Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA MALANG
    NOMOR 4 TAHUN 2023

     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALIKOTA MALANG,
     

    Menimbang

    a. bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sumber strategis guna meningkatkan pendapatan asli daerah dan kemandirian daerah sesuai dengan prinsip Otonomi Daerah, dalam rangka percepatan perwujudan kesejahteraan dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah;
    b. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Daerah Kota Malang yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang tidak lagi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, ketentuan mengenai jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, subjek pajak Daerah dan wajib pajak Daerah, subjek retribusi Daerah dan wajib retribusi Daerah, objek pajak Daerah dan retribusi Daerah, dasar pengenaan pajak Daerah, tingkat penggunaan jasa retribusi Daerah, saat terutang pajak Daerah, wilayah pemungutan pajak Daerah, serta tarif pajak Daerah dan retribusi Daerah, untuk seluruh jenis pajak Daerah dan retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah;
    d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
               

    Mengingat

    1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Djawa-Timur, Djawa-Tengah, Djawa-Barat dan Dalam Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 45) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang Pengubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950 (Republik Indonesia Dahulu) tentang Pembentukan Kota-Kota Besar dan Kota-Kota Kecil di Jawa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);
    3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
    4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
    6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952);
    7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    8. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Malang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3354);
    9. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5340);
    10. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6197);
    11. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
    12. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5888) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402);
    13. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    14. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    15. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    16. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    17. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
    18. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 207/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penagihan dan Pemeriksaan Pajak Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1852);
    19. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1853);
    20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
    21. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 48/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 519);
               
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA MALANG
     
    dan
    WALIKOTA MALANG
               
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
               
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1. Daerah adalah Kota Malang.
    2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Malang.
    3. Walikota adalah Walikota Malang.
    4. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
    5. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
    6. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah Kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    7. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    8. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    9. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    10. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    11. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    12. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan usaha milik negara, Badan usaha milik daerah, atau Badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk Badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    13. Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang untuk selanjutnya disebut PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    14. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
    15. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    16. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    17. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    18. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    19. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    20. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    21. Barang dan Jasa Tertentu adalah Barang dan Jasa Tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    22. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    23. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    24. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    25. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    26. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area Parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    27. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    28. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    29. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    30. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    31. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    32. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    33. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok Pajak Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    34. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
    35. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok Balik Nama Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    36. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
    37. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    38. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    39. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    40. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    41. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
    42. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.
    43. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
    44. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    45. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    46. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    47. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
    48. Pasar Rakyat atau yang selanjutnya disebut Pasar adalah tempat usaha yang ditata, dibangun, dan dikelola oleh Pemerintah Daerah, dapat berupa toko/kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta usaha mikro kecil dan menengah dengan proses jual beli barang melalui tawar-menawar.
    49. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    50. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    51. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    52. Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    53. Standar Teknis Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Standar Teknis adalah acuan yang memuat ketentuan, kriteria, mutu, metode, dan/atau tata cara yang harus dipenuhi dalam proses penyelenggaraan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.
    54. Standar Harga Satuan Tertinggi yang selanjutnya disebut SHST adalah biaya paling banyak per meter persegi pelaksanaan konstruksi fisik pekerjaan standar untuk Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
    55. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
    56. Rencana Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.
    57. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja Perangkat Daerah atau unit satuan kerja Perangkat Daerah pada satuan kerja Perangkat Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan Keuangan Daerah pada umumnya.
    58. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
               
    BAB II
    RUANG LINGKUP
     

    Pasal 2

    Ruang lingkup dalam Peraturan Daerah ini adalah:
    a. Pajak;
    b. Retribusi;
    c. peninjauan tarif Retribusi;
    d. penyesuaian tarif Pajak;
    e. pemungutan Pajak dan Retribusi;
    f. pemberian fasilitas Pajak dan Retribusi;
    g. kerahasiaan data Wajib Pajak;
    h. insentif pemungutan Pajak dan Retribusi;
    i. penyidikan;
    j. sanksi administratif; dan
    k. ketentuan pidana.
               
