
     
    d.
    denda administratif sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak Terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI JASA UMUM
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 65

    Jenis retribusi terdiri atas:
    a.
    retribusi Jasa Umum;
    b.
    retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Retribusi Jasa Umum merupakan Retribusi yang dipungut atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Jenis pelayanan dalam Retribusi Jasa Umum yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah yaitu pelayanan pengendalian lalu lintas.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (8)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau Limbah kakus atau limbah cair;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
     
    d.
    pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 72

    Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a yaitu pelayanan kesehatan di pusat kesehatan masyarakat, pusat kesehatan masyarakat keliling, pusat kesehatan masyarakat pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Pelayanan Kebersihan
     

    Pasal 73

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b yaitu pelayanan kebersihan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
     
    a.
    pelayanan kebersihan jalan umum;
     
    b.
    pelayanan kebersihan taman;
     
    c.
    pelayanan kebersihan tempat ibadah;
     
    d.
    pelayanan kebersihan panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial; dan
     
    e.
    pelayanan kebersihan tempat pemakaman umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 74

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Pelayanan Pasar
     

    Pasal 75

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Tarif Retribusi Jasa Umum ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian tanpa melakukan penambahan objek retribusi.
    (3)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Kewajiban Wajib Retribusi
     

    Pasal 77

    (1)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), wajib membayar atas pelayanan yang diterima.
    (2)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    pemasangan stiker, spanduk, papan pengumuman dan/atau pengumuman di media massa dan/atau di tempat lainnya bahwa Wajib Retribusi tidak taat dalam melakukan pembayaran Retribusi; dan/atau
     
    d.
    denda administratif sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 78

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan jenis Retribusi Jasa Umum diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Penerimaan Retribusi Jasa Umum yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    RETRIBUSI JASA USAHA
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 79

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar Badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    e.
    pelayanan jasa kepelabuhan;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
     
    h.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    i.
    pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Jenis pelayanan dalam Retribusi Jasa Usaha yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi Retribusi penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak hasil Bumi, dan hasil hutan, termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan.
    (3)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (5)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (8)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya; dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
     
    e.
    pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan;
     
    f.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    g.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    h.
    retribusi jasa usaha atas pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VII, Lampiran VIII, lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya
     

    Pasal 84

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a yaitu penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 85

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar Badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b yaitu penyediaan tempat khusus parkir diluar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penyediaan Tempat Penginapan atau Pesanggrahan atau Vila
     

    Pasal 86

    Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak
     

    Pasal 87

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf d yaitu pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan Hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Retribusi Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
     

    Pasal 88

    Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf e yaitu pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     

    Pasal 89

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf f yaitu pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan Menggunakan Kendaraan di Air
     

    Pasal 90

    Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf g yaitu pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     

    Pasal 91

    (1)
    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf h yaitu penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
     
    a.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui kelompok tani atau kelompok budi daya perikanan:
     
    b.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah untuk kegiatan sosial dan budaya;
     
    c.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah untuk kegiatan keagamaan; dan
     
    d.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah untuk kegiatan pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah Yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas Dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah Dan/Atau Optimalisasi Aset Daerah Dengan Tidak Mengubah Status Kepemilikan Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
     

    Pasal 92

    (1)
    Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf i yaitu pemanfaatan dan/atau optimalisasi aset Pemerintah Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan Lugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum.
    (2)
    Dikecualikan dari Objek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
     
    a.
    pemakaian kendaraan, mesin, alat berat yang digunakan oleh Pemerintah Daerah;
     
    b.
    pemakaian kendaraan, kapal cepat, kapal motor dan sarana perikanan yang digunakan oleh Pemerintah Daerah; dan
     
    c.
    pemakaian tanah dan/atau Bangunan yang digunakan untuk kepentingan Pemerintah Daerah atau pelajar sepanjang tidak untuk kepentingan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Penghitungan besaran tarif pelayanan pemanfaatan barang milik Daerah ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    besaran tarif sewa barang milik Daerah berupa hasil perkalian dari tarif pokok sewa dan faktor penyesuaian sewa;
     
