Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA MEDAN,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintah Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
|
|||
b.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, di mana disebutkan bahwa dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-kota Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1092);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
7.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
|||
8.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2023 tentang Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6864);
|
|||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
|
|||
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
|
|||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
|
|||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
|
|||
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6648);
|
|||
14.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 2023, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
|
|||
15.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
|
|||
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH MEDAN
dan
WALI KOTA MEDAN
|
||||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah adalah Kota Medan.
|
|||
2.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
3.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Medan.
|
|||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Kota Medan.
|
|||
5.
|
Kepala Daerah adalah Wali Kota Medan.
|
|||
6.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
7.
|
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Perda Kota Medan.
|
|||
8.
|
Peraturan Wali Kota adalah Peraturan Wali Kota Medan.
|
|||
9.
|
Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada Pemerintah Daerah Kota Medan yang bertanggung jawab kepada Wali Kota Medan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di Kota Medan.
|
|||
10.
|
Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
|
|||
11.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
|
|||
12.
|
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||
13.
|
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
|||
14.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
15.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
|||
16.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
17.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||
18.
|
Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada Daerah berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja di bidang dapat berupa tata kelola keuangan Daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional.
|
|||
19.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
|||
20.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
|||
21.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||
22.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
23.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Kota.
|
|||
24.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
|
|||
25.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||
26.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
27.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
|
|||
28.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
|||
29.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
|||
30.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
|||
31.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
|||
32.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
|||
33.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
|||
34.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
|||
35.
|
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
|||
36.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang atau badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
|
|||
37.
|
Nilai strategis penyelenggaraan Reklame adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik lokasi pemasangan reklame tersebut berdasarkan kriteria kepadatan, pemanfaatan tata ruang untuk berbagai aspek kegiatan di bidang usaha.
|
|||
38.
|
Nilai jual obyek pajak Reklame adalah, keseluruhan pembayaran/pengeluaran hingga biaya yang dikeluarkan oleh pemilik dan/atau penyelenggaraan reklame termasuk dalam hal ini adalah biaya/harga beli bahan reklame, konstruksi instalasi listrik, pembayaran/ongkos perakitan, pemancaran, peragaan, penayangan, pengecatan, pemasangan dan transportasi pengangkutan, sampai dengan bangunan reklame selesai, dipancarkan, diperagakan, ditayangkan dan/atau terpasang di tempat yang diizinkan.
|
|||
39.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
40.
|
Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
|||
41.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
|||
42.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
43.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
44.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
|
|||
45.
|
Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
|
|||
46.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
|||
47.
|
Pajak yang Terutang, adalah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
48.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
|
|||
49.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
50.
|
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
51.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
|
|||
52.
|
Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
|
|||
53.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||
54.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
|
|||
55.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
|
|||
56.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
|
|||
57.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
58.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
59.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
|
|||
60.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
61.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
62.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
|
|||
63.
|
Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||
64.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
|
|||
65.
|
Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
66.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
|
|||
67.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
|
|||
68.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
|||
69.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan retribusi Daerah.
|
|||
70.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu.
|
|||
71.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
72.
|
Jasa Umum adalah adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
|||
73.
|
Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
|
|||
74.
|
Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dilaksanakan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas Rujukan, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling atau di Laboratorium Kesehatan Daerah, serta Rumah Sakit Daerah.
|
|||
75.
|
Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah adalah pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat atas jasa pelayanan kesehatan oleh Pemerintah Daerah.
|
|||
76.
|
Pelayanan kebersihan adalah kegiatan yang meliputi pengambilan, pengangkutan dan pembuangan serta penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan sampah rumah tangga, industri dan perdagangan, tidak termasuk pelayanan kebersihan jalan umum, taman dan ruangan/tempat umum.
|
|||
77.
|
Retribusi Pelayanan Kebersihan adalah adalah pembayaran atas jasa pelayanan kebersihan yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
|||
78.
|
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
|
|||
79.