    BAB III
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak
     

    Pasal 3

    (1) Jenis Pajak terdiri atas:
      a. PBB-P2;
      b. BPHTB;
      c. PBJT atas:
        1. Makanan dan/atau Minuman;
        2. Tenaga Listrik;
        3. jasa perhotelan;
        4. Jasa Parkir; dan
        5. Jasa Kesenian dan Hiburan;
      d. Pajak Reklame;
      e. PAT;
      f. Pajak MBLB;
      g. Pajak Sarang Burung Walet;
      h. Opsen PKB; dan
      i. Opsen BBNKB.
    (2) Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i dipungut oleh Daerah.
    (3) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g tidak dipungut oleh Daerah.
               

    Pasal 4

    (1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf d, huruf e, huruf h dan huruf i merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota.
    (2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan huruf c, merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
    (3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah SKPD dan SPPT.
    (4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan Pajak.
    (5) Dokumen surat pemberitahuan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
               
    Bagian Kedua
    PBB-P2


    Pasal 5

    (1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3) Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
      a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
      b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
      c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
      d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
      e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
      f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
      g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transiit), atau yang sejenis;
      h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Walikota; dan
      i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak Bumi dan Bangunan oleh Pemerintah.
               

    Pasal 6

    (1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
               

    Pasal 7

    (1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari 1 (satu) objek PBB-P2, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
    (6) Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
      a. kenaikan NJOP hasil penilaian;
      b. bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
      c. klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah;
    (7) Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Walikota.
    (8) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah.
    (9) Besaran NJOP ditetapkan oleh Walikota melalui Keputusan Walikota.
               

    Pasal 8

    (1) Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
      a. untuk NJOP sampai dengan Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,055 % (nol koma nol lima puluh lima persen) per tahun;
      b. untuk NJOP Rp1.500.000.001,00 (satu miliar lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,112 % (nol koma seratus dua belas persen) per tahun;
      c. untuk NJOP Rp5.000.000.001,00 (lima miliar satu rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,145 % (nol koma seratus empat puluh lima persen) per tahun;
      d. untuk NJOP diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,167 % (nol koma seratus enam puluh tujuh persen) per tahun.
    (2) Untuk Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan ditetapkan sebesar 0,0275 % (nol koma nol dua ratus tujuh puluh lima persen) per tahun.
    (3) Untuk Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi ternak ditetapkan sebesar 0,0275 % (nol koma nol dua ratus tujuh puluh lima persen) per tahun.
    (4) Dalam hal pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan ramah lingkungan dan/atau merupakan Bangunan atau lingkungan cagar budaya, dapat diberikan pengurangan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBB-P2.
               

    Pasal 9

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
               

    Pasal 10

    (1) Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (4) Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (5) Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
      a. laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
      b. Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
               
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     

    Pasal 11

    (1) Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. pemindahan hak karena:
        1. jual beli;
        2. tukar-menukar;
        3. hibah;
        4. hibah wasiat;
        5. waris;
        6. pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain;
        7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
        8. penunjukan pembeli dalam lelang;
        9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
        10. penggabungan usaha;
        11. peleburan usaha;
        12. pemekaran usaha; atau
        13. hadiah, dan
      b. pemberian hak baru karena:
        1. kelanjutan pelepasan hak; atau
        2. di luar pelepasan hak.
    (3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. hak milik;
      b. hak guna usaha;
      c. hak guna Bangunan;
      d. hak pakai;
      e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
      f. hak pengelolaan.
    (4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
      a. untuk kantor Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
      b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
      c. untuk Badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan perundang-undangan;
      d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
      e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
      f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
      g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
      h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
               

    Pasal 12

    (1) Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2) Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
               

    Pasal 13

    (1) Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi.
    (2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
      a. harga transaksi untuk jual beli;
      b. nilai Pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
      c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan.
    (4) Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (6) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
               

    Pasal 14

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
               

    Pasal 15

    (1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
    (2) Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
               

    Pasal 16

    (1) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
      a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
      b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
      c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
      d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
      e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
      f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
      g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
               
    Bagian Keempat
    PBJT
     

    Pasal 17

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
    a. Makanan dan/atau Minuman;
    b. Tenaga Listrik;
    c. Jasa Perhotelan;
    d. Jasa Parkir; dan
    e. Jasa Kesenian dan Hiburan.
               

