Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA PALANGKA RAYA,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan otonomi daerah dan pencapaian kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dengan memperhatikan potensi Kota Palangka Raya;
    b.
    bahwa dalam rangka meningkatkan kemandirian dan pelayanan kepada masyarakat Kota Palangka Raya serta menyesuaikan dengan hasil pemetaan potensi, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian materi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
    c.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyebutkan untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang Pembentukan Kotapradja Palangka Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2753);
    3.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
    5.
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    12.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);
    13.
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
    14.
    Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Palangka Raya (Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Tahun 2019 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Nomor 2);
    15.
    Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2019 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Tahun 2019 Nomor 21, Tambahan Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Nomor 16);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALANGKA RAYA
    dan
    WALI KOTA PALANGKA RAYA 
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kota Palangka Raya.
    2.
    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    4.
    Wali Kota adalah Wali Kota Palangka Raya.
    5.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palangka Raya yang selanjutnya disingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat Kota Palangka Raya sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Kota Palangka Raya.
    6.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    7.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    8.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
    9.
    Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    10.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    11.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    12.
    Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
    13.
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik Kendaraan Bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    14.
    Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
    15.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    16.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    17.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    18.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    19.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    20.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    21.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    22.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    23.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    24.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, dan sejenisnya termasuk jasa boga dan/atau katering.
    25.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    26.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    27.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    28.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    29.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    30.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    31.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    32.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    33.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    34.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    35.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    36.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    37.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    38.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    39.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    40.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    41.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    42.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
    43.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
    44.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
    45.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
    46.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
    47.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
    48.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    49.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    50.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    51.
    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    52.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD.
    53.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    54.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
    55.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    56.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
    57.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
    58.
    Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
    59.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
    60.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    61.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    62.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam,barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    63.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    64.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    65.
    Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    66.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
    67.
    Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
    68.
    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung, selanjutnya disebut Retribusi PBG adalah pembayaran atas jasa pelayanan pemberian Persetujuan PBG.
    69.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung;
    70.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    71.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    72.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    73.
    Pemohon adalah Pemilik Bangunan Gedung atau yang diberi kuasa untuk mengajukan permohonan penerbitan PBG, SLF, RTB dan/atau SBKBG.
    74.
    Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
    75.
    Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SIMBG adalah sistem elektronik berbasis web yang digunakan untuk melaksanakan proses penyelenggaraan PBG, SLF, SBKBG, RTB, dan Pendataan Bangunan Gedung disertai dengan informasi terkait Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
    76.
    Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat Retribusi Penggunaan TKA adalah dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.
    77.
    Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    78.
    Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing adalah badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    79.
    Tenaga Kerja Pendamping TKA adalah tenaga kerja Indonesia yang ditunjuk oleh Pemberi Kerja TKA dan dipersiapkan sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan dalam rangka alih teknologi dan alih keahlian.
    80.
    Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
    81.
    Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.
    82.
    Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
    83.
    Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
    84.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
    85.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    86.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    87.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi daerah.
    88.
    Penyidikan tindak pidana di bidang pajak daerah dan retribusi daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    KLASIFIKASI DAN JENIS PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Klasifikasi dan Jenis Pajak Daerah
     

    Pasal 2

    (1)
    Pajak Daerah terdiri atas 9 (sembilan) jenis, yaitu:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT, yang terdiri atas:
     
     
    1)
    Makanan dan/atau minuman;
     
     
    2)
    Tenaga Listrik;
     
     
    3)
    Jasa Perhotelan;
     
     
    4)
    Jasa Parkir; dan
     
     
    5)
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i, merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
    (3)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g, merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
    (5)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
    (6)
    Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    PAJAK DAERAH
     
    Bagian Kesatu
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 4

    (1)
    Objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Pengecualian dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (mass rapid transit), lintas raya terpadu (light rail transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan
     

