Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG
    NOMOR 4 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA PALEMBANG,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Daerah;
    b.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Termasuk Kotapraja, Dalam Lingkungan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1821);
    3.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    5.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
    6.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6622);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    12.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    13.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    14.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    15.
    Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2016 Nomor 6) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2022 Nomor 6);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALEMBANG
    dan
    WALI KOTA PALEMBANG
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    2.
    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    4.
    Gubernur adalah Gubernur Provinsi Sumatera Selatan.
    5.
    Kota adalah Kota Palembang.
    6.
    Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Palembang.
    7.
    Wali Kota adalah Wali Kota Palembang.
    8.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palembang.
    9.
    Perangkat Daerah adalah Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang perpajakan Daerah atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    10.
    Kepala Perangkat Daerah adalah Kepala Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kota yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang perpajakan Daerah atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    11.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    12.
    Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    13.
    Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    14.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
    15.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    16.
    Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    17.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    18.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
    19.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    20.
    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
    21.
    Badan Layanan Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
    22.
    Pajak Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    23.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    24.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    25.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    26.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    27.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    28.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    29.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    30.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu, yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    31.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    32.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    33.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    34.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    35.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    36.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    37.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memberikan informasi, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatin umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum baik dipajang di dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (outdoor).
    38.
    Pajak Air Tanah, yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    39.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    40.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    41.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan, yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    42.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    43.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    44.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    45.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    46.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    47.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Daerah.
    48.
    Nomor Objek Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    49.
    Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    50.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    51.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    52.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    53.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
    54.
    Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
    55.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
    56.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
    57.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
    58.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    59.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    60.
    Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    61.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    62.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    63.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    64.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    65.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    66.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
    67.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    68.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    69.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    70.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
    71.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi.
    72.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    73.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    74.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    75.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Kota dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    76.
    Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    77.
    Standar Harga Satuan Tertinggi, yang selanjutnya disingkat SHST adalah standar harga satuan tertinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil perhitungan menggunakan aplikasi SHST yang disediakan pemerintah pusat.
    78.
    Harga Satuan Bangunan Gedung Negara, yang selanjutnya disingkat HSBGN adalah standar harga satuan tertinggi untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik pembangunan bangunan gedung negara yang diberlakukan sesuai dengan klasifikasi, lokasi, dan tahun pembangunannya.
    79.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    80.
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya disingkat PTKA adalah penggunaan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    81.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
    82.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    83.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    84.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 2

    Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Kota terdiri atas:
    a.
    PBB-P2;
    b.
    BPHTB;
    c.
    PBJT atas:
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
    2.
    tenaga listrik;
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
    d.
    Pajak Reklame;
    e.
    PAT;
    f.
    Pajak MBLB;
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
    h.
    Opsen PKB; dan
    i.
    Opsen BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    Pajak Reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    Opsen PKB; dan
     
    e.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
     
    2.
    tenaga listrik;
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
    c.
    Pajak MBLB; dan
     
    d.
    Pajak Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Rincian Pajak
     
    Paragraf 1
    PBB-P2
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
    (4)
    Dalam hal Bumi dan/atau Bangunan dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek PBB-P2, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 dalam wilayah Kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Kota.
    (6)
    Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara tentang Pedoman Penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (2)
    Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota.
    (3)
    Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    untuk NJOP Bumi dan/atau Bangunan setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), tarif pajak ditetapkan sebesar 0,085% (nol koma nol delapan lima persen);
     
    b.
    untuk NJOP Bumi dan/atau Bangunan setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak diatas Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp1.700.000.000,00 (satu milyar tujuh ratus juta rupiah), tarif pajak ditetapkan sebesar 0,180% (nol koma satu delapan nol persen);
     
    c.
    untuk NJOP Bumi dan/atau Bangunan setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak diatas Rp1.700.000.000,00 (satu milyar tujuh ratus juta rupiah) sampai dengan Rp33.500.000.000,00 (tiga puluh tiga milyar lima ratus juta rupiah), tarif pajak ditetapkan sebesar 0,210% (nol koma dua satu nol persen); dan
     
    d.
    untuk NJOP Bumi dan/atau Bangunan setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak di atas Rp33.500.000.000,000 (tiga puluh tiga milyar lima ratus juta rupiah), tarif pajak ditetapkan sebesar 0,275% (nol koma dua tujuh lima persen);
    (2)
    Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,065% (nol koma nol enam lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2).
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (4)
    Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Kota yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (5)
    Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Kota tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    BPHTB
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
    (7)
    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Kota menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Kota tempat terutangnya BPHTB.
    (6)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
    (2)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (3)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
    (4)
    Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Kota tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    PBJT
     