    Pasal 18

    (1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
      a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
      b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
        1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
        2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
        3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
      a. dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan;
      b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
      c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
      d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
               

    Pasal 19

    (1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b merupakan penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
      a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
      b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
      c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
      d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
               

    Pasal 20

    (1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
      a. hotel;
      b. hostel;
      c. vila;
      d. pondok wisata;
      e. motel;
      f. losmen;
      g. wisma pariwisata;
      h. pesanggrahan;
      i. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
      j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
      k. glamping.
    (2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
      b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
      c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
      d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
      e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
               

    Pasal 21

    (1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d meliputi:
      a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat Parkir; dan/atau
      b. pelayanan memarkirkan kendaraan (Parkir valet);
    (2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan Tempat Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. jasa Tempat Parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah;
      b. jasa Tempat Parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
      c. jasa Tempat Parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
      d. penyelenggaraan Tempat Parkir di tempat peribadatan, pendidikan, dan makam.
               

    Pasal 22

    (1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e meliputi:
      a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
      b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
      c. kontes kecantikan;
      d. kontes binaraga;
      e. pameran;
      f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
      g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
      h. permainan ketangkasan;
      i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
      j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
      k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
      l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
      a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
      b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
      c. penyelenggaraan hiburan dalam pernikahan, khitanan, upacara keagamaan, dan di lingkungan Pendidikan dengan tidak dipungut bayaran.
               

    Pasal 23

    (1) Subjek Pajak PBJT adalah konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
    (2) Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.
               

    Pasal 24

    (1) Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
      a. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
      b. nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
      c. jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
      d. jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara Tempat Parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
      e. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4) Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif Parkir sebelum dikenakan potongan.
               

    Pasal 25

    (1) Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen).
    (3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
      a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak Bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
      b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
               

    Pasal 26

    (1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
    (2) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
      a. pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
      b. konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
      c. pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
      d. pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat Parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
      e. pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (3) Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.
               
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     

    Pasal 27

     
    (1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
      b. Reklame kain;
      c. Reklame melekat/stiker;
      d. Reklame selebaran;
      e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
      f. Reklame udara;
      g. Reklame apung;
      h. Reklame film/slide; dan
      i. Reklame peragaan.
    (3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
      a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
      b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
      c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Walikota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
      d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
      e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
    (4) Ketentuan lebih lanjut terkait ketentuan jenis dan bentuk Reklame yang menjadi objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Walikota.
               

    Pasal 28

    (1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
               

    Pasal 29

    (1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Walikota.
               

    Pasal 30

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
               

    Pasal 31

    (1) Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
    (2) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
    (3) Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
    (4) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
               
    Bagian Keenam
    PAT
     

    Pasal 32

    (1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2) Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
      a. keperluan dasar rumah tangga;
      b. pengairan pertanian rakyat;
      c. perikanan rakyat;
      d. peternakan rakyat; dan
      e. keperluan keagamaan.
               

    Pasal 33

    (1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
               

    Pasal 34

    (1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
      a. jenis sumber air;
      b. lokasi sumber air;
      c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
      d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
      e. kualitas air; dan
      f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (5) Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Walikota dengan berpedoman pada nilai perolehan air Tanah yang ditetapkan oleh gubernur.
               

    Pasal 35

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
               

    Pasal 36

    (1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
    (2) Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3) Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
               
    Bagian Ketujuh
    Opsen
     
    Paragraf 1
    Opsen PKB

     

    Pasal 37
    Objek Opsen PKB adalah PKB terutang.
               

    Pasal 38

    (1) Subjek Pajak Opsen PKB merupakan Subjek PKB.
    (2) Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
    (3) Wajib Pungut Opsen PKB adalah instansi Pemerintah Daerah Provinsi bersangkutan yang berwenang memungut PKB.
    (4) Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
               

    Pasal 39

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
               

    Pasal 40

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
               

    Pasal 41

    (1) Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
    (2) Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3) Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
               
    Paragraf 2
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 42

    Objek Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.
               