    b.
    hasil KSP berupa pendapatan daerah yang terdiri atas kontribusi tetap dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Tim berdasarkan hasil perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    hasil BGS/BSG berupa kontribusi tahunan yang merupakan pendapatan daerah dihitung oleh Tim yang dibentuk oleh Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    d.
    besaran pendapatan daerah dari kerja sama penyediaan infrastruktur berupa pembagian kelebihan keuntungan (clawback) dihitung berdasarkan hasil kajian oleh Tim KSPI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif pelayanan pemanfaatan barang milik Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (4)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (7)
    Tarif Retribusi Jasa Usaha ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (8)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi.
    (9)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota. Bagian Kesebelas Kewajiban Wajib Retribusi
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    (1)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) wajib membayar atas pelayanan yang diterima.
    (2)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
      a. teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    pemasangan stiker, spanduk, papan pengumuman dan/atau pengumuman di media massa dan/atau di tempat lainnya bahwa Wajib Retribusi tidak taat dalam melakukan pembayaran Retribusi; dan/atau
     
    d.
    denda administratif sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 95

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan jenis Retribusi Jasa Usaha diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan barang atau pelayanan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Penerimaan Retribusi Jasa Usaha yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 96

    Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Retribusi yang dipungut atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung
     

    Pasal 98

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan PBG;
     
    c.
    inspeksi bangunan gedung;
     
    d.
    penerbitan SLF dan SBKBG; dan
     
    e.
    pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik pemerintah. Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBO diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    luas total lantai;
     
     
    2.
    indeks lokalitas;
     
     
    3.
    indeks terintegrasi; dan
     
     
    4.
    indeks bangunan gedung terbangun.
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    volume;
     
     
    2.
    indeks prasarana bangunan gedung; dan
     
     
    3.
    indeks bangunan gedung terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung, atau
     
    b.
    HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas persetujuan bangunan gedung tercantum dalam Lampiran XIII dan atas penggunaan tenaga kerja asing tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (7)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (8)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kewajiban Wajib Retribusi
     

    Pasal 105

    (1)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) wajib membayar atas pelayanan yang diterima.
    (2)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    pemasangan stiker, spanduk, papan pengumuman dan/atau pengumuman di media massa dan/atau di tempat lainnya bahwa Wajib Retribusi tidak taat dalam melakukan pembayaran Retribusi; dan/atau
     
    d.
    denda administratif sebesar 2% (dua persen) dari tarif untuk setiap bulan keterlambatan, paling lama 12 (dua belas) bulan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 106

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan jenis Retribusi Perizinan Tertentu diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 107

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan. dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak dan Retribusi;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Dalam rangka penyelenggaraan Pajak, Pemerintah Daerah memberikan NPWPD kepada Wajib Pajak.
    (2)
    Pemberian NPWD kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota, Wajib Pajak wajib mendaftarkan objek Pajak kepada Pemerintah Daerah, dengan menggunakan:
     
     
    1.
    surat pemberitahuan objek Pajak untuk PBB-P2; dan
     
     
    2.
    surat pendaftaran objek Pajak untuk Pajak Reklame, Pajak Air tanah, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB;
     
    b.
    untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri kepada Pemerintah Daerah.
    (3)
    Untuk jenis Pajak yang memerlukan registrasi objek Pajak, Pemerintah Daerah dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
    (4)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
    (5)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
    (6)
    Khusus untuk:
     
    a.
    Wajib Pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pemungut Pajak bahan bakar kendaraan bermotor yang berstatus BUMN atau BUMD; dan
     
    b.
    Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus BUMN atau BUMD.
     
    dapat didaftarkan dengan nomor pokok Wajib Pajak yang digunakan dalam administrasi perpajakan pusat.
    (7)
    Dalam hai Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wali Kota menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    Pemerintah Daerah melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak.
    (2)
    Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah.
    (3)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak yakni BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet, wajib mengisi SPTPD.
    (4)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencakup BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet, terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
    (5)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak Terutang perjenis Pajak dalam satu Masa Pajak.
    (6)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wali Kota setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
    (7)
    Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (8)
    SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
    (9)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setiap Masa Pajak.
    (10)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak Terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
    (11)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Wali Kota menetapkan jangka waktu penyampaian SP1PD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
    (12)
    Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
    (11)
    dikecualikan untuk BPHTB.
    (13)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD, penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak, dan batas waktu penyampaian SPTPD diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (14)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (12) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
    (15)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (14) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (16)
    Keadaan kahar (force majeure) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (14) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
    (2)
    Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga| bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
    (3)
    Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
     
    a.
    tidak memiliki tunggakan pajak; dan/atau
     
    b.
    tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    (1)
    Dalam rangka penyelenggaraan Retribusi, pemungutan Retribusi diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dengan ketentuan:
     
    a.
    Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam surat ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah, atau
     
    b.
    melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
    (2)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
    (5)
    Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
    (6)
    Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
    (7)
    Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan, efisiensi, dan efektivitas pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum Daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja Daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sistem Informasi Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 113

