Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA MAKASSAR,
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa sesuai dengan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
    b.
    bahwa jenis Pajak dan Retribusi Daerah merupakan salah satu potensi Daerah, sehingga perlu pengaturan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas;
    c.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang menyatakan Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, Objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia;
    2.
    Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822);
    3.
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6856);
    5.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6846;
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA MAKASSAR
    dan
    WALI KOTA MAKASSAR
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kota Makassar.
    2.
    Pemerintah Daerah adalah Wali Kota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Kota Makassar.
    3.
    Wali Kota adalah Wali Kota Makassar.
    4.
    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    5.
    Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Otonom.
    6.
    Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    7.
    Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian Negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.
    8.
    Kepala Daerah adalah Wali Kota bagi Daerah Kota.
    9.
    Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di Bidang Perpajakan dan/atau Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    10.
    Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
    11.
    Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah Pendapatan Daerah yang diperoleh dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    12.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    13.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
    14.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
    15.
    Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
    16.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi Pembayar Pajak, Pemotong Pajak, dan Pemungut Pajak, yang mempunyai Hak dan Kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    17.
    Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
    18.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    19.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan Pembayaran Retribusi, termasuk Pemungut Retribusi tertentu.
    20.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara, BUMD, atau Badan Usaha Milik Desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    21.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disebut PBB-P2 adalah Pajak atas Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    22.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    23.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi antara lain, jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks Bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, menara, dan sutet.
    24.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    25.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    26.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau badan.
    27.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan bangunan.
    28.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumen Barang dan/atau Jasa tertentu.
    29.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah Barang dan Jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    30.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    31.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran.
    32.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    33.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    34.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
    35.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    36.
    Pub adalah usaha hiburan malam yang menyediakan tempat dan fasilitas bersantai dan/atau melantai dengan diiringi musik hidup dan cahaya lampu serta menyediakan pemandu dansa.
    37.
    Diskotik adalah usaha hiburan malam yang menyediakan tempat dan fasilitas bersantai dan/atau melantai dengan diiringi rekaman lagu dan/atau musik serta cahaya lampu.
    38.
    Bar adalah usaha penyediaan minuman beralkohol dan non alkohol dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan dan/atau penyajiannya di dalam 1 (satu) tempat tetap yang tidak berpindah-pindah.
    39.
    Spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan dan minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
    40.
    Karaoke eksekutif adalah usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas menyanyi yang menyediakan pemandu.
    41.
    Karaoke keluarga adalah usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas menyanyi yang tidak menyediakan pemandu.
    42.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    43.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    44.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    45.
    Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
    46.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    47.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    48.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    49.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    50.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    51.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Kabupaten/Kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    52.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Kabupaten/Kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    53.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    54.
    Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
    55.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    56.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah Nomor Identitas Objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    57.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    58.
    Pajak yang terutang adalah Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    59.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
    60.
    Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah.
    61.
    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    62.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    63.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
    64.
    Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disebut dengan SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
    65.
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
    66.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
    67.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
    68.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    69.
    Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
    70.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    71.
    Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
    72.
    Surat Keputusan Keberatan adalah Surat Keputusan atas Keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    73.
    Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    74.
    Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    75.
    Putusan Banding adalah putusan badan peradilan Pajak atas Banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
    76.
    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
    77.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
    78.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah Tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak.
    79.
    Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    80.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak dan Utang Retribusi.
    81.
    Surat Paksa adalah Surat Perintah Membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
    82.
    Jurusita Pajak adalah Pelaksana Tindakan Penagihan pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, Pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan, dan Penyanderaan.
    83.
    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan meminta, melihat, meneliti keadaan, menanyakan, mengawasi, memeriksa, menghimpun data, keterangan dan/atau bukti yang secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
    84.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    85.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    86.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk Pembinaan, Pengaturan, Pengendalian dan Pengawasan atas kegiatan, Pemanfaatan Ruang, serta Penggunaan Sumber Daya Alam, Barang, Prasarana, Sarana, atau Fasilitas Tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    87.
    Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun tersebut.
    88.
    Penyidikan adalah serangkaian kegiatan menyidik yang diatur oleh Undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang terjadi serta menemukan bukti pelanggarannya.
    89.
    Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah Bukti Pembayaran atau Penyetoran Retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Wali Kota.
    90.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah Surat Ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
    91.
    Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
    92.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    93.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh Organisasi Perangkat Daerah atau Unit Organisasi Perangkat Daerah pada Organisasi Perangkat Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
    94.
    Pelayanan Kesehatan adalah segala kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada seseorang dalam rangka Observasi, Diagnosis, Pengobatan atau Pelayanan Kesehatan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
    95.
    Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi adalah serangkaian tindakan menyidik yang diatur oleh Undang-Undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi serta menemukan bukti pelanggarannya.
    96.
    Tempat Pelelangan adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Kota untuk melakukan Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi dan Hasil Hutan, termasuk Jasa Pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di Tempat Pelelangan.
    97.
    Penyeberangan di Air adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    98.
    Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
    99.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus.
    100.
    Keterangan Rencana Kota yang selanjutnya disingkat KRK adalah informasi tentang ketentuan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah pada lokasi tertentu.
    101.
    Ketinggian Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat KBG adalah angka maksimal jumlah lantai Bangunan Gedung yang diperkenankan.
    102.
    Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka persentase berdasarkan perbandingan antara luas seluruh lantai dasar Bangunan Gedung terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai KRK.
    103.
    Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai Bangunan Gedung terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai KRK.
    104.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    105.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah Sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    106.
    Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK

    Bagian Kesatu
    Jenis Pajak

     

    Pasal 2

    (1)
    Jenis Pajak terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT;
     
    d.
    pajak reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    pajak MBLB;
     
    g.
    opsen PKB
     
    h.
    opsen BBNKB; dan
     
    i.
    pajak sarang burung walet.
    (2)
    Jenis Pajak Daerah yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipungut berdasarkan Penetapan Wali Kota yang terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    pajak reklame;
     
    c.
    PAT;
     
    d.
    opsen PKB; dan
     
    e.
    opsen BBNKB.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan Penghitungan Sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
     
    a.
    BPHTB;
     
    b.
    PBJT atas:
     
     
    1)
    makanan dan/atau minuman;
     
     
    2)
    tenaga listrik;
     
     
    3)
    jasa perhotelan;
     
     
    4)
    jasa parkir; dan
     
     
    5)
    jasa kesenian dan hiburan.
     
    c.
    pajak sarang burung walet.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Masa Pajak dan Tahun Pajak
     

    Pasal 4

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu Jenis Pajak dalam satu kurun tertentu dalam Masa Pajak, Dalam Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Perpajakan Daerah.
    (2)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan Penetapan Wali Kota.
    (3)
    Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

     

    Pasal 5

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengerukan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    bumi dan/atau bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai Barang Milik Negara atau Barang Milik Daerah;
     
    b.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    bumi dan/atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    bumi dan/atau bangunan yang digunakan oleh Badan atau Perwakilan Lembaga Internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
     
    g.
    bumi dan/atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    bumi dan/atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota; dan
     
    i.
    bumi dan/atau bangunan yang dipungut Pajak Bumi dan Bangunan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 merupakan orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Proses Penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (4)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (5)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk Objek Pajak Tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (6)
    Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak.
    (2)
    Penentuan besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan, antara lain:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan Objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam Daerah.
    (3)
    Ketentuan mengenai Besaran Persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    untuk NJOP sama dengan atau kurang dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
     
    b.
    untuk tambahan NJOP diatas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sebesar 0,2% (nol koma dua persen);
     
    c.
    untuk tambahan NJOP diatas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), sebesar 0,3% (nol koma tiga persen); dan
     
    d.
    untuk tambahan NJOP diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebesar 0,4% (nol koma empat persen);
    (2)
    Tarif PBB-P2 untuk NJOP sama dengan atau kurang dari Rp250.000.000,00 ditetapkan sebesar 0,08% (nol koma nol delapan persen) berupa lahan produksi pangan dan lahan produksi ternak.
    (3)
    Tarif PBB-P2 untuk NJOP diatas Rp250.000.000,00 berupa lahan produksi pangan dan lahan produksi ternak ditetapkan sebesar 0,03% (nol koma nol tiga persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang yaitu menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (3)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berada.
    (2)
    Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pajak Reklame

     