|
Pengangkutan sampah adalah kegiatan membawa sampah dari sumber atau tempat penampungan sementara menuju tempat pengolahan sampah terpadu atau pemrosesan akhir.
|
|||
80.
|
Pengolahan sampah adalah kegiatan mengubah karakteristik, komposisi, dan/atau jumlah sampah.
|
|||
81.
|
Pemrosesan akhir sampah adalah kegiatan mengembalikan sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
|
|||
82.
|
Tempat penampungan sampah sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
|
|||
83.
|
Tempat Pembuangan Akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah tempat untuk menampung, mengelola dan memusnahkan sampah.
|
|||
84.
|
Tempat pengolahan sampah terpadu yang selanjutnya disingkat TPST adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan dan pemrosesan akhir.
|
|||
85.
|
Tempat pemrosesan akhir yang selanjutnya dapat disingkat TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
|
|||
86.
|
Komposisi sampah adalah perbandingan sampah berdasarkan jumlah/volume, karakteristik, dan/atau sumber sampah.
|
|||
87.
|
Kebersihan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih seperti penyapuan, pengumpulan, pembuangan dan pemusnahan sampah.
|
|||
88.
|
Fasilitas parkir untuk umum adalah fasilitas parkir yang diselenggarakan di tepi jalan umum dan/atau tempat khusus parkir.
|
|||
89.
|
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah Retribusi atau Pungutan daerah yang dipungut atas penggunaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
90.
|
Kendaraan Bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan dengan peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel, yang meliputi Mobil Jeep, Pick Up, Mikro Bus, Sedan, Bus, Truk dan Sejenisnya.
|
|||
91.
|
Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.
|
|||
92.
|
Jalan Umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
|
|||
93.
|
Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
|||
94.
|
Aset Daerah adalah semua kekayaan daerah yang dimiliki maupun yang dikuasai pemerintah daerah, yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
|
|||
95.
|
Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemanfaatan aset Daerah yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan
|
|||
96.
|
Tempat Khusus Parkir adalah Tempat memarkir kendaraan yang disediakan khusus oleh Pemerintah Daerah;
|
|||
97.
|
Retribusi Tempat Khusus Parkir adalah Pungutan daerah yang dipungut atas penggunaan pelayanan tempat khusus parkir yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
98.
|
Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga adalah pembayaran atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olah raga milik pemerintah daerah.
|
|||
99.
|
Izin Pemakaian Tanah adalah izin yang diberikan oleh Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk untuk memakai tanah dan bukan merupakan pemberian hak pakai atau hak-hak atas tanah lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
|
|||
100.
|
Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
|
|||
101.
|
Fasilitas umum adalah pemakaian tanah yang digunakan untuk kepentingan umum antara lain untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, peribadatan, sosial budaya, olahraga dan rekreasi.
|
|||
102.
|
Perdagangan dan/atau jasa komersial adalah pemakaian tanah yang digunakan untuk kegiatan bersifat komersial antara lain tempat bekerja, tempat berusaha, serta hiburan dan rekreasi.
|
|||
103.
|
Gedung adalah bangunan yang dikuasai Pemerintah Daerah.
|
|||
104.
|
Perizinan Tertentu adalah adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
105.
|
Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
|||
106.
|
Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat Retribusi PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
|
|||
107.
|
Retribusi Persetujuan Bangunan adalah retribusi perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar jenis Bangunan Gedung.
|
|||
108.
|
Masyarakat adalah perseorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang Bangunan Gedung, serta masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
|
|||
109.
|
Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST), atau yang sebelum Peraturan Pemerintah ini dikenal dengan HSBGN (Harga Satuan Bangunan Gedung Negara) adalah biaya paling banyak per meter persegi pelaksanaan konstruksi pekerjaan standar untuk pembangunan bangunan gedung negara.
|
|||
110.
|
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
|
|||
111.
|
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
|
|||
112.