    Pasal 6

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (6)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (7)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Tarif PBB-P2 untuk NJOP lebih besar atau sama dengan Rp1.000.000.001,- (satu milyar satu rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) setiap tahun.
    (2)
    Tarif PBB-P2 untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) setiap tahun.
    (3)
    Tarif PBB-P2 untuk lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,09% (nol koma nol sembilan persen) setiap tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat penentuan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang yaitu menurut keadaan objek PBB-P2 pada hari kerja pertama di bulan januari.
    (3)
    Tempat PBB-P2 yang terutang yaitu di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (4)
    Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    Perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 10

    (1)
    Objek BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah.
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna Bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Pengecualian dari objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (6)
    kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dibidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan
     

    Pasal 12

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan yaitu NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan Hak Pertama Wajib Pajak setiap tahun terjadinya perolehan di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (6)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Saat terutang BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     

    Pasal 15

    (1)
    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
    (2)
    BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelunasannya menjadi bukti bagi Wajib Pajak untuk:
     
    a.
    permohonan penandatanganan akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris;
     
    b.
    permohonan penandatanganan risalah lelang perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Kantor yang membidangi Pelayanan Lelang Negara; dan
     
    c.
    pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran penulisan hak atas tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau bangunan;
     
    b.
    melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 20

    Objek PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, adalah penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Pengecualian dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b merupakan penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Pengecualian dari objek konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan, seperti:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Pengecualian dari objek Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d, meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat Parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Pengecualian dari objek jasa penyediaan tempat Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
     
    c.
    jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e, meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan Kendaraan Bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Pengecualian dari objek Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Subjek PBJT adalah konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
    (2)
    Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan
     

    Pasal 27

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
    (5)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (6)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (7)
    Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Khusus tariff PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan 40% (empat puluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi, dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2).
    (2)
    PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.
    (3)
    Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
     
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pajak Reklame
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 30

    (1)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d, adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan dengan tujuan komersil;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Pengecualian dari objek Pajak Reklame yaitu:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
     
    f.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan Pendidikan Tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan
     

    Pasal 32

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
    (3)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (4)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Air Tanah
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 35

    (1)
    Objek PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e, adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Pengecualian dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat; dan
     
    e.
    keperluan keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan
     

    Pasal 37

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5)
    Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
    (3)
    PAT yang terutang dipungut di wilayah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 40

    (1)
    Objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pengecualian dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    (1)
    Subjek Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan
     

    Pasal 42

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    Tarif Pajak MBLB bagi orang atau badan usaha ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    (1)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
    (2)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
    (3)
    Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Sarang Burung Walet
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 45

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g, adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan
     

    Pasal 47

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
    (3)
    Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Opsen
     
    Paragraf 1
    Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
     

    Pasal 50

    Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h, dikenakan atas Pajak terutang dari:
    a.
    PKB; dan
    b.
    BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    Wajib Pajak untuk Opsen merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:
    a.
    PKB; dan
    b.
    BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Dasar Pengenaan, Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan
     

    Pasal 52

    Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
    a.
    Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
    b.
    Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a merupakan PKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b merupakan BBNKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    KLASIFIKASI DAN JENIS RETRIBUSI DAERAH
     

    Pasal 56

    (1)
    Retribusi Daerah terdiri atas 3 (tiga) jenis, yaitu:
     
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
     
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
     
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
    (2)
    Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
    (3)
    Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (4)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    RETRIBUSI JASA UMUM
     

    Pasal 57

    (1)
    Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 ayat (1) huruf a, terdiri atas 5 (lima) jenis, yaitu:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    Pelayanan Kebersihan;
     
    c.
    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
     
    d.
    Pelayanan Pasar; dan
     
    e.
    Pengendalian Lalu Lintas.
    (2)
    Pelayanan dalam Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a dan Pasal 57 ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.
    (7)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (8)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
    (9)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (10)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (9) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (11)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (9), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (12)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesatu
    Retribusi Pelayanan Kesehatan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 58