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah dapat membentuk dan mengembangkan sistem informasi Pajak dan Retribusi secara elektronik.
    (2)
    Pemerintah Daerah dapat melakukan Pemungutan Pajak dan Retribusi secara elektronik dalam rangka efisiensi dan efektifitas Pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan sistem informasi dan pemungutan Pajak dan Retribusi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 114

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak dan Retribusi dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 115

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 116

    Wali Kota memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
    a.
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
    b.
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak Terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    (1)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (2)
    Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    (1)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau kondisi lain sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (2)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
    (3)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam Pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian kemudahan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Penetapan Target Penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD
     

    Pasal 119

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (3)
    Kebijakan makro ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Kerja Sama Pemanfaatan Data Dalam pemungutan Pajak
     

    Pasal 120

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah lain; dan
     
    c.
    pihak ketiga.
    (2)
    Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program/kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur/sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    bentuk kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain.
    (4)
    Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga.
    (5)
    Kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai oleh kedua pihak, tanpa mengenakan tambahan biaya bagi Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) dituangkan dalam bentuk dokumen perjanjian kerja sama.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama;
     
    b.
    maksud dan tujuan;
     
    c.
    ruang lingkup;
     
    d.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    e.
    jangka waktu perjanjian;
     
    f.
    sumber pembiayaan;
     
    g.
    penyelesaian perselisihan;
     
    h.
    sanksi;
     
    i.
    korespondensi; dan
     
    j.
    perubahan.
    (5)
    Penyelenggaraan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki omzet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Kerahasiaan Data Wajib Pajak
     

    Pasal 123

    (1)
    Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yaitu:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada Pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan Pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 124

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan Pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 125

    Wali Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pembinaan
     

    Pasal 126

    (1)
    Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dilakukan dalam bentuk:
     
    a.
    sosialisasi dan penyuluhan;
     
    b.
    melakukan penyebaran informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar Pajak dan Retribusi;
     
    c.
    peningkatan kapasitas sumber daya manusia penyelenggara Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    fasilitasi mediasi dan konsultasi penyelesaian Pajak dan Retribusi; dan/atau
     
    e.
    pemberian penghargaan.
    (2)
    Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dapat diberikan pada:
     
    a.
    Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang tertib dan taat dalam melakukan Pembayaran Pajak dan Retribusi;
     
    b.
    aparatur sipil negara dan masyarakat yang berjasa, berkontribusi dan berperan aktif dalam meningkatkan Pendapatan Daerah melalui Pajak dan Retribusi;
     
    c.
    Perangkat Daerah pemungut Pajak dan Retribusi yang memperoleh capaian tertinggi kinerja dalam penyelenggaraan Pajak dan Retribusi; dan/atau
     
    d.
    instansi yang berjasa berkontribusi dan berperan aktif dalam meningkatkan Pendapatan Daerah melalui Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk.
     
    a.
    piagam;
     
    b.
    sertifikat;
     
    c.
    pemberian stiker atau pamflet, spanduk atau pengumuman di media massa atau ditempati lainnya, bahwa Wajib Pajak dan Wajib Retribusi telah tertib dan taat dalam melakukan Pembayaran Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    uang; dan/atau
     
    e.
    bentuk lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan Daerah dibidang pendapatan bekerjasama dengan Perangkat Daerah terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pengawasan
     