    Pasal 13

    (1)
    Objek Pajak Reklame yaitu semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    reklame papan/billboard/videotron/megatron;
     
    b.
    reklame kain;
     
    c.
    reklame melekat/stiker;
     
    d.
    reklame selebaran;
     
    e.
    reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    reklame udara;
     
    g.
    reklame apung;
     
    h.
    reklame film/slide; dan
     
    i.
    reklame peragaan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Pajak Reklame yakni:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan reklamenya diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Subjek Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame yaitu orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame yaitu Nilai Sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
    (3)
    Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    jenis;
     
    b.
    bahan yang digunakan;
     
    c.
    lokasi penempatan;
     
    d.
    waktu penayangan;
     
    e.
    jangka waktu penyelenggaraan;
     
    f.
    jumlah; dan
     
    g.
    ukuran media reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Ketentuan mengenai Perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat reklame tersebut diselenggarakan.
    (2)
    Khusus untuk reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Air Tanah

     

    Pasal 20

    (1)
    Objek PAT yaitu Pengambilan dan/atau Pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAT yaitu pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat; dan
     
    e.
    keperluan keagamaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Subjek PAT merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    (2)
    Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Dasar Pengenaan PAT yaitu Nilai Perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot air tanah.
    (3)
    Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air tanah.
    (4)
    Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan Gubernur.
    (5)
    Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau dimanfaatkan;
     
    d.
    kualitas air; dan
     
    e.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
    (6)
    Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada Nilai Perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor

     

    Pasal 27

    Objek Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Subjek Pajak untuk Opsen PKB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
    (2)
    Wajib Pajak untuk Opsen PKB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
    (3)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    Besaran Pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Saat terutangnya Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

     

    Pasal 34

    Objek Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Subjek Pajak untuk Opsen BBNKB merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
    (2)
    Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
    (3)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB yaitu BBNKB terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Saat terutangnya Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

     

    Pasal 41

    (1)
    Objek BPHTB merupakan Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah; dan
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna Bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan Rumah Susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, Penyelenggara Negara dan Lembaga Negara lainnya yang dicatat sebagai Barang Milik Negara atau Barang Milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk Badan atau Perwakilan Lembaga Internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB merupakan orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB yaitu Nilai Perolehan Objek Pajak.
    (2)
    Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan yakni NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurangan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
    (6)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5 % (lima persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5), atau ayat (6), dengan Tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
     
    f.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
     
    g.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal pada saat transaksi jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang adalah wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris sesuai kewenangannya wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
     
    b.
    melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (2)
    Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (3)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
     
    a.
    meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
     
    b.
    melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
    (4)
    Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
    (2)
    Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Dalam hal perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan Surat Keterangan Bukan Objek BPHTB.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu

     

    Pasal 51

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
    a.
    makanan dan/atau minuman;
    b.
    tenaga listrik;
    c.
    jasa perhotelan;
    d.
    jasa parkir; dan
    e.
    jasa kesenian dan hiburan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum; dan
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan makanan dan/atau minuman dengan ketentuan:
     
    a.
    peredaran usaha tidak melebihi omzet Rp5.000.000 (lima juta rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak hanya menjual makanan dan/atau minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat pada bandar udara.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b adalah penggunaan tenaga listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi tenaga listrik oleh Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Penyelenggara Negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi tenaga listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
     
    d.
    konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri atas bantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c meliputi:
     
    a.
    jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya; dan
     
    b.
    penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan.
    (2)
    Jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya dan penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guesthouse/bungalo/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (3)
    Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan Negara asing dengan asas timbal balik.
     
    d.
    jasa tempat parkir di kompleks perumahan yang digunakan oleh warga kompleks tersebut; dan
     
    e.
    jasa tempat parkir di halaman rumah ibadah dan/atau instansi pendidikan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
    (2)
    Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni Jasa Kesenian dan Hiburan untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    c.
    pesta rakyat yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Subjek Pajak PBJT yaitu konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT yaitu jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
     
    b.
    nilai jual tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyelenggara tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pasca bayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Tarif PBJT yang meliputi:
     
    a.
    makanan dan/atau minuman;
     
    b.
    tenaga listrik;
     
    c.
    jasa perhotelan; dan
     
    d.
    jasa parkir.
     
    ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Tarif jasa kesenian dan hiburan ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    tontonan film:
    pertunjukan film/bioskop atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk.
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana:
     
     
    1.
    pergelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana modern sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima; dan
     
     
    2.
    pergelaran kesenian, musik dan tari tradisional sebesar 5% (lima persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima.
     
    c.
    kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya yaitu kontes kecantikan, peragaan busana, auto kontes, dan kontes bina raga sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
    d.
    pameran sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
    e.
    sirkus, akrobat, dan sulap, sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
    f.
    permainan billiard, futsal, mini soccer, badminton, tenis, basket, bowling, seluncur es dan sejenisnya sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
    g.
    pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan:
     
     
    1.
    pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
     
    2.
    ketangkasan anak sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima; dan
     
     
    3.
    wahana permainan sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima.
     
    h.
    pertandingan olahraga, sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
    i.
    penyelenggaraan hiburan di tempat keramaian seperti tempat wisata, taman rekreasi, rekreasi keluarga, pasar malam, kolam pemancingan, kolam renang, komidi putar, kereta pesiar, dan sejenisnya sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima; dan
     
    j.
    refleksi kesehatan dan pusat kebugaran (fitness center) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima.
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    kelab malam, bar dan sejenisnya sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah uang pembayaran dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
    b.
    pub/rumah minum, diskotik dan sejenisnya sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah uang pembayaran dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
    c.
    karaoke eksekutif sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah uang pembayaran dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima;
     
    d.
    karaoke keluarga sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah uang pembayaran dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima; dan
     
    e.
    panti pijat, dan mandi uap/spa sebesar 40% (empat puluh persen) dari harga tiket masuk dan/atau jumlah uang yang seharusnya diterima.
    (4)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 62

    Saat terutang PBJT ditetapkan pada:
    a.
    pembayaran atau penyerahan atas makanan/minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
    b.
    konsumsi atau pembayaran atas tenaga listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
    c.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
    d.
    pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
    e.
    pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang di wilayah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Pajak Sarang Burung Walet

     

    Pasal 64

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet merupakan nilai jual Sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
    (3)
    Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai hasil survey harga di daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang yaitu wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk kegiatan yang telah ditentukan

     

    Pasal 71

    (1)
    Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (2)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (3)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (4)
    Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan; dan
     
    d.
    pengelolaan limbah.
    (5)
    Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut.
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI

    Bagian Kesatu
    Jenis dan Objek Retribusi

     

    Pasal 72

    (1)
    Jenis Retribusi terdiri atas:
     
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
     
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
     
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
    (2)
    Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
    (3)
    Dikecualikan Retribusi dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Pelayanan Jasa dan/atau Perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta.
    (4)
    Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    (5)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Tata Cara Penghitungan Retribusi

     

    Pasal 73

    Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang ditanggung Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Penetapan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Umum

     

    Pasal 77

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a yang dipungut retribusi meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di Tepi Jalan Umum;
     
    d.
    pelayanan pasar; dan
     
    e.
    pelayanan pengendalian Lalu Lintas.
    (2)
    Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud huruf c dan huruf d dikelola oleh Perusahaan Umum Daerah Kota Makassar.
    (3)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang tidak dipungut retribusi adalah Retribusi Pengendalian Lalu Lintas.
    (4)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (6)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (8)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, Menteri yang membidangi urusan Pemerintahan Dalam Negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    (1)
    Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a yaitu: Pelayanan Kesehatan di Puskesmas, Puskesmas Keliling, Puskesmas pembantu, Balai Pengobatan, Rumah Sakit Umum Daerah, dan tempat Pelayanan Kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
    (2)
    Penggunaan Jasa Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai tingkatan pelayanan dengan memperhatikan kualitas pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan kesehatan diukur berdasarkan struktur dan satuan tarif Pelayanan Kesehatan dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Pelayanan Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b yaitu pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan/atau BLUD meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan dan/atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
    (3)
    Penggunaan jasa pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai tingkatan pelayanan dengan memperhatikan kualitas pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan diukur berdasarkan kategori, struktur tarif dan jenis pelayanan kebersihan dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (5)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Pelayanan Kebersihan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan; dan
     
    b.
    pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, kategori, frekuensi layanan, volume dan/atau limbah kakus/limbah cair.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Jasa Usaha

     

    Pasal 84

    (1)
    Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil Bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
     
    c.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    d.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau villa;
     
    e.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    f.
    pelayanan jasa kepelabuhanan;
     
    g.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    h.
    pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
     