    Pasal 43

    (1) Subjek Pajak Opsen BBNKB merupakan Subjek Pajak BBNKB.
    (2) Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (3) Wajib Pungut Opsen BBNKB adalah instansi Pemerintah Daerah Provinsi bersangkutan yang berwenang memungut BBNKB.
    (4) Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
               

    Pasal 44

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
               

    Pasal 45

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
               

    Pasal 46

    (1) Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 44 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 45.
    (2) Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3) Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
               
    BAB IV
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Jenis dan Objek Retribusi
     

    Pasal 47

    (1) Jenis Retribusi terdiri atas:
      a. Retribusi Jasa Umum;
      b. Retribusi Jasa Usaha; dan
      c. Retribusi Perizinan Tertentu.
    (2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
    (3) Subjek Retribusi merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (4) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (5) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
               
    Bagian Kedua 
    Retribusi Jasa Umum
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 48

    (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a meliputi:
      a. pelayanan kesehatan;
      b. pelayanan kebersihan;
      c. pelayanan Parkir di tepi jalan umum; dan
      d. pelayanan Pasar.
    (2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (3) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
      a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
      b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
      c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (5) Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Keuangan Negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Walikota ditetapkan.
               

    Pasal 49

    (1) Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2) Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
               
    Paragraf 2
    Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 50

    Pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
               

    Pasal 51

    Subjek Retribusi pelayanan kesehatan yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh pelayanan kesehatan di laboratorium kesehatan.
               

    Pasal 52

    Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan kesehatan, frekuensi, dan jarak tempuh.
               

    Pasal 53

    (1) Komponen tarif pelayanan kesehatan terdiri dari jasa sarana dan jasa pelayanan.
    (2) Penghitungan jasa sarana berdasarkan biaya satuan per jenis layanan yang meliputi biaya bahan habis pakai dasar, biaya operasional, biaya pemeliharaan alat, biaya pegawai non gaji, biaya investasi yang dikeluarkan sebagai biaya langsung untuk penyediaan pelayanan kesehatan.
               

    Pasal 54

    (1) Struktur tarif digolongkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan.
    (2) Struktur dan besarnya tarif pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               
    Paragraf 3
    Pelayanan Kebersihan


    Pasal 55

    (1) Objek Retribusi Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b, yaitu pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
      a. pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
      b. pengangkutan sampah dari lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah; dan
      c. penyediaan lokasi pembuangan atau pemusnahan akhir sampah.
    (2) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b termasuk pelayanan kebersihan pada Pasar.
    (3) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c merupakan pelayanan kebersihan selain pelayanan kebersihan pada Pasar.
    (4) Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempah ibadah, sosial dan tempat umum lainnya.
               

    Pasal 56

    Subjek Retribusi Pelayanan Kebersihan adalah orang pribadi atau Badan yang mendapatkan pelayanan kebersihan.
               

    Pasal 57

    (1) Tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan pada Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) diukur berdasarkan luasan.
    (2) Tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan selain pelayanan kebersihan pada Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) diukur berdasarkan kelompok fungsi Bangunan dan/atau kegiatan.
               

    Pasal 58

    (1) Tarif Pelayanan Kebersihan ditetapkan berdasarkan jenis layanan yang diberikan Pemerintah Daerah.
    (2) Besarnya Tarif Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               
    Paragraf 4
    Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
     

    Pasal 59

    Pelayanan Parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf c adalah penyediaan pelayanan Parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
               

    Pasal 60

    Subjek Retribusi pelayanan Parkir di tepi jalan umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tempat Parkir ditepi jalan umum yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.
               

    Pasal 61

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan Parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan dan jangka waktu pemakaian Jasa Parkir di tepi jalan umum.
               