    Pasal 15

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) perbulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia pelayanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Kota.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Kota menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Kota dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Kota.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu setengah persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
    (2)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3)
    Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Kota tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pajak Reklame
     

    Pasal 26

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
    (2)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
    (3)
    Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Kota tempat penyelenggaraan reklame.
    (4)
    Khusus untuk reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Kota tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    PAT
     

    Pasal 31

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat; dan
     
    e.
    keperluan keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang energi dan sumber daya mineral.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
    (2)
    Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    (3)
    Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Kota tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Pajak MBLB
     

    Pasal 36

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual hasil pengambilan MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Kota.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
    (2)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
    (3)
    Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Kota tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pajak Sarang Burung Walet
     

    Pasal 41

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Kota dengan volume Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
    (2)
    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    (3)
    Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Kota tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Opsen PKB
     

    Pasal 46

    Opsen PKB dikenakan atas pokok PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan bersamaan dengan pemungutan PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Kota tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 51

    Opsen BBNKB dikenakan atas pokok BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan bersamaan dengan pemungutan BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Kota tempat kendaraan bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 56

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
     

    Pasal 57

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah antara lain namun tidak terbatas pada:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Retribusi
     

    Pasal 58

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 59

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan; dan
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum;
    (2)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Kota; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (8)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (9)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota, meliputi:
     
    a.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah; dan
     
    b.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus;
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair; dan
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (4)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
    (5)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     

    Pasal 66

    (1)
    Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    b.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    c.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    d.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    e.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Kota; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian ojek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Kota; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa usaha yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (8)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (9)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf g merupakan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    b.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
     
    c.
    pelayanan jasa kepelabuhan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
     
    d.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    e.
    pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
     
    f.
    penjualan produksi usaha Pemerintah Kota diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah dan bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur,
     
    tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
    (5)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (6)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Kota; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
    (8)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (9)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
    (10)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 77

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c meliputi:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    PTKA.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota berdasarkan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (4)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (5)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
     
    d.
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (4)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    (1)
    Pelayanan PTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di wilayah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai PTKA.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu PTKA oleh instansi Pemerintah, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan; dan
     
    b.
    pelayanan PTKA diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (3)
    Formula yang mencerminkan biaya penyenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Luas Total Lantai;
     
     
    2.
    Indeks Lokalitas;
     
     
    3.
    Indeks Terintegrasi; dan
     
     
    4.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
    b.
    formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
     
     
    1.
    Volume;
     
     
    2.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
     
    3.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana PTKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai PTKA.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    SHST untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    Harga Satuan Prasarana Bangunan Gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung.
    (4)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    (5)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (6)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (7)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (8)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (9)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (10)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (11)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), ayat (9), dan ayat (10) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 83

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Pendaftaran dan Pendataan Pajak
     

    Pasal 84

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dengan menggunakan:
     
    a.
    surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e; dan
     
    b.
    SPOP untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a.
    (2)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah.
    (3)
    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Kepala Perangkat Daerah.
    (4)
    Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Perangkat Daerah dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
    (5)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
    (6)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
    (7)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
    (8)
    Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
    (2)
    Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah kota.
     

    Pasal 86

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
    (2)
    Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
    (3)
    Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
    (4)
    Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
     
    a.
    tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
     
    b.
    tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 86 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penilaian PBB-P2
     

    Pasal 88

    (1)
    NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan oleh Wali Kota.
    (2)
    Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek PBB-P2 tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (3)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
    (4)
    Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
     
    a.
    perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
     
    b.
    nilai perolehan baru; atau
     
    c.
    nilai jual pengganti.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan berdasarkan proses penilaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Penetapan Besaran Pajak dan Retribusi Terutang
     

    Pasal 89

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (2)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Kota.
    (3)
    Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (4)
    Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
    (5)
    Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tanpa dikenakan sanksi administratif.
    (6)
    Penetapan Opsen PKB terutang dalam SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
    (7)
    Untuk Opsen PKB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (2)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
     
    a.
    SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
     
    b.
    hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    (1)
    Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (3)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (4)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan.
    (5)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (6)
    Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (7)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pembayaran dan Penyetoran
     

    Pasal 92

    (1)
    Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
    (2)
    Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (3)
    Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (4)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
    (5)
    Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling lama:
     
    a.
    1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1); dan
     
    b.
    6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1).
    (6)
    Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf d paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
    (7)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
    (8)
    Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a dan ayat (3) berdasarkan nilai perolehan objek pajak.
    (9)
    Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
     
    a.
    jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
     
    b.
    jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud.
    (10)
    Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Penelitian SSPD BPHTB
     