    i.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    j.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf d, tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah.
    (3)
    Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud huruf c dikelola oleh Perusahaan Umum Daerah Kota Makassar.
    (4)
    Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan.
    (5)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (6)
    Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (8)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan Negara, Menteri yang membidangi urusan Pemerintahan dalam Negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas Pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Objek Penyediaan tempat pelelangan ikan, termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
    (2)
    Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai Tempat Pelelangan.
    (3)
    Tingkat penggunaan jasa Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan diukur berdasarkan jasa fasilitasi, sewa dan jasa penyediaan kebutuhan nelayan dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat Penggunaan Jasa Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak diukur berdasarkan jasa pemeriksaan kesehatan/daging, pemakaian kandang/rumah potong, dan pemakaian ruang pelayuan/lapak serta jasa pemakaian insenerator dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Rumah Pemotongan Hewan Ternak ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    (1)
    Pelayanan Jasa Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat Penggunaan Jasa Pelayanan Kepelabuhanan diukur berdasarkan jasa pelayanan kapal dan jasa pelayanan kepelabuhanan penyeberangan dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Jasa Pelayanan Kepelabuhanan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Pelayanan Tempat Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat Penggunaan Jasa Pelayanan Tempat Olahraga diukur berdasarkan sewa tempat lapangan dan waktu dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Tempat Olahraga ditetapkan sebagaimana dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    (1)
    Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan kendaraan di air diukur berdasarkan tarif masuk dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Jasa Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    (1)
    Objek Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf i merupakan Penjualan Hasil Produksi Kulit dan Penjualan Benih Ikan.
    (2)
    Tingkat Penggunaan Jasa Pelayanan Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah diukur berdasarkan jenis kulit dan jenis ikan dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Penjualan Hasil Produksi Kulit dan Penjualan Benih Ikan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    (1)
    Objek Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf j termasuk pemanfaatan Barang Milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pengelolaan Barang Milik Daerah untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, meliputi:
     
    a.
    rumah/gedung;
     
    b.
    gedung pertemuan;
     
    c.
    rumah susun;
     
    d.
    pemakaian alat penyemakan kulit;
     
    e.
    penyewaan pelataran pantai losari;
     
    f.
    tanah dan/atau bangunan yang dikuasai Pemerintah Daerah untuk pemasangan reklame;
     
    g.
    bangunan reklame; dan
     
    h.
    sewa barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan bangunan dan/atau ruang di bawah tanah dan di atas permukaan tanah.
    (2)
    Tingkat penggunaan Jasa Pelayanan Pemanfaatan Aset Daerah yang diukur berdasarkan Pelayanan Objek Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan dalam lampiran Peraturan Daerah ini.
    (3)
    Tata cara perhitungan tarif pokok sewa pemanfaatan tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan dan ruang dibawah tanah dan di atas permukaan tanah, tata cara perhitungan tarif pokok sewa pemanfaatan prasarana bangunan serta struktur dan Besaran Tarif Retribusi Pelayanan Objek Pemanfaatan Aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
    (4)
    Dokumen lain yang dipersamakan ditetapkan dengan SKRD baik berbentuk dokumen tercetak maupun elektronik dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
    (5)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur.
    (6)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
    (7)
    Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (8)
    Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    penyediaan Tempat Pelelangan Ikan diukur berdasarkan luas Tempat Pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Tempat Pelelangan;
     
    b.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
     
    c.
    pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhanan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
     
    d.
    pelayanan tempat olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas tempat olahraga;
     
    e.
    pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhanan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
     
    f.
    pelayanan Penyeberangan di Air diukur berdasarkan frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Penyeberangan di Air;
     
    g.
    penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
     
    h.
    pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Retribusi Perizinan Tertentu

     

    Pasal 96

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
     
    a.
    PBG;
     
    b.
    penggunaan tenaga kerja asing (PTKA).
    (2)
    Pelayanan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a meliputi pelayanan pemberian izin PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pelayanan pemberian izin PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin PBG milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
    (4)
    Pelayanan Pemberian Izin PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    pembangunan baru;
     
    b.
    bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi bangunan gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis bangunan gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas bangunan gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak bangunan gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan.
     
    d.
    perkuatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
    e.
    perlindungan dan/atau pengembangan bangunan gedung cagar budaya; atau
     
    f.
    perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (5)
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Besarnya pelayanan pemberian izin Retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan retribusi PBG.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan rumus yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
    (3)
    Harga satuan Retribusi pelayanan pemberian izin PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    indeks lokalitas dan standar harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung; atau
     
    b.
    harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung untuk prasarana bangunan gedung.
    (4)
    Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    bangunan gedung; dan
     
    b.
    prasarana bangunan gedung.
    (5)
    Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    luas total lantai;
     
    b.
    indeks terintegrasi; dan
     
    c.
    indeks bangunan gedung terbangun.
    (6)
    Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    volume; dan
     