|
Rencana Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat RTB adalah dokumen yang berisi hasil identifikasi kondisi terbangun Bangunan Gedung dan lingkungannya, metodologi pembongkaran, mitigasi risiko pembongkaran, gambar rencana teknis Pembongkaran, dan jadwal pelaksanaan pembongkaran.
|
|||
113.
|
Pemilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Pemilik adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai Pemilik Bangunan Gedung;
|
|||
114.
|
Pemohon adalah Pemilik Bangunan Gedung atau yang diberi kuasa untuk mengajukan permohonan penerbitan PBG, SLF, RTB, dan/atau SBKBG.
|
|||
115.
|
Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SIMBG adalah sistem elektronik berbasis web yang digunakan untuk melaksanakan proses penyelenggaraan PBG, SLF, SBKBG, RTB, dan Pendataan Bangunan Gedung disertai dengan informasi terkait Penyelenggaraan Bangunan Gedung
|
|||
116.
|
Standar Teknis Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Standar Teknis adalah acuan yang memuat ketentuan, kriteria, mutu, metode, dan/atau tata cara yang harus dipenuhi dalam proses penyelenggaraan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.
|
|||
117.
|
Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga Negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
|
|||
118.
|
Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
|
|||
119.
|
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
|
|||
120.
|
Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA Perpanjangan adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
|
|||
121.
|
Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah.
|
|||
122.
|
Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga asing.
|
|||
123.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
|
|||
124.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
125.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
126.
|
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
|
|||
127.
|
Kas Umum Daerah, adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Wali Kota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah.
|
|||
128.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
|
|||
129.
|
Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
|
|||
130.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
|
|||
131.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
|||
132.
|
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
133.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
134.
|
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bagi pemerintah daerah, serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bagi masyarakat.
|
|||
(2)
|
Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Jenis Pajak terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
BPHTB;
|
||
|
c.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
jasa parkir;
|
|
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan
|
|
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
e.
|
PAT;
|
||
|
f.
|
Pajak MBLB
|
||
|
g.
|
Pajak Sarang Burung Walet;
|
||
|
h.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
i.
|
Opsen BBNKB.
|
||
(2)
|
Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, huruf h dan huruf i, dipungut oleh Pemerintah Kota Medan.
|
|||
(3)
|
Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, tidak dipungut oleh Pemerintah Kota Medan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri dari:
|
|||
|
a.
|
PBB-P2;
|
||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
c.
|
PAT;
|
||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
||
|
e.
|
Opsen BBNKB
|
||
(2)
|
Jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh wajib pajak:
|
|||
|
a.
|
BPHTB;
|
||
|
b.
|
PBJT atas:
|
||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
|
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
|
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
|
|
|
4.
|
jasa parkir; dan
|
|
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan
|
|
|
c.
|
Pajak Sarang Burung Walet.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Rincian Pajak
Paragraf 1
PBB-P2
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
|||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
|||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
|
||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
|
|||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
|||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp20.000.000,- (dua puluh juta) untuk setiap Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
|||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
|
|||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
|
|||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
|||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
||
|
c.
|
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Untuk NJOP sampai dengan Rp499.999.999,00 (empat ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh rupiah) sebesar 0,125% (nol koma satu dua lima persen);
|
||
|
b.
|
Untuk NJOP Rp500.000.000,00 (lima ratus juta) sampai dengan Rp999.999.999,00 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah) sebesar 0,150% (nol koma satu lima nol persen);
|
||
|
c.
|
Untuk NJOP Rp1.000.000.000,00 (satu miliar) sampai dengan Rp1.999.999.999,00 (satu miliar sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah) sebesar 0,235% (nol koma dua tiga lima persen);
|
||
|
d.
|
Untuk NJOP Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan Rp3.999.999.999,00 (tiga miliar sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah) sebesar 0,250% (nol koma dua lima nol persen); dan
|
||
|
e.
|
Untuk NJOP di atas Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) sebesar 0,280% (nol koma dua delapan nol persen).
|
||
(2)
|
Tarif PBB-P2 berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,100% (nol koma satu nol nol persen).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau ayat (2).