    Objek Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Dikecualikan sebagai Wajib Retribusi Pelayanan Kesehatan terhadap:
     
    a.
    orang yang tidak mampu;
     
    b.
    penderita penyakit menular dan keracunan makanan pada kejadian luar biasa;
     
    c.
    para perintis kemerdekaan dan veteran pejuang;
     
    d.
    penduduk di Daerah fokus penularan penyakit dan Kejadian Luar Biasa/Wabah;
     
    e.
    para korban bencana alam dan kedaruratan kompleks pada fase tanggap darurat;
     
    f.
    peserta program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan atau program nasional/internasional lainnya yang menjadi komitmen global dan atau nasional;
     
    g.
    kader kesehatan aktif yang dibina pusat kesehatan masyarakat;
     
    h.
    anak sekolah sebagai rangkaian usaha kesehatan sekolah;
     
    i.
    kegiatan luar Gedung yang merupakan program nasional;
     
    j.
    bantuan medis untuk kegiatan sosial, olah raga, dan seni; dan/atau
     
    k.
    pemegang jaminan kesehatan nasional dan/atau kartu asuransi kesehatan yang dikelola oleh badan yang mempunyai kesepakatan kerjasama dengan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 60

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Pelayanan Kesehatan dihitung berdasarkan jumlah, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, satuan pelayanan, sarana dan prasarana pelayanan, serta jangka waktu pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Pelayanan Kebersihan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 62

    (1)
    Objek Retribusi Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     
     

    Pasal 63

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair.
    (2)
    Khusus untuk rumah tangga diukur berdasarkan penggunaan daya listrik yang terpasang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Pelayanan Kebersihan, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Pelayanan Kebersihan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 65

    Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 66

    Tingkat penggunaan jasa retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Pelayanan Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Pelayanan Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Pelayanan Pasar
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 68

    (1)
    Objek Retribusi Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan fasilitas pasar yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 69

    Tingkat penggunaan jasa Pelayanan Pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Pelayanan Pasar, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Pelayanan Pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 71

    Dengan nama Retribusi Pengendalian Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf e, dipungut retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh Kendaraan Bermotor perseorangan dan barang yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Objek Retribusi Pengendalian Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) huruf e merupakan penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh Kendaraan Bermotor perseorangan dan barang.
    (2)
    Ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kriteria:
     
    a.
    memiliki 2 (dua) jalur jalan yang masing-masing jalur memiliki paling sedikit 2 (dua) lajur; dan
     
    b.
    tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum massal dalam trayek.
    (3)
    Angkutan umum massal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus memenuhi standar pelayanan minimal berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan tingkat kepadatan lalu lintas pada suatu ruas jalan, koridor atau kawasan tertentu.
    (5)
    Tingkat kepadatan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan kriteria:
     
    a.
    memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,9 (nol koma sembilan); dan
     
    b.
    kecepatan rata-rata sama dengan atau kurang dari 10 (sepuluh kilometer per jam), berlangsung secara rutin pada setiap hari kerja.
    (6)
    Penetapan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
     
    a.
    sepeda motor;
     
    b.
    kendaraan penumpang umum;
     
    c.
    kendaraan pemadam kebakaran; dan
     
    d.
    ambulans.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 73

    Tingkat penggunaan jasa Pelayanan Pengendalian Lalu Lintas diukur berdasarkan jenis dan waktu penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu oleh Kendaraan Bermotor perseorangan dan barang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    RETRIBUSI JASA USAHA
     

    Pasal 75

    (1)
    Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 huruf b, terdiri atas 10 (sepuluh) jenis, yaitu:
     
    a.
    Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha;
     
    b.
    Penyediaan Tempat Pelelangan;
     
    c.
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan;
     
    d.
    Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila;
     
    e.
    Pelayanan Rumah Potong Hewan;
     
    f.
    Pelayanan Jasa Kepelabuhanan;
     
    g.
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga;
     
    h.
    Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan Kendaraan di Air;
     
    i.
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    j.
    Pemanfaatan Aset Daerah.
    (2)
    Penyediaan atau Pelayanan dalam Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dan ayat Pasal 75 ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kota berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.
    (7)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian jasa usaha.
    (8)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
    (9)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditetapkan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (10)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (11)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesatu
    Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 76

    Penyediaan tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 77

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha diukur berdasarkan jenis dan volume serta jangka waktu pemakaian tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 79

    (1)
    Objek Retribusi Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah tempat pelelangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 80