    b.
    indeks prasarana bangunan gedung dan indeks bangunan gedung terbangun.
    (7)
    Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Pelayanan Pemberian Izin PBG dan SLF ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    (1)
    Pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PTKA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Besaran Tarif Retribusi Pelayanan Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan ditetapkan USD100 (seratus dollar Amerika) setiap 1 (satu) orang tenaga kerja asing per jabatan per bulan.
    (2)
    Besaran Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan atas tarif jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Bidang Ketenagakerjaan.
    (3)
    Pembayaran Retribusi Perpanjangan Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dibayarkan setelah ditetapkannya SKRD dan dibayarkan di muka sebelum Perpanjangan Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing diterbitkan.
    (4)
    Dalam melaksanakan Pemungutan, Surat Pemberitahuan Pembayaran DKPTKA sebagai Pendapatan Daerah yang diterbitkan oleh Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dapat dipersamakan dengan SKRD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang ditanggung Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Tingkat Penggunaan Jasa Atas Pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
     
    a.
    pelayanan pemberian izin PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
     
    b.
    pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
    (3)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    formula untuk bangunan gedung, meliputi:
     
     
    1.
    luas total lantai;
     
     
    2.
    indeks terintegrasi; dan
     
     
    3.
    indeks bangunan gedung terbangun.
     
    b.
    formula untuk prasarana bangunan gedung, meliputi:
     
     
    1.
    volume;
     
     
    2.
    indeks prasarana bangunan gedung; dan
     
     
    3.
    indeks bangunan gedung terbangun.
     

    Pasal 103

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam Penetapan Tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Penerbitan Dokumen Izin, Pengawasan, Penegakan Hukum, Penatausahaan, dan/atau Biaya Dampak Negatif dari Pemberian Izin tersebut.
    (3)
    Khusus Pelayanan Pemberian Izin PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Bangunan Gedung.
    (4)
    Khusus untuk Pelayanan Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    (1)
    Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dengan Tarif Retribusi.
    (2)
    Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (3)
    Dalam hal Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (4)
    Peninjauan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a khusus layanan pemberian izin PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel HSBGN/SHST dan indeks lokalitas sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
    (5)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf b khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Tarif Retribusi Hasil Peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pemanfaatan Penerimaan Retribusi

     

    Pasal 105

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

     

    Pasal 106

    (1)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota antara lain adalah SKPD dan SPPT.
    (2)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak berdasarkan perhitungan sendiri antara lain adalah SPTPD.
    (3)
    Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
    (5)
    Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Wajib Pajak untuk Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD.
    (2)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak.
    (3)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
    (4)
    Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan SPTPD dengan STPD dalam satuan rupiah setiap SPTPD.
    (5)
    Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap SPTPD per bulan.
    (6)
    Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (7)
    Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit;
     
    e.
    pailit; dan/atau
     
    f.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (2)
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan Pajak;
     
    g.
    penagihan Pajak dan Retribusi;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Pembayaran atau Penyetoran Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
    (4)
    Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dan Retribusi dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga
     

    Pasal 109

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan pemungutan retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN ATAS POKOK PAJAK, POKOK RETRIBUSI DAN/ATAU SANKSINYA

    Bagian Kesatu
    Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha

     

    Pasal 110

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
    (5)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
     
    a.
    kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
     
    b.
    kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
     
    c.
    kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian Daerah dan lapangan kerja di Daerah yang bersangkutan; dan/atau
     
    d.
    faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
    (6)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan dibidang usaha mikro, kecil, menegah, dan koperasi.
    (7)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
    (8)
    Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    (1)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
    (2)
    Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    (1)
    Dalam hal Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
    (2)
    Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (3) dan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan

     

    Pasal 113

    (1)
    Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau Objek Pajak atau Objek Retribusi.
    (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
    (3)
    Kondisi Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kemudahan Perpajakan Daerah

     

    Pasal 114

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
     
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
     
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak Terutang atau Utang Pajak.
    (2)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
    (4)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (5)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota.
    (6)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (7)
    Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
     
    a.
    menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
     
    b.
    menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
     
    c.
    menolak permohonan Wajib Pajak.
    (8)
    Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
    (9)
    Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6 (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
    (10)
    Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
    (11)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    OPSEN
     
    Bagian Kesatu
    Pemungutan
     

    Pasal 115

    (1)
    Opsen dikenakan atas pokok pajak terutang dari:
     
    a.
    PKB; dan
     
    b.
    BBNKB.
    (2)
    Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah.
    (3)
    Besaran Pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebesar 66% (enam puluh enam persen) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan dalam Pasal 39.
    (4)
    Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB, dan BBNKB.
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KERJA SAMA OPTIMALISASI PEMUNGUTAN PAJAK DAN PEMANFAATAN PAJAK