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau bangunan.
|
|||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
|||
(4)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
|||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
|||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya, dan
|
||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
BPHTB
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Objek Pajak BPHTB adalah Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
||
|
|
1.
|
jual beli;
|
|
|
|
2.
|
tukar menukar;
|
|
|
|
3.
|
hibah;
|
|
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
|
|
|
5.
|
waris;
|
|
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
|
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
|
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
|
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
|
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
|
(3)
|
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
hak milik;
|
||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
||
|
d.
|
hak pakai;
|
||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
|||
|
a.
|
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota
|
|||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
nilai pasar untuk:
|
||
|
|
1.
|
tukar menukar;
|
|
|
|
2.
|
hibah;
|
|
|
|
3.
|
hibah wasiat;
|
|
|
|
4.
|
waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
|
|
|
|
5.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
|
|
6.
|
peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
7.
|
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|
|
|
8.
|
pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha;
|
|
|
|
9.
|
peleburan usaha;
|
|
|
|
10.
|
pemekaran usaha, dan;
|
|
|
|
11.
|
hadiah; dan
|
|
|
c.
|
Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
|||
(4)
|
Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk kepemilikan pertama.
|
|||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
|||
|
a.
|
Jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau
|
||
|
b.
|
Jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran dimaksud.
|
||
(5)
|
BPHTB yang terutang atas pemindahan hak karena jual beli paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.
|
|||
(6)
|
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
|||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
|||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
|||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
PBJT
Pasal 19 |
||||
Objek PBJT adalah penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
||||
a.
|
Makanan dan Minuman;
|
|||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
|||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
|||
d.
|
Jasa Parkir;
|
|||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
|||
|
a.
|
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi di mana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan;
|
|
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|
|
c.
|
Penyelenggaraan kegiatan makan minum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, maupun pihak swasta yang berada di wilayah pemungutan PBJT.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
|||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per-bulan.
|
||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
|||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|||
|
a.
|
hotel;
|
||
|
b.
|
hostel;
|
||
|
c.
|
villa;
|
||
|
d.
|
pondok wisata;
|
||
|
e.
|
motel;
|
||
|
f.
|
losmen;
|
||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
||
|
k.
|
glamping.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi:
|
|||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
||
|
e.
|
pameran;
|
||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
|||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu, termasuk Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, maupun pihak swasta yang berada di wilayah pemungutan PBJT.
|
|||
(3)
|
Wilayah Pemungutan PBJT adalah wilayah daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
|||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
|
||
(2)
|
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
|||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Dalam hal pemerintah daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pemerintah daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
|||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
||
(2)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
||
(3)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)
|
|||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
|||
|
a.
|
konsumsi rumah tangga ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen);
|
||
|
b.
|
konsumsi bisnis ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
c.
|
konsumsi sosial non-komersil dan pemerintahan ditetapkan sebesar 0% (nol persen);
|
||
|
d.
|
konsumsi sosial komersil ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
e.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
|
||
|
f.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen); dan
|
||
|
g.
|
Konsumsi Tenaga Listrik dari sumber selain yang diatur pada huruf a dan huruf b, ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan ditetapkan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Tontonan film dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
b.
|
Pameran yang bersifat komersial sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
c.
|
Sirkus, akrobat, dan sulap, sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
d.
|
Permainan bilyar sebesar 10% (sepuluh belas persen);
|
||
|
e.
|
Pagelaran kesenian, musik tari dan/atau busana yang bersifat komersil sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
f.
|
Pertandingan olahraga sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
g.
|
Kontes kecantikan yang bersifat komersil sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
h.
|
Panti pijat, refleksi, dan pusat kebugaran (fitness centre) sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
i.
|
Diskotik, karaoke, klub malam, bar dan mandi uap/spa sebesar 40% (empat puluh persen);
|
||
|
j.
|
Pacuan kuda sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
k.
|
Perlombaan kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan-ketangkasan lainnya sebesar 10% (sepuluh persen);
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
|||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Pajak Reklame
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
|||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
||
|
b.