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Tempat Pelelangan diukur berdasarkan pada penggunaan fasilitas yang disediakan di tempat Pelelangan dan nilai transaksi jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Tempat Pelelangan, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Retribusi Tempat Pelelangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 82

    (1)
    Objek Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelayanan tempat parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 83

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan diukur berdasarkan pada penggunaan fasilitas yang disediakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 85

    (1)
    Objek Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 86

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila diukur berdasarkan pada jenis pelayanan, jenis fasilitas, sarana dan prasarana pelayanan, serta jangka waktu pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Retribusi Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 88

    (1)
    Objek Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak dan unggas termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, pelayanan pengangkutan daging hewan dan/atau daging unggas dari Rumah Pemotongan Hewan maupun Rumah Pemotongan Unggas ke pasar-pasar atau tempat penjualan oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta serta hewan yang dipotong untuk keperluan upacara keagamaan atau adat tidak dikenakan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 89

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan diukur berdasarkan fasilitas penyediaan rumah potong hewan, jenis hewan, jasa pemeriksaan, volume dan/atau sampel, unsur bahan pemeriksaan yang digunakan, dan jangka waktu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Retribusi Pelayanan Jasa Kepelabuhanan
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 91

    (1)
    Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelayanan jasa kepelabuhanan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
       

    Pasal 92

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan diukur berdasarkan jangka waktu pemakaian tempat tambat kapal, bongkar muat barang dan orang di Pelabuhan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 94

    (1)
    Objek Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut:
     
    a.
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, Dan Olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta; dan
     
    b.
    kegiatan lain yang direkomendasikan oleh Wali Kota atau instansi terkait;
     
    c.
    pelayanan terhadap kegiatan bagi siswa sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas, dengan melampirkan surat pengantar dari instansi terkait; dan
     
    d.
    mahasiswa untuk kepentingan penelitian dan sosial, yang dibuktikan dengan surat pengantar dari pihak Perguruan Tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 95

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga diukur berdasarkan jenis dan jangka waktu pemakaian fasilitas yang ada di tempat rekreasi, pariwisata, dan tempat olah raga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan Kendaraan di Air
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 97

    (1)
    Objek Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan Kendaraan di Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyeberangan yang dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 98

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan Kendaraan di Air diukur berdasarkan jenis pelayanan, jarak pelayanan, jenis kendaraan, jumlah penumpang dan barang, serta sarana dan prasarana pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan Kendaraan di Air, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan Kendaraan di Air.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 100

    (1)
    Objek Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyeberangan yang dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 101

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah diukur berdasarkan jumlah, kualitas dan ukuran serta jenis hasil produksi usaha daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 103

    (1)
    Objek Retribusi pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf j merupakan Aset yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu pemakaian Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam jangka waktu tertentu yang meliputi:
     
    a.
    untuk keperluan lainnya;
     
    b.
    pemakaian Bangunan dan/atau gedung;
     
    c.
    bangunan/rumah dinas Pemerintah Daerah;
     
    d.
    pemakaian kendaraan alat-alat berat;
     
    e.
    pemakaian laboratorium;
     
    f.
    pemakaian kendaraan angkutan.
    (2)
    Dikecualikan dari pengertian pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b yaitu:
     
    a.
    penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut; dan
     
    b.
    pemakaian Bangunan dan/atau Gedung oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
    (3)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna searah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (4)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 104

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah diukur berdasarkan jenis dan volume serta jangka waktu pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
     

    Pasal 106

    Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 huruf c, terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu:
    a.
    Persetujuan Bangunan Gedung; dan
    b.
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (4)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (5)
    Khusus untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung.
    (6)
    Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesatu
    Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 108

    (1)
    Objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a, adalah penerbitan PBG dan SLF.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan surat bukti kepemilikan bangunan gedung, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk:
     
    a.
    pekerjaan pemeliharaan; dan
     
    b.
    pekerjaan perawatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    Tidak termasuk objek retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) adalah penerbitan PBG dan SLF untuk bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    (1)
    Subjek Retribusi PBG adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh PBG dan SLF.
    (2)
    Subjek Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan wajib retribusi yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi PBG, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi PBG.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 111