    Pasal 62

    (1) Tarif pelayanan Parkir di tepi jalan umum digolongkan berdasarkan jenis kendaraan bermotor dan jangka waktu pemakaian Jasa Parkir di tepi jalan umum.
    (2) Besarnya tarif pelayanan Parkir di tepi jalan umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               
    Paragraf 5
    Pelayanan Pasar
     

    Pasal 63

    (1) Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf d, yaitu penyediaan fasilitas Pasar berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah dan khusus disediakan untuk pedagang.
    (2) Dikecualikan dari Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu pelayanan fasilitas Pasar yang dikelola oleh Badan usaha milik negara, Badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
               

    Pasal 64

    Subjek Retribusi Pelayanan Pasar adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh pelayanan fasilitas Pasar yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
               

    Pasal 65

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan Pasar diukur berdasarkan luas pemakaian dan waktu pemanfaatan fasilitas Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).
               

    Pasal 66

    (1) Tarif Pelayanan Pasar ditetapkan berdasarkan luas pemakaian dan waktu pemanfaatan fasilitas Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).
    (2) Besarnya tarif Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 67

    (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b meliputi:
      a. penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan;
      b. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
      c. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
      d. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (3) Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (4) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
    (5) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
    (6) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7) Detail rincian objek sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
      a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
      b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
      c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (8) Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Keuangan Negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Walikota ditetapkan.
               
    Paragraf 2
    Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan
     

    Pasal 68

    Penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
               

    Pasal 69

    Tingkat penggunaan jasa Penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan bermotor dan jangka waktu penggunaan tempat khusus Parkir.
               

    Pasal 70

    (1) Tarif layanan Penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan digolongkan berdasarkan jenis kendaraan bermotor, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus Parkir di luar badan jalan.
    (2) Struktur dan besarnya tarif layanan Penyediaan tempat khusus Parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               
    Paragraf 3
    Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga


    Pasal 71

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
               

    Pasal 72

    Tingkat penggunaan jasa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis, luas, frekuensi dan jangka waktu penggunaan fasilitas tempat rekreasi dan olahraga.
               

    Pasal 73

    (1) Struktur dan besarnya tarif ditetapkan berdasarkan jenis fasilitas tempat rekreasi dan olahraga.
    (2) Struktur dan besarnya tarif pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               
    Paragraf 4
    Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah


    Pasal 74

    (1) Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah.
    (2) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan produksi oleh Pemerintah Pusat, Badan usaha milik negara, Badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
               

    Pasal 75

    Tingkat Penggunaan jasa berupa penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah diukur berdasarkan jumlah dan jenis hasil produksi usaha Daerah yang terjual.
               

    Pasal 76

    (1) Struktur dan besarnya tarif layanan penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah digolongkan berdasarkan jenis dan ukuran hasil produksi usaha Pemerintah Daerah.
    (2) Struktur dan besarnya tarif Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               
    Paragraf 5
    Pemanfaatan Aset Daerah
     

    Pasal 77

    (1) Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
    (2) Barang milik Daerah yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah yang menjadi obyek retribusi atas pemanfaatan aset daerah, meliputi:
      a. tanah;
      b. gedung pertemuan;
      c. penyewaan kios;
      d. penyewaan alat-alat berat; dan
      e. laboratorium.
               

    Pasal 78

    Tingkat penggunaan jasa layanan pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) diukur berdasarkan:
    a. Tanah
      untuk pemakaian tanah diukur berdasarkan lokasi, luas tanah, jenis, kelas jalan, NJOP dan peruntukannya serta jangka waktu pemakaian.
    b. Gedung Pertemuan
      untuk pemakaian bangunan/gedung diukur berdasarkan lokasi, luas ruangan, fasilitas dan jangka waktu pemakaian.
    c. Kios
      untuk pemakaian kios di terminal yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah diukur berdasarkan jenis, luasan, dan jangka waktu pemakaian.
    d. Alat-alat Berat
      untuk pemakaian alat-alat berat diukur berdasarkan jangka waktu pemakaian dan kapasitas alat tersebut bekerja.
    e. Laboratorium
      untuk pemakaian laboratorium diukur berdasarkan jenis, kuantitas dan jangka waktu peralatan laboratorium yang digunakan.
               

    Pasal 79

    (1) Struktur dan besarnya tarif Retribusi dikelompokkan/ditetapkan berdasarkan klasifikasi dan jenis pelayanan.
    (2) Struktur dan besarnya tarif Retribusi pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               

    Pasal 80

    (1) Prinsip yang dianut dalam penetapan dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga Pasar.
               