    Pasal 95

    (1)
    Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
     
    a.
    kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NOPD yang tercantum:
     
     
    1.
    dalam SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya; dan
     
     
    2.
    pada basis data PBB-P2;
     
    b.
    kesesuaian NJOP Bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2;
     
    c.
    kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2;
     
    d.
    kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan objek pajak, NJOP, NJOP tidak kena pajak, tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, BPHTB terutang atau yang harus dibayar;
     
    e.
    kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan
     
    f.
    kesesuaian kriteria objek pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
    (2)
    Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
    (3)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (4)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
    (5)
    Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat.
    (6)
    Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah Pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah Pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pemungutan Retribusi
     

    Pasal 96

    (1)
    Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (6) ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
    (2)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
    (5)
    Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
    (6)
    Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 97

    (1)
    Pemerintah Kota dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (6)
    ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pembukuan
     

    Pasal 98

    (1)
    Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan;
     
    b.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
    (2)
    Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
    (3)
    Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
    (4)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
    (5)
    Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan atau pencatatan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah berwenang memasang dan/atau menghubungkan alat dan/atau sistem pada sistem pembukuan atau pencatatan secara elektronik atau secara program aplikasi on-line yang dimiliki Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dengan sistem yang dimiliki Perangkat Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak wajib bersedia untuk dilakukan pemasangan dan/atau dihubungkan alat dan/atau sistem pada sistem pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Dalam hal alat dan/atau sistem pada sistem pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terpasang dan/atau terhubung, Wajib Pajak wajib melaksanakan sistem pembukuan atau pencatatan secara elektronik atau secara program aplikasi on-line.
    (4)
    Alat dan/atau sistem pada sistem pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus merekam setiap transaksi pembayaran yang dilakukan oleh Subjek Pajak kepada Wajib Pajak secara real time yang dapat dipantau oleh Perangkat Daerah.
    (5)
    Data transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat menjadi dasar pengenaan Pajak dan/atau data potensi Pajak dan/atau data lain yang diperlukan dalam rangka monitoring terhadap peredaran usaha Wajib Pajak.
    (6)
    Dalam pelaksanaan sistem pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak dilarang untuk:
     
    a.
    dengan sengaja menggunakan dan/atau memasang dan/atau menghubungkan alat dan/atau sistem pada sistem pembukuan atau pencatatan selain alat dan/atau sistem pada sistem pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
     
    b.
    dengan sengaja mengubah alat dan/atau sistem atau data pada sistem pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
     
    c.
    dengan sengaja merusak atau membuat tidak berfungsinya alat dan/atau sistem pada sistem pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud ayat (1).
    (7)
    Untuk melaksanakan sistem pembukuan atau pencatatan secara elektronik atau secara program aplikasi on-line, Walikota atau Kepala Perangkat Daerah dapat melakukan kerjasama dengan pihak ketiga.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pembukuan atau pencatatan secara elektronik atau secara program aplikasi on-line diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Pelaporan
     
    Paragraf 1
    Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD
     

    Pasal 100

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
    (3)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu Masa Pajak.
    (4)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wali Kota setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak dan dokumen atau data yang menjadi dasar perhitungan, termasuk dokumen atau data yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line.
    (5)
    Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (6)
    SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
    (3)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wali Kota menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
    (4)
    Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1), penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Wajib Pajak orang pribadi dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Wajib Pajak Badan setiap SPTPD.
    (3)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Wajib Pajak terhadap pokok pajak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar.
    (5)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
    (2)
    Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
    (3)
    Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
    (4)
    Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penelitian SPTPD
     

    Pasal 104

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah melakukan Penelitian atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1).
    (2)
    Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
     
    b.
    kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
     
    c.
    kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.
    (3)
    Apabila berdasarkan hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah menerbitkan STPD.
    (4)
    STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Dalam hal hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat melakukan Pemeriksaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Pemeriksaan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 105

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
     
    a.
    Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
     
    b.
    terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
     
    c.
    Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
    (3)
    Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit untuk:
     
    a.
    pemberian NPWPD secara jabatan;
     
    b.
    penghapusan NPWPD;
     
    c.
    penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
     
    d.
    pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
     
    e.
    pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
    (4)
    Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    (1)
    Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105, kewajiban Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang diperiksa paling sedikit:
     
    a.
    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak dan objek Retribusi yang terutang;
     
    b.
    memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
     
    c.
    memberikan keterangan yang diperlukan.
    (2)
    Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105, hak Wajib Pajak dan/atau Wajib retribusi yang diperiksa antara lain:
     
    a.
    meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
     
    b.
    meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
     
    c.
    menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
    (3)
    Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak dan Retribusi terutang ditetapkan oleh Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah secara jabatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
     