    (1)
    Besarnya retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan retribusi PBG.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
    (3)
    Harga satuan retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    indeks lokalitas dan Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    Harga satuan retribusi Prasarana Bangunan Gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung.
    (4)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
     
    a.
    Bangunan Gedung; dan
     
    b.
    Prasarana Bangunan Gedung.
    (5)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    Luas Total Lantai;
     
    b.
    Indeks Terintegrasi; dan
     
    c.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
    (6)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    Volume;
     
    b.
    Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
     
    c.
    Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi PBG, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi PBG.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing
     
    Paragraf 1
    Nama, Objek, dan Subjek
     

    Pasal 113

    Dengan nama Retribusi Penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b, dipungut retribusi yang berasal dari pembayaran DKPTKA atas pengesahan RPTKA Perpanjangan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    Penyelenggaraan pelayanan penggunaan TKA perpanjangan dilakukan melalui 2 (dua) proses, yaitu:
    a.
    permohonan; dan
    b.
    penerbitan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a, diajukan oleh Pemberi Kerja TKA secara luring atau daring kepada Menteri yang menbidangi ketenagakerjaan atau Pejabat yang ditunjuk.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    (1)
    Objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b, adalah Pengesahan RPTKA Perpanjangan bagi TKA yang bekerja di Daerah.
    (2)
    Tidak termasuk objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah Pengesahan RPTKA Perpanjangan untuk:
     
    a.
    instansi pemerintah;
     
    b.
    perwakilan negara asing;
     
    c.
    badan internasional;
     
    d.
    lembaga sosial;
     
    e.
    lembaga keagamaan; dan
     
    f.
    jabatan tertentu di lembaga Pendidikan.
    (3)
    Jabatan tertentu di Lembaga Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan jabatan yang telah ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    (1)
    Subjek Retribusi Penggunaan TKA adalah Pemberi Kerja TKA yang memperoleh Pengesahan RPTKA Perpanjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Subjek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan wajib retribusi yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Penggunaan TKA
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Struktur dan Besaran Tarif serta Wilayah Pemungutan
     

    Pasal 118

    (1)
    Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas pemberian layanan dengan tarif Retribusi.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa Retribusi Penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan:
     
    a.
    jumlah penerbitan Pengesahan RPTKA Perpanjangan; dan
     
    b.
    jangka waktu Pengesahan RPTKA Perpanjangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    Pemungutan terhadap penyelenggaraan Retribusi Penggunaan TKA, dilaksanakan di Wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Retribusi Retribusi Penggunaan TKA.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Pendaftaran dan Pendataan Pajak
     

    Pasal 120

    (1)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak berdasarkan penetapan Wali Kota antara lain surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
    (2)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak berdasarkan perhitungan sendiri oleh wajib pajak antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
    (3)
    Dokumen pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh wajib pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.
    (4)
    Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan baik berbentuk dokumen bercetak maupun dokumen elektronik.
    (5)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langgaran, surat perjanjian, dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Pemungutan pajak dan retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    Pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    Penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    Pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    Pelaporan;
     
    e.
    Pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    Pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    Penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    Keberatan;
     
    i.
    Gugatan;
     
    j.
    Penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
     
    k.
    Pengaturan lainnya yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Wali Kota berpedoman pada Peraturan Perundang-Undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 122

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (6)
    ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pembukuan
     

    Pasal 123

    (1)
    Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
     
    a.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan
     
    b.
    bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
    (2)
    Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
    (3)
    Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
    (4)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
    (5)
    Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pelaporan
     
    Paragraf 1
    Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD
     

    Pasal 124

    (1)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak PBB-P2, Pajak Reklame, PAT, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota oleh Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup Pajak BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
    (3)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu Masa Pajak.
    (4)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wali Kota setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
    (5)
    Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (6)
    SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
    (3)
    Berdasarkan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wali Kota menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
    (4)
    Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD, penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau Sanksinya
     
    Paragraf 1
    Insentif Fiskal Pajak Dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha
     