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 81

    (1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf c meliputi:
      a. pelayanan PBG; dan
      b. pelayanan PTKA.
    (2) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (3) Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
    (4) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (5) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, Badan usaha milik negara, Badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
               

    Pasal 82

    (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pembinaan dan pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
               

    Pasal 83

    (1) Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
               
    Paragraf 2
    Pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung
     

    Pasal 84

    (1) Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2) Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3) Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
      a. pembangunan baru;
      b. Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
      c. PBG perubahan untuk:
        1. perubahan fungsi Bangunan Gedung;
        2. perubahan lapis Bangunan Gedung;
        3. perubahan luas Bangunan Gedung;
        4. perubahan tampak Bangunan Gedung;
        5. perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
        6. perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
        7. perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
        8. perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4) PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerbitan PBG dan SLF untuk Bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, atau Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.
               

    Pasal 85

    (1) Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
    (2) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
      a. formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
        1. Luas Total Lantai;
        2. Indeks Terintegrasi; dan
        3. Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
      b. formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
        1. Volume;
        2. Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
        3. Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
               

    Pasal 86

    (1) Struktur dan besaran tarif layanan PBG ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan layanan konsultasi untuk:
      a. Bangunan Gedung
        Tarif layanan PBG untuk Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
       
    Bangunan Gedung = LLt x (Ilo x SHST) x It x Ibg
      b. Prasarana Bangunan Gedung
        Tarif layanan PBG untuk Prasarana Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan retribusi prasarana Bangunan Gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
       
    Prasarana Bangunan Gedung = V x I x Ibg x HSpbg
       
    (2) Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
     
    Indeks Terintegrasi = If x ∑ (bp x Ip) x Fm
       
    (3) Rincian perhitungan struktur dan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
               
    Paragraf 2
    Pelayanan Penggunaan TKA
     

    Pasal 87

    (1) Pelayanan PTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA.
    (2) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu perpanjangan RPTKA bagi:
      a. instansi pemerintah pusat;
      b. perwakilan negara asing;
      c. Badan internasional;
      d. lembaga sosial;
      e. lembaga keagamaan; dan
      f. jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
               

    Pasal 88

    Tingkat penggunaan jasa atas pemberian pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) diukur berdasarkan jumlah pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Asing Perpanjangan dan jangka waktu penggunaan TKA.
               

    Pasal 89

    (1) Besarnya tarif layanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) ditetapkan sebesar US$100 (seratus dollar Amerika Serikat) per jabatan per orang per bulan, dan dibayarkan di muka.
    (2) Layanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dengan mata uang rupiah, berdasarkan nilai tukar yang berlaku pada saat penerbitan SKRD.
    (3) RPTKA perpanjangan kurang dari 1 (satu) bulan, wajib membayar Retribusi Penggunaan TKA sebesar 1 (satu) bulan penuh.
               
    BAB V
    PENINJAUAN TARIF RETRIBUSI
     

    Pasal 90

    (1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel harga satuan bangunan gedung negara/SHST dan Indeks Lokalitas.
    (4) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (5) Penetapan perubahan tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Walikota.
               
    BAB VI
    PENYESUAIAN TARIF PAJAK DAN RETRIBUSI


    Pasal 91

    (1) Pemerintah Pusat sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian tarif Pajak dan/atau Retribusi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan/atau Retribusi.
    (2) Program prioritas nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa proyek strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3) Dalam hal jangka waktu penyesuaian tarif Pajak dan/atau Retribusi yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini dapat diberlakukan kembali.
               
    BAB VII
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 92

    (1) Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
      a. pendaftaran dan pendataan;
      b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
      c. pembayaran dan penyetoran;
      d. pelaporan;
      e. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
      f. pemeriksaan Pajak;
      g. penagihan Pajak dan Retribusi;
      h. keberatan;
      i. gugatan;
      j. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Walikota; dan
      k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Walikota berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
               
    Bagian Kedua
    Pemungutan Pajak
     

    Pasal 93

    (1) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Walikota atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
      a. surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i; dan
      b. SPOP untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a.
    (2) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
    (3) Atas pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk.
    (4) Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
    (5) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
    (6) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
    (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus Badan usaha milik negara atau Badan usaha milik Daerah.
    (8) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Walikota atau pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
               

    Pasal 94

    (1) Walikota atau pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.
    (2) Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah untuk PBB-P2.
               