    Paragraf 1
    Surat Ketetapan Pajak
     

    Pasal 107

    (1)
    Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
    (2)
    SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
     
    a.
    hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105;
     
    b.
    penghitungan secara jabatan karena:
     
     
    1.
    Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis namun tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
     
     
    2.
    Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) atau Pasal 106 ayat (1).
    (3)
    SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT.
    (4)
    SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 terdapat kelebihan pembayaran Pajak, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah menerbitkan SKPDLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar l,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b; atau
     
    b.
    kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.
    (3)
    Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak tersebut.
    (4)
    SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Surat Tagihan Pajak
     

    Pasal 110

    (1)
    Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat menerbitkan STPD.
    (2)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam hal:
     
    a.
    Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
     
    b.
    Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
    c.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (3)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dalam hal:
     
    a.
    Pajak terutang tidak atau kurang dibayar;
     
    b.
    hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
     
    c.
    SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
     
    d.
    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    (4)
    Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar l% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (5)
    Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Penagihan Pajak
     

    Pasal 111

    (1)
    Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
    (2)
    Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan.
    (3)
    Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    (1)
    Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) Wali Kota berwenang menunjuk Kepala Perangkat Daerah untuk melaksanakan Penagihan.
    (2)
    Kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
     
    a.
    mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
     
    b.
    menerbitkan:
     
     
    1.
    surat Teguran;
     
     
    2.
    surat perintah penagihan seketika dan sekaligus;
     
     
    3.
    surat Paksa;
     
     
    4.
    surat perintah melaksanakan penyitaan;
     
     
    5.
    surat perintah penyanderaan;
     
     
    6.
    surat pencabutan sita;
     
     
    7.
    pengumuman lelang;
     
     
    8.
    surat penentuan harga limit;
     
     
    9.
    pembatalan lelang; dan
     
     
    10.
    surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
    (3)
    Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    (1)
    Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) diawali dengan penerbitan Surat Teguran.
    (2)
    Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak.
    (3)
    Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajaknya, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa.
    (4)
    Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran.
    (5)
    Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran.
    (6)
    Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
    (7)
    Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 jam (dua kali dua puluh empat jam) sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
    (8)
    Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita.
    (9)
    Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
    (10)
    Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dilakukan penyitaan.
    (11)
    Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus apabila:
    a.
    Penanggung Pajak akan meninggalkan Kota untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
    b.
    Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Kota;
    c.
    terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
    d.
    badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
    e.
    terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan itikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan.
    (2)
    Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak.
    (3)
    Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Penagihan diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai pedoman Penagihan Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga Belas
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 117

    (1)
    Hak untuk melakukan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Pasal 45 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), dan Pasal 55 ayat (2), kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (1), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
    (3)
    Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
     
    b.
    ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
    (4)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
    (5)
    Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Kota.
    (6)
    Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (7)
    Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    (1)
    Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2)
    Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
     
    a.
    diterbitkan Surat Teguran; atau
     
    b.
    terdapat pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3)
    Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
    (4)
    Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Kota.
    (5)
    Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat Belas
    Penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 119

    (1)
    Wali Kota melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
    (2)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3).
    (3)
    Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (4)
    Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
    (5)
    Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1); dan
     
    b.
    hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah.
    (6)
    Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 120

    (1)
    Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2)
    Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima Belas
    Keberatan dan Banding Paragraf 1 Keberatan Pajak
     

    Pasal 121

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
    (2)
    Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (5)
    Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
    (6)
    Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan.
    (7)
    Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
    (8)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
    (9)
    Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1).
    (2)
    Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat melakukan Pemeriksaan.
    (3)
    Keputusan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (7).
    (4)
    Keputusan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah atas keberatan dapat berupa:
     
    a.
    menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
     
    b.
    menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
     
    c.
    menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
     
    d.
    menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
    (5)
    Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    (1)
    Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
    (3)
    Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Keberatan Retribusi
     

    Pasal 124

    (1)
    Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (2)
    Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
    (4)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah.
    (5)
    Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan keberatan.
    (2)
    Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat melakukan Pemeriksaan.
    (3)
    Keputusan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
    (4)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    (1)
    Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Banding
     

    Pasal 127

    (1)
    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
    (2)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas.
    (3)
    Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
    (4)
    Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (2)
    Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
    (3)
    Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3) tidak dikenakan.
    (4)
    Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam Belas
    Gugatan Pajak
     