    Pasal 126

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, antara lain:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Kota Palangka Raya dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Kepala Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor antara lain:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Perkada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Dalam hal pemberian insentif fiskal merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lainnya.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 129

    (1)
    Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 130

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pokok Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
     
    d.
    wabah penyakit;
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data
     
    Paragraf 1
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
     

    Pasal 131

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah lain; dan/atau
     
    c.
    pihak ketiga.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
    (4)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, sampai dengan huruf g.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama;
     
    b.
    maksud dan tujuan;
     
    c.
    ruang lingkup;
     
    d.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    e.
    jangka waktu perjanjian;
     
    f.
    sumber pembiayaan;
     
    g.
    penyelesaian perselisihan;
     
    h.
    sanksi;
     
    i.
    korespondensi; dan
     
    j.
    perubahan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
     

    Pasal 133

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Optimalisasi Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara Internal
     

    Pasal 134

    Optimalisasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilakukan antara lain melalui:
    a.
    penyesuaian tugas pokok dan fungsi Perangkat Daerah yang melakukan pemungutan;
    b.
    peningkatan koordinasi dengan sesama Perangkat Daerah; dan
    c.
    pembentukan Tim Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 135

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    SANKSI ADMINISTRASI
     

    Pasal 136

    (1)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
    (3)
    Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) per STPD.
    (4)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeure).
    (5)
    Kriteria keadaan kahar meliputi:
     
    a.
    Bencana alam;
     
    b.
    Kebakaran;
     
    c.
    Kurusuhan dan/atau huru hara;
     
    d.
    Pemogokan; dan
     
    e.
    Pandemi dan/atau epidemi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 137

    (1)
    Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 138

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai pasal Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai pasal Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai pasal Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 141

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 140 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN LAIN-LAIN
     

    Pasal 142

    Struktur dan besarnya Tarif Retribusi Daerah yang terdiri dari Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    (1)
    Tarif retribusi ditinjau paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian tanpa melakukan perubahan objek retribusi.
    (3)
    Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 144

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 145

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 135, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    Pada saat Peraturan daerah ini mulai berlaku, khusus ketentuan mengenai Pajak MBLB dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Tahun 2018 Nomor 6), masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan daerah atau Peraturan Wali Kota mengenai pengelolaan BLUD dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi paling lama sampai dengan tanggal 4 Januari 2024;
    b.
    Ketentuan mengenai pemanfaatan aset daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi paling lama sampai dengan tanggal 4 Januari 2024; dan
    c.
    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 148

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, khusus ketentuan mengenai penentuan harga jual MBLB mengacu pada Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 150

    Pada saat Peraturan Daerah mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sudah ada sebelum Peraturan Daerah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 151

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Tahun 2018 Nomor 6);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Tahun 2018 Nomor 5);
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Palangka Raya Nomor 3 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah;
    Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 152

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua Peraturan Wali Kota yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Tahun 2018 Nomor 6);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kota Palangka Raya Tahun 2018 Nomor 5);
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Palangka Raya Nomor 3 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah;
    Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 153

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah mengenai pengelolaan BLUD dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi paling lama sampai dengan tanggal 4 Januari 2024;
    b.
    Ketentuan mengenai pemanfaatan aset daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi paling lama sampai dengan tanggal 4 Januari 2024; dan
    c.
    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    (1)
    Peraturan Wali Kota berkenaan pelaksanaan Pelayanan pada Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini, disusun oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan pelayanan sesuai tugas pokok dan fungsi.
    (2)
    Peraturan Wali Kota berkenaan pelaksanaan pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Daerah ini, disusun oleh Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan daerah bersama-sama dengan Perangkat Daerah terkait sesuai tugas pokok dan fungsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 155

    Peraturan Wali Kota sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini, ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 156

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Palangka Raya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Palangka Raya
    pada tanggal, 27 Februari 2024
    PJ. WALI KOTA PALANGKA RAYA,
    dto.
    HERA NUGRAHAYU
     
    Diundangkan di Palangka Raya
    pada tanggal, 27 Februari 2024
    Pj. SEKRETARIS DAERAH KOTA PALANGKA RAYA,
    dto.
    JONI HARTA
     
    LEMBARAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Palangka Raya harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan Selama ini, Kota Palangka Raya telah menetapkan dan memberlakukan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Galian Golongan C dan Pajak Parkir dengan berdasarkan kepada undang-undang perpajakan daerah yang lama.
     