    Pasal 95

    (1) Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, Walikota atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
    (2) Dalam hal penonaktifan atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Walikota atau pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
    (3) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
    (4) Penonaktifan atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
      a. tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
      b. tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.

    Pasal 96

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan diatur dalam Peraturan Walikota.
               
    Bagian Ketiga
    Pelaporan Pajak
     

    Pasal 97

    (1) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
    (2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
    (3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak.
    (4) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Walikota setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
    (5) Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (6) SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
               

    Pasal 98

    (1) Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
    (2) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
    (3) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Walikota menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
    (4) Ketentuan masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), penentuan masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Walikota.
               
    Bagian Keempat
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
     

    Pasal 99

    (1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2) Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Walikota.
               
    Bagian Kelima
    Penetapan Besaran Retribusi Terutang
     

    Pasal 100

    (1) Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
    (2) Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (3) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
    (4) Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh Menteri untuk kepentingan perpajakan.
    (5) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
    (6) Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (7) Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
    (8) Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf d, bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif diatur dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi.
    (9) Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat ditetapkan dengan Peraturan Walikota untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
      a. sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
      b. kerja sama pemanfaatan;
      c. bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
      d. kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (10) Penetapan Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (11) Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilaksanakan dengan ketentuan:
      a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
      b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
      c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (12) Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (9), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
               
    Bagian Keenam
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
     

    Pasal 101

    (1) Walikota dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (2) Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
    (3) Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru hara, dan/atau kerusuhan.
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Walikota.
               
    Bagian Ketujuh
    Kedaluwarsa Penagihan Retribusi
     

    Pasal 102

    (1) Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
    (2) Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
      a. diterbitkan Surat Teguran; atau
      b. ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
    (3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
    (4) Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
    (5) Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
               
    Bagian Kedelapan
    Penghapusan Piutang Retribusi
     

    Pasal 103

    (1) Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
    (2) Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3) Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Walikota.
               
    BAB VIII
    PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI
     

    Pasal 104

    (1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
    (2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Walikota berdasarkan pertimbangan, antara lain:
      a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
      b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
      c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
      d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
      e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Walikota dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (5) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Walikota.
    (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
               
    BAB IX
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
     

    Pasal 105

    (1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
      a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
      b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Walikota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah Pusat yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4) Untuk kepentingan Daerah, Walikota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Walikota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
               
    BAB X
    INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

     

    Pasal 106

    (1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Walikota yang berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
               
    BAB XI
    PENYIDIKAN

     

    Pasal 107

    (1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
    (3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
      a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
      b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
      c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
      d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
      e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
      f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
      g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
      h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
      i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
      j. menghentikan Penyidikan; dan/atau
      k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
    (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
               
    BAB XII
    SANKSI ADMINSITRATIF


    Pasal 108

    (1) Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
    (2) Besaran sanksi administratif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri atas jumlah Retribusi yang kurang dibayar.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Walikota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
               

    Pasal 109

    (1) Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar:
      a. Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Wajib Pajak orang pribadi; dan
      b. Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Wajib Pajak Badan,
      untuk setiap SPTPD.
    (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (4) Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
      a. bencana alam;
      b. kebakaran;
      c. kerusuhan massal atau huru-hara;
      d. wabah penyakit; dan/atau
      e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Walikota.
               
    BAB XIII
    KETENTUAN PIDANA

     

    Pasal 110

    (1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
               

    Pasal 111

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
               

    Pasal 112

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
               

    Pasal 113

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
               
    Pasal 114
    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, Pasal 112, dan Pasal 113 merupakan pendapatan negara.
               