|
Reklame kain;
|
||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
||
|
f.
|
Reklame udara;
|
||
|
g.
|
Reklame apung;
|
||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
|||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
|
||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
|||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
Tarif pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
|
|||
(4)
|
Khusus untuk reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
PAT
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
|||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
||
|
d.
|
peternakan rakyat; dan
|
||
|
e.
|
keperluan keagamaan.
|
||
|
f.
|
Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan pemerintah daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
|||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
|||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
|||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
||
(5)
|
Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam daerah Kota ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen)
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
|
|||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual Sarang Burung Walet.
|
|||
(2)
|
Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tepat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Opsen PKB
Pasal 45 |
||||
Objek opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Opsen BBNKB
Pasal 50 |
||||
Objek Opsen BBNKB dikenakan atas pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 53.
|
|||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam Bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
|
|||
(3)
|
Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
|
|||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
|||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
|||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
|||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
|||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
||
|
|
|
|
|
BAB IV
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 57 |
||||
Jenis Retribusi Daerah terdiri dari:
|
||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
|||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha;
|
|||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 58 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum.
|
||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan pada Puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, Rumah Sakit Umum Daerah dan Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
|
||
|
b.
|
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
|
||
|
c.
|
penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
|
||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
|||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
|||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(2)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(3)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 67 |
||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b meliputi:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
b.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
c.
|
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
d.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
|
||
(2)
|
Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(6)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk pemanfaatan aset daerah berupa pemanfaatan barang milik Daerah dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk pemanfaatan barang milik Daerah, berupa:
|
|||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
||
(3)
|
Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
|||
(4)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
||
|
b.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
||
|
c.
|
penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
|
||
|
d.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
|||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
|||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dengan tarif Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(2)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif untuk pemanfaatan barang milik daerah ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
|||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 77 |
||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing.
|
||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan Plakat SLF.
|
|||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
|||
|
a.
|
Pembangunan baru;
|
||
|
b.
|
Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
|
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
|
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
|
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
|
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
|
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
|
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
|
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
|
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
(1)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
(2)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan;
|
||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan; dan
|
||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
|
|
|
2.
|
Luas Lokalitas;
|
|
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi; dan
|
|
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
|
|
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Volume;
|
|
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
|
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
|||
(3)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
|||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Khusus untuk tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
|
|||
(3)
|
Harga Satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
|
|||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
|||
(2)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
(3)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
|||
(5)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
|||
(6)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
|
|||
(7)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
(8)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Tarif Retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
|
|||
(2)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
|||
(3)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
|
|||
(3)
|
Pembayaran atau penyetoran retribusi dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik dan/atau manual.
|
|||
(4)
|
Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi.
|
|||
(5)
|
Mekanisme dan tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau Sanksinya
Paragraf 1
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
|
|||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
|||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, antara lain:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
|
||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
|
|||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor antara lain:
|
|||
|
a.
|
kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
|
||
|
b.
|
kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
||
|
c.
|
kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
|
||
|
d.
|
faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
|
||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
|
|||
(7)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
|
|||
(8)
|
Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) dan ayat (5).
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pemberian Keringanan, Pengurangan dan Pembebasan
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
|||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, khususnya masyarakat miskin, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan, serta dalam hal penerimaan hak karena waris dan hibah.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak atau pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Kemudahan Perpajakan Daerah
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
|||
|
a.
|
perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang.
|
||
(2)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
|
|||
(6)
|
Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
|
|||
(7)
|
Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
|
||
|
b.
|
menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
|
||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||
(8)
|
Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
|
|||
(9)
|
Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|||
(10)
|
Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
|
||
|
d.
|
wabah penyakit.
|
||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan Penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam rangka Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
|
|||
(6)
|
Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
|
|||
|
a.
|
mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau
|
||
|
b.
|
membatalkan STPD atau membatalkan hasil pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
|
||
|
c.
|
menolak permohonan Wajib Pajak.