    Peraturan Daerah ini mengatur 9 (sembilan) Pajak Daerah yaitu PBB-P2, BPHTB, PBJT, Pajak Reklame, PAT, Pajak MBLB, Pajak Sarang Burung Walet, serta pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan Kota, yaitu Opsen PKB dan Opsen BBNKB, dan mengatur 3 jenis Retribusi meliputi Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.
     
    Peraturan Daerah ini memberikan landasan hukum bagi Pemerintah Kota Palangka Raya untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha di Kota Palangka Raya, serta disisi lainnya dapat mendorong peningkatan pendapatan asli Daerah, guna membiayai pembangunan Daerah dan pelayanan kepada masyarakat Kota Palangka Raya.
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Ayat (1)
    Cukup Jelas.
    Ayat (2)
    Pajak merupakan kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa. Pungutan atas nama Pajak yang menjadi wewenang Kota Palangka Raya dilakukan berdasarkan penetapan Wali Kota atau perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak. Dengan demikian, jika suatu kegiatan usaha telah dijalankan atau dilaksanakan, maka atas kegiatan usaha tersebut dapat dipungut Pajak yang menjadi wewenang Kota Palangka Raya berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Walaupun kegiatan usaha tersebut belum atau tidak memiliki izin. Disamping itu, dalam rangka tertib izin berusaha, orang pribadi atau badan yang menjadi Pelaku Usaha dimaksud, tetap diwajibkan sesuai Peraturan Perundang-Undangan untuk secepatnya melakukan pengurusan izin usaha.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Ayat (1)
    1.
    Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
     
    a.
    suatu saat tertentu, misalnya untuk BPHTB;
     
    b.
    akhir masa Pajak, misalnya untuk PBJT; atau
     
    c.
    suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PBB-P2.
    2.
    Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    3.
    Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Huruf a
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    Huruf b
    Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
    Huruf c
    Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota misal, Kota A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
    1.
    NJOP < Rp X juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
    2.
    NJOP Rp X juta - Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
    3.
    NJOP > Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Contoh: Contoh pemungutan PBB-P2 atas Jembatan A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kota Y dan melintasi wilayah perairan darat di antara dua Kota tersebut, atas bumi dan/atau bangunan Jembatan A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kota Y.
     
    Wilayah pemungutan PBB-P2 atas Jembatan A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kota Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    Pasal 10
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Bahwa yang dimaksud dengan kepentingan ibadah merupakan rumah ibadah yang digunakan oleh umat beragama untuk beribadah menurut ajaran agama atau kepercayaan mereka masing-masing misalnya Gereja, Masjid, Pura, Vihara, dan Kelenteng.
    Huruf h
    Hanya ahli waris yang termasuk dalam kriteria Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang mendapatkan keringan BPHTB.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan (akta) pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
     
    Contoh: Tuan A memiliki hak milik atas tanah seluas 5000 m2, kemudian Tuan A memberikan hak guna bangunan di atas tanah tersebut kepada PT XYZ, maka saat terutangnya BPHTB untuk transaksi tersebut adalah pada saat ditandatanganinya surat keputusan (akta) pemberian hak guna bangunan tersebut atas nama PT XYZ.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Bahwa yang dimaksud dengan kepentingan ibadah merupakan rumah ibadah yang digunakan oleh umat beragama untuk beribadah menurut ajaran agama atau kepercayaan mereka masing-masing misalnya Gereja, Masjid, Pura, Vihara, dan Kelenteng.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 27
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Huruf a
    Penghitungan nilai jual tenaga listrik untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan tenaga listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual tenaga listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Termasuk ke dalam ketentuan pasal ini seperti Mall, Hotel, Pabrik, Perbankan yang menghasilkan daya listrik sendiri.
    Pasal 29
    Cukup Jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup Jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Yang dimaksud “kendaraan bermotor” merupakan kendaraan bermotor angkutan penumpang dan kendaraan bermotor angkutan barang. Kendaraan bermotor angkutan penumpang meliputi:
    1.
    mobil penumpang; dan
    2.
    mobil bus.
     