    Pasal 127

    Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dilakukan dalam bentuk:
    a.
    pemantauan;
    b.
    evaluasi secara berkala; dan/atau
    c.
    penerimaan pengaduan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf a dilakukan untuk menjamin sinergi, kesinambungan, dan efektivitas dalam pelaksanaan kebijakan dan penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk mengetahui perkembangan dan hambatan dalam penyelenggaraan Pajak dan Retribusi
    (3)
    Pemantauan dilakukan secara berkala melalui koordinasi dan pemantauan langsung terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Pajak dan Retribusi
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    (1)
    Pengawasan dalam bentuk evaluasi secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf b dilakukan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan Daerah dibidang pendapatan bekerjasama dengan Perangkat Daerah terkait.
    (2)
    Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan evaluasi dalam pengambilan kebijakan dan penganggaran penyelenggaraan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    (1)
    Pengawasan dalam bentuk penerimaan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf c wajib ditindak lanjuti oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan Daerah di bidang pendapatan.
    (2)
    Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
     
    a.
    pengaduan langsung; dan/atau
     
    b.
    pengaduan secara tidak langsung melalui surat atau
     
     
    media lainnya secara elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 132

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi,
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas Penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat Pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan Penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran Penyidikan tindak pidana dibidang Pajak dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasil Penyidikannya kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 133

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak mengisi dengan benar dan lengkap serta tidak menyampaikan dokumen surat pemberitahuan Pajak kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak mengisi dengan benar dan lengkap serta tidak menyampaikan dokumen surat pemberitahuan Pajak kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
    (3)
    Kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (4)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
    (5)
    Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
    (6)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (7)
    Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6), meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    Tindak pidana di bidang Pajak tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak:
    a.
    saat Pajak Terutang;
    b.
    Masa Pajak berakhir;
    c.
    bagian Tahun Pajak berakhir; atau
    d.
    Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 136

    (1)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), Pasal 79 ayat (2) dan Pasal 99 ayat (2) sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Sanksi Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipenuhi.
    (3)
    Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelanggaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 137

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 138

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, Pasal 136 dan Pasal 137 merupakan pendapatan Negara, dan bukan merupakan Pendapatan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 139

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Pajak yang masih terutang masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang;
    b.
    ketentuan mengenai Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025;
    c.
    ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan
    d.
    ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 141

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 24) sebagaimana telah diubah heberapakali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2015 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2015 Nomor 178);
    b.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 27);
    c.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 28);
    d.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 7 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 29) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 7 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2017 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2017 Nomor 2198);
    e.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 8 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 30);
    f.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 31) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2016 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2016 Nomor 187);
    g.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 201 1 Nomor 13, Tambahan lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 127);
    h.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 121) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2014 Nomor 6), Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2014 Nomor 163);
    i.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 50, Tambahan lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 123);
    j.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 51, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 124) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2017 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2017 Nomor 199);
    k.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 52, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 125);
    l.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 53, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 126);
    m.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 55, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 128);
    n.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 56, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 129);
    o.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pajak Parkir (lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 57, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 130);
    p.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 131);
    q.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 59, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 132);
    r.
    Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2018 Nomor 6);
    s.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 63, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 134) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2019 Nomor 221);
    t.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2013 tentang Retribusi Parkir Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 144);
    u.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 145);
    v.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 4 Tahun 2013 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 146) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 4 Tahun 2013 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2019 Nomor 220);
    w.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 75), Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 148);
    x.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 14 Tahun 2014 tentang Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2014 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2U14 Nomor 171);
    y.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2016 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2016 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2016 Nomor 186); dan
    z.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 7 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2018 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2018 Nomor 215),
    dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 142

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 24) sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2015 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2015 Nomor 178);
    b.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 27);
    c.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 28);
    d.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 7 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 29) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 7 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2017 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2017 Nomor 2198);
    c.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 8 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 30);
    f.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2010 Nomor 31) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2016 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2016 Nomor 187);
    g.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 127);
    h.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 121) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2014 Nomor 6|, Tambahan lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2014 Nomor 163);
    i.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 50, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 123);
    j.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 51, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 124) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2017 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2017 Nomor 199);
    k.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 52, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 125);
    l.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 53, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 126);
    m.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 55, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 128);
    n.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 56, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 129);
    o.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 57, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 130);
    p.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 131);
    q.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 59, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 132);
    r.
    Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2018 Nomor 6);
    s.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 63, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2012 Nomor 134) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2019 Nomor 221);
    t.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2013 tentang Retribusi Parkir Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 144);
    u.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 145);
    v.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 4 Tahun 2013 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 146) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 4 Tahun 2013 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2019 Nomor 220);
    w.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 75), Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 Nomor 148);
    x.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 14 Tahun 2014 tentang Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2014 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2014 Nomor 171);
    y.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 2 Tahun 2016 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2016 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2016 Nomor 186); dan
    z.
    Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 7 Tahun 2018 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2018 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Pariaman Tahun 2018 Nomor 215),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Pariaman.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Pariaman
    pada tanggal 4 Januari 2024
    Pj. WALI KOTA PARIAMAN,
    dto.
    ROBERIA
     