    Pasal 129

    Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
    a.
    pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
    b.
    keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
    c.
    keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 121 ayat (1) dan Pasal 122; dan
    d.
    penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan Belas
    Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau Sanksinya
     
    Paragraf 1
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 131

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Kota.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Kota dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di Kota; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1).
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 134

    (1)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 135

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pokok Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh Belas
    Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
     

    Pasal 136

    (1)
    Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat melakukan pembetulan STPD, SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    (2)
    Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
    (3)
    Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan Penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam rangka Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
    (5)
    Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
    (6)
    Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
     
    a.
    mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
     
    b.
    membatalkan STPD atau membatalkan hasil pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan Belas
    Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak atau Retribusi
     

    Pasal 137

    (1)
    Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah.
    (2)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (3)
    Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
    (4)
    Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    (5)
    Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya tersebut.
    (6)
    Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
    (7)
    Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota atau Kepala Perangkat Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan Belas
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
     
    Paragraf 1
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
     

    Pasal 138

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Kota dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah lain; dan/atau
     
    c.
    Pihak Ketiga.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
    (4)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Pemerintah Kota dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama;
     
    b.
    maksud dan tujuan;
     
    c.
    ruang lingkup;
     
    d.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    e.
    jangka waktu perjanjian;
     
    f.
    sumber pembiayaan;
     
    g.
    penyelesaian perselisihan;
     
    h.
    sanksi;
     
    i.
    korespondensi; dan
     
    j.
    perubahan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
     

    Pasal 140

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak, Pemerintah Kota dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DALAM APBD
     

    Pasal 141

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makro ekonomi daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makro ekonomi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing daerah.
    (3)
    Kebijakan makro ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makro ekonomi regional dan kebijakan makro ekonomi yang mendasari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 142

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perpajakan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 143

    (1)
    Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PENYIDIKAN
     

    Pasal 144

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Po1isi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    SANKSI
     
    Bagian Kesatu
    Sanksi Pidana
     

    Pasal 145

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 148

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145, Pasal 147, dan Pasal 148 merupakan pendapatan daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 150

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya sehingga dapat menimbulkan kerugian keuangan Daerah, dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    penghentian sementara kegiatan;
     
    d.
    penghentian tetap kegiatan;
     
    e.
    pencabutan sementara izin;
     
    f.
    pencabutan tetap izin;
     
    g.
    denda administratif;
     
    h.
    bunga; dan/atau
     
    i.
    sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 151

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diberlakukan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini;
    b.
    ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian;
    c.
    semua peraturan pelaksanaan di bidang Pajak dan Retribusi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Daerah ini;
    d.
    khusus ketentuan mengenai Pajak MBLB dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025; dan
    e.
    ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 152

    Kelembagaan, anggaran, sumber daya manusia, serta sistem kerja dan sistem pelayanan pada Perangkat Daerah wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diberlakukannya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 153

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2010 Nomor 8);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2012 Nomor 2);
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2015 Nomor 14); dan
    d.
    Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2018 Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2021 Nomor 3),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2011 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2017 Nomor 10);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pembinaan dan Retribusi Pemakaman dan/atau Pengabuan Jenazah (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2011 Nomor 5);
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pembinaan dan Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2011 Nomor 10);
    d.
    Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2011 Nomor 15);
    e.
    Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum Penyelenggaraan Transportasi (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2011 Nomor 16);
    f.
    Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha Penyelenggaraan Transportasi (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2011 Nomor 17);
    g.
    Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan dan Penyediaan/Penyedotan Kakus (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2011 Nomor 27);
    h.
    Peraturan Daerah Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pembinaan dan Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadaman Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2011 Nomor 31);
    i.
    Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Tempat Pemakaman dan Penyelenggaraan Jenazah (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2015 Nomor 2); dan
    j.
    Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2015 Nomor 3) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2020 Nomor 3),
    yang mengatur mengenai Jenis Retribusi, Subjek Retribusi, Wajib Retribusi, Objek Retribusi, Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi, serta Tarif Retribusi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 155

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini, dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Palembang
    pada tanggal 11 Desember 2023
    PJ. WALI KOTA PALEMBANG,
    ttd.
    RATU DEWA
     
    Diundangkan di Palembang
    pada tanggal 11 Desember 2023
    PJ. SEKRETARIS DAERAH KOTA PALEMBANG,
    ttd.
    GUNAWAN
     
    LEMBARAN DAERAH KOTA PALEMBANG TAHUN 2023 NOMOR

    Perda Nomor: 4 TAHUN 2023