    Kendaraan bermotor angkutan barang meliputi semua kendaraan umum angkutan barang.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan ‘pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi’ adalah pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Kota, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Contoh: Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan Juni 2020, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September untuk pembayaran dan tanggal 15 September untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di daerah tersebut.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Contoh:
    1.
    Wajib Pajak memiliki Utang Pajak sebesar Rp100 juta untuk masa Pajak April 202X yang disetujui oleh Wali Kota pada tanggal 5 Mei 202X untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 202X dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
     
    a.
    Pembayaran angsuran pertama tanggal 1 Juni 202X = Rp25 juta + (1% x Rp100 juta) = Rp26 juta
     
     
    Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada Juni 202X sebesar 1%
     
    b.
    Pembayaran angsuran kedua tanggal 1 Juli 2020 = Rp25 juta + (0,8% x Rp75 juta) = Rp25,6 juta
     
     
    Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada Juli 202X sebesar 0,8%
     
    c.
    Pembayaran angsuran ketiga tanggal 1 Agustus 2020 = Rp25 juta + (1% x Rp50 juta) = Rp25,5 juta
     
     
    Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada Agustus 202X sebesar 1%
     
    d.
    Pembayaran angsuran terakhir tanggal 1 September 2020 = Rp25 juta + (0,8% x Rp25 juta) = Rp25,2 juta
     
     
    Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada September 202X sebesar 0,6%
    2.
    Wajib Pajak memiliki Utang Pajak sebesar Rp100 juta untuk masa Pajak April 202X yang seharusnya jatuh tempo pada tanggal 10 Mei 202X, disetujui oleh Wali kota pada tanggal 5 Mei 202X untuk ditunda pembayarannya selama 6 (enam) bulan. Maka pembayaran Pajak setelah 6 bulan adalah sebagai berikut: Pembayaran pada tanggal 10 November 202X = Rp100 juta + (1% x Rp100 juta x 6 bulan) = Rp106 juta. Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada November 202X sebesar 1%.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan Pajak.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud “pengawasan Wajib Pajak bersama” merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Contoh: Fiscus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Contoh Penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik/PPMSE.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Huruf a
    Penyesuaian ini dimaksudkan agar menghindari tumpang tindih pelaksanaan pungutan dengan objek yang sama
    Huruf b
    Peningkatan koordinasi salah satunya dilakukan dengan cara menjadikan syarat perpanjangan perizinan usaha baru adalah tidak adanya Pajak Daerah atau Retribusi Daerah yang terutang. Contoh yang lainnya adalah apabila ada suatu event musik di stadion olahraga, maka dilakukan koordinasi antara Perangkat Daerah terkait untuk melakukan pemungutan terhadap Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum dengan Perangkat Daerah lainnya yang juga melakukan pemungutan Retribusi yang menjadi wewenangnya.
    Huruf c
    Tim Optimalisasi Perangkat Daerah ini berisikan Perangkat Daerah terkait dan pihak-pihak lainnya sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Ayat (1)
    Pendaftaran permohonan oleh pemohon PBG melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung dilakukan secara online maupun offline. Pendaftaran secara offline dilakukan sebagai alternatif apabila terdapat gangguan atau keterbatasan dalam hal jaringan sinyal, perangkat pendukung (seperti komputer, laptop, handphone, gadget dan lain-lain), dan/atau peta kawasan secara digital. Hasil dari offline nanti kemudian menjadi dasar penginputan secara online.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Ayat (1)
    Penetapan nilai retribusi didasarkan pada data yang disediakan oleh Kementerian yang membidangi Bangunan Gedung. Dalam hal data untuk penetapan nilai retribusi tidak tersedia, maka menggunakan data lain sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Cukup jelas.
     
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 1

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024