    Diundangkan di Pariaman
    pada tanggal 4 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH KOTA PARIAMAN,
    dto.
    YOTA BALAD
     
    LEMBARAN DAERAH KOTA PARIAMAN TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS

    PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
    I.
    UMUM
     
    Penyelenggaraan otonomi daerah pada prinsipnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Daerah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka diperlukan sumber keuangan bagi Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Pemberian sumber pendapatan kepada Daerah harus seimbang dengan beban atau Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Daerah sebagai daerah otonom diharapkan mampu membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan, dengan mengoptimalkan potensi pendapatan daerah. Pendapatan daerah antara lain diperoleh melalui Pajak dan Retribusi.
     
    Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terjadi beberapa perubahan mendasar dalam pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni dengan diamanatkannya pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam satu peraturan daerah. Selain itu juga terdapat restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber perpajakan Daerah yang baru dan penyederhanaan jenis Retribusi. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak, menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan, memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Pemerintah Daerah, dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan.
     
    Kemudian juga terdapat jenis pajak baru bagi Daerah yakni Opsen Pajak atas PKB dan BBNKB yang sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Selanjutnya dalam Undang-Undang tersebut juga mengamanatkan penyederhanaan retribusi yang dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah dapat dipungut dengan efektif dengan biaya pemungutan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah.
     
    Lebih lanjut Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini diharapkan berfungsi untuk meningkatkan pendapatan daerah di satu sisi dan menjadi alat pengatur masyarakat di Daerah di sisi lainnya. Dengan fungsi tersebut, Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini diharapkan juga mampu menjamin kemudahan berusaha dan ekosistem investasi di Daerah sehingga meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Daerah.
     
    Secara umum Peraturan Daerah ini memuat materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut, Pajak Daerah, Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, Retribusi Perizinan Tertentu, Pemungutan Pajak dan Retribusi, Pembinaan dan Pengawasan.
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "untuk perolehan hak pertama wajib pajak" adalah nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang diberikan terhadap wajib pajak untuk perolehan hak pertama wajib pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB, tidak dapat digunakan untuk menghitung BPHTB perolehan hak kedua dan seterusnya.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roli diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu. Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu. Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roli dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” seperti homestay.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan "rekreasi wahana air’ adalah tempat rekreasi yang menggunakan air sebagai media wahana, antara lain water boom, waterpark, water ball, water adventure, dan lain-lain sebagainya.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT yaitu pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan" adalah penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, RSUD X pada Kota Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
    a.
    Perda PDRD:
     
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
     
    a)
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
     
    b)
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
    Pada tahun 2027, RSUD X pada Kota Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kota Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Wali Kota sebagai berikut:
    b.
    Peraturan Wali Kota:
     
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
     
    a)
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
     
    b)
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
     
     
    1)
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
     
     
     
    2)
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Yang dimaksud dengan “pelataran" adalah halaman bangunan atau tanah pasir yang sudah diratakan.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Ayat (1)
    Aset daerah yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Daerah seyogyanya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan Pemerintah Daerah. Dalam hal aset tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, maka dapat disewakan kepada pihak ketiga/masyarakat. Aset daerah yang disewakan kepada pihak ketiga/masyarakat berupa jenis aset yang belum disediakan secara memadai oleh sektor swasta agar tidak mengganggu daya saing usaha.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi" adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain yaitu lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "kondisi tertentu objek Pajak" adalah objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “media lainnya secara elektronik" adalah pengaduan melalui akun media sosial atau aplikasi yang disediakan atau dikembangkan oleh perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dibidang pendapatan atau aplikasi yang disediakan oleh Pemerintah Pusat setelah diteruskan ke Pemerintah Daerah.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jclas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 256

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024