|
||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Wali Kota
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Opsen Pemungutan
Pasal 94 |
||||
(1)
|
Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari:
|
|||
|
a.
|
PKB; dan
|
||
|
b.
|
BBNKB.
|
||
(2)
|
Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a dan huruf b didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah.
|
|||
(3)
|
Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 66% (enam puluh enam persen) dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 52.
|
|||
(4)
|
Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB dan BBNKB.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Pasal 95 |
||||
(1)
|
Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
|||
(2)
|
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
kemampuan membayar pajak terutang;
|
||
|
b.
|
penerima hibah dan/atau warisan;
|
||
|
c.
|
penerima bantuan dari pemerintah;
|
||
|
d.
|
lembaga sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan; dan
|
||
|
e.
|
masyarakat berpenghasilan rendah di bawah UMK.
|
||
(3)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
terdampak bencana alam;
|
||
|
b.
|
kebakaran;
|
||
|
c.
|
huru-hara; dan/atau
|
||
|
d.
|
kerusuhan
|
||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
|
|||
(2)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD, dengan klasifikasi sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk omset sampai dengan Rp499.999.999,00 (empat ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh rupiah) ditetapkan sebesar Rp250.000.- (dua ratus lima puluh ribu rupiah);
|
||
|
b.
|
untuk omset Rp500.000.000,00 (lima ratus juta) sampai dengan Rp999.999.999,00 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah) ditetapkan sebesar Rp500.000.- (lima ratus ribu rupiah), dan
|
||
|
c.
|
untuk omset ≥ Rp1.000.000.000,00 (satu miliar) ditetapkan ditetapkan sebesar Rp1.500.000.- (satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
|
||
(3)
|
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeure).
|
|||
(4)
|
Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||
|
a.
|
Bencana alam;
|
||
|
b.
|
Kebakaran;
|
||
|
c.
|
Kerusuhan massal atau huru hara; dan/atau
|
||
|
d.
|
Wabah penyakit.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||
(1)
|
Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
|||
(2)
|
Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
|||
|
a.
|
pendaftaran dan pendataan;
|
||
|
b.
|
penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
|
||
|
c.
|
pembayaran dan penyetoran;
|
||
|
d.
|
pelaporan;
|
||
|
e.
|
pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
|
||
|
f.
|
pemeriksaan Pajak;
|
||
|
g.
|
penagihan Pajak dan Retribusi;
|
||
|
h.
|
keberatan;
|
||
|
i.
|
gugatan;
|
||
|
j.
|
penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
|
||
|
k.
|
pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Paragraf 1
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dengan:
|
|||
|
a.
|
Pemerintah;
|
||
|
b.
|
Pemerintah Daerah lain; dan/atau
|
||
|
c.
|
pihak ketiga.
|
||
(2)
|
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
|
|||
|
a.
|
pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
c.
|
pemanfaatan program/kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
|
||
|
d.
|
pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
|
||
|
e.
|
peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur/sumber daya manusia di bidang perpajakan;
|
||
|
f.
|
penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
|
||
|
g.
|
bentuk kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
|
||
(3)
|
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan huruf g dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain.
|
|||
(4)
|
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||
(1)
|
Pemerintah Daerah dapat:
|
|||
|
a.
|
mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1); dan
|
||
|
b.
|
menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1).
|
||
(2)
|
Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati.
|
|||
(3)
|
Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
|
|||
(4)
|
Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek kerja sama;
|
||
|
b.
|
maksud dan tujuan;
|
||
|
c.
|
ruang lingkup;
|
||
|
d.
|
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
|
||
|
e.
|
jangka waktu perjanjian;
|
||
|
f.
|
sumber pembiayaan;
|
||
|
g.
|
penyelesaian perselisihan;
|
||
|
h.
|
sanksi;
|
||
|
i.
|
korespondensi; dan
|
||
|
j.
|
perubahan.