    Bagian Kesatu
    Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak

     

    Pasal 116

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah lain; dan/atau
     
    c.
    pihak ketiga.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, sampai dengan huruf e, dan/atau huruf g.
    (4)
    Kerja Sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerjasama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama;
     
    b.
    maksud dan tujuan;
     
    c.
    ruang lingkup;
     
    d.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    e.
    jangka waktu perjanjian;
     
    f.
    sumber pembiayaan;
     
    g.
    penyelesaian perselisihan;
     
    h.
    sanksi;
     
    i.
    korespondensi; dan
     
    j.
    perubahan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak

     

    Pasal 118

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK

     

    Pasal 119

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan;
     
    b.
    Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan Pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan Pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    PENYIDIKAN

     

    Pasal 120

    (1)
    Selain penyidik Polri, Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan retribusi daerah;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi daerah;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi daerah;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi daerah;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat Pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa.
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan retribusi daerah;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan Penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan yang perlu untuk kelancaran Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasil Penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PIDANA

     

    Pasal 121

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5) diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, Pasal 123 dan Pasal 124 merupakan pendapatan negara.
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN LAIN-LAIN

     

    Pasal 126

    (1)
    Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
     
    a.
    opsen PKB;
     
    b.
    PBJT atas Tenaga Listrik; dan
     
    c.
    PAT.
     
    dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
    (2)
    Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan mempedomani Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
    (3)
    Ketentuan mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai dasar penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran diatur dalam Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    (1)
    Perangkat daerah yang melaksanakan Pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PERALIHAN

     

    Pasal 128

    (1)
    Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, Pajak dan Retribusi yang masih terutang sebelum peraturan daerah ini ditetapkan masih dapat ditagih sejak tanggal saat terutang.
    (2)
    Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
    (3)
    Pemanfaatan barang milik daerah berdasarkan perjanjian tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa perjanjian
    (4)
    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 127, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
     
     
     
     
     
     
    BAB XIV
    KETENTUAN PENUTUP

     

    Pasal 129

    Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku maka:
    a.
    Pasal 45 dan Pasal 46 Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil di Kota Makassar (Lembaran Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2009);
    b.
    Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2011);
    c.
    Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Makassar Nomor 11 Tahun 2011);
    d.
    Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Makassar Tahun 2011 Nomor 12);
    e.
    Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Makassar Tahun 2011 Nomor 13) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2020 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Makassar Tahun 2020 Nomor 1);
    f.
    Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Makassar Tahun 2012 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Makassar Tahun 2018 Nomor 1);
    g.
    Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Makassar Tahun 2018 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Makassar Nomor 2);
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Makassar.
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Makassar
    pada tanggal, 5 Januari 2024
    WALI KOTA MAKASSAR,
    ttd.
    MOH. RAMDHAN POMANTO

    Diundangkan di Makassar
    pada tanggal, 5 Januari 2024
    Plh. SEKRETARIS DAERAH KOTA MAKASSAR,
    ttd.
    ANDI MUHAMMAD YASIR

    LEMBARAN DAERAH KOTA MAKASSAR TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR
    NOMOR 1 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
    I.
    UMUM
     
    Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan Wali Kota untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

    Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi Pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya Pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan Pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).

    Pemerintah juga memberikan kewenangan Pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi kota, yaitu Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasaan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kota.

    Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini mencakup berbagai aspek pengelolaan Pajak dan Retribusi, khususnya pelaksanaan pemungutan antara lain pendaftaran dan pendataan, penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang, pembayaran dan penyetoran, pelaporan, pengurangan, pembetulan dan pembatalan ketetapan Pajak, Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak dan Retribusi, keberatan, gugatan, penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota, dan kerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pihak ketiga dan pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi.

    Dalam Peraturan Daerah ini mengatur ketentuan sanksi berupa sanksi Administratif dan sanksi Pidana dan Dasar pengenaan, saat terutang, dan merupakan beberapa komponen utama dalam penghitungan Pajak Terutang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah mengatur bahwa penetapan besaran dasar pengenaan Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan Peraturan Pelaksanaan yang mengatur lebih detail Pajak dan Retribusi terutama mengenai sanksi Administratif berupa denda yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut.

    Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi, Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya Pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.

    Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Ayat (1)
    Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya obyek Pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutang pajak dapat terjadi pada:
    a.
    suatu saat tertentu, misalnya BPHTB;
    b.
    akhir masa Pajak, misalnya untuk PBJT; atau
    c.
    suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PBB-P2.
     
    Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang disesuaikan dengan ketentuan mengenai subyek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
    Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang disesuaikan dengan ketentuan mengenai obyek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemutakhiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
    -
    NJOP < Rp X juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60% (enam puluh persen);
    -
    NJOP Rp X juta – Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80% (delapan puluh persen);
    -
    NJOP > Rp Y M maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%. (seratus persen).
    Huruf b
    Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata- mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2 nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
    Huruf c
    Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota misal, Kota A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Contoh:
    Pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut di antara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau Bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.
     
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 atas Tol A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "pemanfaatan Air Tanah" adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan "surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak" adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Ayat (1)
    Huruf a
    contoh penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "Olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 58
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucher atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerja sama antara Pemerintah dan badan usaha.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup Jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, RSUD X pada Kota Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konsevasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Perda PDRD:
    1.
    Objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
    Pada tahun 2027, RSUD X pada Kota Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kota Y menyempurnakan ketentuan pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Wali Kota sebagai berikut:
    1.
    Objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
     
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan aset Daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi SKPD dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
     
    Contoh pemanfaatan barang milik daerah:
    a.
    Sewa;
    b.
    Kerja sama pemanfaatan;
    c.
    Bangun guna serah;
    d.
    Bangun serah guna; dan/atau
    e.
    Kegiatan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kota Y menyediakan pelayanan pemotongan hewan ternak berupa pelayanan pemotongan sapi dan pelayanan pemotongan kambing. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Perda PDRD:
    1.
    Objek Retribusi: Retribusi pelayanan pemotongan hewan ternak
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan sapi
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan kambing
     
    Pada tahun 2027, Rumah Pemotongan Hewan Ternak ABC pada Kota Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan pengemasan dan pelayanan ruang pendingin yang merupakan bagian dari pelayanan pemotongan kambing. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kota Y menyempurnakan ketentuan pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Wali Kota sebagai berikut:
    1.
    Objek Retribusi: Retribusi pelayanan pemotongan ternak
     
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan sapi
     
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan pemotongan kambing
     
     
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan pengemasan
     
     
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan ruang pendingin.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi" adalah Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud "Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi" adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Contoh: Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan juni 2025, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni 2025 yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli 2025 untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 september 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 september 2025 untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di daerah.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Contoh: Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp100.000.000,00 untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Wali Kota pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
    a.
    Pembayaran angsuran pertama tanggal 1 Juni 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp600.000,00 (Rp100.000.000,00 x 0,6%)
    b.
    Pembayaran angsuran kedua tanggal 1 Juli 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp450.000,00 (Rp75.000.000,00 x 0,6%)
    c.
    Pembayaran angsuran ketiga tanggal 1 Agustus 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp300.000,00 (Rp50.000.000,00 x 0,6%)
    d.
    Pembayaran angsuran terakhir tanggal 1 September 2025 = Rp25.000.000,00
     
    Sanksi Administratif: Rp150.000,00 (Rp25.000.000,00 x 0,6%)
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Contoh:
    1.
    Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kota X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian Kendaraan Bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000,00 sebagaimana diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar pengenaan PKB dan BBNKB tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8% (delapan persen), sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kota X sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000,00 = Rp24.000.000,00.
     
    b.
    Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000,00 = Rp15.840.000,00
     
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp39.840.000,00, ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi S, sedangkan Opsen BBNKB menjadi Penerimaan Pemerintah Daerah Kota X.
    2.
    Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana Contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan Bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda Provinsi S adalah sebesar 1 % (satu persen), dan tarif Opsen PKB dalam Perda PDRD Provinsi S Kota X adalah sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut:
     
    a.
    PKB Terutang = 1 % x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00
     
    b.
    Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000,00 = Rp1.980.000,00
     
    Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp4.980.000,00 ditagihkan bersamaan dengan Pemungutan PKB saat pendaftaran (registrasi dan identifikasi) Kendaraan Bermotor.
     
    Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" merupakan pihak-pihak diluar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi Pemungutan Pajak.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "pengawasan Wajib Pajak Bersama" merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan Bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
     
    Contoh: Fiskus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Contoh penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA MAKASSAR TAHUN 2024 NOMOR 1

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024