    BAB XIV 
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 115

               
    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a. terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
    b. ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
               
    BAB XV
    KETENTUAN PENUTUP


    Pasal 116

    Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, peraturan pelaksana dari:
    a. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor B Seri 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2018 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 37);
    b. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor B Seri 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 12) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2019 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 44);
    c. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Daerah Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 2 Seri C);
    d. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Daerah Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 2 Seri C);
    e. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2011 Nomor 5) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2019 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 43);
    f. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2015 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 17) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2021 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 53);
    dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
               

    Pasal 117

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor B Seri 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2018 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 37);
    b. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor B Seri 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 12) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2019 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 44);
    c. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Daerah Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 2 Seri C);
    d. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Daerah Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 2 Seri C);
    e. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2011 Nomor 5) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2019 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 43);
    f. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2015 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 17) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2021 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 53);
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
               

    Pasal 118

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
               
    Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Malang.
               
    Ditetapkan di Kota Malang
    pada tanggal 28 Desember 2023
    WALIKOTA MALANG,
    ttd.
    WAHYU HIDAYAT

    Diundangkan di Malang
    pada tanggal 1 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH KOTA MALANG
    ttd.
    ERIK SETYO SANTOSO

    LEMBARAN DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

     
    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN
    NOMOR 6 TAHUN 2023
     
    TENTANG
     
    RETRIBUSI PERSETUJUAN BANGUNAN GEDUNG
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pajak memegang peran penting sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Sebagai sumber Keuangan Daerah yang digali dari wilayah daerah sesuai dengan kondisi dan potensi daerah, maka aspek Perpajakan khususnya Pajak Daerah menjadi salah satu sektor penting yang perlu Diatur dalam Peraturan Daerah sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, khususnya menyikapi klausul Pasal 94 bahwa Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.

    Kondisi eksisting regulasi di Kota Malang mencerminkan bahwa terdapat beberapa ketentuan peraturan yang bergerak di Bidang Pajak dan Retribusi Daerah secara terpisah. Namun, mengikuti nafas panjang politik pembangunan hukum di Indonesia yang diawali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) memberikan arah politik hukum penyederhanaan regulasi dalam 1 (satu) rumah. Penyederhanaan tersebut juga dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian dinamika regulasi sebagaimana dibawa oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. Secara sederhana maka dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Daerah dalam hal ingin memungut Pajak dan Retribusi perlu melakukan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan perkembangan regulasi baik di sektor Undang-Undang hingga Putusan Mahkamah Konstitusi. Memaknai dinamika regulasi tersebut, upaya sinkronisasi dan harmonisasi dalam tingkat Peraturan Daerah di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjadi hal yang vital untuk dilaksanakan dengan mempertimbangkan beberapa materi muatan seperti: pajak daerah; retribusi daerah; peninjauan tarif Retribusi; penyesuaian tarif Pajak; pemungutan pajak dan retribusi; pemberian fasilitas pajak dan retribusi; kerahasiaan data wajib pajak; dan insentif pemungutan pajak dan retribusi.
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan “kantor” adalah bangunan yang digunakan untuk kegiatan profesional atau kegiatan ketatausahaan, tidak ada bagian yang digunakan untuk tempat tinggal, kecuali bagi penjaga gedung.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan “keuntungan” adalah kelebihan penghasilan di atas biaya selama satu periode akuntansi.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    1)
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000 sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
      BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000 = Rp24.000.000
      Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000 = Rp16.000.000
      Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp40.000.000,
      ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X.
    2)
    Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    PKB terutang = 1% x Rp300.000.000 = Rp3.000.000
      Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000 = Rp2.000.000
     
    Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp5.000.000,
      ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    1)
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000 sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000 = Rp24.000.000
      Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000 = Rp16.000.000
     
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp40.000.000,
      ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X.
    2)
    Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    PKB terutang = 1% x Rp300.000.000 = Rp3.000.000
      Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000 = Rp2.000.000
     
    Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp5.000.000,
      ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    1)
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000 sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000 =Rp24.000.000
      Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000 =Rp16.000.000
     
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang =Rp40.000.000,
      ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X.
    2)
    Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
     
    PKB terutang = 1% x Rp300.000.000 = Rp3.000.000
     
    Opsen PKB terutang = 66% x Rp3 juta = Rp2.000.000
     
    Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp5.000.000,
      ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Ayat (1)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
       
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 61

    Perda Nomor: 4 TAHUN 2023