|
||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 100 |
||||
(1)
|
Dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi usaha dan/atau berwenang menghubungkan sistem transaksi usaha wajib pajak kepada sistem informasi Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki omzet.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 101 |
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 102 |
||||
(1)
|
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diberikan insentif pemungutan dari realisasi penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disetorkan ke Kas Daerah atas dasar pencapaian kinerja tertentu yaitu pencapaian target penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah ditetapkan.
|
|||
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
|
|||
(3)
|
Tata Cara pemberian insentif pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 103 |
||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yakni:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi dan Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan/atau barang bukti dari orang pribadi atau Badan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
d.
|
melakukan pemeriksaan atas surat, buku, catatan dan/atau dokumen lain yang berhubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta dan/atau mendengarkan keterangan ahli dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas penyidikan terhadap dugaan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan proses penyidikan dalam hal tidak terdapat cukup bukti mengenai adanya pelanggaran; dan/atau
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Dalam hal melaksanakan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib melakukan pemberitahuan dan menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 104 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 106 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 108 |
||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 106 merupakan pendapatan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 109 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Perda ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan Perda di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Perda ini;
|
|||
b.
|
Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 5 Januari 2024.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 110 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 7);
|
|||
b.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 3), Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 5);
|
|||
c.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 4);
|
|||
d.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 5);
|
|||
e.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 6);
|
|||
f.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 7), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2016 Nomor 8);
|
|||
g.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 9), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2017 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 1);
|
|||
h.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 10);
|
|||
i.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pajak Sarang Burung Walet (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 11);
|
|||
j.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 13);
|
|||
k.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 4), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2015 Nomor 3);
|
|||
l.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 6);
|
|||
m.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2012 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 7);
|
|||
n.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2013 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 2);
|
|||
o.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Retribusi Daerah Di Bidang Perhubungan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 2);
|
|||
p.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2016 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 2);
|
|||
q.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi Dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2016 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 3);
|
|||
r.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Retribusi Tempat Pelelangan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2016 Nomor 4);
|
|||
s.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2016 Nomor 6);
|
|||
t.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2016 Nomor 7);
|
|||
u.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2017 Nomor 2,Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 2);
|
|||
v.
|
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2017 Nomor 5);
|
|||
w.
|
Peraturan Wali Kota Medan Nomor 4 Tahun 2013, tentang Tarif Pelayanan Kesehatan pada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Pirngadi Medan (Berita Daerah Kota Medan Tahun 2013 Nomor 4); dan
|
|||
x.
|
Peraturan Wali Kota Medan Nomor 88 Tahun 2022 tentang Besaran Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah H. Bachtiar Djafar Kota Medan (Berita Daerah Kota Medan Tahun 2022 Nomor 88);
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
||||
Ketentuan mengenai Opsen PKB, dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 112 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 113 |
||||
Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 102 hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
||||
Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 115 |
||||
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksana di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dan belum diatur dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Peraturan Daerah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 116 |
||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Medan.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Medan
pada tanggal 4 Januari 2024
WALI KOTA MEDAN,
ttd.
MUHAMMAD BOBBY AFIF NASUTION
Diundangkan di Medan
Pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH KOTA MEDAN,
ttd.
WIRIYA ALRAHMAN
LEMBARAN DAERAH KOTA MEDAN TAHUN 2024 NOMOR 1
|
||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah.
Pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah telah mengatur pokok-pokok kebijakan Pajak dan Retribusi sebagai bagi dari ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya pengaturan pelaksanaan dalam rangka pemungutan Pajak dan Retribusi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah.
Untuk itu, Peraturan Daerah ini dimaksudkan guna memberikan pengaturan pelaksanaan yang melengkapi berbagai pokok-pokok kebijakan Pajak dan Retribusi yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Daerah ini selanjutnya akan menjadi dasar dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan Pajak dan Retribusi, termasuk system dan prosedur pemungutan, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan potensi daerah.
Sebagaimana amanat Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah, maka seluruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam 1 (satu) Peraturan Daerah. Dengan demikian maka, pengaturan dalam Peraturan Daerah ini mencakup berbagai aspek pengelolaan Pajak dan Retribusi, khususnya pelaksanaan pemungutan, antara lain pendaftaran dan pendataan, penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang, pembayaran dan penyetoran, pelaporan, pemeriksaan Pajak, penagihan Pajak dan Retribusi, Keberatan, gugatan, penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Kepala Daerah, dan pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
Dasar pengenaan, saat terutang dan wilayah pemungutan Pajak merupakan beberapa komponen utama dalam penghitungan Pajak terutang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah juga telah mengatur bahwa penetapan besaran dan dasar pengenaan Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
Salah satu perubahan fundamental mengenai dasar pengenaan Pajak adalah kebijakan terkait dasar pengenaaan PBB P2 yaitu melalui pengaturan bahwa dasar pengenaan PBB P2 yang digunakan untuk perhitungan PBB P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak. Dalam rangka memberikan pedoman bagi Pemerintah Daerah, Peraturan Daerah ini mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan penetapan dasar pengenaan, saat terutang, dan wilayah pemungutan Pajak guna melengkapi pengaturan yang telah ada dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
Selain ketentuan mengenai pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi, Peraturan Daerah ini juga mengatur mengenai pelaksanaan pengelolaan Pajak yang diarahkan penggunaannya. Restrukturisasi Pajak yang dilakukan melalui Opsen PKB dan Opsen BBNKB diharapkan akan menjadi solusi dalam pelaksanaan Bagi Hasil PKB dan BBNKB yang selama ini sering mengalami keterlambatan. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur lebih teknis mengenai besaran dan kegiatan yang harus didanai dari penerimaan Opsen PKB dan PBJT atas Tenaga Listrik.
Untuk meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, serta kepastian hukum, Peraturan darah ini juga mengatur bahwa penerimaan atas pelayanan objek Retribusi sesuai Undang-Undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai Retribusi. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur bahwa seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik daerah menjadi bagian dari Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan Aset Daerah.
Pendaftaran Wajib Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pemungutan Pajak, utamanya apabila dilakukan secara sederhana sebagai salah satu Langkah simplifikasi administrasi perpajakan. Untuk itu, Pemerintah Daerah hanya dapat menerbitkan 1 (satu) NPWPD untuk seluruh jenis Pajak yang dihubungkan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk Wajib Pajak orang pribadi dan Nomor Induk Berusaha untuk Wajib Pajak Badan. Hal ini sebagai Langkah integrasi data perpajakan guna memberikan kemudahan administrasi perpajakan.
Sejalan dengan kebijakan Pajak dan Retribusi dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah ini juga memuat pengaturan pelaksanaan dalam rangka mendukung kemudahan berusaha dan iklim investasi, diantaranya mengenai mekanisme pemberian dukungan insentif dan penyesuaian tarif. Selain itu, Pemerintah Daerah tetap didorong agar terus mengedepankan penggalian potensi Pajak secara optimal, salah satunya melalui kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dan pemanfaatan data dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, maupun pihak ketiga, dengan tetap menjaga kerahasiaan data sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama tersebut merupakan Langkah optimalisasi pemanfaatan data-data yang semakin memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan kinerja fiscal Pemerintah Daerah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah atau notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB.
Sebagai contoh, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, game online, lomba/kontes aneka hewan seperti kontes kucing, kontes burung, lomba pancing, kontes atau tumbuh-tumbuhan misalnya kontes atau lomba tanaman bonsai dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerja sama antara Pemerintah dan badan usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Perkada dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
Contoh:
Pada tahun 2025, RSUD X menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
Perda PDRD:
Pada tahun 2027, RSUD X memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Daerah menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Perkada sebagai berikut:
Perkada:
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi" adalah Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi" adalah Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Contoh:
Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,- untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Kepala Daerah pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ‘pihak ketiga’ merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi Pemungutan Pajak.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ‘pengawasan Wajib Pajak bersama’ merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
Contoh: Fiskus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visi) kepada Wajib Pajak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 1
|